AKU BENCI AYAHKU 46
(Tien Kumalasari)
Pak Drajat masih duduk di Sofa. Wajahnya muram. Ada rasa kecewa yang mendalam, mendengar apa yang dilakukan Tomy dan Kartika. Ia mengira Tomy sudah berubah menjadi baik, ternyata masih ada keburukan yang belum bisa dihilangkannya. Bermain-main dengan perempuan. Dan itu akan membuat keinginannya agar Tomy bersatu dengan Monik menjadi gagal. Tak mudah menyembuhkan dua kali luka dari orang yang sama, walau berbeda peristiwanya.
Ia menatap Monik dan Boy yang sedang bercanda dengan rasa iba. Rupanya Monik dengan segala upaya berusaha membuat Boy tidak berprasangka buruk karena melihat bekas air matanya. Mereka tampak sedang tertawa-tawa, walau betapa sakitnya hati Monik.
Pak Drajat mendekati mereka, lalu mengelus kepala Boy.
“Cepat sembuh ya, nanti jalan-jalan lagi sama kakek, makan es krim, beli mainan, atau … apa lagi?”
“Boy ingin melihat gunung,” kata Boy yang menunjuk ke arah televisi, yang sedang menayangkan tempat-tempat wisata.
“Ahaaa, itu mudah. Keinginan kamu pasti tercapai. Bagaimana dengan melihat laut?”
“Boy mau … Boy mau …,” pekiknya riang.
“Bagus. Tapi kamu harus sembuh dulu. Menurut apa kata dokter, makan banyak, dan tidak banyak bergerak.”
“Boy sudah sembuh.”
“Tunggu apa nanti kata dokter. Kamu merasa sembuh, tapi dokter akan memeriksa lebih dalam, benar sudah sembuh, atau hanya karena kamu sudah merasa enakan.”
“Apakah penyakit Boy masih ada di dalam sini?” katanya sambil menunjuk ke arah perutnya.
“Bisa jadi. Karena penyakit itu terkadang bersembunyi, jadi kita tidak bisa melihatnya, tahu-tahu merasa sakit. Gitu ….”
“Apakah di dalam perut ada tempat untuk sembunyi?”
“Tentu saja ada.”
Boy mengelus perutnya, meraba-rabanya dengan tangan.
“Di sebelah mana penyakit bisa sembunyi?”
Seperti Monik, Drajat juga terjebak dalam kata-katanya sendiri, karena setiap penjelasan yang diterima, Boy harus mengerti semuanya dengan jelas.
Pak Drajat menunjuk pelipisnya dengan ujung jari telunjuknya, seperti orang sedang berpikir keras.
“Mm.. begini, di dalam perut itu ada banyak perangkat tubuh yang berbelit-belit."
“Perangkat itu apa?”
Pak Drajat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rambut putihnya tampak seperti diacak-acak.
Boy tampak menunggu. Monik menutup mulutnya menahan tawa, lalu dia berjalan ke arah meja, di mana tas tangannya ada di sana. Ia membukanya, mengambil selembar kertas nota yang tidak berguna dan sebuah balpoint yang selalu ada di dalamnya. Ia membawanya kepada ayah mertuanya, lalu ia membuat sebuah bulatan di kertas itu. Pak Drajat tersenyum mengerti apa maksud menantunya.
“Nah, ini … seandainya ini gambar perut, di dalam sini ada banyak perangkat. Perangkat itu alat untuk menunjang kehidupan."
Eit, jangan sampai Boy bertanya lagi karena ia menggambarkannya dengan kata-kata yang rumit untuk diterima anak seusianya. Karenanya ia segera menggambar. Sekenanya saja, gambar usus yang berbelit. Boy menatapnya penuh perhatian.
“Nah, ini namanya usus. Usus ini berkelok-kelok, dan ada kelokan yang bisa untuk bersembunyi di situ.”
“Di dalam perut ada seperti cacing ya?”
“Ini usus. Kalau kamu makan,, makanannya lewat sini.”
“Sudah Boy, ini pudingnya di makan dulu, jangan banyak bertanya lagi. Besok kalau kamu sudah besar pasti bisa mengerti semuanya," kata Monik untuk mengalihkan perhatiannya yang membuat sang kakek kebingungan mencari jawabannya.
“Nah, besok kamu harus jadi dokter,” tiba-tiba kata sang kakek.
“Jadi dokter? Aku mau … aku mau … Nanti aku bisa mengobati orang sakit kan?”
“Kalau kamu ingin jadi dokter, belajar yang rajin. Dokter itu harus pintar. Nanti kamu akan bisa mengerti banyak hal.”
“Iya, nanti Boy akan rajin belajar.”
