MASIH ADAKAH MAKNA 17
(Tien Kumalasari)
Azka terkejut dengan perilaku nenek Rohana, yang benar-benar dianggapnya sangat aneh. Ketemu anak cucu, tapi tidak gembira? Apakah dihatinya tak ada cinta? Apakah dia benar-benar pernah menjadi seorang ibu?
“Nenek, itu ada bapak, ada om Tomy, dan menantu-menantu nenek, juga Indira, cucu nenek. Kalau Boy, masih ada di rumah sakit,” terang Tegar, walau ia merasa kurang senang sejak sang nenek mengatai ibunya perempuan kampung. Memangnya kenapa kalau perempuan kampung? Bagi Tegar, ibunya adalah wanita terbaik di dunia.
“Mereka semua akan mentertawai aku bukan? Akan menyiksa aku dengan olok-olok yang menyakitkan. Ya kan?” Rohana berteriak.
Sementara semuanya yang hadir terlihat memasuki rumah dengan wajah berseri gembira. Satria dan Tomy malah lebih dulu mendekati ibunya dan berebut memeluknya. Tapi apa, Rohana mendorong keduanya, sehingga hampir terjengkang karena sama sekali tidak siap menerima perlakuan sang ibunda.
“Ibu!” seru Tomy dan Satria bersama-sama.
“Apa kalian? Jangan berpura-pura dihadapanku. Bukankah kalian mensyukuri nasibku? Mensyukuri ketidak berhasilan aku dalam menjalani hidup? Mentertawakan aku, karena melihat aku terlunta-lunta di jalanan?”
Tomy dan Satria berlutut di hadapan sang ibu, yang kemudian diikuti oleh istri-istri mereka.
“Ibu salah terima. Kami tidak akan mensyukuri keadaan ibu, apalagi mentertawakannya. Mengapa ibu berprasangka buruk? Kami semua merindukan ibu. Kami menyesal karena ibu justru menjalani hidup di jalanan dan tidak mau datang kepada kami,” kata Satria dan Tomy bergantian.
“Omong kosong.”
“Sekarang ibu sudah pulang. Tinggalah saja di sini bersama kami,” kata Satria.
“Atau di rumah Tomy, kami juga akan sangat senang. Oh iya, apa ibu pernah mengenal Indira? Ini cucu ibu, anak Desy.”
Tomy menarik tangan Indira, dibawanya mendekati Rohana. Rohana menatap sesaat. Ia ingat Desy yang kabur dari rumah gara-gara dia memperlakukannya seperti pembantu. Menurutnya itu adalah benar, memangnya kenapa kalau dia ikut mengurus rumah? Ia juga meminta sebagian besar gaji Desy, itu juga tidak salah karena Desy dan Tomy waktu itu menumpang di rumahnya.
“Wajahmu mirip ibumu. Aku tidak suka.”
“Memangnya ibuku kenapa Nek?” kata Indira tanpa sungkan.
“Ibumu perempuan nggak bener. Dia kabur dari rumah hanya karena aku memintanya membantu mengatur dan membersihkan rumah. Dia juga pelit,” omel Rohana tanpa memandang sedikitpun ke arah Indira, yang merasa kesal atas umpatan-umpatan neneknya.
“Itu tidak benar,” kata Indi.
“Bu, sudahlah. Semuanya tidak pantas dibicarakan sekarang. Yang penting ibu sudah pulang, dan kami semua sangat gembira,” kata Tomy.
“Minar, barangkali kita harus menyiapkan makan untuk ibu,” tegur Satria kepada istrinya.
“Ya, tentu saja, akan aku siapkan,” kata Minar yang segera bangkit, diikuti Indi yang wajahnya bersungut-sungut.
Minar segera menata meja, dan dengan wajah gelap Indi membantunya.
“Mengapa nenek begitu jahat pada ibuku?” sungutnya.
“Indi, nenek memang begitu. Dia juga tidak suka pada ibu Minar. Menurutnya, bu Minar adalah perempuan kampung yang tidak pantas menjadi keluarganya,” jawab Minar sambil tersenyum.
“Ibu Minar tidak marah? Tidak sakit hati?”
“Kalau menuruti kata marah, kita akan kesakitan sendiri. Jadi ibu biarkan saja. Yang penting, dia itu mertua ibu, dan ibu harus menghormatinya. Demikian juga kamu, jangan sakit hati pada nenek. Saat ini kita anggap nenek sedang sakit, begitu saja, dan kita wajib menyembuhkannya,” kata Minar sambil menata lauk dan sayur di meja.
Indira diam-diam selalu kagum kepada Minar, yang selalu bijak dalam berkata-kata. Dihatinya hanya ada kasih sayang, tak ada benci apalagi dengki. Seandainya dia bisa menjalaninya. Indira keras kepala, mudah marah, walau hatinya sebenarnya baik.
“Hei, mengapa menatap ibu seperti itu?” tanya Minar yang heran melihat Indira menatapnya tak berkedip.
“Ibu Minar luar biasa.”
“Sudahlah, kamu selalu begitu. Ayo sekarang bilang nenek kalau makan sudah siap. Ibu akan mengeluarkan buah segar dari kulkas. Ajak juga itu, yang berkumis itu pacar kamu kan?”
“Ibu Minar kok gitu, dia bukan pacar Indi lhohh,” sangkal Indi tapi bibirnya tetap saja tersenyum. Lalu ia keluar dan dilihatnya banyak orang membujuk nenek Rohana agar tidak salah sangka terhadap maksud baik mereka.
“Nenek, ayo makan dulu, dan semuanya silakan makan. Azka, ayuk makan,” kata Indi yang tidak berani terlalu dekat dengan neneknya, takut disemprot dengan kata-kata menyakitkan lagi.
“Ibu, ayo kita makan,” kata Satria.
“Iya, ayo makan sama-sama, aku juga lapar,” kata Tomy menyemangati, lalu ia mendekati dan menarik tangan ibunya.
Walau perut memang sudah lapar, dan rasa ingin segera mencaplok makanan, tapi wajahnya tetap meunjukkan wajah yang bersungut-sungut. Tomy menariknya pelan.
“Ayo Bu. Ibu sudah lapar kan?”
Rohana akhirnya berdiri, dan tetap pura-pura enggan melangkah. Ia tahu kalau anak-anaknya akan memaksanya. Ketika memasuki ruang makan, Minar sedang meletakkan buah-buah segar di meja.
Rohana menatap hidangan di atas meja. Ada perkedel, semur daging dan kentang, ada ayam bakar. Air liur hampir menetes, tapi Rohana masih menampakkan sikap ogah-ogahan. Malu dianggap kelaparan, padahal benar.
“Ibu, silakan makan,” kata Minar dengan wajah manis.
Tomy menarik sebuah kursi dan memaksa Rohana duduk di atasnya. Lalu Monik yang mengikuti dari belakang, membukakan piring untuknya.
Minar menyendokkan nasi untuk ibu mertuanya.
“Ibu silakan ambil lauknya, mana yang ibu suka,” kata Minar lagi.
“Ayo silakan makan semuanya.”
Lalu semua yang hadir duduk mengitari meja makan. Untunglah meja makan di rumah Satria tergolong besar. Ada delapan kursi di sekeliling meja. Semuanya duduk, Indi meminta Azka duduk di sebelahnya.
Sambil mencomot dada ayam bakar, Rohana mengomel pelan.
“Brisik,” katanya sambil menggigit ayam bakar itu dengan nikmat. Memang sudah lama Rohana tidak makan enak. Beberapa hari terakhir, pendapatannya hanya cukup untuk membeli nasi sepiring dan lauk seadanya. Melihat hidangan mewah itu rasanya Rohana ingin melahap semuanya. Tapi dia menahannya. Ia menghabiskan dulu sepotong dada ayam yang pertama kali dicomotnya, lalu menyendok sepotong daging besar di dalam mangkuk semur. Nasi dipiringnya belum disentuh. Ia mengambil sepotong demi sepotong lauk yang tersedia. Tak seorangpun menegurnya. Mereka asyik makan dengan makanan yang sudah diambilnya, sehingga sang nenek tidak merasa berisik lagi.
***
Pulang dari melayani pesanan di kantor Satria, pak Trimo memesan taksi, karena membawa barang-barang. Minar yang berpesan begitu, dengan mengatakan kalau dia tidak bisa menunggui sampai selesai berhubung ada urusan mendadak yang sangat penting. Dalam acara itupun, begitu acara makan dimulai, Satria segera mengajak istrinya pulang. Bertemu dengan ibunya sangat membuatnya gembira. Ia harus membuat sang ibu betah di rumah dengan melayani apapun yang bisa menyenangkan hati sang ibu.
Binari bersandar di jok taksi, karena merasa letih. Tiba-tiba dia teringat tentang bungkusan yang diterimanya dari Tegar pagi tadi. Ia segera mengambilnya, tak tahan untuk tidak membukanya.
“Itu yang tadi dari nak Tegar?”
“Iya, entah apa ini isinya,” kata Binari sambil membuka bungkusan yang ada di dalam keresek. Ketika mengetahui isinya, Binari sangat terkejut.
“Ponsel?” pekiknya.
“Ponsel? Sambung sang ayah."
Ada selembar tulisan tertempel di kotaknya.
‘Binari, ini bukan baru, bekas punyaku yang tidak aku pakai lagi. Kalau kamu mau menerimanya, aku akan berterima kasih. Sudah ada simcard di dalamnya. Daftarkan segera agar bisa kamu pakai secepatnya. Pasti ada sesuatu yang memerlukan kamu bisa berhubungan, entah dengan siapa. Maaf belum bisa membelikan yang baru.’
“Ya ampuun. Mas Tegar sangat baik.”
“Untuk apa sebenarnya ponsel itu bagi kita? Kita tidak perlu telpon-telponan dengan siapapun.”
“Barangkali ada gunanya juga Pak. Misalnya untuk pemasaran dagangan Bapak itu.”
“Maksudnya bagaimana?”
“Bapak bisa menawarkan melalui nomor ponsel ini. Misalnya, Bapak bisa tuliskan ‘MENERIMA PESANAN, HUBUNGI Nomer .….. gitu lho Pak. Nanti kalau ada yang pesan, bisa menelpon melalui ponsel ini, lalu bisa bicara mau pesan kapan, berapa porsi … harga sekian … dan sebagainya … dan sebagainya. Jadi tidak harus datang menemui Bapak, lebih gampang kan?”
“Gitu ya? Tapi bapak mana bisa telpon-telponan?”
“Nanti Binari beri tahu caranya.”
“Kita harus berterima kasih kepada keluarga bu Minar. Mereka orang-orang baik. Ini tadi pembayaran pesanan juga diberi kelebihan, katanya untuk bayar taksi. Bapak ingin menolak, tapi bu Minar memaksanya.”
“Iya Pak, mereka memang orang-orang baik. Semoga dalam hidupnya juga selalu mendapatkan kebaikan.”
“Aamiin.”
***
Rohana duduk di ruang tengah sendirian. Tomy dan Monik pamit karena harus ke rumah sakit. Boy belum dikabari kalau neneknya sudah ketemu, sedangkan Indi mengantarkan Azka mengambil mobilnya. Sambil jalan-jalan berdua, pastinya. Satria sedang keluar bersama Tegar karena Minar memintanya untuk membeli banyak cemilan yang diharapkan bisa membuat ibunya betah di rumah.
“Ibu,” tiba-tiba Minar mendekat sambil membawakan segelas jus buah yang baru dibuatnya.
“Ibu, ini segar sekali, minumlah,” katanya sambil duduk di depan sang ibu mertua.
“Apa kamu memberikan racun di dalamnya?”
“Ibu, mengapa Ibu berkata begitu? Mana mungkin saya meracuni ibu mertua sendiri?”
“Kamu kan benci padaku?”
“Tidak. Minar tidak pernah membenci siapapun.”
“Tapi aku benci sama kamu,” katanya enteng,
“Ibu boleh membenci Minar, tapi Minar akan selalu menunjukkan pada ibu, bahwa Minar sangat mencintai ibu.”
“Omong kosong.”
“Percayalah Bu.”
Rohana meraih jus buah yang terhidang didepannya. Mengaduk dan meminumnya tanpa sungkan. Mulutnya bisa berkata benci, tapi bisa menikmati dengan manis apa yang diberikan orang yang dibencinya.
“Kalau Ibu mau mandi sekarang, saya akan menyiapkan air hangat, agar Ibu merasa nyaman.”
“Tidak. Siang-siang begini, mandi air hangat? Lagipula ini belum saatnya mandi. Apa tubuhku bau?” tanyanya sambil menatap tajam anak menantunya.
“Tidak … tidak Bu, hanya barangkali ibu ingin mandi sekarang, supaya segar. Saya punya baju-baju yang pastinya pas dipakai ibu, dan masih baru. Nanti ibu boleh memakainya.”
“Apa? Kamu tidak suka, pada baju yang aku miliki ini? Kamu merasa ini sangat buruk, tidak pantas memasuki rumah kamu yang bagus ini?”
Minar hampir saja lari menjauhi sang ibu mertua. Habis apa yang dikatakannya tak pernah benar. Minar kehabisan kata-kata untuk mencoba meluluhkan hatinya. Tapi ia harus menahannya. Ia harus berusaha agar ibu mertuanya benar-benar bisa menerimanya sebagai menantu, dan dia betah tinggal bersama keluarganya.
“Ibu, apa tidak boleh, seorang anak memberikan baju kepada ibunya? Bukan karena menganggap pakaian ibu tidak pantas, tapi ini adalah bentuk kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Ibu tidak usah memaksakan diri untuk memakainya kalau memang ibu tidak suka. Semuanya sudah Minar siapkan di kamar ibu. Apa ibu mau saya tunjukkan di mana kamar ibu?”
“Tidak. Aku akan memilih sendiri mana kamar yang aku sukai.”
“Oh, itu bagus sekali. Ibu bisa memilihnya, Minar akan senang, karena dengan demikian ibu tidak usah merasa kecewa karena sudah sesuai dengan pilihan ibu. Mari Minar tunjukkan Bu.”
Rohana berdiri, ia berjalan melihat-lihat seisi rumah.
“Sebenarnya kamar ini yang Minar pilihkan untuk Ibu, tapi kalau Ibu tidak suka, Ibu bisa memilih yang lain. Masih ada dua kamar kosong.”
“Ini kamar siapa?”
“Ini kamar Tegar.”
“Kenapa besar sekali?”
“Tegar membutuhkan tempat untuk belajar dengan nyaman. Jadi harus ada kamar yang lebih luas. Ada tempat tidur dan ruang untuk belajar yang menyatu dengan kamarnya.”
“Aku mau kamar yang besar ini.”
Minar terkejut. Ia menganggap ibu mertuanya keterlaluan. Ia hanya sendiri dan kamar yang dipilihkan cukup luas, karena ada seperangkat sofa yang bisa digunakan bersantai sebelum ingin tidur. Ada televisi kalau ia ingin melihatnya.
“Bagaimana? Kamu keberatan?”
“Tidak Bu, bukan keberatan, tapi kamar yang Minar pilihkan cukup luas. Apa masih kurang luas?”
“Pokoknya aku mau kamar sebesar kamar ini,” tandasnya.
Minar merasa, Rohana memang sedang ingin membuatnya repot. Atau tidak puas kalau dirinya tenang.
“Baiklah Bu, nanti Minar bilang kepada Tegar agar dia pindah ke kamar lain.”
“Apa? Tegar harus pindah ke kamar lain? Tidak bisa dong Bu.” tiba-tiba Tegar dan ayahnya sudah datang dan Tegar mendengar kalau sang nenek menginginkan kamarnya.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteCerita ini nggak lazim, disatu sisi ada pamér akhlak mulya berhati baik, humanis tapi jadi orang-orang yang selalu disakiti, sedangkan satu orang tokoh nama "Rohana" Dengan karakter hati busuk, pencuri, pembohong, sombong, arogan memandang sangat rendah orang lain, selalu mendapat keberuntungan...... lama lama nggak réspék bahkan muak... Baca cerita ini....
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteeMAaeM 17...telah tayange
Matur sembah nuwun Mbak Tien
Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍
Salam ADUHAI..dari Bandung
🙏😍💐🌹
Oh
ReplyDelete🌹☘️🌹☘️💰☘️🌹☘️🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah eMaAeM_17 sudah hadir.....
Rohana nrucak....
Minta diulekna sambel......
Matur nuwun Bu Tien.....
🌹☘️🌹☘️💰☘️🌹☘️🌹
🎈🎊🎈🎊🎈🎊🎈🎊
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
eMAaeM_17 sdh tayang.
Matur nuwun nggih,
doaku smoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia.
Aamiin. Salam seroja. 😍
🎈🎊🎈🎊🎈🎊🎈🎊
Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang
ReplyDeleteYrmksh mb Tien, smg sht sll
ReplyDeleteMatur nuwun salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Alhamdulillah...terimakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
salam sehat slalu
Alhamdulillah, cerbung MAM si ROHANA manusia atau iblis 😡😡👹😭
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~17 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin yra..🤲
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah "Masih Adakah Makna 17 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷
ReplyDeleteMaturnuwun .... sdh tayang .... semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhsmdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien tayangan cerbungnya
Semoga bu tien sehat² selalu n tetap semangat
Salam aduhai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Dingin
ReplyDeleteTerima kasih Mbu Tien...
ReplyDeleteRohana.. memang bikin gemes
Kalau kata Tukul: TAK SOBEK SOBEK
ReplyDeleteRohana memang keterlaluan.
ReplyDeleteKapan sadarnya ya?
Makasih mba Tien.
Sehat selalu ,semakin aduhai
Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 17, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Aduh Rohana... caper
ReplyDeleteAlhamdulillah
Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah, eMAeM 17 telah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.
Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin 🤲🙏
Kalo gak ingat mbah rohana udah tua, pengen tak gaplok lah...nyebelin banget..
ReplyDeleteSabar Minar, ibu mertuamu sedang menguji kesabaranmu, terima kasih Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteHamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 17 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Orang seperti Rohana itu di dekatin bukan nya tambah baik, tapi tambah menjadi jadi, penyebar sakit hati 😁😁
Krn Rohana itu lagi sakit jiwa nya, maka tempat nya di RSJ, agar di rehabilitasi.
Kiranya Rohana memang orang dengan gangguan jiwa. Perlu dibawa ke dokter jiwa barangkali.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah. Sehat2 selalu bahagia bersama keluarga 💖
ReplyDeleteBu Tien memang ahlinya membuat tokoh antagonis yg sangat-sangat nyebelin. Matur nuwun, semoga Ibu tetap sehat njih....
ReplyDeleteAlhamdulillaah,matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeletePrimadona Rohana, keras kepala & ingin menguasai, paket lengkap , hihi
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *masih adakah makna 17* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Ikhhh ci rohana emang bejad otaknya,
ReplyDeletePengen aku gerus sekalian hihihi
Makasih bunda tayangannya
Salam sehat selalu dan aduhaiii...
Hadeeeh Rohana..
ReplyDeletesaya jadi gerah bacanya. Mtr nwn Bu Tien. Sehat sll.
Waduuh...ibu Tien memang piawai mengaduk emosi pembaca lewat karakter tokoh seperti Rohana ini deh....menggemaskan, bikin baper, geregetan! Kalau ketemu benaran, pengin dicubit deh.😬😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibuu....sehat selalu ya.🙏🙏🙏
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSlmt pgii bundaku .mksih cerbungnya y .slm sht sll unk bundaqu 🙏🥰❤️
ReplyDelete