KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 39
(Tien Kumalasari)
Bachtiar keluar dari kamar dengan perasaan resah. Separuh hatinya merasa iba, dan membayangkan kalau seseorang divonis meninggal enam bulan lagi, Tapi dia sangat mencintai Arumi. Bahkan berani menentang larangan sang ibu demi cintanya itu. Sekarang akan mencarikannya madu?
Padahal dia sedang mencari bukti penuh untuk membawa kasus penculikan itu ke jalur hukum, dan Luki adalah salah satu otak penculikan itu. Apakah tega, seandainya Luki masuk penjara, lalu ia akan meninggal di dalam penjara?
Tapi benarkah apa yang dikatakan bu Nuke? Ia merasa tangisnya sangat berlebihan.
Bachtiar duduk di sofa, menyandarkan kepalanya dengan wajah letih. Tiba-tiba dia teringat sahabatnya, dokter Adi. Malam sudah larut, tapi ia harus berbagi dengan sang sahabat, agar beban yang menindihnya sedikit berkurang.
Suara berat terdengar menyambut dari ujung sana.
“Haaai, bukankah ini malam pertama kamu setelah memboyong istrimu ke rumah? Kalian ada di rumah bukan? Jangan katakan bahwa kamu kesulitan merayunya sehingga gagal menikmati malam pertama kamu,” ejek Adi setengah mengantuk.
“Sahabat macam apa kamu ini? Belum juga mengucapkan salam sudah mengomel panjang pendek.”
Adi tertawa.
“Bukannya aneh tengah malam begini seorang pengantin baru menelpon temannya? Ingat, aku masih lajang dan belum berpengalaman. Jangan menanyakan soal mendekati istri yang masih belia dan belum tahu apa-apa.”
“Berhentilah mengarang,” kesal Bachtiar.
“Aku mengarang? Oh, kamu ingin mengetahui tentang apa? Kalau kamu melihat darah, jangan takut. Itu pertanda bahwa_”
“Adi!” Bachtiar memotong perkataan temannya dengan kesal.
“Ya ampun, galak benar. Kalau malam ini belum berhasil dan dia keburu tidur, bisa dicoba lagi di malam berikutnya. Eh, bukan. Mengapa harus malam? Siapa melarang melakukannya di siang hari?”
“Baiklah, teruslah mengomel, aku akan mendengarkan.”
Adi kehilangan rasa kantuknya ketika mendengar sahabatnya marah. Ia justru tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengganggu sahabatnya yang sedang menikmati malam pengantin barunya.
“Baiklah, sekarang katakan ada apa.”
“Aku sedang bingung ini. Jangan bilang aku ingin membicarakan soal malam pertama. Ini masalah yang sangat serius.”
“Oh ya? Pasti sangat serius, buktinya tengah malam begini kamu tega membangunkan aku.”
”Tadi sore aku bertemu tante Nuke, di rumah orang tuaku. Aku ke sana karena ibu memanggilku.”
“Siapa tante Nuke?”
“Ibunya Luki.”
“Oh, lalu apa?”
“Dia menangis meraung-raung, minta agar aku menikahi Luki.”
“Apa? Apakah ibumu tidak mengatakan bahwa kamu telah menikah?”
“Pastinya sudah, aku juga mengatakannya. Tapi alasan dia memaksaku, adalah untuk memberikan kebahagiaan sebelum enam bulan lagi Luki meninggal?”
“Enam bulan lagi? Apakah dewa pencabut nyawa sudah mengabari ibu Nuke tentang kapan meninggalnya anaknya?” Adi masih sempat bercanda.
“Luki menderita kanker yang sudah parah. Menurut dokter usianya paling lama hanya enam bulan lagi.”
“Wouw, separah itu? Kamu melihat hasil rekam medisnya?”
“Apa itu?”
“Sebuah surat atau apa yang menyatakan tentang penyakit Luki.”
“Dia baru bicara begitu, aku belum menanyakan tentang pernyataan dari rumah sakit atau dokter yang merawatnya.”
“Kamu minta surat itu, berikan padaku.”
“Apa kamu akan mengobatinya?”
“Bukan begitu, aku akan mengecek kebenaran pernyataan dokter itu.”
“Bagus sekali. Besok pagi aku akan memintanya. Lalu aku akan langsung menemui kamu. Jangan berangkat dulu sebelum aku datang.”
“Kalau aku sudah berangkat, temui aku di rumah sakit. Dalam bekerja, apalagi menyangkut kesehatan orang, aku tidak mau terlambat.”
“Dokter teladan. Bukan main.”
“Tutup ponselmu, aku mau tidur lagi,” kata Adi sambil menutup ponselnya.
Bachtiar merasa, sedikit bebannya berkurang. Memang benar, pernyataan tentang sakitnya Luki harus dibuktikan. Bisa jadi bu Nuke salah terima, atau malah mengada-ada. Pikir Bachtiar setelah mengingat tangis bu Nuke yang dinilai sangat berlebihan.
Bachtiar masuk ke kamar Arumi, melihat bidadari molek sedang terlelap. Bachtiar tersenyum mengingat perkataan Adi yang menggodanya. Malam pertama? Apakah Bachtiar terlalu bodoh? Dia yang selalu tenggelam dalam kesibukan kerjanya, masa juga tak tahu bagaimana mendekati istri dan merayunya. Itu hanya karena belum saatnya.
Bachtiar keluar dari kamar itu. Ia harus menepati janjinya, walau keinginan menyentuhnya mulai merayapinya. Ia menutup pintunya perlahan, lalu masuk ke dalam kamarnya.
***
Arumi membuka matanya, menatap ke sekeliling ruangan dengan heran. Ia juga meraba-raba alas tidurnya. Sejenak dia bingung, sedang berada di mana. Mana tikar pandan yang biasanya menjadi alas tidurnya? Mengapa begini empuk. Dan mana tembok bambu yang biasanya mengungkung kamarnya yang sempit?
Arumi bangkit, mengucek matanya. Lalu dia sadar bahwa dia berada di rumah suaminya.
“Ya Tuhan, aku sudah bersuami,” keluhnya sambil duduk di tepi pembaringan.
Tiba-tiba ia teringat mimpinya semalam. Membuat hatinya kecut.
Ia melihat suaminya berdiri di depannya, dan mengatakannya dengan wajah menyebalkan.
“Arumi, aku sangat menyayangi dan mencintai kamu. Tapi ijinkanlah aku menikah lagi.”
Arumi terpana. Sangat mencintai, tapi ingin menikah lagi? Arumi terbelalak. Ia mendekati sang suami dan memukul-mukul dadanya sambil berteriak.
“Tidaaak, aku tidak akan mengijinkannya.”
Arumi tiba-tiba membuka matanya, terbangun dari mimpinya. Ia melihat Bachtiar melangkah keluar dari kamarnya.
“Apakah aku bermimpi buruk?”
Tapi kemudian Arumi melanjutkan tidurnya.
Kini, setelah terjaga, Arumi turun dari ranjang, keluar dari kamar. Suasana masih senyap. Pagi masih buta. Arumi teringat, bahwa Bachtiar tidur di kamar sebelah kamarnya. Arumi kembali masuk kamar, lalu mengambil wudhu.
***
Bachtiar membuka kamar Arumi, dan tidak mendapati sang istri ada di dalam kamarnya. Ia melihat sajadah dan mukena terlipat rapi di tempat tidurnya. Bachtiar keluar, dan mendengar kesibukan dari arah dapur.
Arumi sedang menyeduh kopi. Harum kopi menguar ke seluruh ruangan. Bachtiar memeluk Arumi dari belakang, membuat Arumi terpekik kaget.
“Heiii. Mas menyentuhku lagi?” tegur Arumi.
Bachtiar senang. Baru sehari Arumi di rumahnya, dia sudah mengerti cara mempergunakan peralatan dapur. Ia sudah merebus air dan menyeduh kopi. Ia tak ingin melepaskan pelukannya, membuat Arumi merinding. Tak urung perasaan itu ada. Arumi memang masih belia, tapi dia sudah remaja. Wajahnya bersemu merah, dan berusaha melepaskan tangan Bachtiar yang melingkar di pinggang.
“Ini menyentuh biasa, bukan yang lain. Masa tidak boleh?”
“Kamu mau duduk di mana, aku antarkan kopimu ke sana,” kata Arumi yang sekuat tenaga berusaha menghindar.
“Baiklah, di ruang tengah saja, sini, biar aku yang membawa nampannya,” kata Bachtiar yang berusaha mengambil nampan berisi dua gelas kopi.
“Biar aku saja. Ini tugas perempuan,” kata Arumi yang sudah terbiasa melihat simboknyalah yang selalu melayani bapaknya.
Bachtiar mengangkat bahu, lalu mendahului menuju ke ruang tengah.
Arumi meletakkan kopi yang masih mengepul, kemudian duduk di depan Bachtiar.
“Kamu di sini. Masa suami istri duduknya berjauhan.”
“Nggak mau. Mas suka menyentuhku.”
Bachtiar tertawa. Lalu membiarkan Arumi duduk di depannya.
Ditatapnya Arumi yang tampaknya sudah mandi dan rapi. Rambut panjangnya digelung cantik. Wajahnya bersih tanpa polesan, memantulkan cahaya kecantikan alami yang mengagumkan. Lama sekali Bachtiar menatap sang istri, membuat sang istri risih dan sungkan.
“Berhentilah menatap aku. Nikmati kopinya.”
“Baiklah,” kata Bachtiar sambil tersenyum. Senyum yang juga sangat disukai Arumi sejak mereka awal bertemu. Bachtiar meraih gelasnya dan menyeruputnya pelan.
“Aku mau menceritakan sesuatu.”
“Apa tuh?”
“Semalam aku bermimpi.”
“Digigit ular? Ularnya belum menggigit kan?” canda Bachtiar.
“Bukan. Biarkan aku bercerita dulu,” kesal Arumi karena Bachtiar menatapnya aneh.
“Baiklah.”
Lalu Arumi mengatakan mimpinya semalam, yang katanya membuatnya sangat takut. Bachtiar berdebar. Apakah Arumi merasa bahwa ada yang sedang ingin merebut suaminya?
“Mas, bagaimana kalau suatu hari nanti Mas benar-benar ingin memiliki istri lagi?”
Bachtiar berdiri, menarik Arumi agar duduk di sebelahnya, kemudian merangkul pundaknya.
“Arumi, kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Aku sangat mencintai kamu.”
“Semalam, Mas juga mengatakan itu. Tapi buntutnya mengatakan bahwa Mas ingin menikah lagi.”
“Itu kan hanya mimpi. Jangan hiraukan.”
“Benarkah Mas tidak akan melakukannya?”
Bachtiar tidak menjawab. Bayangan Luki melintas, enam bulan dia akan meninggal? Tapi tidak, semuanya belum tentu. Bukankah ia justru akan menjebloskan Luki ke penjara?
“Mengapa Mas tidak menjawabnya?”
“Arumi, kamu kan sudah tahu siapa aku, bagaimana aku, dan karena itu kamu mengagumi aku. Itu yang kamu katakan bukan? Percayalah aku akan menjadi suami yang baik, dan akan selalu menjagamu.”
“Mengapa ya, aku mimpi seperti itu?”
“Mimpi itu bunganya tidur. Sudah, jangan pikirkan.”
Mereka menikmati kopi dengan nikmat.
“Mas akan aku buatkan sarapan ya.”
“Kamu mau memasak apa?”
“Bagaimana kalau nasi goreng?”
“Baiklah, tapi maaf aku tidak membantu ya, aku akan menelpon seseorang.”
Arumi mengangguk. Pasti soal pekerjaan. Pikirnya. Kemudian ia membawa gelas kopi yang kosong ke belakang.
Bachtiar mengambil ponselnya. Dia teringat bahwa harus meminta surat pernyataan dari dokter tentang penyakit Luki.
Bu Wirawan terkejut pagi-pagi Bachtiar mengirim pesan. Ternyata dia minta surat dari rumah sakit tentang penyakit Luki. Ia lalu menunjukkan pesan dari Bachtiar itu kepada bu Nuke, yang sedang duduk santai di teras.
“Oh, ada, semuanya sudah aku persiapkan Mbakyu," kata bu Nuke sambil bangkit. Ia menuju ke kamarnya, kemudian keluar dengan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat.
“Ini, aku sudah akan memberikannya kepada Bachtiar kemarin, supaya dia percaya, tapi kan dia buru-buru pulang.”
“Baiklah, dia akan kemari untuk mengambilnya.”
“Apa dia sudah memberi keputusan?”
“Belum, tapi dengan meminta berkas ini kan berarti sudah ada ketertarikan dari dia untuk menerimanya.”
“Syukurlah.”
“Akan aku kabari dia agar mengambilnya sekarang. Katanya sambil dia berangkat ke kantor. Kita tunggu saja sebentar jeng. Ini semua diberikan?”
“Iya, Mbakyu, biar dia percaya.”
***
Bachtiar merasakan nikmatnya masakan nasi goreng buatan istrinya. Ia tak menyangka, sang istri begitu pintar memasak. Tentu saja, dia kan selalu membantu ibunya masak di dapur. Tapi Arumi tidak pernah masak yang aneh-aneh. Kalau telur dadar atau nasi goreng sih bisa, atau sayur yang dimasak sederhana.
“Enak sekali masakan kamu.” kata Bachtiar sambil melahap makanannya.
“Aku tidak bisa masak yang aneh-aneh. Bisanya masakan desa.”
“Masakan desa itu justru enak. Kamu ingat, bapakku sangat suka masakan ibumu ketika itu. Nanti aku belikan kamu buku masakan, kamu bisa mencobanya.”
“Terima kasih Mas, aku suka. Tapi apakah aku tidak bisa pulang sekarang?”
“Arumi, ini adalah rumahmu. Apakah kamu ingin sekali pulang ke rumah orang tuamu? Kamu tidak kerasan di sini?”
“Bukan begitu. Mas bilang hanya sehari dua hari agar aku tahu rumah Mas.”
"Setelah aku ingin kamu menjalani homeshooling, lebih baik kamu tinggal di sini saja. Kalau libur kamu baru pulang menemui orang tuamu, bagaimana? Kalau gurunya datang ke sana, kejauhan bukan?”
“Oh, baiklah, terserah Mas saja. Katanya seorang istri harus menurut apa kata suaminya.”
“Bagus. Hari ini apakah kamu tidak apa-apa, seandainya aku tinggal pergi?”
“Mas mau bekerja?”
“Tidak, ada keperluan, mungkin aku tidak lama. Kalau kamu ingin memasak, masak saja. Ada sayuran di kulkas. Dimasak ala desa tidak apa-apa. Kalau masalah sayuran, di desa atau di kota sama saja kan?”
“Baiklah, tidak apa-apa. Aku akan bersih-bersih rumah, dan memasak, sambil menunggu Mas pulang.”
Bachtiar meninggalkan Arumi sendirian, karena ia akan mengambil berkas kesehatan Luki, lalu akan langsung ke rumah sakit untuk menemui Adi. Kalau di rumah sudah tidak mungkin. Sudah terlalu siang karena ia masih harus ke rumah orang tuanya. Tapi Bachtiar tak mau menceritakan semua itu kepada Arumi. Tak ingin membuat Arumi khawatir.
***
Arumi sudah membersihkan rumah, lalu memasak di dapur. Tapi tiba-tiba ia mendengar bel tamu berdering. Arumi bergegas ke depan. Mungkinkah Bachtiar begitu cepat kembali?
Tapi Arumi terkejut, melihat dua orang wanita berdiri di depan pintu, yang salah satunya dikenal sebagai ibu Bachtiar. Arumi memang belum pernah bertemu, tapi Bachtiar sudah pernah menunjukkan foto sang ibu kepadanya.
Bergegas Arumi membuka pintu. Belum lagi dia mempersilakan masuk, bu Wirawan dan bu Nuke langsung nyelonong masuk, membuat Arumi tertegun.
Mengapa wanita kota tidak tahu sopan santun? Kata batinnya.
“Selamat datang, Ibu,” sapa Arumi sambil tersenyum ramah.
“Kamu gadis dusun itu kan?” kata bu Nuke dengan wajah sinis.
Arumi tertegun. Datang-datang sudah merendahkannya. Rasa kesal membuatnya berani menjawab. Arumi memang gadis dusun yang sederhana, tapi ia tidak pernah merasa takut selama dirinya benar.
“Saya memang gadis dusun. Ibu siapa? Kalau ini bu Wirawan, ibu mas Tiar, saya sudah tahu,” katanya dengan berani, tapi tetap bersikap sopan.
