Wednesday, September 27, 2023

BERSAMA HUJAN 0

 BERSAMA HUJAN  02

(Tien Kumalasari)

 

“Andin, kamu masih di situ?” teriak Aisah ketika Andin tak bersuara.

“Eh, iya… itu, jangan kamu titipin ke Romi, tolong, Ais.”

“Tapi besok aku nggak ada kuliah, jadi …._

“Jangan titipin ke dia, aku ambil saja di rumah kamu besok pagi.”

“Andin, memangnya kenapa? Kamu nggak kenal Romi? Dia kakak kelas kita, yang suka nggodain kamu,” kata Ais yang justru membuat Andin ketakutan.

“Pokoknya tolong, biar aku ambil saja di rumah kamu.”

“Rumah aku kan jauh, kalau dari rumah Romi hanya terpaut satu rumah, hampir bersebelahan.”

“Tolong Ais.”

“Kamu nggak suka sama Romi?”

“Ya ampun Ais, besok aku ambil saja ke rumah kamu, tidak ada suka atau tidak suka. Kebetulan aku mau pergi, dan mungkin aku juga nggak masuk kuliah besok.”

“Oh, gitu ya. Baiklah, aku sih tidak akan ke mana-mana, baiklah, seneng aja kalau kamu mau ke rumah aku, kita bisa ngobrol bareng. Atau bikin rujak, banyak mangga mengkal di rumah aku.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Baiklah, aku nggak jadi ke rumah Romi kalau begitu, ambil besok pagi ya Ndin.”

“Siap, Ais.”

Andin menutup pembicaraan itu dengan perasaan gundah, teringat kejadian beberapa jam lalu di dalam mobil Romi. Rasa geram, marah, sakit, campur aduk di dalam hatinya.

“Andin, kamu tidur saja, istirahat, biar bapak bersihkan bekas makan kita.”

“Jangan Pak, biar Andin saja,” kata Andin yang kemudian buru-buru menuju ke arah meja makan.

Ada sisa lontong beberapa iris dan sate tiga tusuk yang masih tersisa. Perut seperti tak mau menerima, tapi rasa iba karena ayahnya sudah bersusah payah membelikannya, membuatnya kemudian menghampiri lagi meja makan, dan menyendok lontongnya perlahan.

“Syukurlah kalau masih mau. Bagus lah, habiskan lalu minum obatnya, biar bapak tungguin di sini. Kamu tampak pucat. Bapak khawatir kamu jatuh sakit,” kata pak Harsono lembut, membuat Andin merasa hatinya bagai disayat. Bagaimana nanti perasaan sang ayah kalau tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ayah yang baik, yang merawat sejak dirinya masih kecil dan belum masuk sekolah, sampai kemudian dia kuliah sudah setengah jalan.

“Apa satenya nggak enak? Memang sih, itu bukan tukang sate langganan. Tadi di dekat kantor kebetulan ada, bapak langsung beli, keburu hujan.”

“Enak kok Pak, mulut Andin saja yang rasanya nggak enak.”

“Ya sudah, kalau begitu jangan dipaksakan. Nanti perut kamu malah mual. Minum saja obatnya.”

Andin ingin berhenti makan, tapi dipaksakannya, agar tidak membuat ayahnya kecewa. Perlahan dia akhirnya bisa menghabiskan lontongnya.

“Minum dulu obatnya, supaya tidak terlanjur jatuh sakit,” kata pak Harsono sambil meraih piring bekas makan anaknya.

“Jangan Pak, biar Andin saja, sekalian mencuci piring Bapak,” kata Andin yang kemudian meraih piring bekas ayahnya, ditumpuknya menjadi satu, kemudian dia mengambil obat yang diberikan ayahnya, langsung diminumnya dengan teh yang masih terasa hangat.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Tidak Pak, setelah ini, Andin akan langsung tidur.”

“Baiklah kalau begitu. Mau dibuatkan minum hangat lagi? Bapak masih punya wedang jahe.”