Tiba-tiba pintu diketuk, dan pak Ratman masuk. Melihat sahabatnya datang, pak Drajat menatapnya tajam. Senyuman ketika menghadapi Boy, hilang entah ke mana.
“Mau apa kamu datang kemari?”
“Aku mau bicara.”
Pak Drajat meninggalkan Boy, menemui pak Ratman yang masih berdiri di depan pintu.
“Masuk,” titah pak Drajat dengan ketus. Ia masih kesal. Kemarahannya kepada Kartika belum hilang dari ingatannya.
Keduanya masuk, Monik masih menunggui Boy, sambil menyuapkan puding susu yang disiapkan di mejanya.
Kedua pengusaha setengah tua yang sebenarnya adalah sahabat itu berhadapan dengan wajah muram. Masing masing memendam rasa marah yang berbeda. Yang satu menuduh, yang satunya sakit hati karena dituduh. Seandainya mereka adalah dua anak muda yang masih memiliki darah-darah panas, pasti sudah saling gebug atau banting membanting.
“Katakan ada apa lagi?” sambut pak Drajat, tak ada ramah-ramahnya.
“Mas menuduh sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.”
“Maksud kamu, menantuku Monik itu berbohong?”
Monik yang masih menyuapi Boy menoleh sejenak, tapi kemudian tak mengacuhkannya. Walau begitu dia memasang kupingnya karena merasa bahwa dirinya terlibat dalam pembicaraan itu.
“Bukan menantu Mas yang berbohong, tapi apa yang dilihatnya berbeda dengan yang sebenarnya terjadi.
“Apa maksudmu?” pak Drajat mengerutkan keningnya. Ia merasa bahwa sahabatnya sedang mencari alasan untuk menyelamatkan dari tuduhan.
“Mereka tidak sedang bercinta-cintaan. Tak ada. Mereka hanya bersahabat.”
“Oh ya?” pak Drajat tersenyum sinis. Ia laki-laki yang sebenarnya tidak begitu mulus dalam menjalani hidup sebagai laki-laki. Ia pernah berselingkuh sehingga harus menikahi seorang wanita sehingga lahirlah Tomy. Tapi pak Drajat memiliki rasa tanggung jawab tinggi. Ketika istrinya membongkar perselingkuhan itu, ia segera menceraikan selingkuhannya yang adalah Rohana, dan tetap memberinya nafkah setiap bulan, sampai dia menemukan cacat cela Rohana, lalu menghentikan nafkah itu. Karena itu dia tetap mengira kalau sepasang manusia yang bukan apa-apanya dan saling berpelukan, adalah perbuatan tercela.
“Jangan dulu mentertawakan apa yang akan aku katakan. Mas harus mendengar dulu penjelasannya, bukan karena aku ingin menghindar dari kesalahan, tapi karena aku takut kehilangan rasa persahabatan diantara kita.
Pak Drajat menatap sahabatnya dengan mata lebih melunak. Kehilangan rasa persahabatan, alangkah menyedihkan.
“Dengar dulu penjelasan aku,” lanjut pak Ratman.
Pak Drajat mengangguk, melihat sahabatnya tampak bersungguh-sungguh.
Lalu pak Ratman mengatakan semua yang dikatakan Kartika, setelah dia menghajarnya tanpa bertanya terlebih dulu.
Mata dan hati pak Drajat benar-benar melunak. Monik yang selesai menyuapi Boy merasa tergetar hatinya.
“Tomy mengira yang menolongnya adalah Monik?”
“Dan karena itu maka dia memeluknya. Ketika itulah Monik muncul dan terjadilah kesalah pahaman.”
Pak Drajat menghela napas panjang. Semua yang dikatakan sahabatnya bisa diterimanya. Ia segera berdiri lalu memeluknya erat.
“Maafkan aku, Rat. Aku terburu nafsu,” katanya pelan.
Segalak apapun pak Drajat, tapi dia tidak pernah merasa segan untuk meminta maaf ketika disadarinya bahwa dia bersalah.
“Aku juga terburu nafsu ketika di rumah tadi. Begitu Kartika datang aku menghajarnya sampai dia menangis kesakitan.”
“Kamu keterlaluan,” dan pak Drajat malah mencela sahabatnya yang telah menyakiti raga anak gadisnya.
“Mas, ada yang harus kamu dengar.”
“Apa itu?”
“Tomy sakit dan dirawat di rumah sakit.”
“Apa?”
“Aku sudah meminta agar Tomy dirawat di ruang terbaik. Karyawan kantor, atas permintaan Kartika, yang mengantar dan mengatur semuanya. Menurutnya, Tomy selalu memanggil-manggil nama Monik.”
