Friday, September 22, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 40

 BUNGA TAMAN HATIKU  40

(Tien Kumalasari)

 

 

Ratih menatap ibu mertuanya tak berkedip. Ia ingin menolak, tapi tatapan tajam mata sang ibu mertua serasa memaksanya untuk tidak menolak.

“Memangnya kenapa? Kamu tampak tidak suka. Kamu sangat membenci Andri?” tuduhnya dengan wajah kesal.

“Bukan begitu, ibu kan baru pulang dari rumah sakit. Ibu membutuhkan waktu untuk istirahat.”

Sebenarnya Ratih sangat khawatir, kalau nanti bu Widodo melihat keadaan Andri, yang tentu saja tampak tidak terawat, mungkin pucat, lusuh, pasti akan sangat membuatnya terpukul. Bagaimana kalau nanti bu Sardono kembali jatuh sakit?

“Tapi aku ingin melihat anakku. Apa salahnya?”

“Bagaimana kalau besok, satu dua hari lagi, setelah ibu benar-benar sehat?”

“Apa maksudmu Ratih? Jangan mencari alasan untuk menghindari bertemu Andri. Kalau tidak suka, kamu boleh menunggu di luar,” kata bu Widodo yang tampak masih merasa bahwa niatnya sangat dihalangi oleh menantunya, hanya karena dia enggan bertemu suaminya yang berada di dalam tahanan.

“Ibu, sungguh Ratih bukan beralasan karena tidak ingin bertemu mas Andri. Ratih hanya menghawatirkan kesehatan ibu.”

“Kamu tenang saja, aku akan baik-baik saja,” katanya sambil membaringkan tubuhnya dan kemudian tidur miring memunggungi Ratih.

Ratih menghela napas kesal.

“Baiklah, tidak apa-apa besok kita mampir untuk bertemu mas Andri,” kata Ratih pasrah. Kemudian dia membalikkan tubuhnya untuk duduk di sofa, dimana bibik sedang duduk mendengarkan perdebatannya dengan sang ibu mertua.

Bibik tampak mengangkat pundaknya. Seperti Ratih yang kesal karena niat bu Widodo yang sangat membuat khawatir.

“Non Ratih, makanlah dulu.”

“Baik Bik, mari kita sama-sama makan, lalu menyelesaikan tugas beres-beres barang-barang yang akan dibawa pulang besok.”

“Sudah bibik selesaikan, Non istirahat saja nanti setelah makan.”

“Baiklah, terima kasih Bik.”

***

Sore itu Nijah tidak merasa baik-baik saja. Sudah sejak selesai makan siang dia merasa mual, lalu memuntahkan seluruh isi perutnya, membuat bu Sardono dan bibik khawatir. Tapi Nijah tidak mau terus-terusan tiduran, dia merasa sungkan telah merepotkan seisi rumah. Ia duduk di dapur, makan mangga muda yang disiapkan bibik. Dengan mangga muda itu, rasa mual di perutnya bisa mereda.

“Tapi jangan terlalu banyak, nanti perutmu sakit. Lebih baik sekarang makan dulu saja. Perut juga butuh diisi,” kata bibik mengingatkan.

“Iya Bik, aku mau makan, selagi perutku sedang enakan.”

“Aku siapkan dulu di ruang makan.”

“Jangan Bik, aku mau makan di sini saja, sambil ngemil mangga muda."

“Ya ampuun, baiklah. Ini bukan kemauan ibunya, tapi kemauan si jabang bayi,” kata bibik sambil menyiapkan makan untuk Nijah.

“Ada sambalnya kan Bik?”

“Ada, tapi jangan banyak-banyak.”

“Aku pengin yang pedas.”

“Ini sudah pedas,” kata bibik sambil meletakkan nasi dan lauk pauknya.

“Sudah, sekarang makanlah dulu.”

“Iya … iya, Bik.”

