MASIH ADAKAH MAKNA 23
(Tien Kumalasari)
Satria panik. Ia masuk ke dalam, melongok ke kamar mandi sambil memanggil-manggil nama ibunya, tapi kamar mandi itu kosong. Ia keluar memanggil istrinya.
“Minar … Minar …”
“Ada apa sih Mas? Aku mau nyiapin makan pagi untuk kita dan ibu. Mas mandi dulu sana.”
“Ibu tidak ada di kamarnya.”
“Apa? Tidak ada di kamarnya?”
Minar bergegas masuk ke dalam kamar. Kamar itu kosong, sedangkan baju yang semula dipakai sudah teronggok di atas tempat tidur.
Di atas meja tergeletak perhiasan yang kemarin diberikan kepada sang ibu mertua. Sepatu baru masih ada di dalam kotaknya.
“Ibuu,” teriaknya.
Tapi seperti juga sang suami, dia tidak menemukan ibu mertuanya.
“Ibu pergi. Pintu depan terbuka. Gerbang depan juga terbuka,” kata Satria yang baru saja masuk ke dalam rumah, dari arah depan.
“Mengapa ibu pergi? Lihat Mas, semua yang kemarin dibeli, ditinggalkannya di dalam kamar."
Satria melihatnya, dan sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya maksud ibunya dengan pergi tiba-tiba, padahal semua keinginannya dituruti, tak ada yang membantahnya. Ia juga tahu Minar sangat menghormatinya walau sang ibu selalu berkata kasar.
Satria duduk di teras, sambil memegang ponsel. Ia harus mengabari Tomy. Minar yang berjalan dari arah luar tampak lesu.
“Tidak ada bayangan ibu. Pasti sudah pergi sejak lama. Bahkan ketika kita belum bangun.”
Keduanya duduk berhadapan, tak tahu apa yang harus dilakukan. Satria sudah mengabari Tomy, dia juga belum bisa mengatakan apa yang harus dilakukan.
“Lapor polisi lagi? Nanti kalau ketemu, lalu apa yang akan dilakukan ibunya? Pasti kabur lagi, karena ternyata ibu benar-benar tak ingin bersama anak cucunya,” gumam Satria setelah menelpon Tomy.
“Mas ingat apa yang diucapkan ibu dalam mengigau tadi malam?”
“Ibu ketakutan karena mengira akan ditangkap polisi? Ada lagi … ibu mengambil uang pak Trimo penjual nasi liwet?” kata Satria.
“Pak Trimo juga mengatakan kalau dia baru saja kehilangan uang. Jadi maksudnya … ibu yang mengambilnya? Lalu ibu terbayang-bayang tentang pencurian yang dilakukannya, takut ditangkap polisi?”
“Ya Tuhan … ya Tuhan …” Satria mengusap wajahnya dengan kasar. Sedih membayangkan semua yang dilakukan ibunya.
“Tak mungkin igauan itu hanyalah karena bunga mimpi. Saat ini ibu sedang gelisah. Apalagi di rumah sakit tadi malam, Indira seperti menuduhnya mengambil atau menemukan tasnya, dan menguras isinya, membuang dompetnya, memberikan tas itu kepada anak pak Trimo, tapi menyimpan parfumnya karena dia suka.”
“Parfum itu yang menjadi masalah, dan ibu kebingungan karena terlanjur bilang bahwa tas itu diberi orang. Lalu orang itu juga memberinya parfum? Ibu tampak kebingungan mencari jawaban,” lanjut Satria.
“Setelah itu sikap ibu sangat berbeda. Ia tak banyak berkata-kata. Ia juga tidak mau makan di rumah makan, di rumahpun tidak. Ia langsung masuk kamar dan tidur. Apakah ibu sadar apa yang dia igaukan, dan benar-benar ketakutan kalau sampai ditangkap polisi?”
“Mengigau … tapi sadar? Mungkinkah?” gumam Satria.
“Aku mau mandi dulu dan berangkat ke kantor, nanti bersama Tomy akan aku pikirkan apa yang harus kita lakukan,” lanjut Satria sambil bangkit dan beranjak ke kamarnya.
Minar menyiapkan sarapan untuk suaminya.