Pak Drajat melepaskan pelukan sahabatnya dan rasa khawatir menghantuinya. Semarah dan sekesal apapun terhadap anaknya, tapi ikatan darah daging masih melekat di dalam hatinya. Dan cinta kasih yang besar masih memenuhi jiwanya. Ia segera menoleh kepada Monik.
“Monik, aku pergi dulu, Tomy sakit,” katanya sambil melangkah keluar, diikuti pak Ratman dengan perasaan sedikit lega.
“Dirawat di mana?” katanya lalu menutup pintu.
Monik masih mendengar suara itu, lalu pintu ditutup dengan keras. Berita tentang sakitnya Tomy mengguncang perasaannya. Seperti juga ayah mertuanya, rasa khawatir itu ke mudian muncul, setelah kemarahannya mereda. Ada keinginan untuk mengejar mereka untuk ikut menemui Tomy, tapi melihat Boy yang menatap dengan penuh rasa tanda tanya, kemudian Monik menghentikan keinginannya.
“Apa kakek marah pada ayahnya mbak Kartika?” tanya Boy yang tentu saja mengenal pak Ratman yang beberapa kali menjenguknya.
“Tidak. Hanya salah paham.”
“Salah paham itu apa?”
“Salah paham itu ya salah menilai orang. Kakek mengira bahwa pak Ratman, ayahnya mbak Kartika itu jahat, tapi sebenarnya tidak.”
“O. Jadi ayahnya mbak Kartika bukan orang jahat?”
“Dia orang baik.”
“Aku juga akan menjadi anak baik.”
Monik mencium kening anaknya dengan air mata berlinang. Ada harapan agar ada ruang dihati Boy untuk Tomy, ayah kandungnya.
***
Tomy sudah dipindahkan ke ruang rawat, dengan selang infus di lengannya. Pak Ratman yang menginstruksikannya ketika pegawai yang mengantarkan Tomy ke rumah sakit melaporkannya.
Begitu masuk dan melihat keadaannya, runtuh rasa iba di hati pak Drajat, melihat Tomy berbaring tak berdaya, dengan mata terpejam.
Ia segera mendekat, dan meraba dahi anaknya. Sudah tidak begitu panas, dan Tomy tidak lagi menggigil.
Merasa ada yang menyentuh dahinya, Tomy membuka matanya.
“Monik, ucapnya pelan.”
Pak Drajat meraih tangan Tomy, meremasnya pelan. Tomy membuka matanya lebih lebar. Masih samar dalam penglihatannya setelah tak sadarkan diri beberapa saat lamanya.
“Bapak?” bisiknya lirih.
“Mengapa kamu bandel?” bukannya mengucapkan kata sayang, pak Drajat justru mengomelinya.
“Tomy kenapa?”
“Bagaimana seorang laki-laki gagah tegap ganteng pula, bisa jatuh sakit, sampai pingsan?”
“Bagaimana Boy?”
“Dia baik.”
“Tomy ingin ke sana. Boy masih sakit.”
“Bukankah kamu juga sedang sakit? Boy sudah baik, sehat. Itulah, karena kamu bandel, jadi ikutan sakit.”
“Saya baru saja menemui dokter. Tomy terkena infeksi saluran kemih,” kata pak Ratman yang baru saja mengikutinya masuk.
“Kenapa ada penyakit seperti itu?”
“Kata dokter, Tomy sering menahan kencing, kurang minum dan tentunya kurang istirahat.”
“Kamu dengar itu?” pak Drajat masih seperti memarahi Tomy, walau tangannya memegang erat tangan anaknya.
“Tomy hanya ingin bersama Boy, saat dia sakit.”
“Dan karena itu kamu lupa istirahat, lupa minum, lupa kencing, apa lagi ….”
Tomy diam. Ada rasa hangat merayapi hatinya, walau ayahnya bertubi-tubi mencelanya.
“Boy bagaimana, Tomy ingin melihatnya.”
“Dia baik-baik saja. Kamu berkali-kali memanggil nama Monik, apa kamu merindukan dia?” goda sang ayah. Pak Drajat sudah mendapat laporan bahwa Tomy selalu memangigl-manggil nama Monik, dan baru saja dia juga mendengar Tomy menyebutkannya lagi.
Tomy tersenyum tipis, berusaha mengelak.
“Siapa? Tidak kok.”
“Ya sudah, aku tahu kamu malu mengakuinya, dasar bandel.”
Pak Ratman tersenyum mendengar omelan sahabatnya, padahal dia tahu sang sahabat sangat mengkhawatirkan sakit putranya.
Tapi ia sudah tahu, bagaimana tabiat sahabatnya itu. Terkadang keras seperti batu, tapi ia bisa lembut selembut salju.
