AKU BENCI AYAHKU 48
(Tien Kumalasari)
Pak Drajat membacanya cukup sekali, tapi ia sudah yakin bahwa itu adalah rumah Rohana yang dulu diberikan padanya. Ia sudah mendengar, bahwa Rohana sudah menjual mobilnya. Ya, bahkan punya hutang ratusan juta lebih, berarti ia sudah tak punya apa-apa lagi. Yang membuatnya heran, dia sudah tak punya apa-apa, tapi tak bisa merubah gaya hidupnya.
Ketika pak Ratman sudah kembali masuk ke ruangannya, pak Drajat segera meminta agar sahabatnya mengurus pembelian rumah itu.
“Mas Drajat tertarik untuk membelinya?”
“Kamu tahu rumah siapa itu?”
Pak Ratman menerima ponsel yang disodorkan pak Drajat kepadanya.
“Ini … seperti pernah melihat rumah ini.”
”Aku tidak mau tahu, kamu urus pembelian rumah itu, nanti uangnya aku kirimkan melalui rekening kamu.”
“Mas menyukai rumah ini?”
“Barangkali Tomy dan Monik suka tinggal di rumah itu.”
“Kelihatannya bagus.”
“Sepertinya kamu mengenali rumah ini, pernah masuk ke dalamnya, barangkali,” ejek pak Drajat.
“Masa sih, nggak ingat aku Mas.”
“Pemiliknya seorang wanita. Kamu pasti kenal lah.”
“Mas jangan mengejek aku. Memangnya kenapa kalau pemiliknya wanita? Ada nama pemiliknya ya?”
“Nggak ada, hanya nomor telpon. Kamu hubungi saja. Jangan terkejut kalau kamu ternyata mengenalnya.”
“Ada-ada saja,” pak Ratman hanya tersenyum. Ia tahu bahwa sahabatnya sedang mengganggunya, karena dulu ia suka bermanin-main dengan wanita.
“Dulu … iya, aku mengenal banyak perempuan, tapi tidak untuk sekarang. Bukankah Mas menyuruhku untuk bertobat?”
“Bagus kalau kamu memang sudah bertobat, tapi setidaknya kan kenangan itu masih ada.”
“Entahlah, aku sudah melupakan semuanya.”
“Baiklah, hari ini aku mau pulang. Aku kemari hanya untuk titip anakku. Jangan lupa mengingatkannya untuk melanjutkan kuliah.”
“Baiklah.”
“Tentang rumah itu, aku serius. Aku menunggu kabarnya, berapa dia minta, nanti aku transfer ke rekening kamu.”
“Baiklah, akan segera aku perintahkan orangku untuk menindak lanjuti.”
“Sebaiknya kamu telpon saja dia dulu, tapi ingat, jangan bilang aku yang membelinya,” katanya sambil berlalu.
“Iya, aku sudah tahu.”
***
Rohana sedang duduk termenung sendirian di dalam rumah. Selama beberapa hari sejak iklan penjualan rumahnya ditayangkan secara online, belum ada seorangpun yang bertanya tentang rumah itu. Apakah rumahnya terlalu bagus lalu orang mengira pasti harganya mahal?
Rohana gelisah. Hanya itu satu-satunya jalan untuk menyambung hidup, setelah semuanya habis tak bersisa.
Ketika ponselnya berdering, Rohana segera mengangkatnya. Dengan heran ia melihat bahwa nama si penelpon sudah dikenalnya. Pak Ratman, yang pernah dikejarnya demi meminta uang yang sudah dibayarkan anaknya, tapi berhenti ketika tiba-tiba bekas suaminya memergokinya. Dan karena itu pula maka tunjangan bulanannya dihentikan.
“Hallo. Ini pak Ratman?”
“Ini … siapa? Kok mengenal saya?”
“Pak Ratman sudah membuang nomor kontak saya?”
