Tuesday, September 3, 2024

AKU BENCI AYAHKU 47

 AKU BENCI AYAHKU  47

(Tien Kumalasari)

 

Monik berhenti melangkah, tegak berdiri di tengah pintu. Dari sana ia merasa trenyuh. Ingin rasanya segera memeluk laki-laki yang memang masih suaminya itu, tapi ada rasa segan mengingat mereka belum saling bicara tentang kelanjutan hubungan mereka. Tampak aneh, karena bukankah mereka masih suami istri?

Memang sih, setiap hari berdua merawat dan menunggui Boy yang sedang sakit, tapi selama berstatus istri, Monik belum pernah menyentuh suaminya, apalagi merawatnya.

Monik melangkah perlahan, mendekat ke arah ranjang, di mana Tomy masih terbaring lemah.

Tangannya sudah diangkatnya untuk meraba dahi sang suami, tapi tangan itu berhenti diudara, ketika tiba-tiba tangan Tomy bergerak dan menahan tangan itu.

“Akhirnya kamu datang,” katanya pelan.

“Kamu … kenapa?” tanya Monik tanpa bermaksud melepaskan pegangan Tomy.

“Tidak apa-apa, dokter hanya menyuruhku beristirahat.”

Monik merasa tangan Tomy tak sepanas kemarin, tapi wajah pucat itu masih tampak.

“Kamu kecapekan.”

“Tidak, aku tidak merasa capek. Bagaimana Boy?”

“Dia baik, Tadi sudah tidur. Kamu sendiri bagaimana?”

“Aku juga baik. Terlebih setelah melihatmu mendekati aku. Sepertinya ada juga kepedulian kamu terhadapku.”

“Bapak bilang, kamu sakit keras."

Tomy tertawa lirih. Pasti ayahnya mengatakan itu agar Monik mau menjenguknya. Tapi Tomy senang karena Monik terlihat benar-benar peduli.

“Kembalilah ke ruangan Boy, ini sudah malam. Nanti Boy mencari kamu, bagaimana?”

“Ada bapak di sana.”

“Syukurlah, tapi kamu juga tidak boleh kecapekan. Segera istirahat.”

“Baiklah, setidaknya aku merasa lega, karena kamu baik-baik saja. Besok aku akan melihatmu lagi,” kata Monik.

Tomy mencium tangan Monik dengan lembut, membuat Monik berdebar-debar. Ia belum pernah merasakannya, dan malam ini Monik seperti menemukan kehangatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

“Segera istirahatlah,” katanya lirih, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi.

Tomy tersenyum bahagia. Setidaknya Monik tidak pernah menolak, ketika dia merangkulnya, atau mencium tangannya. Ada sesal di hati Tomy, mengapa dulu dia menindasnya dan berbuat sewenang-wenang kepadanya.

***

Pagi hari itu pak Ratman dan Kartika memerlukan datang ke rumah sakit untuk membezoek Tomy. Sesungguhnya Kartika ingin berangkat sendiri, tapi karena khawatir masih dicurigai ada hubungan terselubung dengan Tomy, maka ia mengajak ayahnya.

Kartika senang, Tomy sudah lebih kelihatan segar. Bukan seperti kemarin, menggigil tapi badannya sangat panas.

Pak Ratman memegang tangan Tomy, lalu menepuknya hangat.

“Syukur sudah tidak panas lagi.”

“Terima kasih banyak, Pak. Saya jadi merepotkan semua orang.”

“Mengapa berkata begitu? Tidak ada yang repot. Yang ada adalah rasa khawatir. Bahkan Kartika ketakutan melihat keadaan kamu.”

"Pak Agus mengatakan bahwa yang menolong saya pertama kali adalah mbak Kartika. Terima kasih, ya.” katanya kemudian kepada Kartika yang sejak tadi hanya diam. Barangkali masih teringat ketika Tomy memeluknya, tapi yang disebut adalah nama Monik.

“Tidak usah berterima kasih. Aku sebenarnya dari kampus, hanya lewat. Melihat pintu rumah terbuka, aku mengira Mas ada di rumah. Aku ingin menanyakan keadaan Boy, tapi aku melihat Mas ada di kamar, berselimut dan menggigil. Aku bingung harus bagaimana. Aku hanya membuatkan minuman hangat, lalu menelpon mas Satria agar membawa Mas ke rumah sakit. Ternyata mas Satria ada di luar kota bersama keluarganya. Tapi mas Satria menelpon pak Agus, yang kemudian membawa Mas ke rumah sakit,” kata Kartika panjang lebar, tapi tidak mengatakan tentang peluk memeluk yang membuat dirinya kemudian dihajar ayahnya ketika pulang.

“Bagaimanapun, semua karena kamu.”

