AKU BENCI AYAHKU 30
(Tien Kumalasari)
Saat istirahat, Satria mengajak Tomy bicara. Kebetulan pak Ratman sedang ada tamu, sehingga mereka bisa berbincang sebelum istirahat makan siang. Tomy menceritakan pertemuannya dengan Indira beberapa hari yang lalu, tapi pertemuan yang membingungkan, karena tiba-tiba saja Indira pergi tanpa diketahui ke mana perginya.
“Dia sama siapa?”
“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia datang, lalu minta makan es krim. Aku menemaninya, tapi dia terus saja mengatakan bahwa dia datang sendiri. Masa sih, anak berumur empat tahun pergi sendirian memasuki rumah makan, sementara setahuku dia ada diluar Jawa bersama bapak. Ketika aku tinggal sebentar untuk mengambil pesanan pak Ratman, tiba-tiba Indi sudah tak ada,”
“Kalau begitu pasti dia datang bersama ayahmu. Atau juga ibunya.”
“Aku condong kepada perkiraan bahwa dia datang bersama bapak. Satpam di rumah makan itu mengatakan bahwa Indira pergi dengan seorang laki-laki setengah tua.”
“Kalau begitu berarti ayah kamu itu sangat peduli pada kamu.”
“Apa maksudmu? Kalau dia peduli, dia tak akan mengusir aku dan membuatku hidup sengsara. Coba katakan, di mana letak kepedulian bapak kepadaku? Ibu justru mengatakan bahwa aku ini sudah dibuang oleh ayahku.”
“Tapi dia mempertemukan kamu dengan anakmu, berarti dia peduli. Dengan bertemu Indira, ayahmu berusaha menyembuhkan rasa kangen kamu kepada anakmu, kalau rasa kangen itu ada sih.”
“Omong kosong apa itu. Pertemuan yang hanya sesaat itu justru dibuatnya untuk menyiksa aku. Masa sih, ketemu hanya sekejap.”
“Kamu nggak berusaha menelpon ayahmu?”
“Nggak usah. Biar saja begini, aku tidak terlalu berharap banyak pada belas kasihan ayahku. Kan aku sudah dibuang?”
“Baiklah, sekarang bicara tentang hal lain saja ya.”
“Hal lain apa?”
“Aku tadi sudah mulai naik ojol,” kata Satria membuka percakapan.
“Mobilmu sudah laku?”
“Sudah. Baru kemarin. Tidak apa-apa. Yang penting bisa menutupi hutang ibu. Apa kamu mau memberikan uang ini untuk ibu?”
“Apa? Kalau kita berikan uang untuk ibu, bisa nggak jadi membayar hutang, malah habis dipergunakan semaunya. Kamu seperti tidak mengenal ibu saja,” omel Tomy.
“Lalu bagaimana? Aku atau kamu yang memberikan pada pak Ratman? Aku tidak ingin pak Ratman tahu bahwa ibu Rohana adalah ibu kita. Bisa-bisa malah dikembalikan uang yang kita bayarkan nanti.”
“Lalu bagaimana caranya?”
“Kita transfer saja uangnya ke rekeningnya langsung,” kata Satria.
“Kamu tahu nomor rekeningnya? Tapi aneh kalau tiba-tiba ia merasa bahwa ibu yang mengirimkannya ke rekening pak Ratman. Apa benar, pak Ratman sudah pernah memberikan nomor rekeningnya kepada ibu?”
Satria tampak termenung.
“Begini saja. Kita taruh uang itu di meja pak Ratman begitu pak Ratman sedang tidak ada ditempat.”
“Ah yaaa, itu benar. Kalau pak Ratman bertanya, bilang saja tadi ada yang menitipkan uang.”
“Bagus, tapi harus ada keterangan bahwa itu pembayaran utang dari ibu Rohana.”
“Kamu benar. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.”