Pak Ratman heran. Suaranya seperti dikenalnya. Tapi ia kan hanya menelpon nomor yang sesuai dengan iklan rumah itu?
“Ini … bu Rohana?”
”Pak Ratman pasti sudah membuang nomor kontak saya, sehingga tidak tahu bahwa ini nomor kontak saya.”
Lalu pak Ratman merasa mengenal rumah itu, karena ia memang pernah masuk ke sana, tapi kan dia tidak atau belum melakukan apa-apa, lalu Kartika menelponnya? Pak Ratman menahan tawanya. Rupanya pak Drajat memang benar-benar menggodanya, karena tentu saja dia mengenali rumah dan nomor kontak bekas istrimya. Tapi pak Ratman ingat, bahwa sahabatnya tak ingin si penjual rumah tahu bahwa dialah pembelinya.
”Bukankah nomor kontak bu Rohana sudah ganti? Ya saya buanglah nomor ini. Kan sudah ganti.”
“Siapa mengatakan saya ganti nomor?”
“Ketika bu Rohana mengembalikan uang yang seratus juta itu, kan bu Rohana mengirim pesan dengan nomor lain? Saya pikir nomornya benar-benar ganti, ternyata masih dipakai.”
Rohana heran. Ia kan tak pernah mengembalikan hutangnya, apalagi mengirim pesan. Rupanya anak-anaknya yang mengirim pesan palsu itu ketika membayar hutangnya kepada pak Ratman. Entah apa yang dikatakannya dengan pesan itu.
“Anak-anak saya memang kurangajar.”
“Memangnya ada apa bu?”
“Tidak, nggak jadi. Sekarang katakan, ada apa pak Ratman menelpon saya.”
“Sebenarnya saya bukan bermaksud menelpon bu Rohana. Saya kaget, nomor itu ternyata nomor bu Rohana, soalnya nomor bu Rohana sudah saya buang setelah mengatakan bahwa nomornya ganti."
“Baiklah. Lupakan tentang nomor itu. Sekarang katakan, ada apa pak Ratman menelpon saya?”
“Ibu menawarkan rumah?”
“Yaaa, benar,” kata Rohana bersemangat. Sekarang ia punya harapan, karena ada yang menanyakan rumah yang diiklankannya.
“Rumah bu Rohana itu?”
“Oya lah pak, rumah saya hanya itu.”
“Mengapa dijual Bu, nggak sayang?”
”Saya hanya sendirian, rumah sebesar itu malah merepotkan saya. Karenanya saya jual. Senang sekali kalau pak Ratman yang membelinya, jadi saya bisa menumpang tinggal di sana.”
“Apa?” pak Ratman terkejut. Bu Rohana mau menumpang dirumah itu? Bukan dia yang membelinya kan?
“Iya. Saya hanya sendirian, ada pavilyun di sebelah timur rumah, Kalau perlu saya akan membayar. Anggap saja saya menyewa,” kata Rohana seenaknya.
“Tidak, maaf. Kita bicarakan dulu soal jual beli ini, belum tentu juga saya cocok harganya.”
“Untuk pak Ratman akan saya berikan harga yang sangat istimewa, mengingat pak Ratman pernah menolong saya.”
”Surat-suratnya lengkap?”
”Sangat lengkap. Memang rumah itu diberikan suami saya, dulu, agar saya bisa tinggal lebih nyaman. Tapi sekarang saya merasa rumah itu terlalu besar bagi saya.”
“Berapa ibu akan menjual rumah itu?”
“Sebaiknya kita ketemu dulu, soal harga nanti gampang.”
“Ketemu di mana?”
“Di mana saja. Terserah pak Ratman mau di mana.”
“Nanti akan saya suruh anak buah saya untuk menindak lanjuti soal jual beli rumah ini.”
“Mengapa tidak Bapak sendiri? Sehingga bisa langsung tahu harganya, dan semuanya segera diurus seperti seharusnya.”
