MASIH ADAKAH MAKNA 22
(Tien Kumalasari)
Indira agak lama menyalami sang nenek. Hidungnya mengendus-endus seperti kucing. Rohana berusaha melepaskan tangannya yang digenggam erat oleh Indira.
“Eh, kenapa kamu ini?”
“Nenek, Indi mencium bau parfum Indi pada nenek. Nenek punya parfum bagus, seperti milik saya yang hilang."
"Apa?"
"Iya Nek, parfum nenek sama seperti parfum Indi. Tapi parfum itu hilang bersama tas Indi yang terjatuh ketika mas Boy mengalami kecelakaan."
"Apa?" Rohana merasa seperti tersengat lebah. Ia menatap tas merah yang tergantung di lengan Indi. Tentu saja Rohana mengingatnya. Pak Trimo pernah mengatakan bahwa tas itu sudah kembali kepada pemiliknya, ketika keluarga Satria datang untuk makan, bersama keponakannya. Indira. Ya, mengapa Rohana bisa lupa? Sekarang ia sedang mencari jalan untuk memberi alasan.
“Tas itu? Mm … ya, tas itu aku yang menemukannya.”
“Pak Trimo bilang, nenek diberi oleh orang kaya.”
Monik menarik tangan Indi yang dengan ucapannya mengandung sebuah tuduhan yang menyudutkan Rohana.
“Sudah, Indi. Yang penting tasnya sudah ketemu. Ada apa kamu ini?”
Rohana terdiam. Ia menyesal datang ke rumah sakit, kalau saja ia tahu ada salah seorang cucunya yang mengenali parfum yang dia pakai.
“Indi hanya ingin tahu, bagaimana nenek menemukan tas dan bisa memakai parfum Indi.” Indi masih nekat.
“Yaa … ya, memang aku diberi orang kaya.”
“Tas dan isinya? Ada dompet berisi uang, ada ponsel, dan ada parfum.”
“Itu … sebenarnya aku … “
“Jangan bilang orang kaya itu juga memberikan parfumnya juga kepada nenek,” lanjut Indi, lalu Monik mencubit lengannya pelan.
“Kalau kamu mau mengambilnya, nih … aku berikan parfumnya,” kata Rohana sambil membuka tas bututnya yang kemudian disadarinya dia tadi lupa minta tas baru kepada Minar dan Monik. Lalu diambilnya sebuah botol parfum.
Indira tersenyum.
“Ini memang parfum Indi. Tapi Indi tidak memintanya. Kalau nenek suka. Pakai saja.”
Rohana memasukkan kembali botol parfum itu ke dalam tasnya.
Monik menarik tangan Indi, menjauh dari mereka yang sedang berkumpul, lalu duduk mengitari Boy yang sudah duduk di tepi ranjang, dan menerima pelukan dari para kerabatnya.
Indi cemberut, ketika sang ibu menariknya.
“Kamu ini Indi, mengapa mempermalukan nenek?” tegurnya pelan.
“Bu, Indi hanya ingin tahu, bagaimana nenek menemukan tas Indi dan bagaimana ‘nasib’ isinya yang lain.”
“Semuanya sudah selesai. Dari jawaban nenek, kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi.”
“Benar, Indi sudah tahu, nenek berbohong. Dia menemukan tas Indi yang waktu itu entah bagaimana, bisa terjatuh. Lalu mengambil isinya dan membuang dompetnya sembarangan. Tidak mungkin orang memberi tas dan parfum itu kepada nenek begitu saja. Dia bohong.”
“Sudahlah, lupakan itu. Ikhlaskan yang sudah hilang dan jangan mempermalukan nenek lagi,” kata Monik yang kemudian menarik tangan Indi untuk mendekati semua orang.
Dilihatnya wajah Rohana yang tegang. Ia ikut duduk dengan alis berkerut, tak menanggapi perkataan para cucunya yang bersahutan menyatakan kegembiraannya karena Boy sudah lebih baik dan besok hari akan pulang ke rumah.