Begitu selesai bicara, interkom di ruang Tomy berdering. Rupanya pak Ratman memanggilnya.
“Aku ke pak Ratman dulu,” kata Tomy sambil beranjak pergi.
Satriapun segera kembali ke ruangannya dan bersiap untuk pulang.
***
Siang hari itu bu Ratman mendekati Kartika yang baru saja kembali dari kampus.
“Ibu tuh lupa bilang. Dua hari yang lalu nak Tomy datang membawa es krim.”
“Es krim?”
“Iya. Langsung ibu masukkan kulkas, ibu lupa bilang sama kamu. Kamu juga nggak nanya sih, kalau kamu pesan es krim.”
“Es krim? Kartika pesan es krim?”
“Lho, kok kamu sepertinya heran. Kata nak Tomy, kamu pesen es krim, dibawanya ke rumah, lalu ibu simpan di kulkas. Nih, es krimnya,” kata bu Ratman sambil mengambil sekotak es krim dari dalam kulkas.
“Ini, untuk Kartika?”
“Gimana sih, kata nak Tomy kamu yang pesan?”
“Nggak tuh.”
“Tuh kan, ibu juga heran, tak biasanya kamu pesen es krim dibawa ke rumah.”
“Mas Tomy mimpi barangkali,” kata Kartika yag kemudian membuka es krim itu, lalu duduk begitu saja dan menyantapnya dengan nikmat.
Diam-diam ada perasaan lain di hati Kartika. Apakah Tomy punya perhatian khusus kepada dirinya sehingga kemudian memberi dia hadiah sekotak es krim?
Sambil menyantap es krim itu, Kartika tersenyum-senyum sendiri. Siapa sih nggak suka, kalau mendapat perhatian dari seorang laki-laki ganteng seperti Tomy?
“Heh, kok senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba sang ibu menegurnya.
“Oh, eh … ini Bu, es krimnya enak.”
“Memang kamu yang pesan kan?”
“Iya, barangkali. Kartika lupa,” jawab Kartika sekenanya, untuk menghindari pertanyaan ibunya tentang es krim yang tidak dipesan tiba-tiba datang.
Bukankah Kartika sudah menemukan jawabannya, bahwa es krim itu adalah ujud dari perhatian Tomy kepadanya? Kartika masih saja menyendok es krimnya sambil tersenyum-senyum. Tapi ia tak mengatakan apapun kepada ibunya tentang apa yang dipikirkannya.
***
Malam hari itu Desy sudah menemani Indi makan malam, dan sudah bersiap untuk beristirahat.
“Kenapa Ibu pulangnya selalu malam?”
“Di kantor banyak yang harus ibu kerjakan. Lagipula walau sudah berbulan-bulan, ibu masih harus banyak belajar.”
“Ibu capek?”
“Setelah bertemu Indi, capeknya sudah hilang kok.”
“Indi ingin bercerita tentang bapak, belum jadi, soalnya setiap kali Indi sudah mengantuk, ibu belum juga pulang.”
“Maaf ya, habisnya … pekerjaan ibu memang belum selesai. Tapi hari ini ibu bisa pulang sore. Indi mau cerita apa? Oh ya, tentang ayahmu?”
“Kakek mengajak Indi menemui bapak. Tapi kakek tidak mau ketemu bapak. Kakek malah sembunyi,” kata Indi sambil menutupi mulutnya karena ia teringat bahwa pertemuannya dengan sang ayah seperti orang lagi main petak umpet.
“Lalu … Indi ketemuan sendiri sama bapak?”
“Indi makan es krim, tapi bapak terus bertanya Indi sama siapa.”
“Indi jawab apa?”
“Kata kakek, Indi harus jawab bahwa Indi datang sendiri.”
“Berarti bohong dong.”
“Ya enggak Bu, memang Indi masuk ke rumah makan sendiri. Bukankah kakek nggak ikut masuk?”
Desy tersenyum.
