Wednesday, September 25, 2024

MASIH ADAKAH MAKNA 12

 MASIH ADAKAH MAKNA  12

(Tien Kumalasari)

 

Indira tak ingin mengedipkan matanya. Ia harus yakin, apakah itu tas miliknya, atau hanya mirip. Bukankah banyak model tas yang sama di mana-mana?

“Indi, kamu mau nambah ampela ati?” tanya Minar.

Mendengar itu, Indi terkejut. Ia baru sadar kalau sedang bersama ibu Minar dan Tegar, yang sedang menyangga sebuah piring anyaman bambu beralaskan daun pisang.

“Kamu belum pesan, nambah apa?”

“Mm,,, boleh deh, tambah ampela ati,” kata Indi yang kemudian kembali menatap tas yang tergantung itu.

Begitu pesanan diterima, tak tahan lagi, Indi lalu bertanya.

“Pak, itu tasnya bagus. Dijual atau apa?”

Pak Trimo menoleh, tak mengira salah satu tamunya tertarik pada tas yang ditinggalkan Rohana.

“O, itu punya orang. Ada seorang wanita, yang kelihatannya peminta-minta, tiba-tiba memberikan tas itu untuk anak saya, Binari. Dia menolak, ingin mengembalikannya, tapi wanita itu langsung saja pergi. Ini saya bawa kemari, barangkali dia lewat. Soalnya kadang-kadang dia juga lewat sini. Kalau dia lewat, tas ini mau saya kembalikan,” terang pak Trimo panjang lebar.

Indi memang langsung melahap nasi liwet yang dihidangkan, bertiga mereka menghabiskan satu porsi, lalu terdengar Tegar memesan seporsi lagi.

“Saya satu lagi Pak, di piring sini saja, tambahnya paha ya Pak,” kata Tegar.

“Enak, benar-benar enak. Bagaimana Bapak bisa memasak seenak ini?” tanya Minar yang tak malu-malu kemudian meminta tambah lagi.

“Indi, mau tambah? Jangan sungkan lhoh,” kata Minar.

“Sudah kenyang Bu.”

Indi meletakkan piring di depannya, matanya terus menatap ke arah tas itu.

“Pak, bolehkah saya pinjam tas itu sebentar?”

“Rupanya non cantik ini juga tertarik ya. Tapi ini tidak saya jual, soalnya bukan punya saya,” kata pak Trimo sambil mengambilkan tasnya.

Indi menerima tas itu. Kosong. Tapi ia mencium aroma parfum yang tertinggal di situ. Ia sangat mengenal, karena itu parfum miliknya yang selalu dibawa di dalam tas itu.

“Kamu suka? Di toko banyak lho, tapi memang agak mahal. Nanti kita mampir yuk,” ajak Minar yang tak tahu tentang tas itu.

“Ini seperti tas saya yang hilang semalam.”

“Apa? Seperti ini tas kamu yang hilang?” kata Tegar.

“Iya.”

“Tapi kan banyak model tas yang sama, bahkan warnanya juga bisa sama.”

“Saya mencium bau parfum saya di tas ini, saya yakin ini punya saya. Ada gantungan lucu di ruisleting dalam. Ini benar-benar punya saya,” kata Indi yakin.

“Itu punya non cantik?” tanya pak Trimo.

“Kemarin saya kehilangan tas ini. Tapi di dalamnya ada bermacam-macam isinya. Ada dompet berisi uang dan surat-surat, ada ponsel saya juga.”

“Ya Tuhan, dari mana perempuan itu mendapatkan tas ini? Non cantik meletakkan sembarangan lalu dicuri orang tuh.”

“Tidak Pak, semalam saudara saya kecelakaan, saya panik dan lupa tentang tas ini. Mungkin terjatuh ketika saya lari-lari.

“Kok bisa sampai ke perempuan itu ya. Tapi ketika ditinggalkan memang nggak ada isinya tuh. Entah dari mana dia mendapatkannya. Katanya sih diberi orang kaya.”

