Tuesday, December 17, 2024

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 40

 KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  40

(Tien Kumalasari}

 

Arumi terbelalak. Apakah bu Wirawan bercanda? Mengapa perempuan cantik dan tampak anggun itu adalah calon mertua Bachtiar?

“Kamu heran?” tanya bu Wirawan.

Kedua tamunya tiba-tiba saja duduk di sofa, tanpa dipersilakan. Arumi tetap berdiri. Ia meragukan maksud baik kedua tamu tak diundang itu, melihat dari sikapnya.

“Kamu heran?” bu Wirawan mengulang perkataannya, sedangkan wanita satunya mengangguk-angguk, seakan mengejeknya.

“O, ya ampuun, apa Bachtiar belum mengatakannya padamu? Semalam dia sudah mengatakan sanggup menikahi Luki, anakku,” sambung perempuan cantik itu.

Arumi masih terpaku, jadi perempuan tak sopan itu ibunya Luki? Arumi tak percaya pada apa yang didengarnya. Kalau benar, mengapa Bachtiar tak mengatakan apapun kepadanya?

Arumi berharap Bachtiar segera datang dan menjelaskan semuanya. Ia berusaha tegar. Gadis desa yang kokoh, tak mudah terpengaruh pada kata-kata yang belum jelas kebenarannya. Bachtiar laki-laki yang baik. Ia tak mungkin menyembunyikannya dari dirinya.

“Kamu heran? Tapi aku tidak percaya Bachtiar takut mengatakannya pada yang katanya istri tapi kelihatan bodoh ini,” kata bu Wirawan.

Arumi tersentak. Dia bodoh? Sakit dan kemarahan memenuhi dadanya.

“Bu, saya memang gadis dusun, tak berpendidikan, tapi saya tidak bodoh. Kalau benar saya bodoh, maka bukankah berarti anak ibu yang bodoh? Mengapa seorang pintar memilih gadis dusun yang bodoh seperti saya,” jawabnya tanpa takut. Tapi ia memendam rasa sakit hatinya. Benarkah perempuan tak tahu sopan santun itu adalah calon mertuanya?

“Oh, jadi kamu berani menantang saya? Kamu berani menjawab perkataan saya?” kata bu Wirawan marah.

“Cacing tanah yang terinjak saja menggeliat. Saya manusia, saya punya hati dan rasa. Saya yang heran, bagaimana wanita-wanita kota yang pastinya berpendidikan, tapi tega mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu. Apa sebenarnya salah saya? Mas Tiar yang memilih saya, bukan saya yang minta agar  diperistri olehnya.”

“Mbakyu, usir saja perempuan tak punya rasa hormat itu dari rumah ini,” kata perempuan yang katanya ibunya Luki itu.

“Ibu-Ibu yang terhormat, kalian tidak bisa mengusir saya. Saya istri pemilik rumah ini. Istri sah, sehingga saya berhak berada di rumah ini, kecuali suami saya yang mengusir saya. Kalau tidak ada lagi yang ingin Ibu-Ibu sampaikan, silakan meninggalkan rumah ini,” Arumi agak terkejut mendengar keberaniannya sendiri. Bagaimana kalau Bachtiar marah karena dia berani mengusir ibunya? Tapi biarlah marah. Mereka tamu yang tidak sopan. Yang berkata kasar dan merendahkan dirinya. Kalau memang dia harus diusir oleh suaminya, siapa takut? Dia punya orang tua yang pasti akan menerimanya seandainya dia pulang.

“Kurangajar!! Kamu berani mengusir kami?” tiba-tiba bu Wirawan berdiri, diikuti oleh bu Nuke. Mereka berdiri di hadapan Arumi. Sebelah tangan bu Wirawan terayun, dan sedetik lagi pasti sudah mendarat di pipi Arumi yang putih bersih. Tapi sebuah tangan kokoh menahannya. Mereka sampai tak tahu kalau Bachtiar datang, karena sibuk mengata-ngatain Arumi dengan ucapan kasar.

“Bachtiar?”

“Apa yang akan ibu lakukan?”

“Perempuan dusun tak tahu tata krama ini istri pilihanmu? Dia bahkan berani mengusir ibu dari rumah ini,” kata bu Wirawan berapi-api.

Bachtiar menatap Arumi yang diam membeku. Tak ada rasa takut diwajah istrinya. Ia bahkan menatap sang ibu dan bu Nuke tanpa takut.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” kata Bachtiar sambil menatap istrinya. Tapi ia tahu bagaimana watak ibunya. Kalau dia tak suka pada seseorang, maka ia tak segan mengucapkan kata-kata kasar.

“Mas tanyakan saja kepada mereka. Mereka datang begitu saja, dan menghina saya, lalu memperkenalkan wanita itu sebagai calon mertua Mas,” kata Arumi tanpa takut.