Saat makan itulah tiba-tiba ada yang merangkulnya dari belakang kursi yang didudukinya.

“Kok makan di sini?”

Nijah menoleh ke arah belakang, dan melihat Satria tersenyum sambil masih memegangi pundaknya.

“Aku pengin makan di sini, sambil ngemil mangga muda ini, terus sambalnya pedas sekali.”

“Nijah, nanti perut kamu sakit,” tegur Satria yang menatapnya penuh teguran.

“Tidak, malah aku merasa enakan kalau makan yang asem-asem dan pedas begini.”

“Bibik, bagaimana ini?” kata Satria kepada bibik yang hanya tersenyum sambil menyalakan kompor.

“Biar saja Tuan, itu yang minta jabang bayi,” sahut bibik enteng.

“Begitukah?”

Nijah mengangguk-angguk sambil menyelesaikan makannya.

“Aku ingin memberi tahu, ada tamu duduk di teras, aku suruh masuk tidak mau.”

“Tamu siapa? Mengapa bilang sama aku? Oh ya, baiklah, nanti aku buatkan minum untuk tamunya,” kata Nijah sambil mengangkat piring kotornya ke arah cucian.

“Tamunya Bowo.”

“Bowo? Dia liburan?”

“Dia sudah selesai menggarap skripsinya, tinggal ujian bulan depan, katanya.”

“Ah, syukurlah. Ya sudah, Mas kedepan saja dulu, aku mau mencuci tangan sambil membawakan minuman.”

Pertemuan itu membuat Nijah senang, apalagi ketika Bowo mengetahui bahwa Nijah benar-benar sudah mengandung.

“Aku ikut bahagia, Mas, kalian akan segera punya momongan. Lebih cepat dari yang aku bayangkan.”

“Aku ini kan joss Mas,” kata Satria sambil mengacungkan genggaman tangannya ke atas, membuat Nijah kemudian harus mencubit lengannya karena malu.

“Sudah ketemu mbak Ratih?” tanya Nijah mengalihkan pembicaraan.

“Aku dari sana tadi, sebelum pulang ke rumah.”

“O, gitu ya. Kayaknya sudah sangat rindu nih,” seloroh Satria.

“Jangan begitu ah, dia masih istri orang.”

“Dia bilang akan segera mengajukan gugatan cerai,” sambung Nijah.

“Kasihan, ibu mertuanya agak keberatan kelihatannya. Tapi semoga semuanya  baik-baik saja, lancar, dan Mas Bowo juga mendapatkan jalan lancar untuk mendekati dia.”

Bowo tertawa pelan.

“Entahlah, doakan saja, ya. Lagipula aku belum benar-benar selesai, udah gitu harus cari pekerjaan juga. Kalau belum punya penghasilan, mana ada wanita yang mau menjadi istriku.”

“Mau bekerja di kantor saya, Mas?” Satria menawarkan.

“Benarkah?”

“Orang tuanya Bowo itu pejabat Mas, orang kaya. Memangnya Mas berani memberi gaji berapa sama dia?” kata Nijah.

“Eeeh, nggak boleh begitu. Kekayaan orang tua bukanlah kekayaan aku. Aku harus berusaha dan mencarinya sendiri, sekecil apapun.”

“Hebat Mas Bowo ini. Punya prinsip yang sangat mengagumkan. Memang benar, kekayaan orang tua bukanlah kekayaan kita. Yang paling nyaman adalah menikmati hasil keringat kita sendiri.”

“Cocok,” kata Bowo sambil mengacungkan jempolnya.

Pembicaraan itu berlangsung akrab, karena banyak cerita yang mereka perbincangkan, diantaranya tertangkapnya kedua orang pembantu Andri yang belum lama dikabarkan polisi kepada Satria.

“Syukurlah, agar semuanya bisa segera diproses secara hukum.”

Tapi tak lama kemudian Nijah berpamit ke belakang karena perutnya merasa mual tiba-tiba.