“Ini saya beli saja ya Pak?” kata Indi.

“Jangan Non, bawa aja kalau memang itu punya Non.”

“Nggak enak Pak, masa dibawa begitu saja. Kasih harga, biar anak saya ini membayarnya,” sambung Minar yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka.

“Nggak bisa Bu. Ini bukan milik saya. Saya percaya pada Non ini. Bawa saja Non.”

“Gimana ya, nggak enak juga meskipun yakin ini punya saya.”

“Begini saja Pak, biar Bapak saya kasih uang sekadarnya. Nanti kalau sewaktu-waktu perempuan tua itu datang, kalau dia mau mengambil, suruh menghubungi anak saya ini.”

“Tidak usah Bu. Orangnya juga seperti kurang waras. Bawa aja Non. Saya malah senang tasnya kembali kepada pemiliknya.”

“Ya sudah, bawa saja, kalau ada apa-apa biar aku yang urus," kata Tegar.

“Semoga ada yang mengembalikan dompetku walau uangnya diambil.”

“Ya sudah, kita tunggu saja, semoga nanti ada orang baik yang mengembalikan dompetmu. Sekarang kamu mau makan lagi nggak?”

“Nggak Bu, sudah kenyang. Tadi di rumah sakit sudah makan roti.”

“Sudah pada kenyang Pak, semuanya berapa?” tanya Minar.

Pak Trimo menghitung, lalu menuliskan di sebuah kertas.

Minar mengambil uang sambil mengutarakan maksudnya.

“Begini Pak, di kantor suami saya, besok tanggal duapuluh bulan ini, akan mengadakan sebuah pesta kecil, begitulah. Nah, saya ingin agar nasi liwet pak Trimo ini menjadi menu utama nantinya. Bagaimana?”

“Wah, ini sungguh anugerah buat saya. Berapa tamu yang akan dijamu?”

“Sekitar dua ratus pak. Ya, nanti lebihin sepuluh atau duapuluh porsi deh. Tapi tidak dibungkus atau ditempatkan di kotak. Sistimnya prasmanan, gitu. Jadi pak Trimo membawa saja nasi beserta perlengkapannya ke sana, nanti biar Tegar menjemput pak Trimo, supaya gampang membawanya.”

“Oh, begitu Bu, baiklah. Tidak apa-apa. Akan saya siapkan Bu, sungguh ini rejeki buat saya.”

“Bapak memasak sendiri?”

“Biasanya iya, karena kan cuma sedikit, tapi nanti kalau memang repot bisa minta tolong tetangga. Karena itu hari Minggu kan Bu, anak saya akan membantu.”

“Bagus Pak, nanti saya jemput.”

“Tentang perlengkapan makan, di kantor sudah tersedia. Bapak bawa saja daun pisang untuk alas makan, biar kelihatan bagus, seperti penampilan kalau kita makan nasi liwet di sini.”

“Baik Bu.”

“Pak, ini uang pembayaran makan untuk kami tadi.”

“Ini terlalu banyak Bu, satu lembar saja masih ada kembaliannya kok.”

“Biar saja Pak, saya masih akan membawa dua bungkus lagi nanti, dan tolong uang itu diterima saja. Kami senang, nasi liwetnya enak sekali.”

“Tapi … “

“Pak, menolak rejeki itu tidak bagus lhoh. Sungguh Pak,” kata Minar sambil mendorong-dorong uang di tangan pak Trimo agar jangan dikembalikan padanya.

“Sudah Pak, ini selesai ya, sekarang saya mau membayar uang muka untuk pesanan saya.  Nitip tiga juta dulu ya pak, nanti kalau kurang dua tiga hari saya bayar kekurangannya.”

“Ba … baiklah kalau begitu. Tapi kalau boleh tahu, ibu ini siapa, dan non cantik ini siapa? Kalau yang ganteng ini kan nak Tegar?”

“Iya ya Pak, saya belum memperkenalkan nama. Saya Minar atau bu Satria, ini Tegar anak saya, dan ini Indira, keponakan saya.”

“Oh, iya … iya, jadi sekarang jelas saya harus memanggil apa. Tapi saya mengucapkan banyak terima kasih, karena hari ini dengan kedatangan Ibu, saya mendapatkan rejeki berlimpah ruah.”

“Sama-sama Pak Trimo, saya juga berterima kasih, nasi liwetnya enak sekali, kami sampai nambah-nambah.”

Pak Trimo menatap pembeli yang baik hati itu dengan rasa haru yang meluap. Ia bukan saja membayar uang yang berlipat-lipat untuk jajanan yang mereka makan, tapi juga memberi pesanan yang pastilah adalah rejeki untuknya.

Ucapan terima kasih diucapkannya bertubi-tubi ketika Minar dan anak serta keponakannya meninggalkannya.
Tapi sebelum memasuki mobil, Indi kembali menemui pak Trimo. Rupanya ia belum puas hanya mendapatkan tasnya kembali. Siapa tahu orang yang membawa tas itu juga menemukan dompetnya. Itu yang penting.

“Pak Trimo, maaf ya, masih tentang tas ini, apakah Bapak tahu di mana rumah perempuan itu?”

“Non, dia itu sepertinya tidak punya tempat tinggal. Dia pernah tidur di teras rumah saya.”

“Oh, begitu ya?”

“Tapi kalau namanya saya tahu, dia itu namanya Rohana.”

“Rohana?”

Indira pucat pasi. Bukankah Rohana itu neneknya? Tapi dia tak mengucapkan apapun, dia hanya mengucapkan terima kasih, kemudian berlari ke arah mobil yang sudah dinyalakan mesinnya. Ia langsung masuk dan duduk terengah-engah.

***

Indi ingin mengucapkan sesuatu, tapi tersekat di tenggorokan. Tegar menatap Indi dengan heran.

“Ada apa kamu? Kenapa kembali dan berbicara dengan pak Trimo lagi?”

“Dia … perempuan yang dikatakannya itu, kata … kata pak Trimo, namanya … Rohana.”

“Apa?” Tegar dan Minar berteriak.

“Dimana dia tinggal? Kamu tanyakan nggak?” tanya Minar.

“Indi tanyakan, tapi katanya dia tidak punya tempat tinggal.”

“Dia kenal dengan pak Trimo?”

“Hanya pernah tidur di teras rumahnya. Tapi menurutnya dia tidak punya tempat tinggal.”

“Ya Tuhan,” rintih Minar yang kemudian mengusap air matanya. Membayangkan mertuanya menjadi gelandangan, tak punya tempat tinggal, alangkah menyedihkan. Beberapa upaya sudah dijalankan, tapi semuanya tanpa hasil. Rupanya sang ibu mertua memang tak ingin kembali bersama anak-anaknya.

“Mengapa nenek memilih hidup dijalanan ya?”

“Sungguh aneh, kalau benar ia memilih hidup terlunta-lunta, sementara anak-anaknya bisa menghidupinya dengan layak,” kata Tegar.

“Lalu bagaimana tas itu bisa sampai ke tangannya?” kata Indi.

“Tadi pak Trimo bilang, katanya diberi orang kaya.”

“Itu aneh juga. Masa orang kaya memberikan tas bagus kepada seorang yang nggak jelas?”

“Berarti nenek sudah ada di kota ini. Bagaimana dia tidak bisa diketemukan?” kata Indi.

“Besok aku mau berpesan pada pak Trimo, kalau ketemu nenek yang disebutnya Rohana, aku minta agar menghubungi aku,” kata Tegar.

“Sepertinya pak Trimo tidak punya ponsel.”

“Dari mana ibu tahu?”

“Ketika kamu kehilangan, dan dia meninggalkan pesan dengan surat, dia tidak mencantumkan nomor kontak. Hanya minta kita datang kepadanya. Ya kan? Kalau dia punya nomor kontak, pasti dia akan mencantumkannya.”

“Dia orang sederhana yang tidak membutuhkan ponsel. Padahal di jaman sekarang ponsel itu perlu. Ya ampuun, aku jadi ingat ponselku. Bagaimana nasibnya?”

“Indi, ayo ibu belikan ponsel untuk kamu.”

“Eh, jangan Bu, ibu Monik sudah mau membelikannya.”

“Ayo kita ke rumah sakit dan mengabarkan semua ini. Ibu Monik pasti sudah ada di sana,” kata Tegar.

“Ibu Minar kan mau belanja?”

“Nggak usah dulu, tidak terlalu terburu-buru. Bukankah hari ini Boy akan operasi?” kata Minar.

“Iya benar. Mas Boy akan operasi."

***

Pak Trimo sudah pulang dari pasar, karena dagangannya telah habis ludes. Ia juga senang mendapat pesanan lumayan banyak, dan mendapat limpahan rejeki dari bu Minar yang memaksa untuk diterimanya.

Ia membawa peralatan ke dapur dan mencucinya sekaliyan. Kemudian dia duduk di depan menunggu kedatangan Binari.

Biasanya mereka makan siang bersama, barulah pak Trimo berangkat menjadi tukang parkir.

Ketika terkantuk-kantuk itulah Binari datang dan mengejutkannya.

“Bapak ngantuk ya?” tanya Binari iba. Ia mengerti, betapa lelahnya sang ayah, yang sebentar lagi sudah akan berangkat bekerja lagi.

Pak Trimo membuka mata dan tersenyum.

"Udara segar, membuat bapak mengantuk. Kamu baru datang?”

“Iya.”

“Pergi bersihkan diri, lalu ganti bajumu, bapak mau bicara.”

Setelah Binari selesai mengganti baju dan mereka makan siang bersama, pak Trimo mengatakan tentang kedatangan bu Minar ke tempat dia menggelar dagangannya.

Dia juga mengatakan bahwa bu Minar memberi lebih, juga memesan 200 porsi untuk pertemuan di kantor suaminya.

Binari ikut senang.

“Kalau tanggal dua puluh, berarti Binari libur. Binari bisa bantu Bapak.”

“Iya, bapak juga sudah membayangkan bahwa itu hari libur. Nanti seperti biasa, uang aku serahkan sama kamu. Tadi bu Minar juga memberi uang muka tiga juta. Kamu simpan saja dulu, bapak sungguh trauma memegang uang, setelah kehilangan itu.”

“Uang yang Bapak berikan, Binar simpan di bank. Nanti juga uang yang akan Bapak berikan, akan Binar simpan di bank.”

“Terserah kamu saja. Oh ya Binar, tentang tas itu, ternyata tas yang ditinggalkan bu Rohana itu milik keponakan bu Minar yang bernama Indira.”

“Benarkah? Bagaimana bisa?”

Lalu pak Trimo menceritakan asal mula Indira mengenali tas miliknya, juga bau wangi yang menguar dari dalam tas itu.

“Iya pak, Ketika bu Rohana datang itu, Binar juga mencium aroma wangi. Karena tas itu? Tampaknya bu Rohana menggunakan parfum, dan kelihatannya parfum orang kaya.”

"Perempuan itu aneh, aku mencurigai sesuatu. Mengapa tiba-tiba pergi dengan terburu-buru, padahal tadinya ingin menjual tas itu sama kamu?”

“Binari mengerti pak. Dia keceplosan tentang simpanan uang di kolong itu. Tiba-tiba dia mengucapkannya, padahal kita tidak pernah mengatakannya."

“Bapak kok condong menuduh dia pencurinya. Tapi tadi ada yang aneh lagi. Non Indira tiba-tiba bertanya tentang siapa yang memberikan tas itu, apa bapak tahu rumahnya, bapak bilang dia sepertinya tidak punya tempat tinggal. Bapak katakan namanya Rohana. Dan begitu mendengar nama itu, non Indi tampak kaget dan berlari pergi. Mungkinkah mereka keluarganya?”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

35 comments:

  1. Alhamdulillah
    eMAaMa 12...telah tayang
    Matur sembah nuwun Mbak Tien
    Tetap sehat..Tetap semangaat .πŸ’ͺ😍

    Salam ADUHAI..dari Bandung

    πŸ™πŸ˜πŸ’πŸŒΉ

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Masih Adakah Makna tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah MAM 12 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien πŸ™
    Sugeng ndalu, mugi Ibu & kelg.tansah pinaringan sehatπŸ™

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah "Masih Adakah Maknanya? 12 " sudah tayang, maturnuwun bu Tien semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ™πŸŒ·πŸŒ·πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  6. πŸ„πŸŒ΅πŸ„πŸŒ΅πŸ„πŸŒ΅πŸ„πŸŒ΅
    Alhamdulillah πŸ™πŸ€©
    eMAaeM_12 sdh hadir.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien & kelg
    selalu sehat, bahagia
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin.Salam aduhai😍
    πŸ„πŸŒ΅πŸ„πŸŒ΅πŸ„πŸŒ΅πŸ„πŸŒ΅

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah cerbung M A M si Rohana bikin pinisirin πŸ‘πŸŒ·πŸŒΉπŸ’
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat πŸ€²πŸ™πŸ™

    ReplyDelete

  8. Alhamdulillah MASIH ADAKAH MAKNA?~12 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga panjenengan sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  9. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  10. Maturnuwun .... Bu Tien. Semoga Bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah..
    Matur nuwun bunda Tien..πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah sdh tayang MAM. Matur nuwun bu Tien yg baik.
    Indi ketemu tasnya tapi sdh kosong

    ReplyDelete
  13. Jadi kepingin nasi liwetè pak Trimo.
    Maturnuwun bu Tien, selamat istirahat.

    ReplyDelete
  14. Keberadaan Rohana yg masih misteri, dan sukar di cari, dimana gerangan dikau berada ? hanya Bunda Tien Kumalasari yg tahu, terima kasih Bunda, kami semua menunggu kelanjutanya

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah telah tayang MASIH ADAKAH MAKNA(MAM) 12, terima kasih bu Tien, salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete

  16. Alhamdullilah
    Cerbung *masih adakah makna 12* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  17. Sedikit terobati, tas sudah kembali. Mudah mudahan isinya dapat diketemukan juga.
    Uang pak Trimo disimpan Binar, biar aman ya, semoga tidak hilang lagi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Nah, gitu dong Binari pintar...simpan uang banyak ya di bank, masa di rumah? Walaupun harus bayar administrasi dan bunganya kecil sekali, tapi relatif lebih aman daripada disimpan di kolong tempat tidur.πŸ˜€

    Terima kasih, ibu Tien yang baik hati dan terus berkarya, semoga sehat selalu ya, bu...salam sayang.πŸ™πŸ˜˜πŸ˜˜πŸ˜€

    ReplyDelete
  19. Terimakasih bunda Tien,sehat selalu dan selalu aduhaiii

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam hangat.....semoga sehat selalu bersama amancu πŸ’–πŸŒΉ

    ReplyDelete
  21. Hamdallah...cerbung Masih Adakah Makna part 12 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Pa Trimo dapat rejeki nomplok, rejeki nya anak sholeh..😁😁

    Jadi pengen sega liwet di Pasar Ngarsopuro - Solo...😁

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah .... terimakasih Bunda

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, eMAeM 12 telah tayang.
    Matur nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat² selalu

    ReplyDelete
  25. Mks bun MAM 12 sdh tayang
    Selamat malam bun smg sehat" selalu dan bahagia bersama kelrg tercinta

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  27. Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya πŸ€—πŸ₯°

    Senangnya pak Trimo mendapatkan Rizky, Krn kejujuran n kesabaran nya

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 12

  MASIH ADAKAH MAKNA  12 (Tien Kumalasari)   Indira tak ingin mengedipkan matanya. Ia harus yakin, apakah itu tas miliknya, atau hanya mirip...