Bachtiar tertegun.

“Kamu marah karena itu?”

“Tidak. Aku marah karena calon ibu mertua Mas itu mau mengusir saya.”

“Dia yang mengusir ibu,” teriak bu Wirawan.

“Bukankah ibu yang mengusulkan agar saya diusir dari rumah ini? Saya tidak akan pergi kalau bukan suami saya yang mengusir saya,” katanya sambil menunjuk ke arah bu Nuke.

Bachtiar segera tahu permasalahannya. Ia menyesali ibunya yang datang bersama bu Nuke, dan mengatakan kalau bu Nuke adalah calon mertuanya.

“Arumi, dia bukan calon ibu mertuaku,” kata Bachtiar sambil memegangi lengan Arumi.

“Bachtiar, bukankah semalam kamu mengatakan akan memikirkannya? Dan kamu sudah minta surat laporan tentang penyakit Luki?”

”Bukan berarti saya menerimanya. Saya baru akan melihat apakah benar catatan yang ada pada berkas yang ibu berikan.”

“Kamu tidak mempercayaiku?” kali ini Bu Nuke yang berteriak.

“Sebenarnya, memang tidak,” kata Bachtiar tegas, agak kesal karena mereka tiba-tiba datang ke rumah dan membuat masalah.

“Apa? Coba ulangi kata-kata kamu, Bachtiar, kamu tidak percaya pada apa yang dikatakan bu Nuke?”

“Sebenarnya mengapa Ibu dan tante Nuke datang ke rumah saya?”

“Calon mertua kamu ini ingin melihat rumah kamu. Semenjak kamu punya rumah sendiri, dia belum pernah tahu di mana rumahmu, maka ibu mengajaknya datang kemari. Tak disangka malah ketemu perempuan ini.”

”Perempuan ini adalah istri Bachtiar. Dia berhak tinggal di rumah ini. Dan satu lagi, tante Nuke bukan calon mertua Bachtiar.”

Bu Nuke sangat marah, wajahnya merah padam.

“Mbakyu, aku tahu Bachtiar tidak mau mengakuinya karena ada istri desanya itu. Mari kita pergi saja. Pembicaraan akan kita lakukan di rumah Mbakyu.”

“Benar, ayo kita pulang,” katanya sambil menarik tangan bu Nuke untuk menjauh.

“Ada istri saya atau tidak, saya bukan calon menantu Tante,” kata Bactiar sambil merangkul istrinya.

***

Bachtiar menenangkan hati sang istri, yang meminta agar diijinkannya pulang ke desanya. Tapi dengan lembut Bachtiar membujuknya.

“Arumi, ini adalah rumahmu, bagaimana kamu bisa mengatakan ingin pulang?”

“Aku kesal pada Mas. Mengapa ada permasalahan calon mertua segala, tapi Mas tidak mengatakannya kepada saya.”

“Maaf Arumi, bukan aku ingin menyembunyikan permasalahan ini. Tapi aku sedang menyelidiki kebenaran dari apa yang dikatakan bu Nuke.”

“Wanita cantik itu? Dia mengatakan ingin mengambil Mas sebagai menantu kan? Walau dia tahu bahwa Mas sudah punya istri?”

“Ada ceritanya, begini ….”

Lalu Bachtiar menceritakan semuanya, tentang penyakit Luki dan keinginan ibunya untuk memberinya kebahagiaan di akhir hidupnya, yaitu menjadi istrinya. Tapi Bachtiar sedang menyelidiki tentang kebenaran vonis dokter itu.

“Tadi pagi aku mengambil surat dari rumah sakit yang menangani penyakit Luki, lalu menyerahkannya kepada Adi. Adi yang akan mengurusnya. Kamu tenang ya?” kata Bachtiar sambil memeluk Arumi.

Arumi tertegun. Kalau Luki punya penyakit separah itu, memang benar dia pantas dikasihani. Hatinya yang kokoh dan keras, tapi penuh kasih sayang, lalu menjatuhkan rasa iba dihatinya. Meninggal enam bulan lagi? Bagaimana rasanya divonis akan meninggal? Baik perasaan Luki sendiri, maupun kedua orang tuanya?

Trenyuh hati Arumi mendengar kisahnya. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Rupanya nasib Luki begitu tragis. 

“Kasihan sekali. Padahal Mas akan mengusut tentang penculikan itu bukan? Apa Mas tega melakukannya?”

Bachtiar tertegun. Ia mengira Arumi akan marah dan cemburu, tapi malah mengucapkan kata-kata yang menunjukkan rasa keprihatinannya.

“Mas, sudahlah, lupakan kejadian itu. Toh aku selamat tak kurang suatu apa. Apa tidak kasihan, orang yang sedang menunggu ajal, harus dimasukkan ke dalam penjara?”

