BUNGA UNTUK IBUKU 25
(Tien Kumalasari)
Baskoro terdiam untuk beberapa saat. Selama ini, Suri lah yang mengatur keuangan dari gaji yang diberikan. Ia biasanya sudah menyisihkan uang gaji itu, untuk membayar kontrakan rumah. Karenanya dia bingung ketika mendapat tagihan itu. Setengah tahun adalah separo dari perjanjian kontrak. Itu nilai yang belum dibayar. Uangnya kira-kira tujuh setengah juta. Dari mana Baskoro mendapat uang sebanyak itu? Uang yang dibawanya hanya sekitar satu jutaan, yang ditolak Suri ketika diberikannya. Uang itu masih ada di dalam sakunya, yang sedianya akan diberikan lagi kepada Suri setelah amarahnya reda. Pasti karena marah itulah Suri menolak pemberiannya.
“Bagaimana pak Baskoro? Waktu saya tidak banyak,” kata si pemilik rumah lagi. Ia adalah seorang wanita setengah tua yang badannya sangat gendut. Jauh lebih gendut dari istrinya yang selalu dipanggilnya si tambun. Matanya tajam, tak ada ramah-ramahnya. Barangkali begitu cara orang menagih hutang agar terlihat sangar.
“Maaf Bu, sebenarnya yang mengetahui soal kontrak rumah itu istri saya. Maukah ibu menunggu sebentar lagi?”
“Saya tidak punya banyak waktu. Saya meninggalkan pekerjaan saya di rumah, hanya untuk menagih kekurangan uang sewa. Jadi saya minta pak Baskoro saja yang membayarnya, tak perlu menunggu bu Suri.”
“Tapi saya tidak punya uang sebanyak itu.”
“Sebaiknya pak Bas tidak membebankan semua ini kepada bu Suri. Kasihan dia, susah-susah mencari uang guna mencukupi kebutuhan hidup. Sampai-sampai dia menjajakan jualannya di sepanjang jalan, masuk dari rumah ke rumah. Kasihan kan? Jadi apa salahnya kalau pak Baskoro juga ikut memikirkannya.”
“Tapi Bu, saya hanya membawa uang satu juta.”
“Ini waktunya para pegawai menerima gaji. Masa Pak Bas nggak punya uang?”
“Gaji saya itu, nantinya juga saya berikan kepada istri saya. Jadi silakan Ibu menunggu sampai dia pulang kembali,” kata Baskoro kesal.
Kalau saja pintu rumahnya terbuka, ia pasti akan segera masuk ke dalam rumah dan menguncinya, agar pemilik rumah itu tidak terus-terusan memaksanya.
“Kalau Pak Baskoro tidak bisa membayarnya sekarang, saya minta besok pagi rumah ini sudah dikosongkan. Banyak yang mau menyewanya dengan harga yang lebih tinggi,” kata pemilik rumah dengan mata melotot.
Baskoro mengangguk.
“Baiklah, nanti istri saya yang akan membayarnya. Kalau Ibu mau menunggu sebentar saja, pasti dia sudah pulang,” kata Baskoro yakin, bahwa Suri pasti sudah menyiapkan kekurangan uang sewa itu, karena Suri juga tahu bahwa ini adalah hari terakhir perjanjian sewa itu.
“Baiklah, saya pulang dulu, tapi nanti saya akan kembali,” katanya sambil beranjak pergi, membuat Baskoro merasa lega.
Tapi kelegaan itu perlahan bercampur rasa gelisah, ketika sudah jam setengah sembilan malam Suri belum tampak kembali. Baskoro sudah penat menanti, dan Rusmi sudah berkali-kali menelpon memintanya datang. Tapi dia harus bertemu Suri dan berbicara. Setelah ia mendengar kata ‘cerai’ yang diucapkannya tadi, ia benar-benar merasa gelisah. Bukan karena ia sangat mencintai sang istri, tapi karena ia tidak ingin kehilangan seorang wanita yang setiap saat melayaninya dengan penuh perhatian.
