MASIH ADAKAH MAKNA 25
(Tien Kumalasari)
Binari tertegun. Ini luar biasa. Sikap Rohana juga berbeda. Matanya lebih tampak santun, bukan seperti orang yang selalu memaksakan kehendak. Kalau dia lapar, terus terang dia mengatakan lapar dan minta diberi makan. Dulu begitu.
“Hei, mengapa kamu menatapku seperti itu? Kalau kamu tidak mau, aku bisa memberikannya kepada orang lain, karena aku sudah kenyang, dan ini kebanyakan,” tegurnya seperti orang tersinggung.
Binari menerima bungkusan itu, yang berisi dua arem-arem.
“Tidak Bu, ini saya terima. Saya senang arem-arem. Terima kasih banyak.”
Rohana mengangguk, dan bibirnya yang sudah diliputi kerutan keriput itu tersenyum. Lalu tanpa basa basi dia pergi meninggalkan Binari yang masih terbengong-bengong.
Lalu Binari merasa berdosa karena sebelumnya mengira bahwa Rohana akan membuatnya repot, padahal dia hanya memberikan dua buah arem-arem,. kemudian pergi begitu saja.
Binari memasuki rumah, meletakkan arem-arem itu di meja.
Tapi hatinya tergerak untuk mencicipinya. Rohana mengira dirinya takut diracun olehnya. Tapi tidak, kalaupun ada racunnya, pasti akan terasa saat gigitan pertama. Masa sih bu Rohana meracuni saya? Kata batin Binari. Entah mengapa dia ingin sekali segera mencicipinya. Ia membuka daun pisang yang memang menjadi pembungkus makanan itu. Disekitar rumah tidak ada yang menjual arem-arem. Barangkali adanya di toko-toko besar yang menjual khusus makanan tradisional.
Itu sebabnya Binari ingin sekali segera memakannya. Toh dia belum sarapan juga.
Hm, aroma gurih segera menyergapnya.
Tak sabar Binari menggigitnya. Enak tuh, gurih dan ditengah ada isinya seperti sambal goreng kering, ada rasa seperti hati sapi, atau apa. Pokoknya enak. Binari mengecapnya sambil tersenyum-senyum. Tak ada rasa apa-apa. Racun biasanya berbau aneh. Tapi ada juga racun yang tidak berasa dan berbau, lalu tiba-tiba menimbulkan kematian. Entahlah. Binari tidak merasakan apa-apa kecuali rasa enak yang masih melekat di lidah. Dia segera membersihkan dapur, dan mencuci perabot kotor. Seperti biasanya, dia menyisakan perabot yang besar, yang akan dicuci ketika dia pulang sekolah, karena kalau semuanya, dia bisa terlambat.
Binari sudah selesai mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Sebenarnya Binari ingin mengatakan pada Rohana, bahwa dia sedang dicari keluarganya. Tapi ia tak sempat melakukannya karena Rohana tampak tergesa-gesa. Tentu saja Binari tidak tahu bahwa Rohana sempat bertemu salah satu anaknya, tapi kemudian dia kabur entah karena perasaan apa yang menghantui benak Rohana.
Tapi kemudian Binari melupakannya, ketika ponselnya berdering. Ponsel pemberian Tegar yang belum pernah digunakannya untuk menghubungi Tegar. Walaupun untuk mengucapkan terima kasih.
Sekarang ia mengangkat panggilan itu.
“Mas Tegar, aku minta maaf, ya.”
”Lhoh, belum ada salam kok tiba-tiba minta maaf.”
“Oh iya, assalamu’alaikum … “
“Wa’alaikumussalam. Gitu dong."
“Tapi aku benar-benar minta maaf nih, soalnya sejak Mas memberikan ponsel ini aku belum pernah bilang terima kasih.”
“Kan sudah, waktu aku memberikannya. Tapi sudahlah, nggak usah dibahas. Kamu belum berangkat?”
“Sudah mau berangkat nih.”
“Tungguin, aku hampir sampai di rumah kamu.”