“Kakek datang tadi siang, besok mau menjemput Boy.”
Mendengar perkataan Boy, hati Rohana semakin menciut. Ia merasa kecil diantara mereka. Ada kakek Drajat yang membencinya dan selalu bersikap keras kepadanya, dan membuat dia tak akan berani menginjakkan kakinya di rumah Tomy. Kalau bekas suaminya itu ikut campur, maka dia tak akan bisa berkutik.
“Kelihatannya ibu lelah, aku pamit pulang dulu ya,” kata Satria kepada Boy.
“Apa besok nenek ikut menjemput Boy?” tanya Boy yang membuat Rohana terkejut. Dia menjemput, dan sang bekas suami juga akan menjemput? Dia akan pingsan karena direndahkan.
Tapi dia tidak menjawab. Dia hanya menggoyang-goyangkan tangannya, lalu melangkah mengikuti Satria dan istrinya keluar dari kamar.
Tak ada rangkulan seorang nenek kepada cucunya yang sudah puluhan tahun tak pernah dilihatnya. Tak ada rasa prihatin atau ucapan menanyakan mengapa hal itu bisa terjadi. Lalu Rohana merasa bahwa dirinya seperti bukan bagian dari keluarga itu. Sambil berjalan mengikuti Satria, Rohana berpikir, apakah sebaiknya dia pergi saja dan hidup di jalanan, karena tak akan ada yang mengaturnya dan membuatnya sakit hati. Apalagi setelah bertemu Indi yang mempertanyakan tentang parfum itu. Baru kali itu Rohana merasa tak berkutik, kehilangan kata-kata bohong yang pantas dikeluarkannya. Ia sudah mengatakan diberi orang, bagaimana ia akan mencabut ucapannya?
***
Mobil Satria menembus malam dengan keramaian yang memenuhi suasana di kota Jakarta. Ia berharap ibunya akan senang.
“Mas, sepertinya ibu sudah lapar. Bagaimana kalau kita cari makan dulu?” kata Minar mengingatkan suaminya.
“O iya, Ibu ingin makan apa?” tanya Satria.
“Aku pusing, ingin pulang saja. Maksudnya, kembali ke rumahmu,” kata Rohana yang kemudian meralat kata 'pulang' dan menggantinya dengan ‘kembali kerumahmu’.
Satria tertawa.
"Mengapa Bu? Rumah Satria juga rumah Ibu. Jadi sudah benar kalau ibu mengatakan ingin pulang.”
Satria tidak menanyakan perihal kepergian Rohana ke rumah Tomy untuk tinggal, karena Minar sudah menceritakan semuanya. Ia juga tahu sang ibu sedikit ‘gentar’ bertemu bekas suaminya itu.
“Terserah apa kata kamu saja," jawab Rohana singkat.
“Jadi ibu tidak ingin makan di luar? Kita cari yang enak, yang sekiranya ibu suka, ya,” kata Minar lembut untuk membujuk ibunya.
“Kamu tidak mendengar kalau kepalaku pusing?” kata Rohana menyentak, membuat Minar terdiam seketika.
“Ya sudah, kita pulang agar ibu bisa beristirahat ya,” kata Satria sambil menepuk tangan Minar, sebagai isyarat agar sang istri tidak tersinggung. Tapi Minar menatapnya sambil tersenyum. Ia sudah kebal mendengar kata kasar ibu mertuanya, jadi dia tak menanggapinya.
Akhirnya Satria memutar mobilnya, menuju pulang.
***
Ketika Tomy pulang, sang ayah sedang duduk di ruang tengah, menyaksikan acara televisi. Monik segera ke belakang untuk membuatkan minum, sementara Tomy langsung duduk di depan sang ayah.
“Apa kamu tahu, tadi ibumu datang kemari?” tanya pak Drajat tiba-tiba.
“Tidak, sama siapa?”
“Diantar Minar. Apa Minar tidak cerita?”
“Tidak. Tadi ketemu ibu, juga tidak mengatakan apa-apa.”
“Aku peringatkan kamu, jangan sampai ibumu kembali ke rumah ini. Kamu jangan sakit hati karena dia memang ibu kamu. Tapi aku tidak ingin perangainya mempengaruhi perasaan anak-anak kamu. Dia sudah lama menjadi orang jalanan, tapi aku masih melihat perangai buruk masih melekat padanya.”
“Monik sudah menceritakan semuanya pada Tomy. Tadi siang dia mengantarkan ibu belanja bersama Minar juga.”
“Aku melihat dandanannya, agak aneh. Sepertinya dia ingin tinggal di rumah ini, tapi diurungkannya ketika melihat aku.”
Tomy menundukkan mukanya. Ia juga sudah mendengar dari Indira tentang perlakuan sang ibu. Barangkali juga Indira sudah mengadu kepada kakeknya, yang datang ke rumah sakit ketika Indira masih ada di sana.
“Kalau kamu sakit hati karena dia ibumu, aku minta maaf. Tapi bukan berarti aku ingin agar kamu membenci ibumu. Entah apa yang akan membuatnya berubah. Ibumu perempuan yang luar biasa. Dalam waktu sekian tahun, dia bisa menghabiskan uang ber milyar-milyar, yang kalau aku yang menjalankannya, sudah bisa untuk berbisnis yang menghasilkan. Untuk apa semua itu? Hanya dihambur-hamburkan, agar dia selalu kelihatan kaya dan mentereng. Lalu sekarang apa? Dia hanya menjadi gelandangan di jalan, yang enggan bertemu anak-anaknya karena malu, atau karena tak mau disalahkan. Bisa jadi karena kehidupan keras itu, lalu dia melakukan hal buruk, atau tidak terpuji. Siapa tahu."
Tomy masih terus mendengarkan apa kata ayahnya dengan panjang lebar, yang intinya adalah melarang ibunya tinggal, karena perangai buruk masih melekat padanya.
“Tapi … ada tetapinya Tom, kalau ibumu sudah berubah, dan benar-benar menjadi perempuan yang bersikap seperti perempuan pada umumnya, atau manusia pada umumnya, silakan saja. Tapi untuk sekarang ini, tidak. Dia akan menjadikan hidupmu tidak tenang. Anak-anakmu juga tidak suka, bahkan aku dengar anak Satria juga tidak menyukai neneknya. Semua karena perangainya. Kamu mengerti?”
Tomy mengangkat wajahnya, dan mengangguk. Ternyata kembalinya ibunya bukan menjadikan hidupnya dan hidup Satria menjadi bahagia. Justru menjadikannya tidak merasa nyaman.
“Tapi bagaimanapun dia adalah ibumu. Kamu wajib berbakti, dan berbakti itu bukan dengan mengguyurnya dengan kesenangan. Buat dia sadar dan mengerti tentang hidup ini. Aku juga akan mengatakannya pada Satria kalau ketemu nanti. Istrinya kelewat baik, tapi aku mendengar dia bersikap kasar ketika Minar membantunya masuk ke dalam mobil,” lanjut pak Drajat yang rupanya mendengar sikap kasar Rohana kepada Minar sebelum pulang.
Monik mengeluarkan dua gelas kopi panas, dan melihat suaminya menundukkan wajahnya. Tampak gelisah.
***
Rohana menolak untuk makan malam, walau biasanya dia merengek lapar ketika waktu makan sudah tiba.
Ia langsung masuk ke dalam kamar, dan berbaring tanpa berganti pakaian atau membersihkan diri, bahkan lupa membersihkan wajahnya yang belepotan sapuan make up tebal, dan beberapa diantaranya luntur karena keringat yang mengucur.
Malam itu ia merasa seperti jatuh dari sebuah ketinggian. Tentang parfum, tentang tas merah maroon, tentang ucapan Indira yang seperti menusuk ke dalam dadanya dengan sebuah belati tajam. Tidak banyak yang dikatakannya, tapi Rohana mengerti bahwa Indira menuduhnya menemukan tas itu serta mengambil semua isinya. Dan dia tak sedikitpun mampu menolak. Bukankah dia sudah mengatakan diberi orang? Memang Indira tidak berterus terang menuduhnya, tapi ucapannya itu sudah kelihatan menuduh. Orang kaya memberikan sebuah tas bagus, dan sebotol parfum mahal? Kalau anak kecil pastilah percaya, tapi Indira … ? Rohana juga bukan orang bodoh. Ia tahu Indira mencurigainya, dan ia tak menemukan jawaban yang tepat untuk mengelak. Hal itu diucapkan dan didengar oleh anak-anak dan menantu-menantunya, juga cucu-cucunya.
Tiba-tiba Rohana merasa tidak tenang. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukannya terhadap menantunya, sama sekali tidak membuatnya senang.
“Ini bukan hidupku, ini bukan duniaku… “ bisiknya.
Lalu ia teringat kelakuannya ketika mencuri uang pak Trimo yang disembunyikannya di bawah kolong. Apakah dia merasa nyaman dengan uang itu? Hanya makanan yang didapatnya, kesenangan mulut dan perutnya, yang akhirnya hanya bersisa di tempat pembuangan.
Mengapa Rohana baru bisa merasakannya sekarang? Hanya karena ucapan Indira? Anak dari perempuan yang tidak disukainya?
Rohana tertidur dengan gelisah. Ia mengigau dengan banyak kata-kata yang aneh. Satria dan Minar yang mendengarnya, kemudian mendekat ke arah kamar.
Mereka melihat Rohana tidur, masih dengan mengenakan pakaian yang tadi dipakainya. Belum mencuci wajahnya, kecuali hanya mencopot sepatunya.
Tapi ada ceracauan dari mulutnya yang aneh. Terkadang dia berteriak-teriak marah, entah siapa yang dimarahinya. Satria berdiri di samping tempat tidur, dan Minar bergegas mengambilkan minum.
“Bangunkan pelan-pelan Mas, beri dia minum, agar sedikit tenang. Rupanya ibu mimpi buruk.”
Ketika tangan Satria siap menyentuh lengan ibunya agar dia bangun, Rohana masih melanjutkan igauannya.
“Polisi? Mengapa memanggil polisi? Tidak, jangan tangkap aku… jangan tangkap aku …”
Tubuh Rohana berguling-guling, keringat yang bercucuran melelehkan cat alis tebal yang masih menghiasi wajahnya.
“Bu, bangun Bu. Ibu mimpi buruk ya?” kata Satria sambil menyentuh lengan ibunya.
“Jangan biarkan polisi menangkap aku,” Rohana masih meracau.
“Ibu, bangun dan minumlah,” sambung Minar.
“Aku … aku … akan mengaku, memang aku yang mengambil uang penjual nasi liwet itu … tapi kan aku butuh makan.”
Satria dan Minar terkejut mendengarnya.
“Tolong pak polisi, maafkan ya, aku kan butuh makan … tolong … “ lalu Rohana menangis terisak-isak.
Satria meraih tubuh ibunya, mengangkat dan mendudukkannya, untuk memaksa ibunya bangun.
“Bu, ibu bangun ya. Ibu mimpi apa?”
Tiba-tiba Rohana membuka matanya, terbelalak melihat ke sekeliling ruangan.
“Mana polisi itu? Sudah pergi? Benarkah sudah pergi? Dia memaafkan aku kan?”
“Bu, tidak ada polisi. Minumlah dulu,” kata Minar.
Rohana menatap Satria yang masih merangkulnya.
“Kenapa kamu ada di sini?” katanya sambil mendorong tubuh Satria.
“Ibu minumlah dulu, ibu mimpi buruk ya?” kata Minar sambil menyodorkan segelas teh hangat ke hadapan sang ibu. Tapi Rohana mendorongnya, sehingga teh itu tumpah, membasahi lantai dan sebagian lagi membasahi kasur tempat dia tidur.
“Pergi, biarkan aku tidur lagi,” katanya sambil merebahkan kembali tubuhnya di kasur.
Satria membiarkannya. Ia keluar dari kamar dan melihat sang istri membawa pel untuk membersihkan lantai.
***
Pagi itu Minar sudah menemani sang suami duduk di ruang tengah, sambil menikmati coklat susu yang terhidang. Satria melongok ke arah kamar sang ibu yang masih tertutup.
“Apa Mas akan membangunkan ibu?”
“Aku lihat dulu, kalau masih tidur nyenyak, biarkan saja. Setelah semalam mengigau, lalu ibu tampak tenang, aku tak mendengar igauannya lagi,” kata Satria sambil melangkah mendekati kamar.
Perlahan ia membukanya, tapi ia terkejut, tak melihat sang ibu ada di sana.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteTrmksh mb Tien, smg sht sll
DeleteSami2 Yangtie
Delete🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
eMAaeM_22 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai deh
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Delete
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~22 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 22" sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeleteMinar ayoooo bikin Rohana kapok dan menyesal 😄😄😄
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah.... salam sehat2 kagem bunda Tien
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wiwik
DeleteSalam sehat juga
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
salam sehat selalu
Sami2 ibu Nanik
DeleteSalam sehat juga
Terima kasih, ibu.
ReplyDeleteSami2 ibu Linatun
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteMatir nuwun ibu Yati
DeleteWaduh kemane Rohana pergi ...
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteTerima kasih Mbu Tien... makin seruu trs ceritanya....
ReplyDeleteSemoga Mbu Tien sllu sehat bersama keluarga trcnta
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan bahagia selalu
Sami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Nah.... begitu lebih baik, pergi dari rumah anak"mu. Hidup menggelandang, bebas dari aturan yang mengikat hidupmu.
ReplyDeleteUntuk Satria dan Tomy harap merelakan ibumu pergi.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien K
Semoga selalu sehat, bahagia dan selalu dalam lindungan Allah SWT
Aamiin
Salam dari Banjarmasin
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteSdh tayang.....
Matur nuwun lan pangapunten, Dhe
ReplyDeleteSami2 mas Kakek. Kok pangapunten ada apa?
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏🙏
Sami2 ibu Padma Sari
DeleteMungkin Rohana pergi lagi jadi gelandangan, takut ketahuan
ReplyDeleteMakasih bunda salam aduhaii
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² n senantiasa dlm lindungan n bimbingan Allah SWT
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteKemana Rohana menghilang? Semoga Rohana segera sadar akan perilakunya yang buruk... terimakasih bunda Tien,sehat selalu dan aduhaii
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 22* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 22 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Waduh Rohana mbalelo, takut pada bayangan nya sendiri, takut pada perbuatan nya sendiri.
Mungkin ini adalah anti - klimaks nya Rohana, yang akan sadar dan menjadi orang baik.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 22, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Sami2 ibu Uchu
DeleteSalam.sehat juga
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteWeleh malah ngilang ,, primadona ku Rohana, bikin keseruan cerita.
Mungkin kah dia ingin minta maaf ke pak Trimo
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu bersama keluarga tersayang, aamiin ..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Rohana pergi mencari polisi...
ReplyDeleteWah, sudah mulai nih tanda-tanda pertobatan Rohana...tapi kok malah kabur? Penasaran deh...😀
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🙏🙏😘😘
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat juga
Minggat dheeeh😁😁😁
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Wening
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu aduhai.
Salam bahagia
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam aduhai n bahagia
Terima ksih bunda cerbungnya. Slm sehat sll🙏🥰❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
Delete