“Saya sedang sibuk. Dia bisa melakukannya kok.”
Pak Ratman menutup ponselnya, tapi Rohana sudah cukup merasa senang. Ada yang berminat, dan itu adalah pak Ratman. Dia akan memohon-mohon agar diijinkan tetap tinggal di sana.
Rasa senang membuat hatinya lebih nyaman. Ia segera membaringkan tubuhnya, tapi kemudian dia ingat tentang orang yang akan menjual kalung berliannya dengan harga murah. Sudah lama Rohana merindukan perhiasan bagus dan benar-benar emas berlian, setelah selalu memakai perhiasan imitasi.
“Nanti setelah rumahku dibayar, aku akan membelinya."
Senyumnya mengembang.
“Tidak lama lagi. Akan aku berikan seharga berapa dia berani membayarnya, toh aku tidak akan kehilangan uang untuk membeli rumah lagi,” kata Rohana sok yakin bahwa nanti masih bisa tinggal di rumah itu karena yakin pak Ratman tak akan menolaknya.
***
Hari itu Boy sudah boleh pulang ke rumah. Pak Drajat melarang Boy dititipkan di rumah tetangga, dan karenanya ia melarang Monik untuk bekerja.
“Tapi Pak, saya harus bekerja. Sudah menjadi tekat saya, bahwa saya akan terus bekerja agar Boy bisa sekolah sampai menjadi orang.”
“Aku kagum pada semangatmu. Aku suka kamu berkarya untuk masa depan anakmu.Tapi aku tidak mau cucuku terlantar.”
“Mengapa Bapak mengira bahwa Boy akan terlantar?”
“Kalau setiap hari kamu menitipkannya kepada orang lain, bagaimana dia tidak terlantar? Dia butuh pendidikan yang baik, dan kasih sayang yang penuh dari orang tuanya.”
“Teman saya mengajarinya banyak hal baik. Lagi pula bulan depan dia akan mulai sekolah.”
“Bagus, tapi jangan membantah. Berhenti bekerja dan serahkan pendidikan Boy kepada ayahnya.”
“Apa?”
“Kamu heran, kalau ada seorang ayah memenuhi kebutuhan anaknya?”
“Tapi mas Tomy kan hanya ….”
“Hanya sopir? Kamu jangan memandang rendah pekerjaan itu. Dia juga berkarya, dia juga punya penghasilan, yang percayalah akan cukup. Sementara itu dia akan kembali kuliah, dan setelah selesai aku akan mengatur pekerjaan untuk nya.”
Monik menatap ayah mertuanya. Rupanya sang ayah bukannya tidak peduli pada anaknya, diam-diam memikirkannya. Barangkali karena melihat Tomy sudah banyak berubah. Akhir-akhir ini memamg sang ayah mertua bolak balik ke Jakarta karena anak dan cucunya sakit.
“Hari ini aku harus kembali, banyak urusan di sana. Semua biaya Boy dan Tomy tidak usah kalian pikirkan. Tapi kamu harus ingat satu hal. Jangan bekerja lagi.”
Monik tak bisa membantah. Tapi masalah Tomy yang akan mencukupinya? Monik masih merasa ragu. Benarkah apa yang dikatakan ayah mertuanya?
“Ibu, mainan ini biar Boy sendiri yang membawanya.”
“Iya, terserah Boy saja. Tapi ayo sekarang menengok bapak?”
“Bapak siapa?”
“Bapak Boy itu siapa?”
“Boy kan punya bapak Satria, ibu Minar.”
“Itu bukan bapak dan ibu kamu sesungguhnya. Yang ada ialah bapak Tomy, sekarang sedang sakit, kamu harus menengoknya sebelum pulang ke rumah.”
Boy menatap ibunya. Ia melihat bahwa ibunya bersungguh-sungguh memintanya.