“Lhoh, Mas, ngapain?”
“Sekalian bareng sama kamu.”
“Mas!”
“Pokoknya tungguin, sebentar lagi aku sampai di situ,” kata Tegar yang langsung menutup panggilan telponnya.
Binari mengangkat bahu. Tapi entah mengapa hatinya senang.
“Hei, kenapa aku ini?” Kata batinnya.
“Aneh, aku ini siapa, dia juga siapa, mengapa aku merasa senang disamperin olehnya?” kali ini ia bergumam, sambil mengunci pintu rumahnya.
Ia mendengar sepeda motor memasuki halaman kecilnya.
“Ayo, siap mengantar tuan putri,” teriak Tegar.
“Haa? Tuan putri? Jangan bercanda, aku gadis biasa, apa Mas lupa?”
“Bagiku kamu tuan putri, dan aku adalah Pangeran berkuda,” canda Tegar sambil menepuk boncengan sepedanya, sebagai isyarat agar Binari segera naik.
“Kenapa sih, repot-repot begini?” katanya sambil menerima helm yang diulurkan Tegar, dengan wajah memerah. Tuan.putri dan Pangeran berkuda?
“Jangan membantah, pegangan,” perintahnya.
Binari berpegangan, bukan di pinggang Tegar tapi di boncengan yang didudukinya.
Motor Tegar melaju, menembus jalanan yang ramai oleh lalu lalang anak-anak sekolah.
“Tadi bu Rohana ke rumahku,” kata Binari setengah berteriak, takut Tegar tidak mendengarnya, apalagi dia memakai helm.
“Apa?” Mereka berbicara dengan suara keras. Hiruk pikuk menghalanginya.
“Bu Rohana datang ke rumah!”
“Sekarang masih di rumah kamu?”
“Tidak! Dia datang memberi aku makanan, lalu pergi begitu saja.”
“Memberi makanan?”
“Iya, aku juga heran. Sikapnya berbeda.”
“Kalau ke rumah kamu lagi, kabari aku ya? Bukankah kamu sudah tahu kalau dia nenekku?”
“Iya, Bapak sudah cerita. Kan Bu Satria yang mengatakannya.”
“Kenapa tadi tidak mengabari aku?”
“Dia hanya datang memberikan makanan, lalu pergi begitu saja. Mana sempat aku berpikir untuk mengabari Mas. Aku sedang terheran-heran melihat sikapnya.”
“Lain kali kabari aku segera kalau dia datang, dan usahakan agar dia tidak pergi dulu sebelum aku datang.”
“Baiklah. Tapi makanannya tadi enak, sudah aku makan, dan kenyang.”
“Memangnya makanannya apa?”
“Arem-arem.”
“Arem-arem itu apa?”
“Makanan, yang dibuat dari nasi, didalamnya berisi sambal goreng kering, dan lain-lain.”
“Enak ya?”
“Enak.”
“Kamu tiba-tiba mau makan, kalau ada racunnya gimana?”
“Tiba-tiba pengin makan, karena itu makanan langka.”
“Langka?”
“Maksudnya, lama sekali tidak pernah makan arem-arem. Jadi pengin segera makan. Aku masih hidup kan?”
“Perutmu sakit nggak?”
“Sakit sih.”
“Tuh… hati-hati kamu,” kata Tegar yang sesungguhnya mencurigai sang nenek.
“Sakit karena kekenyangan,” katanya sambil tertawa.
“Oo, dasar!”
Mereka terus berbincang sampai tiba di depan sekolah Binar. Tegar selalu senang melihat punggung Binari, dan ekor kudanya yang melambai-lambai.
***
Minar terkejut ketika Tegar pulang kuliah siang itu, dan bercerita tentang neneknya. Kata Tegar, Binari merasa aneh melihat perubahan sikap nenek Rohana. Ketika itu katanya sikapnya baik, dan memberi Binari arem-arem. Hanya saja setelah memberikan arem-aremnya nenek Rohana langsung pergi.