Baskoro sedang berdiri untuk melemaskan ototnya yang kaku karena berjam-jam duduk menunggu, ketika tiba-tiba sang pemilik rumah sudah datang kembali.
Kali ini ia tidak langsung duduk seperti ketika datang pada sore harinya.
“Pak Baskoro, saya tidak tahu kalau ternyata bu Suri sudah datang ke rumah sejak tadi siang. Waktu itu saya sedang pergi, jadi yang menerima hanya pembantu saya. Saya baru pulang sore hari, lalu langsung datang kemari, jadi tidak tahu bahwa bu Suri sudah berpesan kepada pembantu saya, bahwa dia tidak akan menempati lagi rumah ini.”
Baskoro sangat amat terkejut.
“Suri mengatakan itu?”
“Benar, kata pembantu saya, siang tadi dia datang membawa colt terbuka untuk membawa alat-alat masak dan barang-barang dari rumah ini.”
“Ke mana dia?”
“Dia tidak mengatakan ke mana akan pergi, kecuali hanya menyerahkan kunci rumah. Kecuali itu dia berpesan, agar kekurangan uang sewa akan dibayar oleh pak Baskoro.”
“Apa?”
“Jadi saya datang kemari untuk menagihnya kepada pak Baskoro.”
Pemilik rumah itu kemudian membuka rumah dengan kunci yang dibawanya. Baskoro mengikutinya. Lalu dia tertegun ketika memasuki kamar, dia melihat almari Suri hampir kosong, hanya tinggal lembaran-lembaran baju yang tidak terpakai. Ketika menuju dapur, ia tak melihat alat-alat dapur lagi di sana.
Memang, ketika rumah itu disewa, segala macam kursi, almari, tempat tidur, se mua sudah ada. Mereka tinggal menempatinya. Kecuali peralatan memasak yang belum ada, dan Suri harus membelinya sendiri. Sekarang dia sudah pergi, dan peralatan dapur itu sudah tak ada lagi di sana.
Baskoro merasa lemas. Ia mencoba menelpon Suri, tapi Suri mematikan ponselnya.
“Pak Baskoro, Anda sudah melihat sendiri, bahwa bu Suri sudah benar-benar pergi. Jadi saya tetap akan menagih sisa uang sewa yang belum terbayar. Dan kalau pak Baskoro ingin melanjutkan menyewa atau mengontrak, sekaligus saya minta bayarannya, lalu kita akan membuat perjanjian kontrak yang baru,” kata si pemilik rumah yang sekarang duduk menunggu di ruang tengah.
Baskoro mengacak rambut di kepalanya sendiri dengan perasaan gelisah.
Saat itulah Rusmi kembali menelpon. Tampaknya nyonya atasannya itu sudah sangat menginginkannya menghabiskan malam bersama, seperti hari-hari sebelumnya.
“Bu, saat ini aku sedang ada masalah. Tapi kalau Ibu bisa mentransfer uang sedikitnya tujuh setengah juta malam ini, aku akan segera datang menemui Ibu.”
“Apa? Tujuh setengah juta? Untuk apa?”
“Nanti akan aku ceritakan. Tolong kirimkan saja dulu uangnya,” katanya enteng, sepertinya ia sudah biasa meminta uang kepada nyonya cantik yang menggairahkan itu.
“Baiklah, tunggu sebentar.”
Baskoro menutup ponselnya dengan lega, lalu menatap si pemilik rumah yang masih menunggunya dengan tatapan memaksa.
“Bu, tunggu sebentar ya. Sisa uang sewa akan segera saya transfer ke rekening ibu. Dan saya tidak ingin memperpanjang kontrak rumah ini,” kata Baskoro dengan perasaan lega, walau kekecewaan tentang kepergian Suri masih membebani pikirannya.
***
Hampir tengah malam Baskoro datang ke rumah keluarga Raharjo, tapi Rusmi masih dengan sangat setia menunggu. Baskoro datang dengan membawa kopor berisi pakaian, terutama pakaian kerja yang harus dikenakan setiap hari. Rusmi dengan heran menatapnya.
“Apa yang terjadi?”
“Istriku minggat.”
Bukannya ikut prihatin, Rusmi malah tertawa senang.
“Syukurlah, jadi kamu bersiap menceraikannya bukan?”
“Apa boleh buat,” keluhnya sambil langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang di kamar Rusmi.
“Kamu kelihatan sangat sedih?” kata Rusmi curiga.
“Bukan sedih karena kehilangan cinta. Sedih karena kehilangan pembantu,” katanya berterus terang.
“Lalu untuk apa uang itu?”
Melunasi uang sewa rumah selama setengah tahun. Itu sebabnya aku membawa baju-bajuku, karena aku tidak mau lagi memperpanjang kontrak rumah itu.”
“Bagus. Kamu bisa tinggal di sini, karena memang di sinilah seharusnya kamu tinggal. Bukankah itu yang selalu kita inginkan?”
Baskoro hanya mengangguk. Ia segera melupakan kekesalannya terhadap Suri, karena Rusmi selalu membuatnya lupa segala-galanya.
***
Dan karena selalu merasakan kesenangan itulah, Rusmi bahkan melupakan anaknya sendiri yang entah pergi ke mana.
Siang tadi Hasti disuruhnya pergi ke sekolah Nilam, tapi pihak sekolah mengatakan bahwa seseorang telah meminta surat keterangan pindah, tapi mereka tidak tahu persisnya kemana Nilam pindah sekolah.
“Siapa yang meminta surat keterangan pindah itu? Jangan-jangan bibik?” curiga Rusmi.
“Bukan. Ketika Hasti menunjukkan foto bibik, mereka mengatakan bahwa bukan dia yang datang. Katanya masih agak muda dan cantik, tapi penampilannya sederhana. Itu yang mereka katakan.”
“Siapa ya?”
“Dengan adanya permintaan surat pindah itu, berarti NIlam berada bersama orang yang mau merawatnya dengan baik. Buktinya dia juga mau menyekolahkannya,” kata Hasti.
Rusmi mengangguk, dan karena itulah ia merasa lebih tenang, bahkan tidak lagi memikirkannya. Rusmi benar-benar sudah seperti orang kesetanan, memburu kesenangan dan melupakan semua hal, bahkan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Siapa yang tak sedih saat anaknya meninggalkannya? Tapi Rusmi memang bukan manusia biasa. Hatinya adalah iblis, perilakunya juga iblis. Ia bahkan tak mau melaporkannya kepada polisi, karena takut akan bayangan dosanya sendiri.
***
Nilam sedang menata buku-bukunya yang baru dibelikan Suri untuk sekolahnya. Ia sudah bersekolah di sekolah yang baru, agak jauh di pinggiran kota, tapi dekat dengan rumah sewa yang dikontrak Suri. Suri yang sangat bahagia dengan adanya Nilam di sampingnya, tak lagi memikirkan Baskoro yang bertahun-tahun menjadi suaminya, dan ternyata mengabaikannya.
Ia juga bersyukur, dagangannya semakin laris, bahkan sering mendapat pesanan. Hal itu membuat Suri akhirnya bisa menabung kembali, setelah beberapa uangnya menipis karena dipergunakan untuk membayar sewa dan memasukkan Nilam ke sekolah yang baru. Ia juga bisa memenuhi semua kebutuhan Nilam, yang memang sangat diperhatikan oleh Suri, seperti kepada anak kandungnya sendiri.
“Apa kamu senang, bersekolah di sekolah yang baru?” tanya Suri pada suatu malam.
“Senang sekali Bu, teman-teman baru Nilam sangat baik dan ramah.”
“Belajarlah yang rajin.”
“Bukankah Nilam sangat merepotkan ibu?”
“Mengapa kamu berkata begitu?”
“Ibu harus mengeluarkan uang banyak untuk Nilam.”
“Biarpun uang ibu habis, tidak masalah asalkan kamu bisa bersekolah dan senang. Tapi uang ibu yang habis itu sudah tergantikan kok. Buktinya, dagangan ibu sangat laris, dan sekarang sudah bisa menabung lagi.”
“Syukurlah Bu. Sebenarnya Nilam ingin membantu berjualan.”
“Tidak. Tugas kamu adalah sekolah. Dan kamu adalah anak yang rajin. Kamu bisa bersih-bersih rumah sepulang dari sekolah, dan terkadang membantu pekerjaan ibu di dapur, itu sudah membantu. Ibu senang punya kamu.”
Nilam tersenyum. Ia tak menyangka bisa bertemu wanita yang bisa menyayanginya dengan sangat mengharukan, dan membuat dia merasa nyaman bersamanya. Tapi terkadang ingatannya akan ayah tirinya dan Wijan, membuatnya sedih. Apa kabar mereka, dan dimana? Pertanyaan dan harapan itu selalu ada di dalam benak Nilam.
***
Hari terus berjalan. Apa kabar Wijan?Apakah Wijan melupakan Nilam? Tidak. Saat sepi menyendiri, ingatan tentang adik tirinya yang manja dan sangat mengasihinya itu selalu mengganggunya. Ia tentu tidak mengira kalau Nilam pergi dari rumah saat mengetahui bahwa dirinya diusir dari rumah orang tuanya sendiri.
Wijan pergi ke kota lain, dan melanjutkan sekolahnya di sana. Ia tak ingin bertemu dengan keluarga ibu tirinya, dan melupakan bahwa yang ditinggalkannya adalah rumah ayahnya, dan dia berhak memilikinya. Wijan hanya ingin belajar dan berhasil menjadi orang seperti harapan ayahnya saat pertemuannya yang terakhir. Terkadang Wijan menitikkan air mata kalau teringat ayahnya. Sama sekali dia tak menyangka bahwa pesan ayahnya ketika mengantarkannya ke rumah sakit itu adalah pesan terakhirnya. Apakah Raharjo benar-benar sudah meninggal?
Walau pemikiran itu ada, tapi Wijan tetap berharap, bahwa ayahnya masih akan ada, dan hidup menerangi hari-harinya.
“Bapak akan kembali kan? Bapak akan melihat Wijan berhasil menjadi orang seperti harapan Bapak kan?” bisiknya saat malam ketika ia duduk sendirian di depan rumah yang ditinggalinya, sambil menatap hamparan bintang-bintang dilangit yang biru.
“Bapak menatap bintang-bintang yang sama kan? Wijan rindu Bapak,” kalau sudah begitu, Wijan tak akan pernah bisa menahan isaknya.
Wijan menyewa sebuah rumah kecil sederhana yang hanya memiliki satu buah kamar. Ia hanya ingin tenang dalam belajar. Ia beruntung ayahnya memberinya uang ketika itu, yang kata ayahnya bisa untuk membiayai sekolah dan kuliahnya. Wijan mempercepat pelajarannya di SMA, dan berharap tahun depan sudah bisa masuk kuliah. Mengapa tidak? Wijan punya semangat tinggi, dan punya mimpi tentang keinginan ayahnya yang akan berhasil digenggamnya.
Ia mengganti nomor kontaknya ketika pak Rangga sering mengontaknya. Ia tak ingin kembali ke kota itu, kemudian bertemu lagi dengan ibu tirinya. Ia akan melupakan semuanya dan akan meniti kehidupannya yang baru.