“Boy, selama kamu sakit, ayahmu menunggui kamu siang dan malam. Lupa makan dan lupa tidur, demi menjaga kamu. Sekarang ayahmu sakit. Tengok dia, dan katakan sesuatu,” titah Monik yang seakan tak ingin Boy membantahnya.
Boy melihat tatapan mata ibunya yang tajam dan menusuk. Senang atau tidak, Boy harus menurutinya.
“Boy harus menjadi anak baik. Kalaupun dia bukan ayahmu, kamu juga tetap harus berterima kasih atas semua pengorbanannya. Apalagi dia itu ayahmu.”
Boy mengangguk. Ia menurut ketika sang ibu menggandengnya keluar dari ruangan, kemudian menuju ke ruangan Tomy yang tak begitu jauh dari ruangannya sendiri.
“Boy harus bilang apa?” tanya Boy sebelum memasuki pintu ruangan itu.
“Boy harus mengatakan apa yang Boy rasakan. Boy sedih atau senang melihat bapak sakit? Boy ingin mendoakan agar bapak segera sembuh… atau tidak?”
Boy melangkah masuk. Ia melihat sang ayah masih terbaring. Wajahnya berbinar melihat Boy mendekatinya.
“Boy?”
“Boy sudah boleh pulang,” kata Boy pelan. Ia membiarkan Tomy meraih tangannya kemudian menciumnya.
“Bapak senang Boy sudah sembuh.”
“Bapak akan Boy doakan, supaya segera sembuh juga.”
Tomy tersenyum lebar. Ada bahagia membuncah mendengar sang anak mendoakannya. Ini luar biasa. Apakah Boy akan selamanya menyukainya?
“Terima kasih sayang. Bapak juga selalu berdoa agar Boy tidak sakit-sakit lagi.”
Boy mengangguk. Tak banyak berkata-kata.
“Apa kalau sembuh, Bapak mau mengajak Boy pulang?” akhirnya hal yang dipikirkannya, terucap juga dari mulutnya.
Tomy menggelengkan kepalanya.
“Kamu boleh tinggal di manapun kamu suka. Bapak tidak akan memaksa kamu.”
Boy mengangguk. Ia senang mendengar perkataan sang ayah.
“Cepat sembuh ya Mas,” akhirnya kata Monik.
“Aamiin. Terima kasih banyak. Siapa yang menjemput Boy?”
“Kartika.”
“Kartika?”
“Iya, dia akan ke kampus sebentar, lalu langsung kemari."
“Syukurlah. Gadis itu sangat manja, tapi terkadang dia seperti orang dewasa. Dia juga kocak dan selalu membuat orang tertawa.”
Monik tersenyum. Itu sebabnya mengapa Tomy bisa tertawa-tawa saat bersama Kartika. Monik berjanji akan bersikap baik dan tak akan mencemburuinya.
“Bapak melarangku bekerja, jadi aku sudah tidak akan lagi bekerja, kecuali hanya merawat dan mendidik Boy.”
“Benar, didik dia agar menjadi anak baik, tidak seperti bapaknya,” kata Tomy sambil tersenyum tipis.
“Cepat sembuh, aku akan sering menengokmu.”
“Terima kasih.”
Ketika sang ibu menggandengnya untuk keluar, Boy berkali-kali menoleh ke arah ayahnya. Ia melihat ada air mata menggenang di sana, dan entah mengapa, itu membuatnya merasa sedih.
***
“Apakah bapak menangis?”
“Bapak menangis bahagia,” kata Monik lirih. Iapun sempat melihat air mata itu. Sama sekali dia tidak menyangka, Tomy juga memiliki hati yang lembut.
“Apa bapak sedih karena Boy tidak mau diajak pulang?”
Monik tersenyum.
“Tidak. Bapak hanya ingin Boy senang. Kalau Boy tidak suka, bapak tidak akan memaksa. Kalau Boy tidak mau diajak pulang, bapak juga tidak akan mengajak pulang.”