“Ya sudah, lupakan saja. Yang penting mas Tomy segera sembuh.”

“Aku sudah lebih baik.”

“Syukurlah. Sekarang aku pamit dulu, mau menengok Boy sebentar, lalu ke kampus. Bapak juga harus segera ke kantor, bukan?”

“Ya. Dan kamu tidak usah memikirkan pekerjaan dulu. Yang penting kamu dan Boy segera sembuh, baru memikirkan yang lain,” kata pak Ratman.

“Baik, Pak. Terima kasih atas semuanya.”

Ketika sampai di ruang rawat Boy, Monik segera merangkul Kartika sambil meminta maaf karena salah sangka atas kejadian kemarin malamnya.

“Tidak apa-apa Mbak, saya bisa mengerti, karena memang sekilas seperti sesuatu yang tidak pantas. Tapi percayalah, mas Tomy sangat mencintai mbak Monik.”

“Terima kasih, karena kamu, mas Tomy bisa segera mendapat pertolongan.”

“Lupakan saja. Yang penting mas Tomy segera sembuh.”

“Mbak Kartikaaaa,” Boy yang melihat Kartika segera berteriak memanggil.

Kartika segera menghambur ke dekat Boy, mencium pipinya bertubi-tubi.

“Mbak hanya sebentar, karena mau sekolah. Boy pengin mainan apa lagi?”

“Mainan yang dikasih Mbak masih ada. Kata ibu besok kalau sudah sembuh baru boleh main-main.”

“Baiklah, Boy segera sembuh ya.”

Pak Ratman yang berbincang sejenak dengan Monik, kemudian mengajak Kartika pamit, karena yang satu harus ke kampus, satunya harus ke kantor. Selama Boy dan Tomy sakit, pak Ratman diantar jemput oleh driver lain.

***

Indi yang sedang bermain-main, terkejut ketika tiba-tiba sang kakek datang dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Selalu begitu, dan membuat Indi berteriak-teriak senang.

Tapi ketika sang kakek menurunkannya kembali, Indi memukul kakeknya dengan tangan kecilnya, sambil cemberut.

“Mengapa kakek pergi lama sekali?”

“Iya, masih ada urusan di Jakarta. Memangnya kenapa? Indi kangen sama kakek?”

“Kangen, tahu,” katanya sambil masih cemberut, mulut kecil yang mengerucut itu membuat gamas, pak Drajat mencubitnya pelan.

"Di Jakarta ada kakaknya Indi lhoh.”

“Memangnya Indi punya kakak?”

“Ada, namanya Boy. Indi harus memanggilnya mas Boy.”

“Mas Boy? Apakah dia sudah besar?”

“Agak besar sedikit dari Indi, lihat  nih, ada fotonya di ponsel kakek.”

Pak Drajat mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkannya pada Indi.

“Lihat, ini kakak kamu.”

“Ini? Ganteng ya?”

Pak Drajat tertawa.

“Kamu kok sudah tahu orang ganteng?”

“Katanya kalau cowok itu ganteng, kalau cewek itu cantik.”

“Haaa, benar sekali. Kamu anak pintar.”

“Kapan kakek mengajak dia datang kemari?”

“Tidak sekarang. Saat ini mas Boy sedang sakit.”

“Sakit, kasihan. Sakit seperti Indi waktu itu?”

“Benar, sakitnya seperti sakit Indi waktu itu.”

“Indi ingin melihatnya.”

“Nanti kalau mas Boy sudah sembuh, Indi akan kakek ajak ke sana. Supaya kalian bisa berkenalan.”

“Horeeee, Indi suka. Tapi tidak usah pakai petak umpet seperti ketika ketemu bapak, bukan? Indi nggak suka, kata ibu, itu namanya berbohong.”

“Ya … ya, maaf, itu bukan bohong sungguhan kok, hanya main-main. Nanti Indi boleh bertemu dengan ayahmu dan juga mas Boy kamu.”

“Bener ya?”

“Tentu saja bener. Sekarang kakek mau pulang dulu.”

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, lalu Desy  turun dari mobil itu. Pak Drajat mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa Desy diantar oleh Raka, staf keuangan di kantornya.

Desy melambaikan tangan kearah yang mengantarnya, kemudian melangkah masuk ke halaman.

“Ada Bapak, rupanya,” sapa Desy yang kemudian meraih tangan pak Drajat lalu diciumnya.

“Siapa dia? Raka, bukan?”

“Iya. Mas Raka. Kebetulan beberapa hari ini bisa pulang bareng, jadi sekalian mengantarkan Desy.”

“Hanya karena kebetulan?”

Desy menundukkan wajahnya. Sesungguhnya ada sesuatu diantara mereka. Hubungan pertemanan yang tidak biasa, karena ada benih-benih suka diantara keduanya. Tapi Desy takut berterus terang pada pak Drajat. 

“Benarkah? Hanya kebetulan atau kalian saling suka?”

“Saya ….”

“Kamu takut mengakui perasaan kamu dengan mengingkarinya? Apa kamu mengira bahwa aku akan memarahi kamu? Bukankah kamu sudah bukan istri anakku lagi? Apa salahnya kalau kamu menemukan seseorang yang bisa membahagiakan kamu?”

Desy menundukkan wajahnya.

“Jadi … saya boleh … mm… “

“Kamu berhak jatuh cinta lagi. Pernikahan siri tidak harus lepas melalui proses hukum.”

“Sebenarnya kami baru pendekatan. Entah apakah akan cocog dan bisa berlanjut ke jenjang yang lebih serius, kami belum tahu.”

“Jangan berhubungan dengan orang yang tidak serius. Lihat bagaimana hatinya, sebesar apa cintanya terhadapmu, kamu harus tahu dan yakin bahwa  dia benar-benar jodohmu. Pengalaman kamu yang telah lalu, yang menikah atas dasar nafsu, adalah sebuah pelajaran yang harus kamu pahami. Jangan berjalan melalui kubangan yang sama.”

Desy merasa lega. Ketakutan atas kemarahan sang bekas ayah mertua siri, rupanya tak harus terjadi. Ia tahu bahwa laki-laki setengah tua yang terkadang keras dan tegas, memiliki kebijaksanaan yang tak ada duanya.

“Kakek, apakah Kakek memarahi ibu?” tiba-tiba Indi mendekati keduanya yang sedang serius berbicara.

Desy memeluk anaknya dan mencium kedua pipinya, sambil tersenyum.

“Tidak sayang, kakek tidak pernah memarahi ibu, kok.”

“Benar, Kakek tidak marah pada ibu?”

“Kan ibumu sudah bilang bahwa kakek tidak pernah marah pada ibumu?”

Indi memeluk kaki kakeknya dengan wajah berseri.

“Sekarang kakek mau pulang dulu ya.”

“Jangan lupa ajak Indi ketemu mas Boy, ya?”

Sang kakek menoleh, sambil mengacungkan jempolnya.

“Kamu tahu mas Boy?” tanya Desy heran.

“Kata kakek, Indi punya kakak namanya mas Boy. Tapi sekarang mas Boy sedang sakit. Nanti kalau mas Boy sudah sembuh, kakek akan mengajak Indi ketemu mas Boy, dan bapak.”

“Bagus sekali. Memang kamu harus ketemu mas Boy, dia cakep dan pintar.”

“Apa dia sekolah?”

“Entahlah, nanti akan ibu tanyakan pada ibunya.”

“Mas Boy punya ibu juga?”

“Tentu saja punya. Nanti kalau ketemu mas Boy, kamu pasti juga ketemu ibunya. Dia wanita yang cantik.”

“Cantik mana sama ibu?”

“Bukankah kalau perempuan itu pasti cantik?”

Indi tertawa, lalu digandengnya sang ibu masuk ke dalam rumah. Ada bungkusan yang diletakkan kakeknya begitu saja di atas meja. Pasti mainan lagi.

***

Satria baru bisa membezoek Tomy, karena sibuk mengajak mertuanya jalan-jalan, dan hari ini mengantarkan mereka ke bandara.

Baru setelah membezoek Boy, dia menemui Tomy di ruang inapnya.

Tapi ia senang melihat Tomy sudah lebih baik. Ketika Satria datang, ia mengatakan bahwa ingin segera pulang.

“Kamu jangan seperti anak kecil, Tomy. Orang sakit itu tidak boleh datang dan pergi seenaknya, kalau ingin penyakitnya sembuh tuntas. Jadi kepulangan kamu harus menunggu persetujuan dokter.”

“Aku ingin melihat Boy.”

“Dia baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir.”

“Ketika sakit, dia tidak pernah menolak aku, aku berharap dia benar-benar bisa menerima aku nantinya.”

“Kalau dia melihat bahwa kamu penuh kasih sayang, baik kepadanya dan kepada ibunya, pasti dia bisa menerima kamu sebagai ayahnya. Karena kebenciannya adalah karena kamu bersikap buruk pada waktu masih serumah. Ya kan?”

“Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik.”

“Aku dan Minar selalu mendoakan agar kalian bisa kembali bersatu.”

“Aamiin, terima kasih, Satria."

“Beberapa hari ini bapak juga sudah menemui aku, sikapnya sudah lebih baik.”

“Pak Drajat ingin kamu kuliah lagi. Pak Ratman yang mengatakannya.”