“Kamu belum tahu siapa dia? Dia ini calon mertua Bachtiar,” kata Bu Wirawan dengan pongahnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Ketika Bulan Tinggal Separuh sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun salam
ReplyDeleteSami2 mbak Yaniiik
Delete🍄🍂🍄🍂🍄🍂🍄🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
KaBeTeeS_39 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍🦋
🍄🍂🍄🍂🍄🍂🍄🍂
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Aduhai deh
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteHamdallah
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Salamah
Bunganya cantik
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Matur sembah nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteKaBeTeeS _39 sudah tayang ...semakin bikin penasaran
Sehat selalu Mbak..🤗🥰😍
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Ning
Maturnuwun bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat dan bahagia...salam hangat dan aduhai aduhai bun
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Tur Nuwun Bu Tien ….🤝 KBTS nya
ReplyDeleteSami2 mbah Wi
DeleteTrimakasih .... alhamdulillah ... semoga bu Tien selalu sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endang
Alhamdulillah KaBeTeeS_39 sdh hadir.
ReplyDeleteLho rak tenan ta, Arumi mimpi....
Kebangeten ya bu Nuke, ra duwe sopan santun pada dene karo emake Bachtiar.
Matur nuwun Bu Tien, mugi panjenengan tansah pinaringan berkah rahayu widodo nir sambekala. Aamiin 🤲🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Anik
Alhamdulillah KBTS~39 sudah hadir, terimakasih Bu Tien..🙏🙏🙏
ReplyDeleteSami2 pak Djodhi
DeleteWaduuuhhh ... siap2 kecele bu Witawan bu Nuke
ReplyDeleteAlhamdulillah...
Syukron nggih Mbak Tien
Sami2 jeng Susi
Delete🌹🌹🌹🌹🌹
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillaah dah baca, dasar ibu nya nuke ganjen banget pengen mantu bachtiar, makasih bunda
ReplyDeleteSami2 ibu Engkas
DeleteYa ampyuuuun orang ko kaya gitu ya, nda punya sopan santun bgt si, tenang ya arumi itu ujian bagimu nduk, jangan khawatir ya, Allah sll bersama orang" yg baik dan sabar
ReplyDeleteMks bun KBTS 39 sdh tayang, selamat malam smg bunda sll sehat n bahagia bersama kelrg tercinta
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Supriyati
Bachtiar jadi kawin nggak ya dng Luki.
ReplyDeleteMudah2an. Jadi panjang deh ceritanya.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Arif
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteSami2 ibu Mundjiati
DeleteMantaff Arumi... lawan terus mamak² ganjen gak tau malu itu.. hehehe. Maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteHamdallah...cerbung Ketika Bulan Tinggal Separuh 39 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasihi Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Tiar dan teman nya bernama dr Adi hrs dapat meneliti perihal kebenaran atau ke asli an Surat Keterangan dari dokter tsb.
Kasihan Arumi...di lecehkan dan di rendahkan oleh 2 tamu yang tdk di undang. Gas pol yang Arumi, jangan takut sama mereka.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, sehat selalu Bu Tien
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Umi
yang : ya ( revisi )
ReplyDeleteHmm...saya amati, ibu Tien sudah mulai mengikuti trend cerita poligami nih...😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu...semoga sehat selalu.🙏🏻
Sami2 ibu Nana.
DeleteMasa iya?
Aamiin doanya
Nah... kerja sama dengan dokter Adi pasti menghasilkan suatu yang bagus. Segera terbuka kejahatan atau penipuan Luki dkk.
ReplyDeleteSayang Arumi jadi bulan bulanan para penipu. Tapi tenang saja, pasti hanya sebentar.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Masih anget
ReplyDeleteDingin pak Joyo
DeleteMatur nuwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAduh bu Tien... Bikin jantungan..
ReplyDeleteHehee.. maaf jeng dokter
DeleteArumi kena mental, semoga kuat dan lebih oercaya pada suaminya... terimakasih bunda Tien...
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteNuwun pak Wedeye
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMantab bener Arumi, sabar ya , ini ujian . Duh mau buat sambel trs di templok ke mulut Bu mertua n bu nuke ,😁😁🤭 tp g boleh ya
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya & selalu dlm lindungan Allaah Subhaanahu wata'ala, Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ika
Terima ksih bunda..slmt mlm 🙏🥰🌹
ReplyDelete