“Itu benar. Lama bertemu bapak?”
“Setelah makan es krim, kakek mengajak Indi pulang.”
“Lalu Indi pamit sama bapak?”
“Tidak. Ketika bapak pergi ke kasir, Indi lari menemui kakek, lalu masuk ke dalam mobil, dan kembali ke bandara.”
Desy geleng-geleng kepala. Bertemu ayahnya tapi hanya sebentar, dan Indi tidak protes atau rewel kepada kakeknya? Tapi hal itu bisa dimengerti. Barangkali hanya kadang-kadang saja Indi kangen kepada ayahnya, tapi tidak terlalu menggebu-gebu. Setelah ketemu, ya sudah. Barangkali begitu juga dengan Tomy. Bukankah Tomy tidak pernah dekat dengan anaknya? Entahlah, Desy juga tak ingin memikirkannya. Dengan berjalannya waktu, rasa cinta dan memiliki itu sudah menipis dari hari ke hari. Apalagi dulu juga menikah karena kecelakaan. Mirip seperti Monik, hanya saja Desy dan Tomy saling suka sama suka, sedangkan dengan Monik benar-benar seperti sebuah kecelakaan karena berada dalam pengaruh obat.
“Ibu sudah tidur?” tiba-tiba kata Indi. Barangkali karena melihat ibunya diam beberapa saat, sedangkan matanya setengah terpejam.
“Eh, apa? Tidak. Kamu sudah mengantuk?”
“Indi sudah lama tidak mendengar dongengan ibu.”
“Oh, baiklah, ibu akan mendongeng … mmm … apa ya?”
“Tapi jangan mendongeng putri dan pangeran lagi, itu sudah pernah.”
“Masa sudah pernah?”
“Sudah, bukankah sang pangeran membawa kuda putih lalu membawa putri terbang?”
Desy tertawa. Ia lupa dongeng apa saja yang pernah didongengkan kepada anaknya. Hampir saja dia mendongeng tentang kuda putih yang bisa terbang, sementara Indi sudah menebaknya.
“Kalau begitu … raksasa yang punya ayam … “
“Kakek juga punya ayam. Yang lain ah,” Indi memang ceriwis.
“Ayam raksasa ini berbeda. Ayam sang raksasa bisa bertelur emas.”
“Telur emas? Bagus dong.”
“Makanya dengarkan dulu, jangan protes.”
“Baiklah, sekarang ibu mendongeng ayam raksasa yang bisa bertelur emas.”
“Ada seorang miskin, yang ingin menjual kerbaunya … dia menyuruh anak laki-laki satu-satunya, yang kecil mungil, hanya sebesar jari. Karena kecil, dia dinamakan Tom Thumb……..
Desy tersenyum, Indi begitu cepat pulas. Pasti karena lelah bermain ketika tahu sang ibu pulang agak sore hari ini.
***
Pagi hari itu, ketika pak Ratman baru saja masuk ke ruangannya, dilihatnya Satria baru mau keluar dari sana.
“Ada apa Sat?”
“Itu Pak, tadi ada yang mencari Bapak. Karena Bapak belum datang, ia menitipkan sebuah bungkusan kepada saya.”
“Bungkusan apa? Jangan-jangan bom?” canda pak Ratman.
“Bukan Pak, entahlah, saya juga tidak membukanya. Dia bilang hanya disuruh, gitu.”
“Perempuan?”
“Tidak. Dia laki-laki, tapi dia bilang hanya orang suruhan.”
“Kok aneh. Ayo kita buka bareng Sat, supaya kalau itu isinya bom, kita bisa mati bersama-sama,” pak Ratman masih melanjutkan candaannya.
Satriapun tertawa. Ia membalikkan tubuhnya, melihat pak Ratman sedang mengawasi sebuah tas besar.
“Bapak membuat saya takut saja.”
“Sat, tapi sebenarnya aku juga takut lhoh. Coba kamu saja yang buka.”