Boy terdiam. Ada yang mengusik hatinya. Apakah bapaknya tidak akan menyiksa ibunya lagi?
Boy senang ketika memasuki kembali ruangannya, Kartika sudah ada di sana, bersama Satria pula.
“Om Satriaaa!?” Boy bersorak.
Satria segera mendekat dan merangkulnya.
“Om Satria bareng sama mbak Kartika?”
“Kebetulan saja. Om mendengar kamu boleh pulang, lalu langsung meluncur kemari, ternyata sudah ada mbak Kartika.
***
Pak Ratman memanggil anak buahnya yang ditugasi untuk membicarakan soal pembelian rumah. Masalah harga, pak Drajat sudah setuju, transaksi sudah akan dilaksanakan. Tapi suruhan pak Ratman bilang, bahwa nanti bu Rohana tetap akan tinggal di sana.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSelamat buat pa Latief, yang malam ini paling depan menjemput kepulangan Boy dari Rumah Sakit.
DeleteSemoga Tomy. juga cepat sembuh, dan segera kumpul kembali dalam satu rumah yang sdg diurus transaksinya, dan Rohana juga diijinkan untuk tinggal disana.
Makasih, bu Tien.🙏😀
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteAtur nuhun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteADUHAI 3X jeng In
Deletealhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endah
DeleteAlhamdulillah... salam sehat dri Bintaro
ReplyDeleteSalam sehat dari Solo ibu Wiwik
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Atiek
Delete🩵🫐🩵🫐🩵🫐🩵🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_48 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai😍🤩
🩵🫐🩵🫐🩵🫐🩵🫐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 jeng Susi
DeleteMaturnuwun bu Tien .... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
Hatur nuhun
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~48 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salsm sehat selalu
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah AaBeAy_48 sudah tayang...
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, atas bekal untuk cemilan diatas kereta. Saya dan jeng Ning, mohon pamit pulang ke Bandung malam ini dengan kereta Lodaya malam.
Sampai ketemu di JF-5 Yogjakarta 29 Nopember sd 1 Desember 2024.
Sami2 mas Kakek
DeleteSampai jumpa
Kalau Rohana tetap tinggal, akan repot jadinya. Bukannya membantu tapi jadi benalu.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 48* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Matur suwun mbak Tien yang aduhai..🥰
ReplyDeleteSami2 ibu Widji
DeleteAduhai deh
Makasih Bu Tien.moga Bu Tien sehat selalu dan bahagia bersama klg Aamiin yra 🌹🌹🌹🌹
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Utinah
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien "Aq ben ay" sdh tayang
Semoga bu tien sehat² & senantiasa dlm lindungan Allah SWT .... tetap semangat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Arif
Mks bun ABA 48 sdh tayang.....aduh hati ini gak nyaman ya krn rohana akan tetap tinggal disitu, takut bikin ulah lagi...itu aja blm apa" sdh berencana mau beli kalung berlian, yah bagaimana besok aaaah
ReplyDeleteSelamat malam bun sehat" selalu ya...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Matur nuwun Bu Tien, semoga tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
.Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 48 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Senang melihat Monik dan Tomy bersatu lagi. Sayang Desy membelot tdk mau bersatu dengan Tomy.
Rohana gimana nih..kok masih silau dengan harta dan perhiasan..he..he..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteSenang bercampur sedih ,jd terharu dg Tomy.
Duh Rohana msh aja deh kelakuan nya , ini yg bikin gemes bacanya
Aduhai deh 🤩
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Aduhai deh
Matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah, salam sehat dan bahagia selalu tuk Bu Tien skeluarga
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Umi.
DeleteSami2
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai deh
Terimakasih bunda Tien, salam sehat senantiasa
ReplyDeleteSami2 ibu Komariah
ReplyDeleteSalam sehat juga
Kok Rohana masih tinggal di rumah itu?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Yaahh...Rohana, selalu mau seenaknya sendiri.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai