MASIH ADAKAH MAKNA 24
(Tien Kumalasari)
Pak Drajat melangkah dengan terpincang-pincang. Kaki yang tersandung akar pohon itu masih terasa nyeri. Ia terus memanggil-manggil nama Rohana, tapi orang yang dipanggil sudah lenyap bagai tertelan bumi.
“Rohana!”
Tak ada orang yang dimaksud. Banyak orang menatap pak Drajat dengan heran. Rupanya Rohana memiliki ilmu halimunan. Ia bisa menghilang saat ada orang yang memburunya.
Indira yang sudah keluar dari toko mencari sang kakek di tempatnya semula, tapi tak kelihatan. Ia mencari ke sana kemari, lalu melihat sang kakek berjalan terpincang-pincang.
“Kakek! Kakek kenapa?”
Indira menatap sang kakek dengan rasa khawatir.
“Kakek kenapa?”
“Mana perempuan itu? Kok tiba-tiba menghilang?”
“Perempuan yang mana Kek? Kenapa tiba-tiba kakek mencari seorang perempuan. Lalu kenapa Kakek jalan terpincang-pincang?”
Pak Drajat berhenti melangkah, lalu melihat sebuah bangku di depan sebuah toko. Pastinya bangku tukang parkir yang berjaga di depan toko itu.
“Numpang duduk sebentar ya Nak,” katanya kepada si tukang parkir.
“Silakan Pak, silakan,” jawabnya ramah.
Indi berjongkok untuk melihat kaki kakeknya yang kelihatannya sakit.
“Tidak apa-apa. Hanya terantuk batu. Agak nyeri, tapi sudah berkurang. Jangan khawatir.”
“Sebelah mana yang sakit?”
“Ini, sebelah kiri,” kata kakek Drajat sambil menggulung celananya sedikit ke atas.
Indira melihat noda kebiruan di kaki sang kakek.
“Memar Kek.”
“Iya, hanya memar. Nanti cari obat gosok, pasti sembuh.”
Indira berdiri. Beruntung ada toko obat di dekat tempat itu. Ia bergegas pergi ke toko tersebut, membeli obat gosok untuk memar.
Ketika dia datang kembali, sang kakek malah memarahinya.
“Aku sudah bilang tidak apa-apa. Di rumah ada obat gosok yang aku bawa. Mengapa kamu repot-repot beli segala."
“Kakek jangan bandel ya, ini harus segera diobati, agar tidak terlanjur jadi bengkak,” omel Indira sambil mengangkat celana kakeknya, lalu menggosok memar itu dengan obat yang dibelinya.
“Dingin rasanya.”
“Ini obat memar yang bagus, harganya tidak murah.”
Pak Drajat terkekeh mendengar omelan cucunya. Tapi ia merasa lebih nyaman.
“Lebih enak, ayo kita jalan lagi,” kata pak Drajat.
“Bener, tapi aku nggak mau jalan kalau jalannya masih terpincang pincang, ayo naik mobil saja.”
“Tunggu, aku belum cerita tentang Rohana,”
“Rohana? Maksud kakek, Rohana nenek Indira?”
“Iya, memang ada berapa biji Rohana yang aku kenal?”
“Kok biji sih kek, memangnya barang? Baiklah, nenek Rohana. Kakek ketemu dia?”
“Tadi aku terjatuh, susah bangun karena menahan sakit. Tiba-tiba ada yang membantu menarik lenganku. Trus dia juga mengembalikan dompetku yang jatuh. Setelah aku lihat, dia tuh Rohana. Tapi begitu memberikan dompet langsung kabur. Aku kejar dia, nggak ketemu. Habis mengejarnya dengan kaki terpincang-pincang, sedangkan dia bisa lari secepat angin.”
“Bukankah nenek ada di rumah om Satria?” tanya Indira yang rupanya belum mendengar kalau neneknya kabur, karena Tomy tidak mengatakan kepada siapapun di rumahnya.
“Tapi dia keluyuran di tempat ini. Lagi jalan-jalan atau bagaimana. Tapi sepertinya dia sendirian."
“Sebentar Kek, aku telpon Tegar dulu.”
Indira segera menelpon Tegar, tapi jawabannya membuatnya terkejut.
“Nenek kabur? Kapan?”
“Nggak tahu, pagi hari begitu ibu bangun, nenek sudah tidak ada di kamarnya.”
Lalu Tegar juga mengatakan bahwa nenek Rohana meninggalkan semua barang yang kemarin dibelinya bersama ibunya dan ibu Monik.”