“Aneh sekali nenek kamu itu.”
“Bu, arem-arem itu apa? Apa ibu tahu?”
“Arem-arem itu makanan yang dibuat dari beras, dimasak seperti nasi, dalamnya berisi sambal goreng, daging atau apa, suka-suka yang membuat, digulung seperti lemper. Tapi kemudian dibungkus dengan daun pisang, setelah itu dikukus.”
“Kelihatannya enak. Mau dong, ibu bikinin.”
“Kenapa tiba-tiba pengin arem-arem?”
“Ibu bisa buatnya?”
“Ya bisa dong, itu makanan khas orang Jawa. Tapi sekarang di mana-mana juga banyak.”
“Binari bilang, di sini jarang ada, makanya ketika nenek Rohana memberikan arem-arem itu, dia langsung menyantapnya, katanya enak.”
“O, jadi masalah pengin dibuatin arem-arem itu, karena ada hubungannya dengan Binari?” ledek sang ibu.
“Nenek Rohana memberikan arem-arem itu pada Binari. Dan Binari bilang enak.”
“O, Binari bilang enak?” ledek sang ibu.
“Iya. Binari merasa aneh. Tumben-tumbenan nenek Rohana memberi makanan"
“Ibu jadi memikirkan nenekmu lagi. Apa sebenarnya maunya? Minta beli ini … itu, diturutin sampai tante Monik kesal. Tapi ketika pergi, semuanya ditinggal begitu saja.”
“Mungkin sebenarnya nenek tidak mau menjadi beban.”
“Tidak mau bagaimana? Dari awal dia sudah minta yang macam-macam. Perhiasan ibu juga ibu berikan karena dia minta memakai perhiasan.”
“Dibawa?”
“Tidak, ditinggal begitu saja di atas meja. Pokoknya dia pergi hanya dengan apa-apa yang awalnya dibawa. Baju yang ibu cucikan, dan belum begitu kering karena nyuci malam dan paginya pergi, juga di bawa.”
“Yah, susah mengerti apa yang dipikirkan nenek. Sekarang aku lapar Bu.”
“Ya sudah, makan saja, sudah ibu siapkan semuanya kok.”
“Kapan ibu mau membuat arem-arem itu?”
“Ya ampun, ibu harus belanja dulu, terutama daun pisangnya itu. Kan harus dibungkus daun pisang.”
“Namanya juga aneh. Kenapa nggak kue apa … gitu?”
“Mengapa namanya arem-arem. Kamu tau artinya marem? Marem itu puas. Nah, arem-arem dibuat biasanya kalau orang bepergian, atau ada acara apa, tapi tidak sempat membawa nasi. Maka dibawalah arem-arem, supaya marem karena sudah ada makanan yang dibuat dari nasi. Jadi makanan itu untuk membuat marem.”
“Aneh, orang jawa.”
“Ya bukannya aneh, memang begitu kok.”
“Ya udah, aku pengin banget nih.”
“Kalau terburu-buru, besok ibu belikan saja di toko penjual makanan. Sering ada kok.”
“Nggak mau, pengin yang buat Ibu, nanti sebagian aku bawakan buat Binari, supaya marem belum sempat makan siang.”
Minar terkekeh mendengar alasan Tegar minta agar ibunya membuat makanan itu. Ternyata juga karena memikirkan Binari.
***
Pertemuan Tomy dan Satria yang membicarakan tentang ibu mereka, tidak mendapatkan titik temu. Setiap usulan, pasti kembali kepada apakah ibunya mau atau tidak. Kalau tidak mau, percuma dipaksa-paksa. Rohana bukan anak kecil.
“Bagaimanapun kalau kita ketemu, dia harus bicara maksudnya apa. Kalau memang tidak mau bersama kita, kita sewakan sebuah rumah untuk ibu tinggal, lalu semua kebutuhan ibu, kita yang mencukupinya.” kata Satria.
“Aku setuju, masalahnya di ibu. Mau atau tidak.” kata Tomy.
“Harusnya kita ketemu dan mengajak ibu bicara.”
Tomy menghela napas, sedikit kesal. Sang ibu selalu menghindar, dan tak akan mudah diajak bicara.
“Kalau memang ibu mau diajak bicara, pasti sebelum pergi ibu bicara, dan tidak kabur begitu saja. Ya kan?”
Benar-benar masalah rumit. Sampai kemudian Tomy meninggalkan Satria di kantornya, mereka tidak bisa memutuskan apapun tentang ibunya. Semuanya kembali kepada ‘ibunya mau atau tidak’ dan kapan bisa menemukan ibunya lagi.
***
Melihat pak Drajat tidak ada di rumah, barulah Tomy mengatakan kepada istrinya tentang hilangnya Rohana. Tapi rupanya Monik sudah tahu semuanya, karena Minar sudah menelponnya.
“Kamu mengatakan semuanya pada bapak?”
“Tidak. Aku tahu Bapak tidak suka pada ibu. Jadi aku tidak mengatakan apa-apa. Minar telpon pagi tadi, lalu bapak pergi sama Indi. Sampai sekarang belum pulang.”
“Oh ya, pantesan dari tadi tidak melihat bapak, kirain tidur.”
“Katanya mau jalan-jalan, begitu. Indi kelihatan kangen sekali pada kakeknya. Nggak tahu jalan-jalan ke mana mereka."
“Tapi kami bingung mau melakukan apa. Ibu pergi, berarti tidak suka tinggal bersama anak-anaknya. Satria ingin mengontrak rumah untuk ibu, lalu mencukupi kebutuhannya. Tapi apa ibu mau?”
“Aku sudah bicara pada Minar. Pokoknya semuanya bingung. Jangan bertanya harus bagaimana aku tidak bisa menjawabnya. Ibu sangat rewel dan susah diatur. Tapi tiba-tiba semua belanjaan tidak dibawa, apa coba maksudnya?”
Tomy diam. Ia tahu sang istri kesal, walau masih mau membantu. Ia tidak bisa menyalahkannya.
“Ya sudah, kita pikirkan kalau kita sudah tenang, selain berusaha menemukan ibu dan mengajaknya bicara. Sekarang Mas istirahat saja,” kata Monik pada akhirnya.
***
Rohana pergi menurutkan langkah kakinya, tapi dengan perasaan yang berbeda. Tiba-tiba kesengsaraan yang diterimanya saat sekarang ini, dirasakannya adalah unduhan dari buah yang ditanamnya. Dulu bermewah-mewah, menghambur-hamburkan uang selama puluhan tahun, tak peduli pada anak-anaknya, sekarang disaat anak-anak itu memberi perhatian, hatinya justru terasa kosong. Ia tak tahu bagaimana awalnya, tapi setelah keluar dari rumah sakit ketika Satria mengajak membezoek Boy, ada yang terasa menggores dihatinya. Bahwa sesungguhnya dia tak berdaya. Bahwa sesungguhnya ketika terjepit dalam suasana bingung, ia tak bisa berbuat apa-apa. Lalu ia merasa kecil, merasa tak berdaya, merasa tak ada artinya diantara keluarganya. Lalu diputuskannya dia harus pergi. Belanjaan yang mahal-mahal dan didapatnya dengan memaksa, ternyata tidak memuaskannya.
Rohana tiba di sebuah kota lain dan mendapatkan uang dari pekerjaannya mengelap kaca-kaca mobil. Diberi upah atau tidak, Rohana tak pernah menggerutu.
Ia makan seadanya dan melakukan hal-hal baik yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
Ketika itu seorang anak kecil sedang menangis dalam gendongan ibunya. Lama sang ibu menenangkan, tapi anak kecil itu tak hendak berhenti menangis.
“Diamlah Nang, nanti ibu beli nasi kalau sudah dapat uangnya,” kata sang ibu pelan. Rohana mendekat. Anak kecil itu menangis, bahkan meronta-ronta.
“Ada apa?” tanya Rohana.
“Nggak apa-apa. Biasa kalau lapar dia begini,” katanya sambil berlalu. Ia tak peduli pada Rohana, karena mengira dia sesama orang miskin yang hidup dari belas kasihan orang. Tapi ia terkejut, Rohana menyusulnya.
“Aku baru membeli nasi. Ada dua bungkus. Makanlah.”
Wanita itu menerima bungkusan nasi, dan si anak dalam gendongan berhenti menangis. Ia bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih karena Rohana sudah pergi jauh. Ia bahkan tidak tahu bahwa hari itu si pemberi juga belum makan, dan uang di sakunya tinggal dua ribu rupiah.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteYes
ReplyDeleteAkhirnya tayang jg, trmksh mb Tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~25 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..π€²
Terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang...
ReplyDeleteTerimakasih.
ππͺΈππͺΈππͺΈππͺΈ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
eMAaeM_25 sdh tayang.
Matur nuwun nggih,
doaku smoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia.
Aamiin. Salam seroja. π
ππͺΈππͺΈππͺΈππͺΈ
Alhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga selalu sehat
Terima kasih bu Tien ... M A M ke 25 sdh Tayang ... Smg bu Tien & kelrg sll sehat dan bahagia .
ReplyDeleteAlhamdulillah, Rohana sdh tayang.
ReplyDeleteMatur nwn bu Tien π
Maturnuwun ... semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteterimakasih Bunda
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat dan bahagia selalu bersama keluarga, aamiin..
Alhamdulillah...sdh tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..π
Sehat selalu kagem bunda...π€²π€²
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSlmt mpm bunda..trima ksih cerbungnya. Slm sehat dan aduhai dri skbmi ππ₯°πΉ
ReplyDeleteMks bun MAM 25 sdh tayang.....selamat malam......sehat" ya bun
ReplyDeleteAlhamdulilllah
ReplyDeleteRohana sadar ...
Syukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah
ReplyDeleteterima kasih bunda Tien
Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 25, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 25 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Rohana jadi pengembara, menyusuri kehidupan di jalanan. Mungkin saat ini bagi Rohana lebih Enjoy, sambil merenung diri dari hal hal yang dia lakukan sebelum nya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K
Semoga sehat selalu dan dalam lindungan NYA
Alhamdulillaah Rohana telah menyadari, bagaimana selanjutnya...
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 25* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Syukurlah...Rohana mulai sadar dan jadi baik hati, rela memberi, tidak serakah lagi. Semoga cepat kembali ke keluarganya dalam keadaan baik ya...ππ
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...sehat selalu.πππ
Alhamdulillah kiranya Rohana mau insyaf. Tapi... Who knows?
ReplyDeleteKiranya benar, Rohana menyadari kesalahannya. Kalau orang Jawa ada laku 'topo ngrame' yaitu berbuat kebaikan, menolong orang yang perlu ditolong.
ReplyDeleteMungkin di episode yad, kisah Rohana berbuat kebaikan dan diakhir cerita yang bahagia.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteWah Rohana benar-benar mau tobat, semoga terus menjadi pribadi yang lebih baik.
Salam sehat dan sukses selalu untuk bu Tien,
Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 25" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πππ·π·π©·π©·
ReplyDeleteAlhamdulilah tanda tanda peeubahan kearah yang lebih baik sdh terlihat pada diri rohana
Alhamdulillah... sudah menikmati cerita aduhaii.. dari bunda Tien.
ReplyDeleteSehat selalu, bahagia senantiasa dan aduhaii
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun
ReplyDeleteMulai mengandung bawang nih...
ReplyDeleteTerharu atas sikap Bu Rohanaπππ
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
ReplyDeleteSenangnya sikap Rohana yg penuh kasih,,, terharu bacanya, seolah di depan mata kejadian itu.
Aduhaiii Bu Tien buat jd nangis π
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Sehat2 Bu Tien, terima kasih atas cerbung nya aduhai ....
ReplyDelete