“Nijah agak rewel saat mengandung ini. Besok mau aku bawa ke dokter lagi,” kata Satria.

***

Pagi hari itu, setelah dokter memeriksa bu Widodo, lalu dokter menyatakan bahwa bu Widodo benar-benar sudah boleh pulang hari itu. Banyak pesan yang diberikan dokter kepada bu Widodo, antara lain tidak boleh banyak pikiran, tidak boleh stress, tidak boleh marah-marah. Pokoknya harus tenang dan selalu merasa senang.

Ratih agak khawatir, apalagi setelah mendengar pesan dari dokter itu, sementara bu Widodo bersikeras ingin menemui Andri di tempat tahanan.

Karenanya, saat mereka dalam perjalanan menuju kantor polisi, Ratih kembali mengulang apa yang dipesankan dokternya sebelum pergi.

“Iya, aku sudah tahu. Aku hanya ingin ketemu anakku, masa tidak boleh,” kata bu Widodo sambil cemberut.

“Boleh dong Bu, tapi Ibu tidak boleh terbawa perasaan ya. Harus tenang, bersikap biasa, jangan kaget saat mendengar apapun.”

“Iya … aku sudah tahu, kenapa diulang-ulang sih?” kata bu Widodo kesal. Ratih merangkulnya hangat untuk meredakan kekesalan hati ibu mertuanya.

Tapi saat benar-benar bertemu Andri, tak urung bu Widodo tetap saja terpengaruh. Melihat penampilan anaknya yang pucat, tubuhnya kurus dan kulitnya yang biasanya putih bersih tampak kotor, membuat sang ibu menitikkan air mata.

“Apa yang kamu lakukan, Andri? Mengapa kamu melakukannya?” lirih bu Widodo sambil merangkul anaknya.

“Andri minta maaf, Bu. Andri hanya membantu teman.”

“Membantu melakukan kejahatan?”

“Dia tersakiti, aku harus mendukungnya.”

“Siapa yang kamu maksud?”

“Ristia Bu, suaminya menikah lagi, Ristia ingin melenyapkan madunya. Aku kasihan pada Ristia, jadi aku membantunya.”

“Itu tidak benar, Andri. Membantu sebuah tindak kejahatan, tetap saja kamu juga melakukan kejahatan itu sendiri.”

“Maafkan Andri Bu.”

“Mengapa kamu mau membantunya?”

“Karena aku mencintainya, Bu.”

Bu Widodo terkejut.

“Kamu? Mencintainya?” teriaknya agak keras, membuat Ratih segera mengelus punggungnya untuk menenangkannya. Ratih benar-benar ketakutan kalau sampai bu Widodo kembali jatuh sakit.

“Maafkan Andri,” kata Andri sambil menundukkan muka.

“Jadi benar, bahwa kamu tidak mencintai istrimu yang cantik ini, dan memilih mencintai perempuan yang sudah menjadi suami orang?” bu Widodo masih berteriak. Beberapa petugas menatap ke arah mereka.

“Maafkan Andri.”

“Istri kamu akan menggugat cerai.”

“Lebih baik begitu, Bu.”

Bu Widodo menutup matanya, menahan tetesan air mata yang akan kembali jatuh. Ratih terus saja menepuk-nepuk punggungnya.

“Ratih, ayo kita pulang,” kata bu Widodo sambil berdiri. Andri menatap punggung ibunya dengan perasaan tak menentu.

***

Begitu sampai di rumah, bu Widodo langsung memasuki kamar. Ratih memburunya, karena khawatir sang ibu mertua mengunci pintunya dari dalam, sehingga dia tak bisa melihat apa yang dilakukannya.

Ia menatap Ratih dengan mata basah, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, dan menangis tersedu-sedu. Ratih mendekatinya, kemudian merangkulnya. Barangkali dengan melepaskan tangis, maka semua beban yang memberati jiwanya bisa menjadi ringan.

 “Ratih ….” bisiknya setelah tangisnya reda.

“Ya Bu.”

“Apakah kamu tahu, bahwa aku sangat menyayangi kamu?”

“Tentu saja Ratih tahu, Ibu menyayangi Ratih, seperti Ratih menyayangi Ibu.”

“Benarkah?”

“Apa kamu takut, aku terguncang setelah pertemuanku dengan Andri?”

“Tentu saja Ratih sangat takut. Ibu baru sembuh dari sakit, lalu melihat dan mendengar apa yang nanti dikatakan mas Andri, pastilah membuat Ibu terguncang. Itu sebabnya semula Ratih ingin menghalangi keinginan Ibu.”

“Kamu benar, aku sangat kaget melihatnya, apalagi mendengar apa yang dikatakannya. Tapi aku bisa menata hati aku. Apa yang akan aku lihat dan aku dengar, sudah terbayang olehku bahwa itu akan menyakitkan. Dan karena aku sudah bisa membayangkannya, aku bisa menata hatiku dengan baik. Aku sudah melepaskan semua beban. Aku sudah siap menerima apapun yang terjadi, termasuk kegagalanku dalam mendidik Andri.”

Ratih menundukkan kepalanya, bersyukur mendengar apa yang dikatakan ibu mertuanya. Bersyukur karena bu Widodo mengatakan bahwa siap menerima apapun yang akan terjadi.

“Jangan terlalu lama menunggu, segera urus gugatan cerai kamu.”

“Ibu?” Ratih mengangkat wajahnya.

“Lakukanlah, tapi tetaplah menjadi anakku, walau urung menjadi menantuku.”

Ratih kembali memeluk bu Widodo, kali ini dengan tangis yang terisak-isak. Ia merasa telah keluar dari sebuah gua yang amat gelap, seakan menghirup udara yang penuh dengan kesejukan dan kenyamanan.

***

Satria sangat lega, ketika Nijah sudah melewati masa ngidamnya yang banyak rewel. Bukan rewel karena banyak permintaan, tapi rewel karena mengeluh mual dan muntah setiap hari. Rupanya obat dokter tak ada yang mampu menghentikan kebiasaan mual dan muntahnya. Tapi sekarang semuanya sudah berlalu. Nijah bahkan makan sangat banyak, dan semakin rajin membantu bibik memasak di dapur. Nijah juga suka berdandan, membuat wajahnya semakin berseri cemerlang.

“Bik, aku merasa, anak Nijah nanti perempuan,” kata bu Sardono saat ikut duduk-duduk di dapur.

“Benarkah Nyonya?”

“Wanita yang mengandung anak laki-laki, biasanya malas, Tapi lihatlah, Nijah sangat rajin memasak, rajin berdandan. Hal yang tak pernah dilakukannya.”

“Iya benar Nyonya, kalau masalah memasak, Nijah memang dari dulu suka memasak, tapi masalah berdandan itu agak mengherankan.”

“Iya Bik, aku kalau habis mandi terus nggak dandan cantik, merasa masih ada saja yang kurang. Penginnya tampil cantik terus, sambung Nijah yang berada di dapur juga.

“Tapi terkadang aku juga merasa malas tuh Bu. Hanya saja, saya terus saja membantu bibik di dapur, karena merasa kasihan sama bibik.”

“Jangan-jangan anakmu kembar laki-laki dan perempuan.”

“Tuh. Apakah dokter tidak pernah mengatakan apa jenis kelamin anak kamu, saat kamu periksa?”

“Mas Satria nggak mau bertanya, katanya biar ada kejutan saat lahir besok.”

“Oh, begitu? Biasanya usia kandungan lima bulan sudah bisa kelihatan lhoh jenis kelaminnya. Padahal kamu sudah mengandung delapan bulan, ya kan?”

“Iya Bu, benar. Akhir bulan depan atau awal bulan berikutnya, diperkirakan lahir.”

“Wah, tidak lama lagi Bik, jangan lupa setiap hari membersihkan kamar untuk adik bayi, supaya tidak berdebu saat dia pulang dari rumah sakit.”

“Sudah Nyonya, setiap hari saya bersihkan.”

***

Hari itu Satria tidak datang ke kantor. Ia sedang mondar mandir di depan kamar operasi, karena kelahiran anaknya harus dilakukan dengan operasi caesar, karena pinggul Nijah terlalu sempit.

Sudah sejam lalu Nijah berada di kamar operasi, membuat Satria sangat gelisah.

“Duduklah Satria, nanti kamu kecapekan modar-mandir terus.”

Tapi Satria tetap saja mondar mandir. Ia baru berhenti ketika mendengar lengkingan bayi. Ada dua lengkingan terdengar. Wajah Satria berbinar, apakah itu suara anakku? Satria mendekat ke arah pintu, menempelkan telinganya di sana. Ia hampir terjatuh ketika dokter membuka pintunya.

“Pak Satria?”

“Anak saya sudah lahir, dok?”

“Keduanya selamat, sehat. Mereka laki-laki dan perempuan,” kata dokter.

“Ibunya?”

“Ibunya juga sehat, tapi baru dibersihkan. Kalau sudah selesai, Anda akan dikabari,” kata dokter, kemudian berlalu.

Satria melonjak kegirangan. Pak Sardono dan bu Sardono mendekat ke arah Satria, ikut merasakan kebahagiaan putranya.

Tiba-tiba terdengar sebuah panggilan.

“Mas Satria.”

Satria menoleh, melihat Bowo dan Ratih berjalan mendekat, dengan membawa seikat bunga.

“Sudah lahir, Mas?”

“Sudah, baru saja, laki-laki dan perempuan,” sahut Satria riang.

“Kok tahu kami ada di sini?”

“Aku ke rumah, ketemu bibik yang mengatakan bahwa Nijah mau melahirkan, lalu kami ke sini. Tapi aku meninggalkan surat undangan untuk kalian.”

“Undangan? Kalian jadi menikah?” Satria berteriak gembira.

“Bapak, silakan masuk kalau mau melihat ibu Nijah dan bayinya,” tiba-tiba perawat memberi tahu.

“Tapi tidak semua boleh masuk ya, dua-dua saja,” sambung perawat itu.

Satria menarik tangan Bowo, diajaknya masuk lebih dulu.

Nijah masih tampak pucat, tapi senyumnya merekah, melihat dua orang laki-laki yang sangat berarti bagi dirinya. Yang satu adalah suaminya tercinta, satunya adalah sahabat terbaiknya.

“Terima kasih telah melengkapi kebahagiaan keluarga, Nijah,” kata Satria sambil mencium kening istrinya.

Ketika giliran Bowo mendekati, dibisikkannya ke telinga Nijah sebuah bisikan lembut.

“Bunga taman hatiku, tetaplah berseri dan wangi. Aku bahagia, kamu berada di dalam keluarga yang penuh cinta.”

Bisikan itu lirih, dan Satria tak mendengarnya, karena Satria sedang mendekati box bayi, dimana dua bayi cantik dan tampan itu bergerak-gerak lucu, membuat air mata bahagia terjatuh membasahi pipinya.

“Anak ganteng, anak cantik,” bisiknya setelah mengumandangkan adzan di telinga kedua anaknya.

***

T A M A T

 

 

 

SEORANG WANITA DENGAN PERUT AGAK BUNCIT, MENDEKATI PRIA YANG SEJAK TADI MENUNGGU KEDATANGANNYA. IA AGAK HERAN MELIHAT PERUT WANITA ITU.

“MAS, INI ADALAH ANAKMU,” BISIK WANITA ITU DENGAN BIBIR GEMETAR.

“APA? JANGAN BERCANDA, AKU SUDAH MAU MENIKAH DENGAN GADIS YANG AKU CINTAI,” HARDIKNYA DENGAN MATA MELOTOT.

 

Seru nggak sih, tapi lebih baik tungguin, nggak pakai nangis ya. Judulnya adalah “BERSAMA HUJAN”

 

Sampai jumpa!

 

 

50 comments:

  1. 🌸🎋🌸🎋🌸🎋🌸🎋
    Alhamdulillah BeTeHa 40
    sudah tayang...
    Matur nuwun Bu Tien
    Tetap sehat & smangats
    selalu yaa Bu...
    Salam Aduhai 🦋💐
    🌸🎋🌸🎋🌸🎋🌸🎋

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah..
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang

    ReplyDelete
  4. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillaah Bunda Tien...
    Jazakillaah khoir...🙏🙏🙏
    Semoga Bunda dan keluarga selalu sehat, salam Aduhai dwri Malang ❤️❤️❤️

    ReplyDelete
  6. BTH 40 tamat dilanjut Bersama Hujan.Maturnuwun sanget Bunda 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah,
    Bunga taman hatiku, tetaplah berseri dan wangi. Aku bahagia, kamu berada di dalam keluarga yang penuh cinta.”

    Matur nuwun bunda Tien, siap menanti guratan cerita yg baru...🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah....dah tobat eeh tomat..eeeh.....tamaaat.

    Matur nuwun bu Tien.
    Salam aduhai.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.. berakhir bahagia .
    Ditunggu cerita berikutnya bu Tien 😘
    Sehat selalu😍😍

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Dah tamat
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  11. Kalau segala sesuatu telah selesai tentu Tamat.
    Terimakasih mbak Tien yang ADUHAI dan Baik, telah menghibur kami para pembaca. Kami tunggu Bersama Hujan dengan sabar.
    Salam sukses buat mbak Tien, semoga selalu sehat dan selalu penuh kreativitas, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah.. berakhir bahagia. Terimakasih bunda Tien,salam sehat dan aduhai selalu...

    ReplyDelete
  13. Tamat ya dugaanku benar nijah satria, bowo ratih, ku tunggu buna " Bersama Hujan" basah ya salam sehat dari tasikmalaya yang masih kemarau

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.... terima kasih Mbu Tien... cerita dengan akhir yang sangat luar biasa... kebaikan senantysa berakhir kebahagiaan.... sehat selalu Mbu Tien bersama keluarga tercinta....
    Bersama hujan akan semakin menghangatkan suasana malam yang akan memasuki musim hujan... salam aduhai dari Majalengka

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah BUNGA TAMAN HATIKU~40 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, tks bunda Tien, lanjut Bersama Hujan

    ReplyDelete
  17. Alhamdulilah BTH 40 sdh tayang dan sdh tamat dengan heppy ending , Terima kasih bu Tien , tak sabar menunggu dg setia karya ibuku sayang selanjutnya " Bersama Hujan "smg bu tien selalu sehat dan bahagia, salam hangat dan aduhai bunda Tien...

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah... Matur nuwun sanget Bu Tien... Semoga selalu sehat dan dilancarkan sgl aktifitasnya... 🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat

    Senangnya Bunga Taman Hati ku untuk Nijah tdk tergoyahkan oleh Bowo

    Bersama Hujan,,,,semoga penuh keberkahan krn bnyk air tanah yg sdh berkurang krn hujan blm turun. Kok bisa pas judulnya , Ma syaa Allaah bu Tien luar biasa ,, Salam Aduhaii
    🤗🥰


    ReplyDelete
  20. akhir yang membahagiakan. Terima kasih bu Tien. Semoga sehat dan produktif berkarya. aamiin