Bachtiar tak mampu berkata-kata. Ditatapnya wajah lugu di sampingnya, yang air matanya tampak menggenangi pelupuknya. Arumi menangis? Menangisi orang yang pernah ingin mencelakainya?

“Kalau memang Mas harus menikahinya, lakukanlah Mas, aku ikhlas,” kali ini genangan air mata itu tumpah, mengaliri pipinya yang mulus.

Bachtiar mengusap air mata istrinya. Sangat takjub pada sikap istrinya. Terbuat dari apa hati perempuan yang sangat dicintainya ini.

“Berat untuk aku melakukannya, Rumi. Kamu satu-satunya orang yang aku cintai. Semalam aku berada dalam kebimbangan, antara tidak suka melakukannya, dan diliputi rasa belas kepada nasib seseorang yang konon akan segera meninggal karena penyakitnya."

“Lakukanlah Mas, aku ikhlas, sungguh.”

Bachtiar merangkul istrinya erat sekali.

“Kamu adalah mutiara, kamu adalah berlian, tapi kamu juga sebuah batu karang yang teguh. Kamu sangat berharga untuk aku. Kamu tak ada duanya, kamu milikku, dan tetap akan menjadi milikku. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku,” dan kali ini air mata Bachtiarpun menetes haru.

“Aku akan merawatnya selama dia sakit, akan aku jadikan dia saudariku.”

“Arumi, aku berterima kasih kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena mengijinkan aku memilikimu. Tapi semuanya belum jelas. Aku ingin catatan kesehatan Luki dilihat lagi, dan Adi akan membantu. Kalau mereka membohongi aku, maka hukuman mereka akan lebih besar karena ada dua dosa besar yang disandangnya."

***

Sore hari itu, Sutris pulang ke rumah, mengejutkan ibunya.

“Kamu bilang sedang menghadapi ujian dan tidak bisa meninggalkan kuliah kamu, mengapa kamu tiba-tiba pulang lagi? Apa uang yang diberikan bapakmu masih kurang?”

“Bukan karena uang Bu, tiba-tiba bapak memanggilku.”

“Ada apa? Apa kamu tidak bisa menjawab bahwa kamu sedang sibuk kuliah dan tidak bisa meninggalkannya?”

“Kata bapak sangat penting. Tapi Sutris tidak tahu, ada apa. Mana bapak?”

“Di kamarnya. Sepertinya ayahmu sakit. Dia tidak mau makan. Ketika ibu paksa, makannya hanya sedikit. Tapi kalau ibu bilang sakit, dia tidak mau.”

“Sutris temui bapak sekarang, nanti Sutris tetap kembali ke kota, besok ada ujian.”

“Ya sudah, aku buatkan minum dan siapkan makan untuk kamu ya.”

Sutris hanya mengangguk, lalu langsung memasuki kamar ayahnya.

Pak Carik menatapnya, dan meminta agar Sutris menutup pintunya.

“Mendekatlah, ada hal penting yang ingin bapak katakan.”

“Bapak sakit?”

“Tidak, jangan memotong perkataanku dulu.”

“Baiklah,” kata Sutris yang kemudian duduk di tepi ranjang sang ayah.

“Apa kamu lapor polisi?”

“Lapor polisi apa?”

“Polisi sudah tahu tentang penculikan itu. Kalau kamu tidak, apa Arumi melakukannya?”

“Pastinya tidak. Sutris sudah berpesan wanti-wanti, dan Arumi menyanggupinya.”

“Tapi polisi sudah tahu. Bahkan mungkin non Luki sudah ditangkap polisi.”

“Ditangkap polisi? Bukankah waktu mbak Wahyuni menikah, dia datang bersama pak Bachtiar? Dari mana Bapak tahu?”

“Ketika aku menelpon non Luki, yang menerimanya adalah polisi. Mereka sudah tahu apa yang bapak dan non Luki lakukan. Kalau non Luki sudah ditangkap, tak lama lagi bapak pasti juga ditangkap.”

Sutris tertegun. Bagaimanapun laki-laki yang sedang terbaring ketakutan itu adalah ayahnya. Ada rasa miris, dan cemas. Kalau sampai terjadi, pasti dia juga akan ikutan menjadi saksi.

Lalu Sutris teringat ketika datang di pernikahan Arumi, Bachtiar berbisik padanya, bahwa ada yang ingin dibicarakan. Masalah penculikan itu?

“Tris, bapak sangat takut. Bagaimana kalau sampai bapak ditangkap polisi? Dipenjara? Alangkah malunya aku Tris.”

“Mengapa juga … dulu bapak melakukannya ….” keluh Sutris yang menyesali perbuatan ayahnya.

“Sutris, mengapa kamu tidak memberi bapak jalan, malah mengungkit hal yang sudah terjadi?”