“Hal yang paling aku takutkan adalah kalau ibu melakukan hal-hal buruk, seperti mencuri dan menipu, yang kemungkinan besar pernah dilakukannya,” gumam Minar sambil berkutat di dapur. Tegar yang kemudian menyusul ke dapur, menanyakan apa yang terjadi. Iapun terkejut mendengar neneknya kabur. Tapi untuk mencarinya lagi, hal itu harus dipikirkannya masak-masak. Belum tentu kalau ketemu kemudian sang nenek bersedia kembali.
***
Pak Drajat senang, sang cucu sudah kembali dari rumah sakit. Ia melarangnya segera masuk ke kantor, sampai kakinya benar-benar pulih.
“Tapi bosan di rumah terus Kek, Boy ingin ke kantor, walau hanya duduk-duduk dan membaca-baca laporan.”
“Bapakmu bisa melakukannya. Kamu lupa apa kata dokter, bahwa kamu masih harus istirahat untuk beberapa hari lagi?”
Hari itu Tomy ke kantor pagi-pagi. Ia ingin ke kantor Satria dan berbicara tentang ibunya yang kabur dari rumah Satria. Tapi Tomy tak mengatakan kepada sang ayah tentang hal itu. Ia tahu ayahnya tak akan peduli pada bekas istrinya yang telah berkali-kali membuatnya kesal.
Indira membawakan buah pisang kesukaan sang kakek, meletakkannya di meja.
“Kek, tapi Indira juga ingin bekerja. Bolehkah membantu mas Boy di kantor?”
“Apa kamu sudah siap untuk bekerja?”
“Indi sudah selesai kuliah. Di rumah terus juga membosankan.”
“Nanti belajar sama kakakmu. Kakek akan mengawasi kalian dari jauh. Tapi kakek juga akan lebih sering datang kemari.”
“Indi senang kalau ada Kakek,” kata Indi sambil menggelendot ke bahu kakeknya.
“Kamu sudah dewasa, masih suka bermanja-manja seperti anak kecil. Kamu serius ingin bekerja?”
“Yah, kakek … Indi bermanja-manja kan karena ada Kakek.”
“Indi sudah punya pacar Kek,”celetuk Boy.
“Benarkah?” tanya sang kakek sambil menatap tajam cucunya.
“Bohong Kek. Mas Boy yang sudah punya pacar.”
“Kalian sudah dewasa, tidak apa-apa kalau sudah punya pilihan, Tapi jangan sampai salah memilih. Jangan asal ganteng dan cantik. Ganteng dan cantik wajahnya, tapi harus ganteng dan cantik hatinya. Kamu mengerti?”
“Ya, Kakek,” sahut kedua cucunya hampir bersamaan.
“Kakek masih akan ada di sini beberapa hari. Ajak pacar-pacar kalian kemari, kakek mau mengenalnya.”
Boy tersenyum. Ia punya pilihan yang belum diucapkannya. Tapi Indi kebingungan. Pacar yang dituduhkan Boy kepadanya adalah Azka. Laki-laki muda berkumis tipis yang umurnya lebih muda darinya. Pacar? Ia tahu Boy hanya ingin meledeknya. Ketemuan secara khusus saja belum, apalagi berbincang tentang cinta. Tertarik sih ada, bagaimana kalau terpautnya usia membuat pasangan menjadi tidak cocok? Indi kesal kepada dirinya, yang diam-diam punya perasaan khusus sejak Azka mengembalikan dompetnya.
“Indi, kamu seperti kebingungan? Tidak seperti Boy yang tersenyum-senyum senang. Kamu masih ragu-ragu pada pacar kamu? Ajak dia kemari, biar kakek lihat apakah dia laki-laki yang baik atau bukan.”
“Kakek, mas Boy hanya bercanda,” kata Indi.
“Tapi Indi selalu menceritakan anak muda itu dengan gembira.”
“Tuh, ngawur deh, mas Boy.”
Pak Drajat tertawa.
“Baiklah, kalian harus mendengar apa kata kakek. Ajak dia kemari agar kakek bisa mengenalnya. Kalau kelihatannya dia tidak baik, dilarang diteruskan,” kata sang kakek tandas.
“Bagaimana Kakek bisa tahu, dia baik atau tidak?” tanya Indi.
“Kakekmu ini sakti lhoh. Bisa menjenguk ke dalam hati orang,” canda pak Drajat sambil tertawa.
“Ya sudah Mas, Mia ajak kemari saja, biar Kakek tahu bagaimana isi hatinya, ya Kek?”
“Namanya Mia?”
“Kami belum berpacaran, baru kenal dekat,” kata Boy.
“Itu tetangga mas Boy waktu masih kecil. Suka sejak masih kanak-kanak,” sambung Indi.
“Oo, anak kecil itu, yang kata ibumu, kalau ibumu bekerja, kamu dititipkan di sana?”
“Bettuuul …. Kek,” Indi berteriak.
“Pokoknya kakek ingin kenal. Juga teman kamu itu.”
“Kami baru kenal. Tidak ada apa-apanya. Lagi pula dia lebih muda dari Indi.”
“Pokoknya kakek pengin tahu.”
“Besok Mia akan datang kemari. Kakek jangan ke mana-mana ya,” kata Boy.
“Kakek tungguin. Tapi sekarang kakek mau keluar dulu.”
“Kakek mau ke mana?”
“Ke kantor, lalu jalan-jalan sebentar.”
“Indi boleh ikut?”
“Boleh, ayuk … Tapi Boy di rumah saja, istirahat, sambil nungguin ibumu yang lagi belanja.”
“Baiklah.”
***
Rohana kabur dari rumah Satria dengan hati gundah. Perasaan yang belum pernah dirasakannya. Selama ini dia selalu menuruti kemauannya sendiri, tak harus bersedih biarpun sengsara menjadi orang jalanan. Dia juga selalu merasa benar, tak pernah peduli pada orang-orang di sekelilingnya.
Tapi sejak semalam, ia merasa menjadi orang yang sangat peka. Ada rasa sakit, ada rasa malu, ada rasa rendah diantara orang-orang disekelilingnya. Ia merasa tak punya arti, ia merasa bukan siapa-siapa.
Ketika ditemukan keluarganya, harusnya dia bahagia karena sangat diperhatikan. Waktu itu ia minta agar semua keinginannya dituruti. Ia menekan menantu-menantunya dengan permintaan yang sekarang dirasakannya sangat kelewat batas. Tapi tadi malam, ketika ia tak bisa berkilah tentang tas dan parfum itu, ia merasa tak berdaya. Ia tak bisa menjawabnya, lalu ia merasa asing diantara anak cucunya yang saling bertemu dan saling mengasihi. Lalu ia juga merasa tak punya arti. Ia sangat rendah, hina. Konyol dan memalukan. Ia pernah menipu, mencuri. Dan itu membuatnya ketakutan. Rohana menyesali semuanya. Menyesali jalan hidup yang dilaluinya. Menyesali hura-hura dan gempita kemewahan yang dipamerkannya ke mana-mana. Sekarang ia duduk di bawah sebuah pohon rindang, di jalanan yang sepi. Menyembunyikan wajahnya diantara dua lutut yang ditekuknya.
Perutnya melilit sakit, karena rasa lapar menggerusnya. Tapi ia tak ingin berdiri. Ia merasa sangat lelah. Lelah lahir dan batinnya.
Ia meraba tas bututnya yang untunglah belum dibuangnya ketika berada di rumah Satria. Masih ada uang dua puluhan ribu, hasil dari mencuci kaca-kaca mobil selama berhari-hari. Ia ingin membeli makanan untuk menghentikan rasa lapar yang mengganggunya. Tapi ia enggan berdiri. Ia masih merasa nyaman menyembunyikan wajah tuanya di antara kedua lututnya.
***
Boy sedang menunggu ibunya yang belum juga pulang dari pasar. Lalu ia menelpon Mia. Kakek Drajat sangat ingin melihat gadis yang dipilihnya. Boy belum pernah mengatakan cinta pada Mia, walau sikapnya dan sikap gadis itu sendiri tampak sangat akrab dan berbeda dengan teman biasa.
“Ya, mas Boy. Ini kamu kan?”
Boy terkejut. Ia masih melamun sementara sudah memutar nomor kontak Mia.
“Eh, iya. Maaf.”
“Ya ampun, menelpon sambil melamun ya, hayoo.. ngelamunin siapa?”
“Ngelamunin kamu.”
“Bohong.”
“Bener.”
“Oh ya Mas, ini sudah pulang ke rumah ya? Maaf tadi tidak ikut menjemput, soalnya ada yang tidak bisa aku tinggalkan.”
“Kamu mau ke rumah nggak?”
“Mau, tapi tidak hari ini. Besok ya Mas?”
“Baiklah, besok jam berapa? Soalnya mumpung kakek masih di sini.”
“Lhoh, apa hubungannya dengan kakek nih?”
“Kakek ingin berkenalan sama kamu.”
“Haaa? Kenapa?”
“Ya pengin kenal saja, siapa tahu kakek jatuh cinta sama kamu.”
Mia terkekeh geli.
“Masa kakek jatuh cinta sama aku? Tapi ngomong-ngomong kakek kamu ganteng nggak? Kalau ganteng aku mau kok.”
“Apa? Kamu mau sama kakek aku? Kakekku memang ganteng sih. Nggak usah datang aja. Cemburu dong kalau kalian saling jatuh cinta.”
Keduanya tertawa atas candaan konyol itu. Tapi Boy sangat senang, bisa membuktikan kepada sang kakek kalau esok hari gadis yang disukainya bisa datang untuk berkenalan dengan kakeknya.
Ketika sebuah mobil berhenti, Boy menyambutnya di pintu. Melihat belanjaan sang ibu sangat banyak, Boy ingin membantunya, tapi sang ibu melarangnya.
“Indi saja, jangan kamu. Nanti kamu jatuh kalau berjalan sambil membawa belanjaan.”
“Indi pergi sama kakek.”
“Oh ya, ke mana?”
“Kakek mau ke kantor sebentar, lalu mau jalan-jalan, katanya.”
“Oh, ya sudah. Biar ibu sendiri yang bawa.”
“Aku bantuin ibu di dapur ya?”
Monik tertawa.
“Kamu kesepian ya setelah pulang ke rumah?”
“Nggak ada kerjaan. Mau ke kantor nggak boleh sama kakek.”
“Baru hari ini pulang, kamu harus istirahat. Tapi kalau mau membantu memetik sayur, juga boleh. Ayuk.”
Boy mengikuti langkah ibunya ke dalam, langsung menuju dapur.
***
Pak Drajat dan Indira sedang berjalan-jalan. Mereka memasuki sebuah super market, tapi tidak membeli apa-apa. Indi hanya ingin beli makanan.
Ketika melewati sebuah toko roti, Indi minta ijin agar sang kakek menunggunya sebentar.
“Kamu mau beli roti?”
“Iya. Kakek mau roti juga? Tungguin di sini saja. Biar Indi sendiri yang masuk. Soalnya toko itu masuknya harus melalui tangga. Indi sudah tau kok, mana yang kakek suka.”
“Baiklah, nggak pakai lama ya.”
Indi bergegas memasuki toko, sedangkan pak Drajat menunggu di bawah sebuah pohon. Tapi ternyata Indi tidak hanya sebentar. Barangkali memilih ini … memilih itu, sehingga membutuhkan waktu yang lama. Pak Drajat kesal, kemudian beranjak menyusulnya. Tapi sebuah akar pohon yang menonjol, menyangkut sepatunya, sehingga membuatnya terjatuh. Jalanan itu agak sepi, susah payah pak Drajat berusaha berdiri. Tapi tiba-tiba sebuah tangan menarik lengannya, sehingga dia bisa berdiri. Ketika ia mau mengucapkan terima kasih, tangan yang membantunya mengulurkan sebuah dompet. Rupanya dompet pak Drajat terjatuh. Begitu menyerahkan dompet, orang itu berlalu. Pak Drajat baru sadar siapa yang menolongnya, dan mengembalikan dompetnya. Ia berteriak.
“Rohana!!”
***
Besok lagi ya.
Hore
ReplyDeleteTrmksh mb Tien, smg sht sll
Deleteππͺ»ππͺ»ππͺ»ππͺ»
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
eMAaeM_23 sdh tayang.
Matur nuwun nggih,
doaku smoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia.
Aamiin. Salam seroja. π
ππͺ»ππͺ»ππͺ»ππͺ»
Alhamdulillah
ReplyDeleteeMAaeM 23...telah tayang
Matur sembah nuwun Mbak Tien
Tetap sehat..Tetap semangaat .πͺπ
Salam ADUHAI..dari Bandung
ππππΉ
πππ£π£π£ππ
ReplyDeleteLari kemana ya Rohana....? ngunduh wohing pakarti, penuh kebohongan........
Alhamdulillah eps_24 sudah hadir, matur nuwun Bu Tien π
Yuk kita simak lanjutannya......
πππ£π£π£ππ
Maaf .... Ralat episode 23
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteMatur suwun Bu Tien.
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien cantiik. Salam sehat sekeluarga, yaaπ
ReplyDeleteAlhamdulilah "Masih Adakah Makna 23" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πππ·π·π©·π©·
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSlmt malam bunda .terima ksih Cerbung MAM nya .slm sht sll unk bundaππ₯°π
ReplyDeleteAlhamdulillah MAM sdh muncul. Terima kasih buTien yg baik.
ReplyDeleteRupanya ada tanda2 Rohana mau insyaf
Terima kasih, ibu.
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...π
Sehat selalu kagem bunda njih...
π€²π€²
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga selalu sehat
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~23 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..π€²
Pak Drajat ditolong Rohana.. pak Drajat orang yang baik hati pasti akan memaafkan Rohana yang sudah menjadi orang baik... semoga. Terimakasih bunda Tien, sehat selalu dan aduhaii kisahnya
ReplyDeleteAlhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 23, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSoga bunda Tien selalu sehat
Bisa jadi merupakan titik balik menuju kebaikan. Rohana sadar kelakuan buruknya selama ini.
ReplyDeleteTapi baru setengah jalan, jadi masih panjang ceritanya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu bersama keluarga, aamiin ..
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K
Semoga bunda selalu sehat bahagia dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin YRA
Salam hangat dari Banjarmasin
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 23* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Waah...ajaib banget...Rohana rela melepas semua pemberian anak2nya?π² Tanda2 pertobatan nih...π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sayang.ππππ
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 23 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Rohana mungkin merasa lebih cocok hidup di jalanan, bebas, leluasa, tdk ada yng ngatur. Kali ini dia jadi dewa penolong, mungkin ingin menebus semua kesalahan nya, dengan cara nya sendiri. Pak Drajat kaget, rupanya yang menolong nya, dia sdh kenal siapa orang nya.
Rohana oh Rojana, semoga sisi baik mu bertambah banyak, dengan sering menolong orang lain.
Akankah p Drajat kembali dg Rohana?
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu, semakin aduhai.
Matur suwun ibu ππ»
ReplyDeleteAlhamdulillah .... hatur nuhun.
ReplyDeleteAlhamdulillah jatur nuhun.
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°
ReplyDeleteKok jd terharu ,. Benarkah Rohana akan menjadi baik,,,π
Alhamdulillah. Salam sehat selalu Bu Tien π
ReplyDeleteMks bun MAM 23 sdh tayang, selamat malam, sehat" ya bun, dan bahagia bersama kelrg tercinta
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, retap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAlhamdulillah sudah tayang MAM 23, Rohana sudah sadar, semoga jadi lebih baik.
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien. Salam sehat selalu dan salam aduhaii
Alhamdulillah "Masih Adakah Makna-23" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tin, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Slsm Aduhai
Alhamdulillah Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteRohana lagi "mugso"....
ReplyDeleteMenyesali segala kesalahan dan keburukannya....
Menyesali segala keinginannya yang nggak bener...
Menyesali segalanya yang menyimpang nari naluri kewanitaannya.....
Semoga "mugso"nya sempurna....
Matur nuwun Bu Tien....
Semoga Bu Tien sekeluarga sehat selalu...
Aamiin....
Panas
ReplyDeleteHatur nuhun bundaπ
ReplyDelete