    ReplyDelete
  21. Nah kan sudah terjawab; nyatanya andri juga nggak piawai atau males baca manual book nya.
    Jadi lebih suka yang tangan kedua dari pada baru; kredit lagi.
    Sampai Ratih terkejut adanya surat perintah percepatan pembangunan rumah tangga bersama kekasih hatinya Bowo yang terkesan santun dihadapan Mak widodo.
    Nggak paké lama langsung di dukung Mak widodo.
    Sayang kalau ada orang yang baek dan ngganteng di lewatkan begitu saja.
    ADUHAI
    Dirumah keluarga Sardono penuh rona kebahagiaan terlahir cucu kembar; laki dan perempuan, yang sangat dinantikan.
    Menurut bmkg; September tengah tengahnya musim kemarau. Sebentar lagi pancaroba dan kembali kita menunggu cerita baru bersama hujan.
    Siap siap; mau diguyur nich.

    Terimakasih Bu Tien
    Bunga taman hatiku yang ke empat puluh sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  22. koreksi, slip ketik :
    seluruh isi #prutnya#,....perutnya
    yang disiapkan #biibik#......bibik
    Seru nggak sih, #tai# lebih baik tungguin,..........tapi

    Demikian koreksi kecil, walau tidak mengganggu ceritera yang ada.

    Sukses ibu Tien Kumalasari meng aduk² emosi pembacanya.

    Ada yang penisirin .....
    Ada yang ngga bisa tidur sebelum membacanya

    Ada yang pingin hari Minggu cepat berlalu....karena sambungannya baru muncul Senin malam.

    Terungkap semua rahasia.

    Bahwa dalam proloog yang dimaksudkan siapa laki² itu, ternyata Andri.

    Dan Nijah adalam Bunga Taman Hatiku .......dihati Bowo.

    Tapi air tetap terus mengalir ....anginpun tetap berhembus...membawa cerita dua pasang sejoli Bowo dan Ratih .....Nijah dan Satria.

    Apakah Andri akan berpasangan dengan Ristia ???
    Tanyakan pada rumput yang bergoyang .....!!!

    Salam sehat
    Salam Aduhai

    Selamat berkarya selanjutnya ibu Tien Kumalasari ...!!!....idola kita semua.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih ada satu lagi pak Hadi
      .... perempuan yang sudah menjadi suami orang.?

      Delete
    2. Matur nuwun sanget koreksinya, mas Hadi

      Delete
  23. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat

    ReplyDelete
  24. Terima kasih mbak Tien, ending yg sempurna.
    Didoakan semoga mbak Tien sehat selalu. Amin.

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah harimu bahagia menyelimuti keluarga Nijah....

    Matur nuwun Bu Tien....
    Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala melindungi kita semuanya....

    Aamiin....

    Dan.....

    Selalu menunggu cerita Bu Tien selanjutnya....

    ReplyDelete
  26. Waah...walaupun agak singkat kisahnya, tapi berakhir bahagia semua...mari menyambut judul yg baru...disingkat apa ya? "BH" atau "BeHu"?😂

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏😘😘😀

    ReplyDelete
  27. Wah sudah tamat, terima kasih bu tien cerbungnya. Ditunggu cerbung berikutnya. Salam sehat dan jaga kesehatan

    ReplyDelete
  28. Terima kasih Bu Tien BTH dah tamat kutunggu cerbung barunya BERSAMA HUJAN. Selamat malam selamat beristirahat semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah matur nwn bu Tien, ditunggu cerita berikutnya.
    Salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  30. Makaciih Bu Tien... BeTeHa 40 menuntaskan cerita yg epik... bahagia bagi Satria d Nijah. Lahir anak kembar laki-laki dan perempuan

    ReplyDelete
  31. Makasih mba Tien.
    Berakhir bahagia.
    Ditunggu Bersama Hujan ya Mba Tien

    ReplyDelete
  32. Akhirnya kebahagiaan itu jadi sempurna.

    Terima kasih bu Tien.

    ReplyDelete
  33. Akhirnya mereka bahagia. Terimakasih Bu Tien

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17 (Tien Kumalasari)   Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat m...