Pak Drajat dan pak Ratman meninggalkan Tomy yang masih terbaring lemah, dengan banyak pesan yang dirasakan Tomy bagai air dingin yang menyejukkan
***
Pak Drajat memasuki ruangan Boy ketika Boy tampak sudah tertidur. Pak Drajat menepuk bahu Monik yang kemudian menepuk bahunya pelan.
"Ya, Pak"
"Lihat suami kamu."
"Dia kenapa?"
"Parah."
"Apa?"
"Lihat saja sana sebelum terlambat"
Gemetar Monik mendengar perkataan sang ayah mertuanya.
Tanpa bertanya di mana ruangannya dia langsung berlari keluar, membuat pak Drajat tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan mencoba melawan takdirmu," bisiknya sambil tetap tersenyum, lalu mendekati Boy yang sudah terlelap, lalu mengelus kepalanya lembut.
***
Monik sudah bertanya-tanya di mana ruang Tomy dirawat.
Tergetar hatinya melihat ayah dari anaknya tergolek tak berdaya di atas tempat tidur.
Bergetar juga tangannya ketika menyentuh tangannya yang terkulai.
***
Besok lagi ya.
Boy
ReplyDeleteHoreeee
Delete🩷🌷🩷🌷🩷🌷🩷🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
AaBeAy_46 sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...😍🤩
🩷🌷🩷🌷🩷🌷🩷🌷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih ibu Sari
Salam aduhai
Hore
ReplyDeleteTrmksh mb Tien
DeleteSami2 Yangtie
DeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteSenajan kesel, baru pulang dari Wonogiri......
Nuwun mas Kakek
DeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 46 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih jeng In
ADUHAI 3X dari Solo
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda tien
Sami2 ibu Endah
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endang
DeleteAlhamdulillah 👍🌷
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat 🤲🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Herry
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteMatur nuwun, bu Tien. Salam Aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSalam aduhai
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih ibu Salamah
Hatir nuhun
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteAlhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~46 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Djpdhi
Matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhmdllh akhirnya bisa kembali komen.... terima kasih Mbu Tien... aku tak pernah absen lo..he... makin asyik dan penasean trs ceritanya...
ReplyDeleteSemoga Mbu tien snntysa sehat bersma keluarga trcnta...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Zimi
Lama tidak komen ya
Top
ReplyDeleteNuwun pak Joyo
DeleteGareng mana?
Lagi wedak-an. ;D
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 46* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Wedeye
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat, bahagia selalu. Aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam aduhai yaa
Selamat malam mbak Tien yang baik hati dan tidak sombong Makasih ya untuk kirimannya dan matur nuwun untuk cerbung yg selalu ditunggu.Salam buat KOKO PRABU
ReplyDeleteSami2 adimas Bambang yang sangat lucu.
DeleteSalam disampaikan
Met malam mbak , tak kiro cerbung libur sehabis rekreasi ke Baturetno karena capek...eee tahu2 jam 19.00 muncul..Makasih mbak
ReplyDeleteAbot2e ditresnani para kadang mas.
DeleteTadi nungguin lama ya. Sang nyonya meh tak playokke lhoh.
Monik - Tomy sudah beres, tinggal menunggu Rohana.
ReplyDeleteTinggal bbrp episode tampaknya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Latief
.Hamdallah...cerbung Aku Benci Ayahku part 46 telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien
Sehat selalu Bunda, bahagia bersama Amancu di Sala. Aamiin
Pak Drajat pinter lho, meng aduk aduk perasaan Monik. Tapi memang tujuannya agar Tomy bersatu lagi dengan Monik.
Tinggal nungguin peran antagonis...nya s Rohana...iki, apa masih sutris seperti kemaren ya...atau perlu di rehabilitasi di RSJ...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih pak Munthoni
Mks bun akhirnya suasana sedih dan cemburu hilang berganti dg tangis bahagia, bagaiman dg boy apa dia mau menerima bapaknya kembali bersama nya
ReplyDeleteTunggu besok lagi yaaaaa...he...he...selamat malam bun sehat" selalu
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteTerima kasih ibu Supriyati
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih ibu Sri
Aduhai aduhai deh
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDeleteBahagia nya ,,,❤️
Alhamdulillaah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat wal'afiat semua ya. Aamiin 🤗🥰
ReplyDeleteTerima kasih, ibu. Ceritanya sudah tayang.
ReplyDeleteCeritanya semakin seru.
ReplyDeleteCerita yang luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Matur suwun mbak Tien semoga sehat selalu, cerita menarik yg bikin rindu
ReplyDeleteMasih menunggu
ReplyDeleteSipp
ReplyDelete