“Barusan kakek melihatnya. Tapi sudah kabur lagi. Tadi dia menolong ketika kakek terjatuh dan mengambilkan dompet kakek yang terjatuh. Kakek memanggilnya tapi tampaknya dia enggan bertemu kakek.”
Indira menutup ponselnya setelah mengatakan alamat di mana kakeknya melihat sang nenek.
“Nenekmu? Jadi benar dia pergi sendiri dan tidak ada yang menemani. Jadi dia kabur?”
“Nenek sangat aneh. Kata Tegar tadi, nenek meninggalkan barang yang kemarin dibelinya bersama ibu dan ibu Minar.”
“Maksudnya apa?”
“Nggak tahu,” jawab Indi sambil mengangkat bahunya.
“Tadi aku ingin mengucapkan terima kasih karena dia sudah menolong aku, dan juga mengambilkan dompetku yang terjatuh. Entah mengapa dia pergi begitu saja.”
“Ya sudah Kek, ayo kita ke mobil saja, biar Indi yang membawa mobilnya."
“Aku mau mampir ke rumah seseorang.”
“Iya, katakan saja alamatnya, Indi antar kakek sampai ke sana.”
“Ke kantornya saja. Kemarin dia bilang kalau hari ini ada di kantornya.”
“Baik, ayolah.”
Indira akhirnya merasa lega karena sang kakek sudah bisa berjalan tegak. Kakek Drajat memang gagah. Sudah tua masih tampak perkasa. Indi mengaitkan tangannya di lengan sang kakek, dan pak Drajat mengacak rambut cucunya lembut. Seorang kakek yang keras, tapi sebenarnya punya banyak rasa kasih sayang, bukan hanya kepada kerabatnya, tapi kepada semua orang. Buktinya dia berteriak memanggil Rohana hanya untuk mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Sayang Rohana kabur.
***
“Ke mana kita Kek, ini sudah sampai di jalan yang Kakek katakan,” kata Indi yang menyetir mobil kakeknya.
“Terus saja, lurus, masih agak jauh. Setelah melewati perempatan itu. Dua rumah kiri jalan, ada kantor besar. Itu punya sahabatku, tapi dia sudah setua aku.”
“O, sahabat Kakek masih aktif di kantornya?”
“Seperti kakek ini, hanya kadang-kadang meninjau kantornya, yang sekarang sudah diserahkan kepada cucunya. Persis seperti kakek kan?”
“O, begitu?”
“Apakah dia masih gagah seperti Kakek?”
“Kamu ada-ada saja, mana bisa orang seumur kakek masih gagah?”
“Menurut Indi, kakek itu masih gagah dan tampan.”
Pak Drajat terkekeh.
“Nanti kakek beri kamu hadiah, karena telah memuji kakek, setelah mengobati kaki kakek yang lebam.”
“Horeeee, hadiahnya apa Kek?”
“Kamu mau apa?”
“Kakek sudah banyak memberi hadiah untuk Indi. Indi tidak ingin apa-apa lagi. Semuanya sudah cukup.”
“Benar?”
“Benar.”
“Tapi kakek tetap akan memberi kamu hadiah.”
“Hadiah apa Kek?”
“Seorang calon suami yang pasti tidak mengecewakan.”
Indi mengerem mobilnya tiba-tiba sehingga membuat sang kakek hampir terantuk dashboard di depannya.
“Indi! Gara-gara kamu sudah punya obat memar yang manjur, maka kamu ingin membuat kening kakekmu ini menjadi matang biru pula?” tegur sang kakek, setengah marah.
“Maaf Kek, habis Indi kaget mendengar Kakek mau memberi Indi seorang calon suami,” kata Indi yang kemudian menjalankan kembali mobilnya.
“Memangnya kenapa? Kalau orang tua memilih itu sudah pasti tidak akan mengecewakan. Oh ya, apa kamu sudah punya pacar, seperti yang dikatakan kakakmu tadi?”
“Belum Kek, Indi belum punya pacar.”
“Nah, apa lagi? Sudah diam. Kita hampir sampai tuh.”
Pak Drajat menunjuk ke arah sebuah kantor besar, lalu meminta Indi memasukkan mobilnya ke halaman.
“Ayo turun, ikut kakek,” titah sang kakek.
Indira turun, berjalan perlahan mengikuti sang kakek. Seorang satpam yang berjaga kemudian berdiri mengangguk.
“Dengan Bapak Drajat?”
“Ya.”
“Dipersilakan masuk, bapak sudah menunggu.”
Pak Drajat mengangguk, diikuti Indira yang karena kecantikannya, membuat dahi sang satpam terantuk pintu gara-gara memandanginya dan tidak melihat di mana persisnya pintu masuk pos penjagaan itu.
Pak Drajat memasuki sebuah pintu dengan tulisan Direktur Utama. Di dalam, ada seorang laki-laki gagah dan seorang wanita cantik, lalu ada pula seorang lagi laki-laki tua yang pastinya itulah yang dimaksud sang kakek adalah sahabatnya.
“Mas Drajat,” sapa laki-laki setengah tua itu.
“Apa kabar Rat? Kamu masih kelihatan gagah setua ini,” puji pak Drajat sambil berpelukan.
Dia memang pak Ratman. Pengusaha kaya sahabat pak Drajat, di mana dulu Tomy pernah menjadi sopir di perusahaannya.
“Mas ada-ada saja. Ini Kartika, masih ingat kan?”
“Apa kabar Om?” Kartika mencium tangan pak Drajat.
“Kamu semakin cantik saja.”
“Ini Pratama, suami Kartika.”
Laki-laki yang disebut Pratama juga menyalami pak Drajat dengan penuh hikmat.
“Keluarga yang harmonis dan bahagia,” kata pak Drajat.
“Ini Indira, yang Mas ceritakan semalam?”
“Iya, ini anak Tomy juga, namanya Indira.”
Indira menyalami semua yang hadir dan menatap Indira dengan kagum.
Kartika juga menatapnya. Indira mirip sekali Tomy, laki-laki yang dulu menjadi sopir ayahnya, dan membuat dirinya jatuh cinta. Sayang sekali cinta itu bertepuk sebelah tangan karena Tomy sudah beristri, dan beranak dua. Ini salah satu anak Tomy.
“Indira, kamu cantik sekali,” puji pak Ratman, sahabat pak Drajat.
“Mana cucumu yang kamu ceritakan itu?”
“Sebentar, dia baru ada urusan dengan stafnya, tapi sebentar lagi pasti datang kemari. Aku sudah memanggilnya. Ayo, silakan duduk. Kartika, ambilkan minum untuk tamu-tamu kita, mengapa bengong?” tegur pak Ratman.
Kartika tertawa dan tersipu.
“Iya, lagi bengong melihat calon menantu Kartika. Dia cantik sekali bukan Mas?” katanya kemudian kepada suaminya, yang disambut sang suami dengan acungan jempol.
Indira merasa seperti disengat lebah. Calon menantu? Jadi ini yang dikatakan sang kakek akan memberi hadiah calon suami? Indira menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Enak saja menyebut calon menantu. Belum tentu juga dia suka.
“Kakek ada-ada saja,” gerutu Indira dalam hati, karena tak berani menyangkalnya.
“Anakmu juga ganteng, aku sudah melihat fotonya yang dikirimkan ayahmu beberapa hari yang lalu.”
“Itu dia datang,” seru pak Ratman, yang membuat semua orang menoleh ke arah pintu. Tak terkecuali Indira.
“Dia?” tanpa sadar Indira memekik. Dia, laki-laki berkumis itu yang dijodohkan kakeknya?
“Sudah selesai urusannya?” tanya pak Ratman.
“Beres Kek. Ini … ternyata ada tamu... eh .. Indira?” Laki-laki itu adalah Azka. Mereka saling pandang dan kemudian membuat orang-orang disekitarnya bengong.
“Kalian sudah kenal?” tanya mereka hampir bersamaan.
“Sudah, tapi belum lama. Dia … teman baik Azka,” jawab Azka sambil duduk mendekati Indira, tanpa sungkan.
“Ini yang namanya jodoh, ini jodoh,” pak Ratman terkekeh senang.
Pak Drajat menatap Indira yang masih saja menunduk, apalagi ketika Azka menatapnya dari dekat. Tatapan yang penuh arti.
“Apa kalian tahu bahwa kalian sudah dijodohkan?” tanya Pratama.
“Azka bukannya tahu, tapi merasa bahwa sedang dijodohkan, tapi tidak tahu dengan siapa. Ternyata sama dia,” kata Azka sambil menatap Indira, dan terus menatapnya.
“Apa kamu keberatan?” kali ini pak Drajat yang bertanya.
“Tidak. Mengapa keberatan? Azka menyukai dia sejak awal bertemu dia,” kata Azka tanpa sungkan. Tapi Indira benar-benar merasa malu. Bagaimana Azka bisa begitu lancar mengatakan isi hatinya?
“Indira, kamu sudah melihatnya bahkan sudah mengenalnya. Apakah kamu ingin menolak?” tanya pak Drajat kepada cucunya.
“Kakek, ini terlalu tiba-tiba. Indira sudah tahu bahwa Azka itu umurnya jauh di bawah Indira. Apakah hal itu tidak menjadi halangan?” kata Indira pelan.
“Kakek tidak bertanya tentang umur. Kakek bertanya apakah kamu suka?”
“Kakek … “ Indira gelagapan untuk menjawabnya.
Bagaimana sih sang kakek ini, mengapa menanyakan isi hatinya dihadapan banyak orang? Malu dong. Itu kata hati Indira.
“Kamu menolak aku? Ini jodoh yang diberikan orang tua. Menolak bisa kualat,” canda Azka dengan tersenyum lucu.
“Jawabnya nanti saja,” kata Indira.
Pak Drajat terkekeh.
“Indira seorang gadis, tentu saja malu mengakui apa yang ada di dalam hatinya. Yang penting ini kemauan para kakek, dan kalian boleh saling berbicara setelah ini. Bukankah begitu Rat?”
“Tentu saja Mas, Indira bukan gadis gampangan, nanti Azka yang akan merayunya, bukan begitu Az?” tanya pak Ratman kemudian kepada cucunya.
Perbincangan itu kemudian menjadi hangat, setelah mereka saling bercerita tentang pengalaman masa lalu mereka.
***
Binari baru saja mengantarkan sang ayah sampai ke depan, ketika sang ayah berangkat berjualan. Dia segera masuk ke rumah untuk membersihkan dapur, kemudian pergi ke sekolah.
Tapi tiba-tiba ia mendengar langkah kaki seseorang. Ia menoleh, dan melihat wanita yang dikenalnya. Rohana.
Wajah Binari langsung muram, karena ia merasa bahwa wanita ini pasti akan membuatnya repot.
Tapi ketika sudah dekat, Rohana tersenyum, sambil memberikan bungkusan kepada Binari.
“Ini apa?”
“Tadi diberi orang arem-arem, beberapa biji, lalu ingat kamu. Aku sudah makan dua, sisanya untuk kamu.”
Binari tertegun, Rohana memberi makanan? Bukan seperti biasanya di mana dia selalu minta makanan?
“Terima saja, apa kamu takut kalau-kalau aku meracuni kamu?”
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteTrmksh mb Tien
DeleteYes
ReplyDeleteYeeiii... akhirnya datang juga. Matur nuwun Mbak Tien
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteAkhirnya berhasil juga tayang gak terlalu malam....
Matur nuwun Bu Tien....... 🤝🤝🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteeMAaeM 24...telah tayang
Matur sembah nuwun Mbak Tien
Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍
Salam ADUHAI..dari Bandung
🙏😍💐🌹
alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Alhamdulillah, mtr nwn bu Tien 🙏
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah "Masih Adakah Makna 24" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeleteSemoga Rohana sadar dan terus menjadi orang baik
Matursuwun b Tien
ReplyDelete🦋🌻🦋🌻🦋🌻🦋🌻
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
eMAaeM_24 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍
🦋🌻🦋🌻🦋🌻🦋🌻
Suwun buTien ...semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah , matur suwun ibu 🙏🏻
ReplyDeleteAlhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 24, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 24* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Alhamdulillah... terimakasih Bunda
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~24 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteSalam sehat penuh berkat .
Selamat malam bunda..terima ksih cerbungnya..slm istrht dan salam aduhai sll dri skbmi 🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien Kumalasari, rupanya Rohana kepingin jadi orang baik , benarkah bunda ?
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin ..
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 24 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Dari mana datang nya lintah,...dari sawah turun ke kali. Dari mana datang nya cinta,...dari mata turun ke hati.
Amboi senang nya Indira dan Azka, di jodohin sama kakek dan kakek, hati mereka ber bunga bunga, serasa dunia hanya milik mereka..😁
Alhamdulillah...... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien, sehat selalu dan aduhaii...
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah terbit "masih adakah makna 24" Maturnuwun bu Tien, salam sehat penuh semangat dan aduhaiii
ReplyDeleteKebetulan sekali Indira dijodohkan dengan Azka. Dan begitulah adat Jawa, gadis pasti malu" kalau 'ditari rabi'...
ReplyDeleteBagaimana ya nasib Rohana, biasanya mbak Tien suka menyulap orang jahat jadi baik.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah, sehat selalu nggih Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia selalu....
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteAyo Indi kamu g bisa nolak Azka kan 😁 ternyata sdh dijodohkan
Apakah Rohana akan berubah?
Sebaiknya Rohana gimana mbak Ning?
ReplyDeleteWalaah...nampaknya kok Rohana mendekati pak Trimo ya? Kalau nanti berjodoh, seru nih...ternyata Azka cucu pak Ratman yg pernah dirayunya.😅😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam hormat!🙏😘😘
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Terimakasih Mbak Tien..
ReplyDelete