BUNGA TAMAN HATIKU 06
(Tien Kumalasari)
Nijah berdiri tegak di tangga teras, melihat ayahnya merokok sambil kakinya disilangkan di atas meja.
“Dari mana kamu?” suara tak ramah terdengar.
“Dari jalan-jalan. Bapak sudah pulang?”
“Ya sudah, kan sudah ada di sini? Siapa yang bersama kamu itu?” tanyanya tanpa menatap ke arah Nijah maupun Bowo yang berdiri di belakang Nijah. Bowo maju ke depan Nijah.
“Saya temannya Nijah, mengantarkan Nijah pulang Pak.”
“Dari mana?”
“Cuma jalan-jalan.”
“Kamu siapa?”
“Nama saya Wibowo, dulu teman sekolahnya Nijah.”
“Hm. Ya sudah, kamu boleh pulang.”
“Terima kasih Pak, selamat malam,” jawab Bowo sopan. Kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi, karena Biran sudah mengusirnya.
“Hati-hati, Bowo,” Nijah masih sempat mengatakannya sebelum Bowo hilang di balik pagar rumahnya.
Untunglah sore ini hujan tidak turun, sehingga Nijah sampai di rumah tanpa terhambat hujan di jalanan.
Nijah beranjak ke belakang ketika Biran memanggilnya.
“Duduk di sini dulu, kamu.” titahnya.
Nijah berhenti melangkah, membalikkan tubuhnya menghadap ke arah ayah tirinya.
“Ya, ada apa?”
“Siapa yang pergi bersama kamu itu?”
“Kan tadi sudah dijawab. Mantan teman sekolah NIjah.”
“Mengapa mengajak kamu jalan-jalan?”
“Cuma jalan-jalan, karena lama tidak ketemu.”
“Duduk. Aku mau bicara.”
Nijah melangkah lalu duduk di kursi dengan perasaan kesal. