Saturday, October 5, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 21

 

MASIH ADAKAH MAKNA  21

(Tien Kumalasari)

 

Rohana menghentikan langkahnya. Ia tahu siapa yang berdiri dengan garang di teras, yang menatapnya tajam. Ia tak melihat Tomy ataupun Monik. Tatapan kakek gagah itu menyurutkan keinginannya untuk berada lebih lama di tempat itu. Ini dulu adalah rumahnya, yang sudah berubah bentuk dan hampir tak dikenalinya. Tapi ia mengenal sebuah sudut dengan tanaman jambu air yang dulu ketika berbuah banyak ia sering membawanya kepada teman-temannya. Jambu yang sangat manis, dan membuatnya dipuji teman-temannya.

Minar yang kemudian juga turun dari mobil, melihat siapa yang berdiri di sana. Ia bergegas menghampiri kemudian mencium tangannya.

“Kamu istri Satria bukan?”

“Iya Om, senang sekali Om tidak melupakan saya.”

“Tentu saja tidak. Perempuan yang baik hati dan menjadi pendamping laki-laki pintar serta berhati emas. Aku selalu mencatatnya. Aku juga tahu, berkat kalian Tomy menjadi seperti sekarang ini.”

“Om terlalu berlebihan. Apa kabar Om? Lama sekali kita tidak bertemu, setelah Tomy dan keluarganya menempati rumah ini.”

“Aku sehat. Aku memang jarang datang kemari. Semuanya aku serahkan pada Tomy, dan tentu saja aku masih selalu mengawasinya, walau dari tempat jauh. Tomy harus mengerti, aku juga punya keluarga di sana, yang mengharapkan aku segera istirahat di hari tua ini.”

“Iya benar. Om harus lebih banyak istirahat, apalagi putra-putra Om pastinya sudah bisa melakukan semua yang pernah Om lakukan.”

“Begitulah. Aku datang kemari karena Boy sakit.”

“Oh iya, tapi kabarnya akan segera bisa pulang.”

“Katanya besok pagi sudah boleh pulang, aku akan menjemputnya.”

“Syukurlah.”

“Kamu sama siapa? Tomy dan anak istrinya baru ke rumah sakit.”

“Oh iya. Ini, saya mengantarkan ibu Rohana.”

Rohana yang terpaku diam, mendengarkan pembicaraan mereka, tanpa berani melangkah mendekat. Ketika Minar menyebut namanya, barulah ia mulai mengayunkan langkahnya, perlahan.

“Apa kabar, Mas?”

“Aku baik. Mau apa kamu datang kemari? Kamu sering datang kemari? Kamu tidak tahu atau belum tahu kalau aku yang membeli rumah ini untuk Tomy?”

“Aku tidak tahu, baru kali ini datang kemari.”

“Bagus. Kamu menyembunyikan diri di mana? Untuk apa uang bermilyard hasil penjualan rumah ini? Kamu bagi dengan anak-anak kamu? Atau kamu pergunakan untuk berfoya-foya?”

Rohana tak bisa mengucapkan apapun.

Pak Drajat tertawa pelan.

“Kamu jangan khawatir, aku tak peduli akan apa yang kamu lakukan. Aku sudah tahu semuanya.”

“Maaf, Mas.”

“Maaf untuk apa? Kamu boleh melakukan apapun yang kamu sukai, toh aku tidak peduli? Lalu kamu mau apa datang kemari?”

“Aku … hanya ingin ketemu Tomy dan keluarganya.”

“Kamu tidak mendengar apa yang aku bicarakan dengan Minar? Tomy dan keluarganya sedang ke rumah sakit. Apa kamu peduli pada cucu kamu yang sedang dirawat?”

“Baru mau menanyakannya pada Tomy.”

“Temui saja dia di rumah sakit, jangan menunggu di sini. Aku sedang sendiri, kalau menerima tamu perempuan, bisa-bisa ditangkap hansip,” canda pak Drajat yang kemudian terkekeh-kekeh mendengar banyolannya sendiri.

Tapi Rohana tidak tertawa. Ia tahu bekas suaminya itu sedang mengejeknya. Atau jelasnya menolak kedatangannya. Ingin sekali Rohana bertanya, sampai kapan bekas suaminya itu akan berada di rumah Tomy, tapi ia tak berani mengucapkannya.

“Kalau begitu aku pamit dulu. Tadi aku diantar Minar, istri Satria, karena aku kangen dengan Tomy dan keluarganya.”

“Oh, bagus sekali. Kamu harus senang, punya menantu sebaik Minar. Dia bukan hanya cantik, tapi juga bisa menjadi pendamping suami yang tak ada duanya. Satria pintar sekali mencari istri.”

Rohana diam. Sesuatu yang diucapkan bekas suaminya, adalah kebalikan dari apa yang selalu diomelkannya sejak ia datang. Kalau ia selalu merendahkan Minar, maka bekas suaminya yang tampaknya sangat membencinya itu justru memuji-mujinya setinggi langit. Rohana ingin menutup lubang kedua telinganya agar tak mendengar pujian-pujian itu lagi.

“Ibu mau pulang?” tanya Minar kemudian, karena ia tahu ibunya banyak berbohong. Dari keinginannya untuk tinggal bersama Tomy, kemudian dia mengatakan bahwa hanya kangen kepada Tomy dan keluarganya. Tampaknya sang ibu mertua begitu segan terhadap bekas suaminya, kalau tidak bisa dikatakan takut.

“Iya. Kita kembali saja.”

“Om, tampaknya ibu ingin pulang saja, jadi saya mohon pamit.”

“Aku akan sering berada di sini, untuk melihat apakah Boy bisa melakukan semua tugas-tugasnya di kantor ayahnya atau tidak. Dia masih sangat muda.”

“Tapi Boy anak yang rajin dan pintar.”

“Benar, semoga dia bisa menjadi anak yang membanggakan.”

”Aamiin.”

“Anakmu ada berapa?”

“Satu Om, masih kuliah.”

“Pada suatu hari nanti aku ingin kita bertemu bersama, diantara keluarga Tomy dan Satria. Mereka semua juga aku anggap sebagai keluargaku.”

“Terima kasih banyak Om, saya menunggu waktu yang pastinya akan sangat menyenangkan.”

“Anak baik. Pasti anakmu juga sebaik kamu dan suami kamu.”

“Mohon doa restunya Om, semoga Tegar bisa menjadi seseorang yang membanggakan, sukses dalam segala hal, seperti Om.”

Pak Drajat tertawa senang. Ia menepuk bahu Minar dengan hangat.

“Ya sudah. Bawa ibu mertuamu pulang. Tapi ngomong-ngomong, pulang ke mana? Di mana dia tinggal?”

Minar sungkan mengatakan tentang ibu mertuanya, yang pastinya akan membuat Rohana malu. Bagaimanapun ia harus menjaga mertuanya, walaupun tampaknya pak Drajat sudah tahu bagaimana kelakuan bekas istrinya itu.

“Ibu sekarang tinggal bersama kami.”

“Oh, di rumah kamu? Baguslah, jaga dia baik-baik, dan beri tahu dia, mana yang buruk dan yang baik, dalam menjalani kehidupan ini.”

“Ibu, ayo kita pulang.”

“Mas aku pulang dulu,” kata Rohana yang wajahnya sudah sangat gelap bagai mendung yang siap mencurahkan hujan.

Minar menuntun ibunya masuk ke dalam mobil, tapi Rohana menyentaknya.

“Tidak usah menuntun aku. Aku belum jompo. Atau kamu ingin memperlihatkan pada dia, betapa baiknya dirimu?” katanya pelan, tapi sangat pedas.

“Ibu, mengapa selalu salah terima, padahal saya bermaksud baik? Ya sudah, silakan masuk saja, saya tidak akan membantu lagi,” kata Minar yang kemudian membiarkan ibunya masuk sendiri, sedangkan dia kemudian mengitari mobil, memasukinya dan duduk di belakang kemudi.

Setelah melambaikan tangan kepada pak Drajat, Minar memutar mobilnya dan keluar dari halaman.

Pak Drajat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja dia tahu apa yang terjadi dengan Rohana, karena dia juga membaca iklan di setiap surat kabar.

***

Minar memasuki rumahnya kembali dengan membawa koper kecil yang berisi pakaian sang ibu, lalu meletakkannya di kamar. Ketika keluar, dia melihat Rohana duduk di sofa. Minar kemudian duduk di depannya.

“Bu, mengapa ibu tidak jadi tinggal di rumah Tomy?”

“Apa kamu mengusir aku?”

Minar menghela napas kesal. Ia sungguh berusaha sabar. Tapi semua kan ada batasnya? Bagaimana kalau sepanci air, direbus sampai mendidih dan bergolak-golak, apakah airnya tidak akan tumpah? Minar mencoba menahan gejolak itu, dan diam tanpa menjawab lagi, karena kalau ia menjawabnya, pasti akan ada sangkalan yang terucap dari mulut sang mertua yang mengandung sembilu dan sangat tajam.

“Pasti kamu senang aku tadi ingin pergi. Nyatanya kamu segera menyiapkan mobil dan bergegas mengantarkan aku.”

Minar tetap tak menjawab. Ia juga menahan derai air mata yang sudah ditahannya sejak lama. Apa sih yang kurang dari perlakuannya terhadap sang ibu mertua? Minar hanya berharap agar rasa kesal itu tidak akan benar-benar meledak, dan entah apa nanti yang akan dikatakannya kalau kemarahan itu benar-benar ada. Ia tak seberani Monik yang terang-terangan mencela ibu mertuanya. Ia berusaha baik dan sabar, supaya sang mertua mengerti dan kemudian bisa merubah perangai buruknya. Ia tahu, tadi pak Drajat bicara banyak, dan memuji-mujinya. Pasti Rohana kesal, tapi tak berani mengatakan apapun.

“Sebenarnya aku hanya menguji kamu.”

“Apa maksud ibu?”

“Kalau aku mengatakan ingin pergi, apakah kamu akan dengan senang hati menuruti kemauanku, ataukah kamu menahannya. Ternyata kamu tidak menahannya. Kamu kira aku besungguh-sungguh ingin tinggal bersama Tomy? Tidak, aku hanya ingin mengujimu.”

Minar tetap tak menjawab. Bohong kalau dia katakan dirinya tak menahannya. Dia menahannya dan Rohana berteriak. Minar tidak lupa. Tapi bukankah Rohana memang hanya ingin mencari kesalahan atas dirinya?

Minar kemudian berdiri. Bermaksud ke dapur. Hari sudah menjelang sore, sang suami akan segera pulang, jadi dia harus menyambutnya dengan segelas minuman kesukaan sang suami.

“Hei, kemana kamu?”

“Ke dapur Bu, mas Satria sebentar lagi pulang.”

Minar menjawab tanpa berhenti melangkah. Ketika melewati kamar Tegar, dilihatnya kamar itu dikunci. Minar yakin Tegar tidak ada didalam kamarnya, karena dia juga tidak melihat sepeda motornya di garasi.

***

Tegar ada di rumah sakit. Bercanda dengan Boy dan juga Indira. Suasananya terasa lebih hangat daripada berada di rumah mendengarkan omelan-omelan aneh dari neneknya. Ada sesal yang dirasakannya, ketika ia dengan gigih merayu neneknya agar mau pulang. Lalu dia memarahi dirinya dengan rasa sesalnya itu. Bagaimanapun ayahnya terlahir dari nenek yang menjengkelkan itu. Tapi mengapa untuk menyayanginya terasa sangat susah? Bahkan ia merasa tak ingin berdekatan dengan sang nenek.

Tegar yang menceritakan semua kelakuan neneknya, membuat Boy heran. Dulu sekali, ia lupa-lupa ingat sih, ia pernah melihat sang nenek juga bersikap sangat menyebalkan. Memaki-maki setiap orang dengan seenak perutnya, dan membuat Boy menjadi sedikit takut. Ia bahkan mengatakan bahwa neneknya seperti nenek sihir. Tapi sekarang, setelah semakin tua, bahkan menemukan kehidupan yang lebih nyaman daripada di jalanan, mengapa sikapnya masih membuat jengkel semua orang?

“Coba saja kalau kamu bertemu dia nanti, Mas.”

“Tegar benar. Aku juga merasa kurang suka pada nenek. Dia memaki-maki ibuku di depanku. Padahal ibuku kan orang baik? Kakek saja memujinya, dan bahkan menyayanginya karena ibuku rajin, pintar dan baik," kata Indira.

“Ya sudah, jangan ngomelin nenek terus menerus,” kata Tomy setelah datang sehabis mengurus administrasi, karena besok Boy sudah boleh pulang.”

“Tegar cerita tentang nenek. Ibu juga sudah cerita tadi,” kata Boy sambil menatap sang ibu yang sejak tadi diam. Monik mengalaminya dan ibu mertuanya benar-benar menjengkelkan.

“Ya, harap maklum, bersabarlah dulu, aku percaya, lama-lama nanti ibu pasti akan berubah."

***

Di rumah Satria sore hari itu, Minar sedang menghidangkan coklat susu di meja, untuk suami dan ibu mertuanya. Wajah Minar tidak begitu  cerah, tampak lesu seperti orang kelelahan. Memang sih, bukan lelah karena bekerja, tapi lelah batin, dan itu lebih berat.

Tegar tak tampak diantara mereka, dan Satria sudah tahu kalau Tegar ada di rumah sakit.

“Beberapa hari ini kita tidak menengok Boy di rumah sakit ya, Minar?” kata Satria kepada istrinya.

 “Iya benar, kata Monik besok sudah boleh pulang.”

“Kalau begitu bagaimana kalau kita ke rumah sakit malam ini?”

“Bisa Mas, aku juga kangen pada Boy. Dia kan anakku juga,” kata Minar sambil tersenyum.

“Ibu mau ya, ke rumah sakit? Ibu masih ingat Boy kan? Anak Tomy?”

“Ya, aku ingat,” jawab Rohana datar.

“Nanti kita ke rumah sakit ya? Setelah itu kita putar-putar kota, dan makan di luar, mana yang ibu inginkan. Oh ya, sambil memakai baju baru ibu dong, pasti ibu kelihatan cantik nanti,” kata Satria seperti sedang merayu bocah kecil supaya hatinya senang. Ia sudah tahu kelakuan ibunya sejak dari belanja sampai pulang ke rumah, karena Tomy sudah menelponnya. Barangkali Monik sudah mengatakan semuanya pada sang suami. Tapi Satria masih ingin bersabar, karena baru sehari ibunya pulang.

“Mau. Aku juga sudah lapar.”

“Tapi kita ke rumah sakit dulu sebentar.”

“Kalau begitu bersiap sekarang saja ya Mas, supaya tidak kemalaman.”

“Baiklah, setelah maghrib kita berangkat.”

***

Rohana mengenakan baju barunya dengan bersemangat. Ia merasa cantik, dan ia mengenakan rias wajah yang bukan main tebalnya. Ia juga mengenakan parfum temuan yang sangat disukainya.

Walau kurang suka, tapi Satria dan Minar tetap saja membiarkannya. Kalau mencelanya, nanti ibunya pasti akan kecewa. Mereka mencium wewangian yang aneh. Itu wewangian mahal. Dari mana sang ibu mendapatkannya? Begitu selesai berdandan, mereka berangkat ke rumah sakit. Di sana masih ada Tomy dan istri serta Indira, dan juga Tegar.

Melihat kedatangan Satria bersama Rohana, mereka beramai-ramai menyambut dan mencium tangannya satu persatu.

Tapi ketika giliran Indi mendekat, ia mencium aroma wangi yang sangat dikenalnya. Aroma parfum kesayangannya, yang hilang ketika Boy mengalami kecelakaan.

***

 Besok lagi ya.

 

55 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah...matur sembah nuwun mbak Tien
      Salam sehat selalu .😍

      Delete
    2. Horeeeeeee, Nuning tang malit.
      Yangtie koncrit...... Disalib Nuning.

      Matur nuwun Bu Tien.
      Salam SEROJA
      Salam ADUHAI

      Delete
    3. Kadang ya koncrit pak kakek..... sdh tua ga kuat lsri hikhikhik

      Delete
  2. Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 21 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷

    Sampai kapan Rohana sadar yo ..
    Kasihan amancu nya sudah habis akal dan habis sabar menghadapinya😄😄😄

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah maturnuwun bunda

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah MAM 21 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu Tien 🙏
    Sugeng ndalu, mugi Ibu & kelg.tansah pinaringan sehat🙏

    ReplyDelete
  6. 🧡🍁🧡🍁🧡🍁🧡🍁
    Alhamdulillah 🙏🦋
    eMAaeM_21 sdh tayang.
    Matur nuwun nggih,
    doaku smoga Bu Tien &
    kelg slalu sehat & bahagia.
    Aamiin. Salam seroja. 😍
    🧡🍁🧡🍁🧡🍁🧡🍁

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 21, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Akhirnya
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  9. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete

  10. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~21 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah semoga bu Tien sehat walafiat.
    Terima kasih bu tien

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun bu Tien, smg selalu sehat dan semangat 🙏

    ReplyDelete
  13. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 20 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Selamat berakhir pekan Bunda.

    Sabar pasti ada batas nya, bisa jadi nnt Minar akan berani menjawab setiap ocehan mertua nya dengan perkataan yang bijak dan melumpuhkan.

    Nah lo..ketahuan kan bahwa nenek Rohana yang mengambil parfum cucu nya s Indi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai dengan di episode ini si rohana masih dimanjakan dengan segala sifat busuk laknatnya, betina sombong, tinggi hati, pembohong, pencuri, menganggap rendah orang lain, merugikan orang lain, kasihan keluarga Satria, keluarg Tomi, harus terus menerus memelihara "rasa maklum" untuk "betina rohana" Yang memuakan....

      Delete

  14. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 21* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matursuwun
    Do'aku tuk Bu Tien sklg: selalu sehat , semangat dan bahagia 💪💖

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien kiriman cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² n tetap semangat

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Marah atau bgm nih Indi dg Rohana, kl parfumnya tercium dr tubuh nya nenek lampir ,🤩🤩

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah MAM 21 sdh hadir. Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  19. Kasihan Minar tiap saat makan hari lama kelamaan kena level... semoga nenek Rohana segera sadar dan insyaf dan menyayangi anak- anak dan cucunya, terimakasih bunda Tien...

    ReplyDelete
  20. Susah memang kalau orang seperti Rohana yg selalu 'negative thinking', apapun yg terjadi di sekitarnya pasti dianggapnya ga bener. Penasaran cara ibu Tien membuatnya bertobat.😀

    Terima kasih, ibuu...salam hormat.🙏

    ReplyDelete
  21. Rohana masih takut kepada pak Drajat. Bagaimana ya kalau misalnya pak Drajat menginap di rumah Satria??
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  22. Rasain Rohana, sedikit demi sedikit ulahmu akan membuka kedokmu....
    Nah lo, Indi mengenali parfumnya, sebelumnya tasnya saat makan nasi liwet di Pak Trimo.

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, cerbung MAM ke 21.Rohana stress berat sakit Jiwa akut.tambah parah ketemu Bos Drajat apa bisa waras lagi atau......🤔😭😭

    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏

    ReplyDelete
  24. Maturnuwun bu Tien
    Salam sehat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah..
    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Sehat2 selalu njih bun...🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun i bu Padma Sari

      Delete
  26. Andai di sinetronkan...kira2 yg pantas jadi Rohana yg nyebelin, siapa ya?...😆

    ReplyDelete
  27. Matur nuwun Bu Tien, sabar menanti hingga dilanjutkan pada hari Senin yad. Tetap sehat njih Ibu..

    ReplyDelete
  28. Selamat pgi bunda slmt berhari minggu bersm kel..hatir nuhun cerbungnya..slm sht sll dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  29. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  30. Sifat Rohana gawan bayi. Sukar dihilangin.

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 03

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  03 (Tien Kumalasari)   Melihat wajah pak Truno yang tampak tidak bersahabat, hati Sutris menciut. Ia ingin p...