“Akan aku coba. Sebenarnya aku hampir menyelesaikannya. Tapi sekali ujian aku gagal, lalu aku enggan meneruskan. Aku tidak sepintar kamu.”

“Bukan itu penyebabnya. Waktu itu kamu lebih mementingkan mencari kesenangan dari pada memikirkan kuliah.”

“Mungkin benar, begitu.”

“Sekarang saatnya kamu memperbaiki hal yang buruk yang ada padamu. Ingat, kamu sudah punya anak. Dua malahan.”

“Iya, sebenarnya aku juga kangen pada Indi. Tapi waktu itu bapak tidak mengijinkan Indi berlama-lama denganku.”

“Dengan berjalannya waktu, dan kelakuan kamu yang bisa menyenangkan hati ayahmu, segalanya pasti akan baik-baik saja.”

***

Siang hari itu pak Drajat berada di kantor pak Ratman. Karena pak Ratman sedang mengadakan pertemuan dengan stafnya, pak Drajat menunggu di ruangannya, sambil mengutak atik ponselnya.

Tiba-tiba matanya menatap sesuatu. Ada iklan tentang rumah yang akan dijual, dan pak Drajat terbelalak menatap iklan itu.

“Rumah ini? Mau dijual?”

***

Besok lagi ya.

72 comments:

  1. Alhamdulillah, yg di tunggu2 tlah datang 🙏

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~47 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete

  3. Alhamdullilah
    Cerbung *Aku Benci Ayahku 47* telah. hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  4. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  5. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang

    ReplyDelete
  7. Pak Drajat patut menjadi tuntunan walaupun pernah berbuat kilaf tapi kembali sadar akan kesalahannya dan sebagai penebusnya selalu berbuat kebaikan.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah 👍🌷
    Maturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Matur nuwun bunda Tien K ABAy 47
    Semangat ,sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT
    Aamiin

    ReplyDelete
  10. Makasih bunda tayangannya, sepertinya "aku benci ayahku" menjadi " aku sayang ayahku" boy mendekati luluh.

    ReplyDelete
  11. Rumah Rohana apa sudah atas namanya ya... Kalau a/n pak Drajat mana bisa menjual.
    Bagaimana kalau yang membeli itu pak Drajat, ...
    Ah, tunggu besok lagi ya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien tayangan cerbungnya
    Semoga bu tien sehat² selalu n tetap semangat

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰

    Ada masa bahagia itu datang..

    Rame lg nih ,, ada Rohana yg mau jual rumah nya, terbaca Pak Drajat,.
    Aduhaiii,,🤩

    ReplyDelete
  14. Mks bun ABA 47 sdh tayang
    Selamat malam

    ReplyDelete
  15. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
    Matur nuwun ibu Sri
    Aduhai aduhai yuk

    ReplyDelete
  16. Rohana.... oh Rohanaaaa
    Tur Nuwuun mbak Tien... nada2nya episode depan 🍅🍅🍅
    Semoga senantiasa sehat bugar Mbaaak... Semangaaat 💪🏿💪🏿
    Salam Aduhai dr Surabaya 🙏😘😍❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun jeng Dewi.
      Lama nggak komen

      Delete
  17. Mau tanya bunda Tien, istri pertama pak Drajat kenapa tidak diceritakan? Ditunggu jawabannya... Terimakasih, salamswhat, bahagia dan aduhaiii..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang tidak diceritakan
      Mungkin di lain judul
      Salam sehat juga ibu Komariyah

      Delete
  18. Matur suwun mbak Tien semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga tercinta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Wiji
      Apa kabar? Baru muncul ya

      Delete
  19. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat dan bahagia selalu....

    ReplyDelete
  20. .Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 47 telah tayang

    Terima kasih Bunda Tien
    Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin

    Nuwun sewu...ijin tanya juga nggeh Bunda Tien...anak dari istri pertama nya pa Drajat juga gak pernah di ceritakan, krn yang di ceritakan hanya lah Tomy, anak dari istri selingkuh...s Rohana...Trims 🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Munthoni
      Memang tidak diceritakan. Mungki di judul yang lain

      Delete
  21. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
    Salam hangat...sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Rumah yang dibuatkannya untuk Rohana, mau dijual...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  23. Saya kok agak bingung...2x pak Drajat pamit mau pulang, bukannya mereka tinggal serumah ya. Memangnya Desy sudah tinggal di rumah yg terpisah kah? Apakah kakeknya mengijinkan Indi tinggal dgn ibunya? Hmm...🤔

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  24. Iklan rmh Rohana, ya kan?
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  25. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

MASIH ADAKAH MAKNA 09

  MASIH ADAKAH MAKNA  09 (Tien Kumalasari)   Binari melotot dengan kaki gemetar. Di depannya, sang ayah memegang kotak yang telah kosong, de...