“Tidak usah Pak, itu sudah cukup. Nanti kalau mau, biar Andin membuatnya sendiri.

Pak Harsono menatap punggung anaknya, yang berjalan ke arah dapur sambil membawa piring-piring kotor. Kemudian ia mengumpulkan daun  bungkusan lontong dan sate, membuangnya ke tempat sampah. Tapi sebenarnya ada rasa prihatin merayapinya, ketika melihat wajah Andin tampak lelah dan pucat.

Ia mendekati anaknya di tempat cucian, dan membantu meletakkan piring-piring bersih ke atas rak yang ada di dekatnya.

“Setelah ini tidurlah. Ada obat gosok di meja kamar bapak, biar bapak ambilkan,” kata pak Harsono yang kemudian berlalu.

“Biar Andin ambil sendiri Pak,” tapi pak Harsono sudah menghilang di balik pintu.

Andin menghela napas sedih. Rasa trenyuh menghinggapinya, melihat begitu besarnya perhatian sang ayah. Harusnya dia yang melayani ayahnya yang sudah semakin tua. Lalu Andin mengusap air matanya, yang tak kuasa ditahannya.

***

Pagi hari itu Andin bangun kesiangan. Barangkali tabuh subuh sudah beberapa saat berlalu. Setelah shalat, Andin beranjak ke belakang, dan lagi-lagi dilihatnya sang ayah sudah menyiapkan minuman hangat untuk mereka berdua.

“Ya ampun Bapak. Biar Andin saja. Maaf, Andin bangun kesiangan.”

”Tidak apa-apa, kamu istirahat saja, tapi minumlah dulu, dan sarapan. Bapak beli nasi liwet di depan situ.”

Ya ampun, bahkan sang ayah sudah sempat membeli nasi liwet. Andin merangkul ayahnya, dan tak mampu menyembunyikan air matanya.

“Hei, apa yang kamu lakukan? Menangis pula? Ini hal biasa yang sering kita lakukan bersama kan?”

“Maaf, Andin kesiangan,” lirihnya.

“Bapak tahu, kamu sedang tidak enak badan, jadi biarkan saja bapak melakukannya. Hari masih pagi, bapak tak akan terlambat masuk kerja,” katanya sambil mendorong tubuh Andin pelan, lalu mengusap pipinya yang basah.

“Kamu sangat aneh sejak semalam. Ada apa?”

“Tidak apa-apa Pak, hanya terharu, melihat Bapak melakukan banyak hal untuk Andin. Harusnya Andin yang melayani Bapak, kan Andin sudah dewasa?”

Pak Harsono tertawa pelan, lalu membiarkan Andin mengangkat baki berisi dua gelas minuman, yang kemudian membawanya ke ruang makan.

Diatas meja sudah ada dua bungkus nasi liwet yang tadi dibeli ayahnya. Andin duduk dan segera menghirup teh nya, untuk memperlihatkan pada ayahnya agar dia suka, agar ayahnyta tidak kecewa.

“Bapak selalu enak kalau menyeduh teh. Kenapa ya?”

“Bisa saja kamu. Teh nya sama, gula nya sama, mengapa harus ada yang berbeda rasanya?” tanya pak Harsono sambil mengaduk minumannya.

“Tapi tangan yang membuatnya itu beda.”

“Bisa saja. Ayo sekarang makanlah, dan kembali minum obatnya, sehari harus tiga kali. Lihat, kamu masih sangat pucat begitu.”

Tentu saja. Wajah Andin juga masih tampak sembab, walau dia mengguyurnya dengan air dingin berkali-kali. Hampir semalam Andin tak bisa tidur. Membayangkan kejadian mengerikan yang dilakukan oleh laki-laki bejat seperti Romi. Haruskah dia melaporkannya pada polisi atas semua itu? Alangkah memalukan, dan alangkah akan menyedihkan kalau sampai ayahnya tahu. Sang ayah hanya memiliki seorang Andin, buah hati yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang dan segenap pengorbanan yang bisa dilakukan. Pasti sang ayah juga punya impian. Agar buah hatinya menjadi gadis yang baik, yang bermartabat, yang memiliki pendidikan, dan pasti banyak lagi impian yang diinginkannya. Tapi apa? Semuanya sudah hancur. Mampukah dia mewujudkan semua itu demi ayahnya? Andin merasa kembali sedih.

“Andin, makan yang benar dong, tidak baik makan sambil melamun,” tegur pak Harsono yang hampir menghabiskan nasinya.

Andin terkejut,  membuat lamunannya buyar, kemudian menyendok nasinya yang sejak tadi baru dimakan separo.

“Kamu nanti kuliah? Kalau mau bareng bapak, cepat mandi, bapak sudah mandi dari tadi.”

“Hari ini Andin tidak masuk kuliah, Bapak berangkat sendiri saja.”

 “Baiklah, kamu juga tampak tidak begitu sehat. Nanti tidak usah masak, bapak akan pulang siang membeli lauk.”

“Tidak usah Pak, didepan banyak orang jualan, biar Andin beli sendiri saja.”

“Baiklah, tidak usah memasak, nanti kamu kecapekan. Lebih baik beristirahat saja, supaya kesehatan kamu kembali pulih.”

“Baiklah.”

“Uang kamu masih cukup? Ini bapak tambahin, barangkali kamu ingin beli sesuatu,” kata pak Harsono sambil meletakkan uang seratus ribu ke atas meja.

“Sebenarnya masih ada kok Pak.”

“Nggak apa-apa, bawa saja,” katanya sambil berdiri, bersiap untuk mandi.

Andin membereskan sisa makan mereka lalu masuk ke kamarnya. Ia pun segera mandi, karena harus mengambil dompetnya di rumah Aisah. Memang sih, uangnya tidak banyak, tapi ada KTP, Kartu Mahasiswa, dan entah catatan apa lagi yang terselip di dalamnya.

Ketika ia keluar, dilihatnya sang ayah sudah rapi, dan siap untuk berangkat. Pak Harsono heran melihat Andin juga tampak rapi.

“Katanya kamu nggak akan kuliah hari ini?”

“Andin mau ke rumah Aisah, dompet Andin terbawa olehnya.

“Kalau begitu bareng bapak saja sekalian.”

“Jangan Pak, rumah Aisah berlawanan dengan kantor Bapak, nanti Bapak terlambat. Biar Aisah naik angkot saja.”

“Kamu benar-benar kuat untuk bepergian?”

“Kuat Pak, setelah minum obat, badan sudah terasa ringan.”

“Baiklah, tapi cepat pulang dan beristirahat.”

“Baik.”

Andin mengantarkan ayahnya sampai ke halaman, kemudian bersiap pergi ke rumah Aisah. Ia harus segera mengambil dompetnya sebelum Aisah benar-benar menitipkannya pada Romi. Ia sangat membenci laki-laki itu, mengingatnya saja merasa jijik,. Romi bukan manusia. Dia iblis berwajah manusia.

***

Beruntung ayahnya tadi memberinya uang, karena kalau tidak, ia akan kebingungan akan naik apa ke rumah Aisah yang lumayan jauhnya dari rumahnya sendiri.

Ia memasuki halaman rumah Aisah, dan melihat Aisah sudah menunggu di teras.

“Ya ampun Ndin, kamu kan tidak perlu bersusah payah datang kemari kalau membiarkan aku menitipkan dompet ini pada Romi,” kata Aisah tanpa merasa salah.

Andin duduk begitu saja di teras, berhadapan dengan sahabatnya., Dompet itu sudah disiapkannya di atas meja.

“Lihat dulu, apakah ada isinya yang berkurang atau tidak.”

“Ya nggak dong Ais, masa kamu akan mengambil uang aku yang tidak seberapa ini,” katanya sambil memasukkan dompetnya ke dalam tas kecil yang dibawanya.

“Bukan aku, kan yang menemukan pertama kali bukan aku, tapi pak Sono.”

“BIar saja.”

“Kamu tampak pucat, sakit?” tanya Aisah sambil menatap wajah sahabatnya lekat-lekat. Mana mungkin Andin bisa menyembunyikan wajah sembabnya seperti ia menyembunyikan dari ayahnya karena mempunyai alasan tepat yaitu kehujanan dan masuk angin.

“Masa sih?”

“Iya, kamu menangis semalaman? Patah hati?” ledek Aisah.

“Ada-ada saja. Sejak kapan kamu tahu aku punya pacar?”

“Kamu cantik, pintar, pasti banyak lah yang suka sama kamu dan ingin menjadi pacar kamu.”

“Biasa saja ah.”

Aisah adalah teman SMA Andin, tapi saat kuliah mereka tidak berada dalam kelas serta jurusan yang sama. Aisah sejurusan dengan Romi, dan ada di atas Andin, karena dulu Andin tidak langsung masuk kuliah selepas SMA. Ayahnya harus mengumpulkan uang selama  dua tahun itu untuk membayar beaya masuk kuliah bagi anaknya.

“Oh ya Ndin, kamu mau bekerja? Tapi kalau tidak mengganggu kuliah kamu sih.”

Mata Andin berbinar. Bekerja? Kenapa tidak? Ucapan Aisah seperti bintang penerang yang tiba-tiba memberikan sebuah harapan yang menyenangkan. Bekerja, sehingga tidak begitu memberatkan ayahnya.

“Kamu serius?”

“Sangat serius. Tapi sih memang akan membuat kamu tidak bisa istirahat.”

“Bekerja apa tuh?”

“Kakak misan aku kan dokter, dia butuh asisten untuk menerima pasien-pasiennya. Asisten yang sebelumnya sudah menikah dan minta berhenti.”

“Mau … aku mau. Kapan? Di mana?”

“Agak jauh dari sini, mungkin lebih dekat dengan kampus deh. Kalau kamu mau, aku akan menelpon dia sekarang.”

“Dia praktek pagi sore? Paginya jam  berapa?” tanya Andin bersemangat.

“Kalau pagi dia di rumah sakit. Praktek di rumah hanya sore. Jam lima mulainya, tapi kamu juga harus datang sebelumnya.”

“Iya, itu aku tahu. Mau, aku mau … “

“Sebentar, aku telpon dulu ya.”

Sejenak Andin melupakan luka hatinya. Bekerja adalah sebuah jalan terbaik untuk meringankan beban ayahnya. Mengapa tidak sedari dulu dia memikirkannya? Sementara itu Aisah sibuk bicara dengan kakak misannya sambil tertawa-tawa. Yang Andin dengar hanyalah kata siap setiap saat, dan akan mempertemukan dengan dirinya sore nanti. Andin tersenyum sambil terus menatap sahabatnya.

“Sippp, Ndin,” katanya sambil mengacungkan jempolnya setelah meletakkan ponselnya di meja.

“Bagaimana?”

“Nanti sore ketemu di rumahnya. Dia senang sekali segera dapat pembantu prakteknya.

“Rumahnya di mana?”

“Nanti aku antar, tapi kamu harus tahu, tadi dia bilang, gajinya nggak banyak.”

“Berapapun aku mau, biar bisa sedikit meringankan beban ayahku. Kamu kan tahu, ayahku hanya pegawai kecil. Pasti susah payah beliau mencukupi kebutuhan kuliah aku.”

“Baguslah, aku senang kalau kamu juga senang.”

“Terima kasih banyak Ais, tiba-tiba kamu menjadi dewa penolong untuk aku.”

“Aku juga baru saja kepikiran untuk itu, setelah melihat kamu datang. Tadinya aku berpikir, siapa enaknya yang bisa aku mintai tolong. Syukurlah kamu mau Ndin, mas Faris pasti suka.”

“Faris, nama kakak misan kamu?”

“Iya, pernah dengar nama itu? DIa kan dokter muda yang sangat laris.”

"Pernah melihat plakat dokter Faris, tapi aku lupa di mana.”

“Nanti sore aku samperin kamu. Jam empat siap ya.”

“Siap. Dan sekarang aku mau pamit dulu,” katanya sambil berdiri.

“Naik apa kamu?”

“Naik angot lah, mau naik apa lagi, aku kan tidak punya kendaraan.”

Aisah mengantarkan Andin sampai ke jalan, karena kebetulan angkot yang menuju ke rumahnya melewati depan rumah Aisah.

Mereka masih asyik berbincang tentang pekerjaan, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan mereka.

Andin terkesiap. Ia mengenali mobil itu.

***

Besok lagi ya.

 

 

40 comments:

  1. Langsung konflik bagaimana Andin menyelesaikannya? Terimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  2. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah Bersama Hujan 02 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, Syafakillah Bunda semoga cepat sembuh dan sehat kembali.
    Aamiin Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah..
    Syafaakillah Mbak Tien ,smg Alloh Subhanahu Wa Ta'ala sehatkan lagi Aamiin.

    Syukron nggih Mbak Tien.🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  5. Terima kasih mbak Tien, didoakan semoga Mbak Tien sehat selalu.
    Terima kasih banyak, sekalipun kesehatan mbak ada sedikit gangguan, tapi tetap berkarya utk menghibur kita semuanya. Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah, matur nuwun mbakyuku Tienkumalasari dear...smoga cepet sembuh kembali ya, Aamiiin, MasyaAllah masih gerah udh nyerat cerbung kadospundi meniko, kasihan Andin bgmn itu nasibnya orang ndak punya sll menjadi bulan²an orang kaya astaqfirulloh smoga mendapat karmanya

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah..Bersama Hujan 02 sdh tayang
    Matur sembah nuwun mbak Tien..smg cepat sehat dan pulih kembali..Aamiin

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku, Bersama Hujan tayang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga mbak Tien segera sembuh, sehat seperti sedia kala, aamiin.

      Delete
  9. Dokter Faris akankah jdi penolong Andin...?
    Masih jauh didepan...🥰🥰

    Matur nuwun bunda Tien, mugi bunda sehat² kemawon njih bun..🙏🙏

    ReplyDelete
  10. Tampaknya ketemu Romi lagi ya... jadi ewuh pekewuh, karena ada teman disitu. Mestinya tidak mau menumpang lagi, tapi ya tidak tahulah bagaimana dalang memainkan wayangnya.
    Salam sukses mbak Tien, semoga cepat sehat kembali, aamiin.

    ReplyDelete

  11. Masya Allah bunda meskipun badan kurang fit tapi tetep menyempatkan menulis demi menghibur penggemarnya.
    Syafakillah bunda Smg segera pulih kembali seperti sedia kala.Aamiin

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah be ha ep 02 sdh tayang, terima kasih bu Tien... semoga ibu segera sehat dan fresh kembali ...salam hangat dan aduhai untuk bunda ku sayang

    Waduh .... andin semoga dimudahkan dan dilancarkan pekerjaan dan kuliahmu. Romi jangan ganggu andin mending kamu masuk jurang aja atau ke neraka aja. Menyebalkan

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah Maturnuwun Bersama Hujan di pagi hari 🌸Syafakillah semoga Bunda Tien segera di berikan sehat pulih seperti sedia kala
    Aamiin Allahuma Aamiin 🤲🤲🤲

    ReplyDelete
  14. alhamdulillah, maturnuwun
    semoga bunda sehat selalu

    ReplyDelete
  15. Ih ketemu ulat bulu lagi, bergidhik.
    Terus mau ngapain pamer tampang dan kekayaan, ini Ais mendorong dorong lagi biar mau ikutan nganter pulang, makelar rèsèh ngkali ya.
    Atawa dia yang sebenarnya naksir si ulat bulu, ngaco banget.
    Tuh merasa sudah dapat, sok acuh lagi.
    Pecundang, mana nggak bisa ngendaliin diri lagi.
    Sayang Ndin kelihatannya kamu dari awalnya nggak biasa berbicara lugas, masih ada jarak, padahal sama bapakmu sendiri, jadi kaya ketakutan bayanganmu sendiri, nggak ada tempat curhat bila menemui masalah, nggak berani bicara sama bapakmu, gimana bapakmu bisa tahu apalagi ngebelain kamu.
    Gimana kalau tau tau balonku ada lima, kacau kan. Bênêr bener nambah pusing sendiri.
    Yah
    Kadang semangat bak api menyala tapi rasa syukur tertinggal, tenteram itu terguncang, andaikan itu kau nyatakan di depanmu api lilin ultah; bukankah dia sangat rentan walau angin lembut saja api itu bergoyang, coba kalau kita sandingkan air didalam gelas; dia ngikut aja terbentuk sesuai wadah dan tenang, ada rasa tenteram ketika nampak jelas diam, tidak ikut bergerak. Apa itu; kan perlu mengenal alam ciptaan Nya.
    Terus adem ya; bersama hujan kan?!.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Bersama hujan yang kedua sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bu Tien smoga sehat2 sll

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah BERSAMA HUJAN~02 akhirnya tetap tayang juga walaupun Bu Tien lagi sakit.. maturnuwun Bu Tien.. semoga cepat sembuh dan semakin sehat.
    Aamiin yra..🙏

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien...

    Mugiya bu Tien tansah pinaringan sehat wal afiat...
    Aamiin Yaa Rabb

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien
    Segera sembuh & tambah sehat wal 'afiat ya bu Tien 🤗🥰 Aamiin

    Bapak & anak yg baik ,, in ayaa Allaah tetap baik men jaga martabat keluarga

    ReplyDelete
  20. BerHu 02 udah tayang

    Alhamdulillah mksh bunda Tien
    Luar biasa seh semangat utk menyenangkan pembaca

    Doa kita utk bunda moga sehat selalu yg Allah beri

    Andin kshn amat dirimu
    Rasa haru campur aduk yg tak bs terbayang kan bgmn seandainya kebiadapan Romi akan membawa bayang2 kekesalan yg mendalam
    Beruntung juga ada Ais yg dgn tiba2 menolong dirimu
    Moga bs sedikit melupakan peristiwa barusan

    Akan tetapi mobil siapakah yg muncul tuh

    Tmbh dag dig dug juga seh krn Andin msh terlihat pucat
    Penisirin bingitzs deh kita tunggu aj bsk kelanjutannya

    Ttp semangat moga bunda Tien tmbh sehat jgn sampai sakit lagi

    Salam sehat dan ttp ADUHAI

    ReplyDelete
  21. Hamdallah...Bersama Hujan 02...tetap tayang.
    Matur nuwun Bu Tien..semoga tetap sehat wal Afiat bersama keluarga di Solo

    Ya Allah, Ar Rahman, Ar Rahiim, Tuhan Semesta Alam, hilangkanlah semua rasa sakit, berikan kesehatan dan kesembuhan untuk Bu Tien Kumalasari, hanya Engkau ya Allah, yang dapat menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain Engkau. Penyembuhan yang sempurna dan tidak sakit lagi. Aamiin 3X YRA

    ReplyDelete
  22. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  23. Baca BeHa 2 kok deg2 an....Sehat selalu bunda Tien

    ReplyDelete
  24. Romi datang lagi?...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  26. Terimakaish Bu Tien cerbungnya, salam sehat selalu

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 17

  JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  17 (Tien Kumalasari)   Wanda mengerucutkan bibirnya. Walau pelan, tapi suara Guntur berupa hardikan, sangat m...