***
Seorang wanita renta membawa tongkat penopang tubuhnya, keluar dari sebuah gubug yang agak terpencil di sebuah desa. Ia menatap kesana kemari, seperti ada yang dicarinya. Dengan suara lemahnya dia memanggil-manggil.
“Jo, kamu ke mana Jo? Aku menyuruhmu membeli makanan, dan lama sekali kamu tidak segera pulang. Jo!! Bejo!!
Lalu si nenek renta itu merasa lega, ketika melihat anak laki-lakinya yang melenggang dari kejauhan, sambil menenteng bungkusan.
“Owalah, Jo … simbok ini tak bisa lama-lama kamu tinggalkan sendirian,” katanya sambil melambaikan tongkatnya ke arah sang anak.
***
Besok lagi ya.
🍇🫐🍇🫐🍇🫐🍇🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah
Matur nuwun Bu Tien.
BeUI_25 sudah hadir.
Semoga Bu Tien
sehat selalu dan
tetap smangaats...
Salam Aduhai 🌹🦋
🍇🫐🍇🫐🍇🫐🍇🫐
Rusmi tambah lupa daratan...kerasukan iblis, bergelimang dosa...Entah gimana nanti mendapat karma akibat dari perbuatannya...
DeleteWah ada lg tokoh baru, siapa nih Barjo dan si nenek tua di desa terpencil...Bikin penisirin aja...
Sami2 ibu Sari
DeleteAamiin atas doanya
Alhamdulillah
ReplyDeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yabgtie
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang
ReplyDeleteSelamat datang di rumah besar ya kebo... tapi jangan lama lama. Walau belum puas nanti harus pindah.
DeleteWijan dan Nilam harus prihatin dulu, pada akhirnya nanti akan bahagia.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terimakasih pak Latief
DeleteAlhamdulillah Bunga Untuk Ibuku 25 sdh tayang.
ReplyDeleteTrimakasih bunda.
Smg p.Raharjo segera ditemukan.
Baskoro dan Rusmi mendapatkan balasan yg setimpal atas perbuatan jahatnya.
Kasihan Wijan.
Yukk kita simak bareng" kisahnya.
Sami2 ibu Wiwik
DeleteTerima kasih perhatiannya
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteTerima kasih, bu Tien cantiik.... salam sehat penuh semangat untuk seluruh keluarga, yaa....
ReplyDeleteSami2 jeng Mita
DeleteSalam sehat dan aduhai
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteMatur nuwun buu ... alur crita yg ditunggu seruuu
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteSalam hangat dari Solo
Alhamdulillah....terimakasih Bunda, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 ibu Tutus
Alhamdulillah.....BUNGA UNTUK IBUKU 25 dah tayang semoga Bu Tien sehat2 selalu, bahagia bersama keluarga
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun ibu Suprilina
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Salamah
DeleteAlhamdulillah tayang matur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteSugeng dalu,
DeleteMatur nuwun pak Djuniarto
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~25 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Salam aduhai
ReplyDeleteAlhamdullilah
Bunga untuk ibuku 25 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Ayo Wijan gapai ccitamu , Alhamdulillah Maturnuwun Bunda makin menarik + penasaran cerita ini.hebat tetap sehat & semangat
ReplyDeleteMatur nuwun pak Herry
DeleteSalam semangat
Aamiin,
ReplyDeleteTerimakasih,ibu Ting
Salam aduhai
Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun ibu Sri
Wooo...dasar Rusmi ga bener...kehilangan suami dan anak kok malah kesenangan...orang ga normal.😬
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien sayang...salam sehat selalu.🙏🙏🙏😘😘😀
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam sehat dan aduhai
Barjo kata nenek
ReplyDeleteBrgkli itu Pak Raharjo yg telah di ketemukan nenek
Wijan kau anak baik santun, moga Allah beri ijabah doamu yah
Nilam juga udah nemu seorang ibu yg sangat menyayanginya
Wah pasti tmbh seru nih
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat dan
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Nah, ini dia
DeleteADUHAI ADUHAI.. ADUHAI.. jeng In
Semakin seru dan blm trbaca alur ceritanya... dimana dan dlm keadaab bagaimana mreka akan berkumpul kembali... makiin asyik dan penasaran trs... trimakasih Mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga trcnta...