Satria tersenyum, lalu meraih tas besar itu. Pak Ratman melangkah mundur.
“Kalau kamu takut, panggil satpam saja Sat, atau lapor dulu ke polisi, supaya_”
“Tidak usah Pak, ini seperti kertas-kertas. Boleh saya buka?”
“Baiklah, hati-hati Sat,” kata pak Ratman yang mundur lagi beberapa tindak, lalu berdiri di balik kursi.
Satria tersenyum. Tak ada rasa takut, karena dia tahu apa isinya.
“Hati-hati Sat.”
Satria membukanya, dan mengeluarkan sebongkah bungkusan uang.
“Uang Pak.”
“Uang? Mengapa aku mendapat uang? Coba keluarkan semuanya Sat, jangan-jangan ada yang lain selain uang itu.”
“Tidak ada Pak. Uang ini banyak sekali.”
Tiba-tiba ponsel pak Ratman berdering. Ada notifikasi pesan singkat.
“Apa ini? Lhoh … dari Rohana … tunggu … ini uang dari Rohana …”
“Rohana siapa Pak?” Satria sebenarnya agak kurang suka karena seperti membuat kebohongan yang diciptakannya sendiri.
“Rohana itu seorang perempuan cantik, yang berhutang sama aku sebanyak seratus juta.”
“Seratus juta?”
“Memang tidak sekaligus dia meminjam. Awalnya dua puluh lima juta … lalu lagi dan lagi … sehingga akhirnya menjadi seratus juta. Ini dia mengembalikannya. Semuanya dikembalikan.”
“Seratus juta itu berikut bunganya?”
“Tidak, aku tidak membungakan uangku, hanya menolong saja. Kasihan. Tapi kadang-kadang juga ada yang kemudian mempermainkan aku. Ah, sudahlah, aku tak mau membicarakannya, yang penting aku sudah bertobat.”
“Bertobat?”
“Jangan bertanya lebih jauh tentang tobat itu. Itu masa lalu. Sudah. Selesai, aku tak mau melakukannya lagi.”
Walau pak Ratman tidak menerangkan, sudah menjadi rahasia diantara para karyawannya bagaimana pak Ratman yang selalu royal kepada banyak perempuan cantik, yang asal mulanya hanya soal pinjam meminjam uang.
Satria tidak bertanya lebih lanjut.
“Ini nomor kontak Rohana kok ganti. Tapi sebaiknya aku membalas saja dulu. Ya sudah, syukur kalau uangku kembali, padahal aku sebenarnya ingin memberi keringanan agar dia membayar semampunya. Soalnya aku capek. Dan dia terus menerus merayu aku.”
"Ya sudah, kembalilah ke ruanganmu, aku akan membalas pesan dia. Dan ini adalah yang terakhir aku berhubungan dengan dia."
***
Sementara itu Rohana yang kelimpungan karena tak bisa lagi menghubungi pak Ratman, masih bingung tentang hutangnya. Ketika itu pak Ratman mengatakan akan memberinya keringanan. Tapi tidak jelas.
Ia juga kesal, uang kiriman dari ayah Tomy hanya cukup untuk makan, dan dia butuh banyak uang untuk memenuhi selera mewah dalam kehidupannya sehari-hari. Mobil sudah dijual, perhiasan satu persatu juga sudah dijual, bahkan sebelum dia menjual mobilnya. Malu tak memakai gemerlap perhiasan, Rohana memakai perhiasan imitasi, tak ingin teman-temannya tahu bahwa dia sudah tak punya apa-apa.
“Ah, sudahlah. Masalah pak Ratman nanti gampang. Kalau dia menagih lagi, aku akan mendatangi rumahnya. Tapi nanti ada istrinya yang kumuh itu. Atau sebaiknya ke kantor saja?”
