BUNGA TAMAN HATIKU 39
(Tien Kumalasari)
Ratih mendekati bu Widodo dengan hati berdebar. Dia merasa sungguh ceroboh karena berbicara cukup keras, dan dia yakin bu Widodo pasti mendengarnya. Ucapannya serasa menusuk hatinya. Hal yang seharusnya masih dirahasiakan, terpaksa harus dikatakannya saat itu juga.
Ia duduk ditepi pembaringan.
“Apa kata suster perawat tadi, Bu?” Ratih berusaha mengalihkan perhatian bu Widodo.
“Aku sedang bertanya sama kamu. Apa benar kamu ingin bercerai?”
Ratih tak bisa berkata lain. Segera dipeluknya sang ibu mertua dengan hangat.
“Ibu, apakah Ibu percaya kalau Ratih mengatakan bahwa Ratih sangat menyayangi ibu? Ibu percaya kan?” kata Ratih lembut.
“Aku bertanya apa, jawabmu apa….” kata bu Widodo tampak kesal.
“Ini ada hubungannya dengan pertanyaan ibu. Yang harus ibu tahu terlebih dulu adalah bahwa Ratih sangat menyayangi ibu. Ibu kan tahu, Ratih tidak lagi punya orang tua? Dan ibu adalah ibuku, pengganti orang tuaku.”
Bu Widodo tidak menjawab. Pernyataan Ratih dianggap melenceng dari pertanyaannya. Ia sudah mendengar tadi, bahwa Ratih ingin bercerai, dan sekarang dia ingin meyakinkannya. Pelukan hangat Ratih tidak bisa menghilangkan rasa kesalnya, juga ucapannya. Yang dia yakini adalah bahwa Ratih ingin bercerai dari anaknya. Itu sangat menyakitkan. Sudah terbayang bahwa dia akan sendirian. Anaknya di dalam penjara, lalu menantunya akan meninggalkannya. Tanpa terasa air mata menggenang di pelupuknya. Ratih memeluknya semakin erat.
“Yang harus Ibu tahu adalah, bahwa Ratih tidak akan meninggalkan Ibu. Bukankah Ratih sudah berkali-kali mengatakannya?”
“Tapi kamu mengatakan tadi, entah kepada siapa, bahwa kamu ingin bercerai. Apakah itu laki-laki yang akan menggantikan Andri?” tuduh bu Widodo.
“Ibu, itu tadi Nijah. Saya ingin sekali menyapa dia, sejak kami lepas dari cengkeraman penjahat.”
“Baiklah, Nijah atau siapa, tadi kamu mengatakan bahwa kamu ingin bercerai. Jangan menyangkal, karena walau sakit-sakitan, telingaku masih bisa mendengar dengan jelas.”
Ratih mengangkat tubuhnya yang semula memeluk bu Widodo. Jari lentiknya mengusap air mata di pipi Bu Widodo yang masih menjadi mertuanya.
“Apakah sebuah perceraian bisa menghilangkan kasih sayang ibu kepada saya? Atau bisa membuat saya meninggalkan Ibu?”
“Jadi benar, kamu akan bercerai?”
Ratih menghela napas. Dengan ungkapan kasih sayang yang ditunjukkannya, Ratih berharap akan sedikit membuat bu Widodo merasa lebih hangat. Barangkali dugaannya benar, karena ucapan bu Widodo tampak tidak meledak-ledak, atau tidak kelihatan memelas seperti sebelumnya.
“Bu, apakah Ibu tahu bahwa mas Andri tidak mencintai saya?”
“Apa? Andri tidak mencintai kamu?”
“Iya Bu. Itu benar.”
“Tapi kamu sudah menjadi istrinya, dan Andri bersedia menikah sama kamu.”
“Itu benar, tapi mas Andri melakukannya karena ibu memaksa.”
“Kamu gadis yang cantik, pintar dan penuh kasih sayang, bagaimana dia tidak mencintai kamu?”
“Dia sendiri mengatakannya.”
Bu Widodo tampak merenung. Memang ketika meminta agar Andri mau menikah dengan Ratih, ia setengah memaksa. Kecantikan dan kebaikan Ratih, diyakininya bahwa akan bisa meluluhkan hati Andri. Tapi kalau ternyata tidak, itu diluar bayangan bu Widodo.
“Padahal aku ingin segera mendapatkan cucu.”
“Mas Andri belum pernah menyentuh Ratih.”
Bu Widodo menatap Ratih. Ada nada sedih ketika Ratih mengatakannya.
Walau begitu Ratih masih berusaha membesarkan hati ibu mertuanya, agar jangan sampai kesehatannya menjadi kembali drop dan membuatnya khawatir.
“Aku tidak menyangka,” gumam bu Widodo.
“Ibu tidak perlu sedih, apalagi sampai menjadi sakit. Ibu akan tetap menjadi ibu Ratih, dan Ratih akan selalu menyayangi Ibu.”
Bu Widodo menatap Ratih, kembali air matanya berlinang.
“Ibu jangan sedih ya, Ratih tidak akan meninggalkan Ibu, dan akan tetap menyayangi Ibu.”
“Bagaimana kalau kamu sudah mendapatkan suami lagi?”
“Ratih tetap akan menyayangi Ibu. Tak akan ada yang berubah diantara kita.”
Ratih meraih tangan bu Widodo dan meletakkannya di pipinya.
“Andri sudah mengecewakan aku,” gumamnya pelan.
“Pada suatu hari nanti dia akan mengerti, seberapa berartinya seorang Ibu."
“Apakah kamu mencintai Andri?”
“Cinta sepihak akan membuatnya menjadi bertepuk sebelah tangan. Tak akan berhasil, bukan Bu?”
Ratih kembali mengusap air mata bu Widodo.
“Andri benar-benar bodoh. Apakah dia mencintai perempuan lain? Aku tak pernah melihat dia membawa teman perempuannya ke rumah, jadi aku mengira kalau dia tidak punya seseorang yang ingin dijadikannya istri. Itu sebabnya aku menjodohkannya sama kamu.”
“Ibu tidak perlu memikirkannya. Yang penting adalah ibu harus sehat, sehingga bisa segera pulang ke rumah.”
“Apa kamu tahu, siapa perempuan yang disukai Andri?”
Ratih ingin mengatakannya, tapi ia tak ingin membuat bu Widodo bertambah sedih. Dia hanya menepuk-nepuk punggung tangan bu Widodo sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu tidak tahu?” ulangnya, walau Ratih sudah menggelengkan kepalanya.
“Tidak Bu. Harusnya dulu Ibu menanyakan hal itu pada mas Andri."
“Aku hanya ingin yang terbaik untuk hidupnya.”
“Iya, Ratih tahu Bu, tapi kan tidak semua maksud baik itu berakhir dengan baik? Mas Andri sudah dewasa, jalan yang dia lalui bukan lagi tanggung jawab Ibu.”
“Mana mungkin seorang ibu tidak memikirkan sepak terjang anaknya.”
“Ibu harus belajar menerimanya. Maafkan Ratih yang bicara begitu sama Ibu. Ratih bukan bermaksud menggurui, Ratih hanya ingin agar Ibu lebih tenang dan memikirkan kesehatan ibu saja.”
Bu Widodo hanya diam. Ia benar, tak mungkin dia tidak memikirkan anaknya, bahkan anak semata wayangnya. Semua terasa mengesalkan, membuatnya kecewa, membuatnya sedih, membuatnya sakit.
Ratih merasa bahwa keterdiaman bu Widodo bukan berarti mendengarkan apa yang dikatakannya, dan kemudian menurutinya. Tapi bahwa emosi bu Widodo tidak meledak-ledak, dia merasa lega. Paling tidak rasa keterkejutan yang semula ada, sudah berangsur lenyap.
“Ibu sekarang istirahat ya, ibu harus kuat. Kata orang, seorang ibu memiliki kekuatan yang tidak dimiliki seorang pria. Bukankah begitu Bu? Ratih hanya mengutip kata-kata yang terkadang Ratih baca di sebuah artikel atau bacaan.”
Bu Widodo memejamkan matanya. Ratih menunggui di sampingnya, dan tak ingin meninggalkannya sebelum bu Widodo benar-benar terlelap.
Rasa iba merayapinya, melihat wajah perempuan setengah tua yang tampak pucat tak bersemangat. Ratih sangat mengerti, anak semata wayang yang diharapkan bisa menjadi penerus yang membanggakan, justru membuatnya kecewa dan sakit. Bukan hanya sakit di dalam batin, tapi juga mempengaruhi kesehatan fisiknya. Karena itulah dia bermaksud selalu ‘ada’ untuknya, walau ia harus bercerai dari suaminya.
***
Siang hari itu bu Widodo tampak masih terlelap. Dokter memberikan tambahan obat penenang, karena bu Widodo tampak selalu gelisah. Ratih duduk di sofa setelah bibik membawakan makan siang, dan belum di sentuhnya. Bibik lah yang bolak-balik pulang ke rumah, misalnya untuk membawa pakaian kotor, menggantikannya pakaian bersih, dan menyiapkan makanan untuk Ratih dan dirinya sendiri yang tidak bisa meninggalkan bu Widodo terlalu lama. Harus ada yang menungguinya, bahkan menghiburnya, agar wanita setengah tua itu tidak selalu tenggelam dalam kesedihannya.
Sudah setengah bulan bu Widodo berada di rumah sakit. Dengan ketelatenan Ratih dan bibik yang selalu membesarkan hatinya, bu Widodo mulai berangsur membaik dan semakin baik.
Sudah sejak kemarin ia ribut ingin pulang, tapi harus menunggu persetujuan dokter. Masih ada selang infus tersambung, tapi tidak ada lagi masukan oksigen yang dibutuhkannya. Ratih senang sekali, karena keinginannya bercerai tidak lagi menjadi pembicaraan serius seperti sebelumnya. Janji bahwa Ratih akan selalu menemaninya, cukup membuatnya terhibur.
“Ibu harus merasa senang, besok ibu sudah boleh pulang.”
“Benarkah?” katanya dengan wajah berseri.
“Iya Ibu, tadi dokter sudah mengatakannya.”
“Baiklah. Beristirahat di rumah lebih nyaman daripada di rumah sakit, bukan?”
“Tentu saja. Karena itulah, ibu tidak boleh sakit lagi.”
“Benarkah kamu tidak akan meninggalkan aku?”
“Ratih kan sudah berjanji.”
Pada saat itu bibik mengatakan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Ratih menoleh ke arah pintu, dilihatnya Bowo berdiri dengan senyuman yang tak pernah bisa Ratih lupakan. Ia tak sadar ada Bowo, karena sibuk berbincang dengan ibu mertuanya.
“Ibu, saya tinggal sebentar ya,” kata Ratih sambil berdiri untuk menghampiri Bowo.
“Siapa Bik?” tanya bu Widodo kepada bibik.
“Itu, Nyonya, laki-laki ganteng yang dulu juga pernah datang kemari.
Bu Widodo diam, ada rasa tak suka karena dia mencurigai bahwa laki-laki itu pastilah menyukai Ratih. Tapi bibir cemberut yang diulaskannya berubah menjadi senyuman, ketika Bowo meraih tangan dan menciumnya.
“Ibu sudah tampak segar,” sapa Bowo ramah.
“Iya. Besok sudah boleh pulang.”
“Alhamdulillah, saya ikut senang Bu, semoga Ibu selalu sehat.”
"Terima kasih Nak. Duduklah di sana biar enak. Saya mau beristirahat dulu.”
“Baiklah Bu, selamat beristirahat.”
Ratih membawa Bowo duduk di sofa yang ada di dalam ruangan itu, lalu bibik menyajikan minuman botol yang selalu tersedia di sana.
“Mas Bowo libur?”
“Aku sudah menyelesaikan skripsi, bulan depan ujian. Doakan ya.”
“Aku selalu mendoakan. Semoga segera selesai, lalu mencari istri.”
Bowo tertawa pelan.
"Kalau sekarang mencari istri, aku kira belum. Mau aku kasih makan apa istriku, sementara aku belum bekerja?”
“Baiklah, kalau begitu memikirkan ujian dulu, semoga berhasil.”
“Terima kasih.”
“Mas Bowo sudah ketemu mas Satria?”
“Belum, rencananya sore nanti mau ke sana. Kalau sekarang pasti dia masih ada di kantor.”
“Oya, benar. Tapi apa mas Bowo sudah mendengar kalau Nijah hamil?”
“Hamil?” Bowo tampak terkejut.
“Iya benar, tapi baru awal. Tadinya bukan bermaksud periksa kehamilan sih, tapi hanya periksa kesehatan setelah diculik itu, dan dia mengeluh pusing, ternyata terdeteksi bahwa dia hamil. Masih awal, tapi kabarnya anaknya kembar.”
Bowo tersenyum senang. Bunga taman hati benar-benar telah menemukan kebahagiaannya. Ia pun bahagia. Kebahagiaan orang yang disayanginya, adalah kebahagiaannya pula. Ia berharap akan bisa menemukan kebahagiaannya pula. Adakah gadis pengganti Nijah? Bowo menatap Ratih tak berkedip. Ada getar aneh ketika mata mereka bertatapan. Tapi kemudian Bowo tersadar, wanita cantik dihadapannya masih istri orang. Bowo mengendapkan gejolak hatinya, dengan meraih botol minum yang ada di depannya, lalu menyedotnya perlahan.
“Aku ikut senang, Nijah segera punya momongan,” katanya.
Keduanya berbincang cukup lama, sampai kemudian Bowo meminta pamit. Ratih langsung mengantarnya keluar, karena bu Widodo tampak tidur sangat nyenyak.
“Aku juga senang, bu Widodo sudah tampak sehat,” kata Bowo dalam perjalanan ke arah depan.
“Aku juga bersyukur, ibu tidak lagi rewel tentang niat aku bercerai. Tapi aku berjanji akan terus menemaninya. Dia sudah seperti ibuku sendiri.”
“Tampaknya, beliau takut kehilangan kamu.”
“Dia sangat menyayangi aku. Setelah bapak dan ibuku meninggal, keluarga Widodo merengkuh aku seperti keluarganya. Dan itu pula sebabnya, bu Widodo kemudian memaksa mas Andri agar menikahi aku. Sayangnya dia tak bisa menerima aku. Ya sudah, jodoh itu kan hanya Yang Maha Kuasa yang menentukan. Dia memang bukan jodoh aku.”
“Kamu ingin jodoh seperti apa?” Bowo mulai berani memancing-mancing.
“Pastinya yang mencintai aku dong.”
“Kamu cantik, pasti banyak orang dengan gampang mencintai kamu.”
“Aku tidak ingin banyak orang, cukup satu saja, kalau banyak, nanti susah milihnya,” seloroh Ratih, yang kemudian membuat keduanya tertawa ringan.
“Nanti kalau ke rumah mas Satria, sampaikan salam aku untuk Nijah ya.”
“Ya, nanti aku sampaikan.”
Bowo memanggil taksi, lalu mengambil kopor kecil yang dititipkannya pada resepsionis.
“Kamu dari bandara langsung kemari?”
“Iya.”
“Ya ampun.”
“Ingin segera ketemu kamu,” katanya sambil naik ke atas taksi yang tiba-tiba sudah ada dihadapannya.
Ratih terpana mendengar ucapannya.
***
Begitu kembali memasuki kamar, Ratih melihat bu Widodo duduk di tepi pembaringan, ditemani bibik. Rupanya tadi dia hanya berpura-pura tidur.
“Ibu tidak tidur?”
“Pengin sih, tapi belum bisa tidur. Aku juga mendengar nak Bowo berpamitan.”
“Mas Bowo tidak pamit pada Ibu, karena mengira ibu sedang tidur.”
“Tidak apa-apa. Sekarang suruh bibik mengemasi barang-barangku, bukankah besok aku boleh pulang?”
“Masih besok, mengapa tergesa-gesa?”
“Daripada besok, lebih enak kalau sekarang sudah disiapkan.”
“Baiklah. Ratih akan membantu bibik.”
“Ratih, besok sepulang dari rumah sakit, ajak aku menemui Andri.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulilah BTH 39 sdh tayang , Terima kasih bu Tien ,smg bu tien selalu sehat dan bahagia, salam hangat dan aduhai bunda Tien...
ReplyDeleteMojok dulu ya mau ngintip bu widodo yg mengintimidasi ratih agar tidak cerai dg andri
Matur nuwun bunda Tien
DeleteSemoga bunda sehat selalu π
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteYes tayang
ReplyDeleteTrmksh
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah .... terimakasih Bunda
ReplyDeleteMudah mudahan bu Widodo dapat berfikir dengan jernih. Apa lagi kalau nanti sudah menemui Andri, akan dengan rela melepas Ratih.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSuwun....salam
ReplyDeleteBeTeHa 39 udah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah mksh bunda Tien semangat luar biasa utk menyenangkan hati pembaca setianya
Bu Widodo msh berharap agar Ratih tak minta cerai ma Andri
Kan udah dengar sndri meskipun sakit tp msh dengar apa yg Ratih katakan pada Nijah
Dengan ketulusan hati Ratih untuk meyakinkan bu Widodo bahwa Ratih tak akan meninggalkan krn udah di anggap sebagai ibu sendiri
Ya iyalah untuk sementara bu Widodo seolah percaya ajah
Nah ini dia kenapa sepulang dari RS malah ngajak Ratih untuk nengok Andri di kantor Polisi
Apakah yg akan terjadi selanjutnya
Yuuk kita tunggu bsk dgn sabar dan ttp semangat
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Meskipun mertua cinta dg menantu sebegitu besar tetapi kalau anaknya tdk cinta dg isteri perceraian tetap akan terjadi, hanya bedanya bekas mertua dan bekas mantu tidak bermusuhan, mereka tetap menjalin hubungan yg baik.
ReplyDeleteDemikian juga hubungan antara ibu Widodo dan Ratih.
Trima kasih Ibu Tien yg sdh menguraikan secara gamblang.
Selamat malam dan sampai jumpa lagi.
Adios.
ππππ
Yeeees..... matur nuwun bunda Tien sayang, sehat2 ya bund
ReplyDeleteππ·πΈDua hr ini gak ikutan balapan...Krn lg healing sm temen2 SMA...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, tetap dinanti tiap hr BeTeHa nya, krn penisirin trs.
Sehat2 dan tetap smangaats yaa Bu. Salam Aduhai...ππΉπ¦
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, BTH 39 sdh tyng.
ReplyDeleteMdh2n Ratih tetap pd pendiriannya....deg2an nunggu bsk. Aduhai....π
Suwun Bu, sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah BeTeHa 38 hadir mengobati penisirin malamkuπ
ReplyDeleteSehat selalu kagem Bu Tien
Salam dr Jogja
Ditunggu setiap malamnya dg cerita makin seruu
Terima kasih bu Tien..... Ratih tuh sudah cantik, bekti sama mertua, walau suaminya mengacuhkannya.
ReplyDeleteAntar Tih besuk nemuin suamimu yang arogan.... punya istri tapi yang diurusin malah istri orang lain.....
Hayo Bowo..... maju terus, semoga sidangnya lulus dan cumlaude untuk modal cari kerja.... Syukur diterima di perusahaan Satria..... atau siapa tahu bu Widodo menyerahkan pengelolaan Cafe Andri kepadanya..... Pembunuhan berencana hukumannya pasti berat..
Alhamdulilah... Gasik bu Tien.. Trm ksh. Salam Seroja..
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien K ... BTH ke 39 sdh tayang ... makin seru ceritanya ... Semoga bu Tien & kelrg sehat selalu ... Salam Aduhai ...
ReplyDeleteAlhamdulillah BUNGA TAMAN HATIKU~39 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Hamdallah BTH ke 39 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Solo, Aamiin
ReplyDeleteRatih sdh bicara blakasuta kpd mertuanya.
Mertuanya kecewa berat thd anak nya Andri krn tdk bisa memenuhi apa yang di harapkan.
Bu Widodo ingin menemui anak nya yang di penjara, di temani Ratih.
Bu Widodo ingin mendengar langsung konfirmasi anak nya thd Ratih, anak mantu nya.
Semoga bu Widodo memaklumi klu anak nya tdk mencintai Ratih, tapi hanya mencintai Ristia, teman perselingkuhannya, sekaligus sesama teman yang tinggal di rumah Prodeo ππ
Salam hangat nan Aduhai dari Jakarta
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dr Yk....
ReplyDeleteTinggal satu tahapan lagi, pernyataan sikap, yang menentukan karena biarpun bagaimana ini harus dilewati; Ratih harus tegas, apapun itu harus dinyatakan biar emaknya tahu sendiri, bisa juga begitu bertemu andri; seakan Ratih lah yang laporan ke kantor polisi, bahkan menghindar dari perkara ini.
ReplyDeletePenculikan itu berat menyangkut nyawa, bahkan ada rencana pembunuhan.
Pelaku penculikan sedang diburu, ya anak buah andri itu.
Dalangnya ristia, sudah tertangkap justru itu dari prediksi Bowo, selama dua orang pelaku belum tertangkap dipastikan andri dan ristia masih ndΓͺkΓͺm, berlama-lama di tahanan. Yang jelas penculikan itu ada dan korban nya Nijah.
Coba kalau Ratih bertahan bisa bisa korban selanjutnya kamu Ratih, kengerian atas perlakuan itu masih nyata terasakan, dasarnya kebencian.
Kenapa andri mau melakukan.
Alasannya apa.
Biar ibunya denger sendiri dari mulut anaknya.
Kesrimpet bΓͺbΓͺt kesandung gelung, kruntelan.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke tiga puluh sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu aduhai
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien Be Te Ha nya, semoga sehat dan bahagia selalu. Aamiin π€²
ReplyDeleteTerimakasih
ReplyDeleteAlhamdulillah..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