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasoh pak Zimi
Sami2 jebg In
ReplyDeleteADUHAI
Terima kasih Bu Tien, ceritanya semakin seru.....
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteMatur nuwun
Alhamdulillah ...
ReplyDeleteSemoga benar bahwa Barjo adalah Raharjo ...
Syukron nggih Mbak Tien..🌹🌹🌹🌹🌹
Sehat Sehat Sehat ...
Bismillah Bidznillah☺️
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
Ada warga baru nenek tua dan Barjo siapakah mereka?? Tak sabar menunggu lanjutan besok... Terimakasih bunda Tien, tetap semangat dan sehat selalu.. salam aduhai..
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih ibu Komariah
Alhamdulillah, ceritanya terus mengalir dengan lancar.
ReplyDeleteApakah pak Raharjo lagi terbaring dirumah dirumah nenek tua. Atau Barjo adalah Raharjo yang mungkin lagi amnesia ?.
Mbak Tien emang pinter membuat kita menduga duga.
Maturnuwun mbak Tien, atas tulisannya yang membuat terlena
Siapa ya Barjo yang tiba-tiba muncul di cerita. Matur Bu Tien yang setiap hari berhasil membuat penasaran menunggu kelanjutan ceritanya. Semoga Ibu sekeluarga tetap sehat, aamiin....
ReplyDeleteAamiin..
DeleteHei.. heii siapa dia...
Itu kan lagu payung fantasi. Nirokke pak Nanang biar katut lucu, nuwun ibu Reni
Alhamdulillah makasih bu tien...
ReplyDeleteSami2 ibu Sugini
DeleteApa kabar?
Matur nuwun
ReplyDeleteCritanya makin seru
Aku bingung arep komen apa Aduhai,,,,Aduhai,,,Aduhai
Yen bingung ndodok mbak.
DeleteHehee
ADUHAI ADUHAI ADUHAI, iki duweke jeng In lho.. hahaa
Ini nganggo jangan pindo, dadiné?
ReplyDeleteYå jangan jangan.
Rahardjo lupa ingatan, ingatnya waktu kecil paling sering dipanggil jo, ya sama 'ibu' nya, djadi Barjo gitu aja, jadi bar cilaka masih bejo.
ånå² waé,
dah keluarganya berpencar, Nilam adek tiri yang baek, sudah di ketahui Wijan; kalau adeknya ikutan pergi dari rumah.
Iya ya kalah sama babon ayam ya, ada satu anaknya tertinggal aja sana sini dipikirkan.
Takut kehilangan momen, kayaknya. padahal tuh anaknya selalu cari peluang. Nempil.
ADUHAI
RrTerimakasih Bu Tien
Bunga untuk ibuku yang ke dua puluh lima sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Nanang.
Kok bisa crigis ning lucu ya.
Sami2 ibu Pungpa.
ReplyDeleteMatur nuwun..
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtrsuwun bunda Tien 😍
Sami2 ibu YYULIA
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu
Salam ADUHAI 😙💖
Aamiin
DeleteSami2 ibu Umu
Salam hangat dan aduhai
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 KP LOVER
DeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteKenapa Wijan memutuskan kontak dg pak Rangga. Ketemu pak Rangga kan Ndak mesti ketemu sama ibu tirinya.
Semoga sehat selalu mba Tien.
Salam hangat selalu aduhai.
Salam hangat dan aduhai, ibu Sulastri
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Ada pendatang baru Barjo ,, tambah rame nih ,, Mantab & aduhaiii 💞
Waduh... siapa lagi nenek tua dan Bejo?
ReplyDeleteTerimakasih... Bu Tien sehat selalu