“Ya, mengapa tidak. Aku akan datang saja ke kantornya. Semakin cepat semakin baik. Keringanan yang dia berikan itu harus jelas. Kalau perlu aku minta agar dia mau dibayar separonya saja. Atau barangkali aku dibebaskan dari hutangnya? Itu pasti sangat menyenangkan. Tak apa-apa berkorban sedikit. Janji yang dikatakan waktu datang itu tidak jelas. Aku harus menjelaskannya. Lebih baik besok, jangan kelamaan.”
***
Besok lagi ya.
Suwun mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteHatur nuhun Bu Tien ...A,Be Ay. 30 dah hadir .semoga Bu Tien bersama keluarga sehat2 selalu.
DeleteSalam Aduhai. Aduhai..πΉπΉ
πͺ»ππͺ»ππͺ»ππͺ»π
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
AaBeAy_30sdh hadir.
Manusang nggih, doaku
semoga Bu Tien &
kelg slalu sehat & bahagia
lahir bathin. Aamiin.
Salam seroja...ππ€©
πͺ»ππͺ»ππͺ»ππͺ»π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Salam ADUHAI
Matur nuwun mbak Tien-ku Aku Benci Ayahku telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatir nuwun ibu Wiwik
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Endang
DeleteAlhamdulillah ππ·
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda semoga selalu sehat wal afiat π€²π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Cerbung *Aku Benci Ayahku 30* telah. hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah *Aku Benci Ayahku*
ReplyDeleteepisode 30 tayang
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Salam hangat dari Jogja
Ttp semangat dan tmbh ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng In
ADUHAI 3X
Terima kasih, bu Tien cantiiik... salam sehat penuh semangat untuk sekeluarga, yaa
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 jeng Mita
Alhamdulillah AKU BENCI AYAHKU~30 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur suwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien semoga sehat wakafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai haihai
Jangan GR ya Kartika, mungkin karena hatinya sudah 'terisi' dulu...
ReplyDeleteMungkin Rohana kalau tahu hutangnya sudah lunas, mengira itu atas kebaikan pak Ratman.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief
Maturnuwun bu Tien..
ReplyDeleteTapi sy koq agak bingung domisili desy, indi dan pak drajat itu diluar Jawa ya? Pikir saya satu kota dengan Monik, mengingat mrk pernah kerja di salon yg sama..
Sami2 ibu Ratna
DeleteJangan bingung ya, memang nggak sekota.
Waah...Satria kok ga terus terang mau bantu ibunya sih...kan jadi bingung tuh pak Ratman dan Rohana.π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.π
Sami2 ibu Nana
DeleteSalamsehat juga
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun, sami2 ibu Yati
Alhamdulillah ABeAy_30 sdh tayang, matur nuwun sanget Bu Tien..... Salam SEROJA.
ReplyDeleteSami2 mas Kakek
ReplyDeleteSalam ADUHAI
Hamdallah. cerbung Aku Benci Ayahku -30 telah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien,
Sehat dan bahagia selalu bersama amancu di Sala. Aamiin.
Weleh..weleh...Kartika mulai jatuh hati sama Tomy, padahal status nya Tomy punya 2 anak dan 2 istri, bisa jadi cinta nya Kartika bertepuk sebelah tangan ta ya...ππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Sami2 ibu Sri
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
Salam aduhai2x
Terima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam hangat dari Pasuruan, semoga Bunda dan keluarga sehat selalu, Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Mundjiati
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu, bahagia dan aduhaiii...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Aduhai deh
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Ibu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terima kasih ABA
ReplyDeleteSuwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Subagyo
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 MasMERa
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam bahagia selalu aduhai
Alhamdulillaah, baru bisa membaca ABA, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya π€π₯°π
ReplyDeleteApakah Bu Rohana akan meminta uang yg diserahkan ke pak Ratman,
Apakah akan terbongkar bahwa Satria & Tomy adalah anaknya
Semakin rumit, aduhaiii deh Bu Tienπππ