“Apa maksud Bapak dengan semua ini? Apa yang harus Sutris lakukan? Ini semua kesalahan Bapak.”

“Memang benar, tapi carilah jalan keluar. Temuilah Arumi, beri dia uang, dan tolong agar dia mencabut laporannya.”

“Memangnya Arumi yang melaporkan? Lagi pula, kasus yang sudah masuk, apalagi sebuah tindakan kriminal, tidak bisa dicabut begitu saja. Apalagi kalau benar polisi sudah menangkap Luki.”

“Bapak tidak mengerti semua itu, tolong Bapak, Bapak harus pergi dari sini. Bapak tidak mau masuk penjara.”

“Maaf Pak, Sutris tidak tahu harus berbuat apa. Ini bukan masalah sepele.”

“Tris, kamu tega berkata begitu?”

“Sutris tidak bisa berbuat apapun Pak. Maaf,” kata Sutris, sedih, kemudian dia keluar dari kamar ayahnya.

Tapi begitu dia membuka pintu, dilihatnya sang ibu berdiri di depan pintu, dengan wajah gelap.

“Ibu?”

“Aku sudah mendengar apa yang kalian bicarakan. Serahkan saja ayahmu pada polisi."

Sutris tersentak.

***


Besok lagi ya.

 

57 comments:

  1. Alhamdulillah.....
    KaBeTeeS_40 sudah hadir.
    Terima kasih Bu Tien, semoga panjenengan selalu sehat dan sehat selalu .....
    Salam ADUHAI.

    Hayo Arumi...... Sikat terus

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, bu Tien cantiiik... semoga sehat sekeluarga, ya Bu💕

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun jeng Tien , salam sehat penuh berkat tetap semangat

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun Bu Tien, KBTS nya
    Sehat sll Ibu ….🤝👍

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Lama nggak aduhai hai hai nih

      Delete
  8. Selamat mom bundaku..terima ksih cerbungnya🙏salam sht sll dan aduhai unk bunda sekel 🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  9. Matur Nuwun mbak Tien.....
    Semoga senantiasa Sehat Bugar Bahagia mbaak....
    Salam aduhai dr Surabaya,..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Dewi
      Salam sehat juga

      Delete
  10. Jangan ditamatkan dulu ini cerita.
    Karena Bachtiar harus kawin dulu sama si Luki...

    ReplyDelete
  11. Yaah...Arumi dan Bachtiar kok gitu sih? Mengasihani dan mau menolong Luki kan tidak perlu harus menikahinya sih? Mereka ini polos, baik hati, atau naif? Aneh...

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🏻

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien "KBTS" nya
    Salam sehat selalu bahagia bersama amancu 💖

    ReplyDelete
  13. Hamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 40 telah tayang

    Terima kasihi Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin

    Good job ya Arumi...gas pol habis, usir dua tamu tak di undang tsb, bikin masalah aja mereka. Kamu yang berhak atas rumah kamu, bukan mereka 👍👍💐💐

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  14. Alhamdulillah KBTS~40 sudah hadir, maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Alhamdulilah arumi sdh tayang, terima kasih bun ... smg bunda Tien sekeluarga sehat sehat ....
    Semoga akal bulus luki dan bu nuke terbongkar ... bachtiar ngapain juga musti ngikutin sarannya bu nuke ... org yg jahat dan licik itu

    ReplyDelete
  16. Mks bun KBTS 40 sdh tayang, nah gitu dong Rumi, lawan mereka orang " yg tdk punya sopan santun....penasaran nih bun gimana hasil lab nya luki asli gak, apa aspal ya...yah saja besok

    Selamat malam bun smg sehat selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Supriyati

      Delete
  17. Alhamdulillaah KBTS-40 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin
    Salam Aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Ting
      Aduhai deh

      Delete
  18. Alhamdulillah sdh tayang
    Matur nuwun bu Tien
    Lanjut baca ah...

    ReplyDelete
  19. Kalau hasil pemeriksaan itu sudah terungkap barulah plong. Apa bu Wirawan terlibat secara langsung? Kalau ya, pasti laporan pemalsuan akan dicabut.
    Pak Carik akan kabur juga? Nah... makanya jangan suka jadi orang sirik.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  20. Mantab Bu Carik 👍👍👍
    Apakah dr Adi akan memeriksa langsung Luki , ih penasaran
    Kasian Arumi Bachtiar ya ..

    Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya, 🤗🥰

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien untuk tayangan "ketika bulan tinggal separuh 40*
    Semoga bu tien selalu sehat²

    ReplyDelete
  22. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun jeng Sari

    ReplyDelete
  23. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun pak Wedeye

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 18

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  18 (Tien Kumalasari)   Kinanti bangkit dari tempat duduknya, berharap kalau sewaktu-waktu Guntur bangun, tak ...