Wednesday, October 2, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 18

 MASIH ADAKAH MAKNA  18

(Tien Kumalasari)

 

Minar tertegun mendengar reaksi Tegar ketika mendengar kamarnya mau diminta sang nenek. Memang sih, di situ banyak barang-barang Tegar yang sebagian besar keperluan kuliahnya. Susah memindahkannya ke tempat lain. Tapi Minar bingung, sang ibu mertua sepertinya mengada-ada, dan hanya ingin membuat dirinya repot.

“Bagaimana mungkin Tegar harus berpindah kamar? Bukankah ada kamar lain yang bagus, yang bisa dipakai nenek?” kata Tegar, kesal.

Minar diam karena bingung.

“Hei, mengapa kamu diam? Kamu juga merasa sayang kalau aku minta kamar ini untuk kamarku? Dengar, semua ini kan harta anakku? Kamu memiliki semua ini juga karena anakku. Mengapa kamu sepertinya keberatan?” kata Rohana sambil menuding ke arah hidung Minar.

“Bukan begitu Bu, kalau saya sih di sini memang hanya menumpang.”

“Nah, itu kamu tahu.”

“Mengapa Ibu bilang menumpang? Ini rumah bapak, berarti juga rumah Ibu. Nenek tidak berhak berkata begitu,” kata Tegar semakin kesal.

“Apa kamu bilang? Aku tidak berhak? Kamu lupa bahwa bapakmu itu anakku? Aku juga berhak memiliki semua ini.”

“Nenek jangan keterlaluan.”

“Apa? Belum sehari aku di sini, sudah mendapat pertentangan-pertentangan seperti ini. Lalu bagaimana kalau aku tinggal di sini yang pastinya akan lama dan seumur hidup? Apa aku salah, kalau semua ini dari Satria, anakku?”

“Kalau bapak mencukupi semua kebutuhan rumah tangga ini, sudah sewajarnya karena itu adalah kewajibannya. Jadi kami tidak menumpang, ini rumah kami," kata Tegar semakin berani.

“Tegar, diamlah, bagaimana kalau kamu mengalah?” bujuk Minar yang walau hatinya sedih tapi tetap berusaha menyenangkan hati sang mertua.

“Tidak bisa, Tegar tidak mau,” kata Tegar yang kemudian menjauh dari mereka.

“Ada apa ini?” tiba-tiba Satria yang sudah selesai memarkir mobilnya, kemudian sudah berada diantara mereka.

“Itu Mas, ibu ingin menempati kamar ini,” kata Minar dengan wajah sedikit muram.

“Lho, Ibu bagaimana, ini kamar Tegar," kata Satria.

“Aku sudah tahu. Istrimu yang dari kampung ini sudah mengatakannya.”

“Lalu mengapa Ibu bersikeras ingin menempati kamar ini?”

“Aku tidak suka kamar sempit.”

Minar menghembuskan napas kesal. Tidak suka kamar sempit, dan itu sebabnya sang ibu mertua lebih suka tidur di jalanan, karena dari tidur di tempat terbuka, dia bisa melihat langit, dan kiri kanannya tentu saja sangat luas. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Ia hanya ingin agar sang ibu mertua bisa dibujuk sehingga dia bisa merasa tenang. Baru soal kamar saja sudah begini heboh.

“Bu, ayo kita lihat kamar lainnya. Tidak ada kamar sempit di rumah ini, kecuali kamar di belakang, yang sedianya akan diberikan untuk kamar pembantu. Tapi Minar tidak suka memiliki pembantu. Ia istri yang baik. Ia lebih suka mengerjakan semuanya sendiri."

“Dasar pelit,” gumamnya pelan. Pokoknya menantu dari dusun itu tak ada baik-baiknya bagi mertua yang tinggal di kota. Tapi tak ada yang menanggapi ucapannya. Satria menarik lengan ibunya, untuk menunjukkan dua kamar yang tersisa, dan ia meminta sang ibu memilihnya.

“Lihatlah, ini cukup luas. Ada jendela besar yang kalau dibuka, ibu bisa melihat tanaman bunga milik Minar. Ia sangat suka bunga. Ayo bu, lihatlah, bunganya indah-indah dan menyegarkan mata,” bujuk Satria sambil menarik lagi lengan ibunya, diajaknya masuk dan kemudian ia membuka jendela kamar yang cukup besar. Memang benar, ada kebun bunga terhampar. Walau tidak sangat luas, tapi penuh dengan mawar-mawar yang semarak karena berwarna-warni.

Begitu angin bertiup, aroma bunga yang wangi menyergap penciuman, dan membuat nyaman di hati.

“Nih, apa Ibu kurang suka?”

“Kurang kerjaan, pakai menanam bunga segala,” gumamnya lagi, pelan.

“Bagaimana, ibu suka? Kalau kamar satunya, itu di sebelah kamar kami. Ayo kita lihat. Kalau jendela dibuka, ada kolam ikan dan pohon rindang yang kalau kita duduk di bawahnya akan terasa segar. Apalagi kalau udara sedang panas.”

Satria menarik lengan ibunya lagi menuju satu kamar lain. Besarnya sama, ada pemandangan yang cantiknya sama. Tapi Rohana bukan sedang memilih kamar atau menentukan mana yang disukai. Ia ingin membuat menantunya kerepotan atas keinginannya.

“Yang mana Bu? Kamar Tegar itu biarpun luas, sumpek Bu, Tegar punya barang-barang untuk keperluan kuliah, ada tempat santai dan ada segudang mainan Tegar mulai dia masih kanak-kanak. Repot memindahkannya."

“Semuanya nyebelin. Aku mau tidur di sini saja,” katanya sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.

Minar dan Satria mengikutinya.

“Mana nyaman tidur di sofa? Tidak bisa bergerak leluasa,” kata Minar lembut.

“Aku hanya ingin kamar seperti kamar anakmu itu.”

Ada rasa kesal merayapi hati Satria. Sekian lama dirindukan, ketika ketemu dan disambut dengan suka cita, sikapnya sangat membuat kesal dan sebal. Satria bahkan tidak mampu berkata apa-apa, dan hanya duduk di depan sang ibu, yang mulai membaringkan tubuhnya di sofa.

“Bu, mengapa hanya masalah kamar membuat ibu seperti ini? Bukankah ini lebih baik daripada ibu tidur di jalanan?”

“Lebih baik di jalanan, tidak ada yang mengatur.”

“Astaga. Ibu!! Bagaimana mungkin, ibu memilih tidur di jalanan sedangkan ibu memiliki anak cucu yang mengharapkan ada ibu di sampingnya?”

Rohana diam. Ia benar-benar seperti anak kecil yang rewel karena ingin bermain tapi  tidak dituruti. Tegar sudah pergi entah ke mana. Tampaknya dia benar-benar mulai tidak suka kepada neneknya yang keinginannya sangat tidak masuk akal. Rasa tidak suka itu dimulai sejak sang nenek mengatai ibunya sebagai perempuan kampung, dan belum lama ini ia juga mengatakannya. Bahkan di depan ibunya. Kalau bukan karena ia harus menghormatinya, sebagai seorang cucu, ia pasti sudah mengumpatnya habis-habisan.

***

Boy yang mendengar dari ayah ibunya bahwa sang nenek telah mau pulang ke rumah Satria, merasa senang. Ia masih ingat, dulu sang nenek itu sangat menyebalkan. Bahkan mulut kecilnya pernah mengatainya sebagai nenek sihir. Semoga setelah semakin tua, sikap sang nenek akan berubah.

“Apakah sikap nenek baik, sekarang ini?”

“Bukankah kamu pernah bertemu dengannya?” tanya sang ayah.

“Hanya sekilas, dan selalu dia pergi dengan tergesa-gesa. Boy ingin segera pulang dan bertemu nenek.”

“Iya. Bagaimana keadaanmu sekarang?”

“Sudah lebih baik. Barangkali lebih baik Boy dirawat di rumah. Bosen Boy di sini terus menerus.”

“Ya, tinggal di rumah sakit, siapa yang suka? Tapi bersabarlah dulu untuk beberapa saat lagi. Nanti biar bapak bilang sama dokternya dan menanyakan kemungkinannya. “

“Kata dokter gegar otak yang Boy alami tidak terlalu berat kok. Ini sudah hampir seminggu.”

“Baiklah, nanti kalau dokternya datang, biar bapak berkonsultasi. Sabarlah Boy.”

“Ke mana Indi? Mengapa tidak datang bersama Bapak dan Ibu?”

“Tadi mengantarkan temannya.”

“Ini sudah malam, masa belum pulang?”

“Barangkali dia sudah pulang dan tidur di rumah,” kata Monik.

“Indi pacaran sama dia?” tanya Boy yang sudah mendengar dari ayah ibunya, bahwa Azkalah yang pertama kali bertemu Rohana.

“Masalah pacaran mana bapak tahu. Kalian itu suka menebak-nebak. Kalau tidak benar, nanti saling marah-marah,” kata Tomy sambil tersenyum. Ia tahu, kedua anaknya saling mengasihi, tapi kalau sudah bertengkar, seisi rumah bagaikan runtuh.

Ketika sedang berbincang itu, Satria menelpon Tomy.

“Ya, bagaimana keadaan ibu?”

“Lagi ngambeg.”

“Ngambeg? Apa maksudnya ngambeg?”

“Ibu rewel hanya gara-gara kamar.”

“Gara-gara kamar?”

Lalu Satria menceritakan bagaimana Rohana menginginkan kamar Tegar, sementara di dalam kamar Tegar berisi banyak perlengkapan Tegar kuliah. Tomy heran mendengarnya.

“Lalu bagaimana?”

“Tidur di sofa.”

“Astaga.”

“Aku pikir ibu hanya ingin merepotkan kita. Keinginannya aneh dan tidak masuk akal. Padahal ada dua kamar lain yang bersih dan nyaman, karena Minar kan selalu membersihkannya setiap hari.”

“Besok pagi aku ke sana untuk menemuinya. Kalau memang ibu mau, di rumah aku juga tidak apa-apa,” kata Tomy.

Baru saja meletakkan ponsel, tiba-tiba Tegar muncul dengan wajah kusam.

“Hei, kenapa malam-malam kamu datang kemari?” tanya Tomy.

“Kesal sama nenek,” jawabnya sambil langsung duduk di sofa.

“Karena nenek mau mengambil kamar kamu ya?” tanya Tomy.

“Om sudah tahu?”

“Baru saja ayahmu menelpon. Nenek Rohana rewel, katanya.”

“Mengapa ternyata nenek menjengkelkan?” kata Tegar sambil mengusap wajahnya, kesal.

“Sabarlah, Tegar. Mungkin nenek sedang beradaptasi dengan keadaan. Sebenarnya kan dia tidak ingin pulang, jadi ketika dipaksa pulang, lalu dia berulah yang aneh-aneh,” kata Monik.

“Masa sih tante, ada dua kamar kosong yang cukup bagus dan luas, dia memilih kamar Tegar. Susah dong memindahkan barang-barang Tegar.”

“Nenek sedang ingin rewel. Sabar dulu.”

“Aku mau tidur di sini. Kalau aku pulang, nanti nenek minta lagi kamarku,” gerutu Tegar.

“Ya sudah, tidurlah di sini, nanti aku kabari ayahmu,” kata Tomy.

“Boy yang mendengar itu semua, hanya tersenyum menanggapi. Tapi ia senang malam ini akan ditemani Tegar. Ada teman ngobrol. Pikirnya. Tapi ketika ayah dan ibunya pulang, ternyata Tegar sudah ngorok duluan."

***

Indi yang bangun pagi-pagi dan membantu Monik menyiapkan minum untuk ayahnya, heran mendengar sang ibu menceritakan tentang ulah nenek Rohana.

“Mengapa nenek begitu sih?”

“Biarkan saja dulu, barangkali nenek sedikit kaget, setelah bertahun-tahun di jalanan, lalu dipaksa tinggal di rumah, dan pastinya ada aturannya. Jadi dia berulah yang membuat kesal semua orang. Bahkan Tegar tidur di rumah sakit, semalam.”

Indi terkekeh, membayangkan wajah Tegar yang pasti merengut seperti anak kecil berebut mainan.

“Nenek aneh deh. Bagaimana kalau nanti nenek ada di sini lalu minta kamar tidur Indi untuk menjadi kamar tidurnya? Indi ogah lhoh Bu.”

Monik tertawa.

"Masa setiap kali dia selalu minta kamar orang lain sih? Ada banyak kamar di sini, kalau nenek mau.”

“Di rumah om Satria juga ada kamar-kamar kosong kan? Buktinya nenek masih rewel.”

“Kita lihat saja nanti.”

“Bagaimana kalau nanti nenek kabur lagi karena tidak mendapat kamar yang diinginkannya?”

“Ya enggak lah, masa nenek akan memilih hidup di jalanan lagi?”

“Siapa tahu, nenek kan orang aneh.”

“Eeh, sudah, jangan bicara yang enggak-enggak. Bawa minuman bapak ke depan, ibu mau membuat roti bakar dulu.”

“Indi yang selai kacang lhoh Bu,” kata Indi sambil membawa minuman sang ayah ke depan.

“Iya, ibu sudah tahu,” kata Monik sambil membayangkan ulah ibu mertuanya. Bagaimana ya, kalau nanti Rohana mau tinggal di sini dan rewel tentang kamar, atau mungkin tentang hal lain?

***

Ketika Minar dan Satria bangun, dilihatnya sang ibu masih ngorok di sofa. Keduanya geleng-geleng kepala. Mungkinkah karena lama sekali tidur di sembarang tempat, lalu lebih merasa nyaman tidur di sofa daripada di dalam kamar?

Minar mendiamkannya. Ia segera ke dapur untuk menyiapkan minum dan sarapan untuk keluarganya.

Satria melangkah ke kamar Tegar, dan melihat anak itu belum pulang ke rumah.

“Masih tidur di rumah sakit, rupanya,” gumam Satria yang kemudian masuk ke kamar dan mandi. Ia harus ke kantor pagi-pagi.

Sementara itu Minar yang berada di dapur merasa was-was. Ketika ia sendirian di rumah, bagaimana kalau sang ibu mertua rewel dan masih berulah tentang kamar, atau bahkan yang lainnya?

Ketika Satria bersiap untuk sarapan sebelum berangkat kerja, ia menyentuh kaki ibunya pelan.

“Hei, ada apa? Apakah sudah saatnya buka toko?” hardiknya.

“Bu, siapa yang mau buka toko?” tanya Satria heran.

Rohana membuka matanya dan menguap. Ia mengedip-ngedipkan matanya, dan melihat ke sekeliling. Rupanya tadinya ia merasa dibangunkan oleh pelayan toko yang mengusirnya ketika dia tidur di emperan, sedangkan toko sudah mau buka.

“Ini bukan toko?”

“Bu, ibu ada di rumah Satria. Mengapa juga ibu tidur di sofa dan tidak di kamar saja?”

“Oh … kirain toko.”

Rohana menatap ke arah meja, dan melihat gelas berisi coklat susu terhidang di sana. Ia segera meraihnya dan meneguknya. Hampir habis. Satria menatapnya tersenyum.

“Ibu mau mandi? Setelah itu sarapan ya, Minar sudah menyiapkan sarapan untuk ibu.”

“Mana baju yang kata istrimu diberikan untuk aku?”

“Ada di kamar, biar Minar yang menunjukkan.”

“Ibu mau mandi?” tanya Minar.

“Apa baju yang kamu berikan pantas dipakai untuk bepergian?”

“Saya kira pantas Bu, kalau ibu tidak suka, nanti Minar antar Ibu belanja baju, dan ibu bisa memilih yang ibu suka.”

“Aku mau sarapan dulu. Aku lapar,” katanya tanpa sungkan.

Minar agak lega, sang ibu lupa tentang kamar itu? Minar melayani suami dan ibu mertuanya sarapan. Biarkan saja, bangun tidur, belum mandi langsung makan. Bukankah itu kebiasaan dia selama ini? Minar atau Satria tak ingin menegurnya.

Sebelum berangkat, Satria berbisik ke telinga istrinya.

"Hati-hati kalau mengajak ibu belanja, jangan sampai dia kabur lagi."

***

Besok lagi ya.

58 comments:

  1. 🌹☘️🌹☘️💰☘️🌹☘️🌹

    Alhamdulillah eMaAeM_18 sudah hadir.....

    Matur nuwun Bu Tien.....

    Dasar gak tahu diri, sdh dikasih masih aja komen.......

    _“Apa baju yang kamu berikan pantas dipakai untuk bepergian?”_

    🌹☘️🌹☘️💰☘️🌹☘️🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jeng Rose......
      Mas Kakek malit, lho
      Yangtie tadi tak selip ditikungan... Ybs gak tahu jika aku mendahuluinya. Hahahaha

      Delete
    2. Kok ada ya alur cerita yang perangainya jahanam laknat seperti si "rohana" hatinya buruk busuk, pencuri, tukang bohong, sombong arogan nggak tahu diri memuakan menjijikkan..... 😈😈😈

      Delete
  2. Alhamdulillah
    eMAaeM 18...telah tayange
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Tetap sehat..Tetap semangaat .💪😍

    Salam ADUHAI..dari Bandung

    🙏😍💐🌹

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Ning
      ADUHAI dari Solo

      Delete
  3. 🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁
    Alhamdulillah 🙏🤩
    eMAaeM_18 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍
    🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibi Sari
      ADUHAI deh

      Delete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah "Masih Adakah Makna 18 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🙏🌷🌷🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Hp sudah oke?

      Delete
  6. Alhamdulillah
    terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah...terimakasih Bunda

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, cerbung MAM heboh.bikin sutrisss gregetan 😅😂👍👏
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  9. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ..Salam Sehat selalu 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  11. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 18, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete

  12. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~18 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete

  13. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 18* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Wedeye

      Delete
  14. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
    Bikin penasaran,...,🤩 aduhaiii

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu....

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah matursuwun BuTien, semoga Bu Tien sekeluarga sehat dan bahagia selalu 💖

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien
    Semoga Bunda selalu sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  18. Rohana.... Gak tahu diri, gak tahu diuntung. Jiaan keblangsak tenan.
    Matur nuwun bu Tien yg dg piawai mengobrak abrik hati pembaca. Jadi pada ingin nyambel semua

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien "MASIH ADAKAH MAKNA 18" sdh tayang
    Semoga bu tien sehat² selalu n tetap semangat

    ReplyDelete
  20. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 18 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Rohana berulah seperti anak kecil, semua anak, mantu dan cucu nya pada kebakaran jenggot..😁
    Mungkin permintaan nya adalah baju baru, itu yang nenek Rohana suka😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni

      Delete
  21. Waah...memang merepotkan punya nenek serakah seperti Rohana ya, kasihan Tegar. Mungkin juga Rohana mulai pikun ya...😅

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sayang, sehat selalu ya...🙏😘😘

    ReplyDelete
  22. Makasih mba Tien
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 04

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  04 (Tien Kumalasari)   Pintu mobil itu terbuka, dan seseorang turun. Senyuman Arumi melebar. Ia tak mungkin ...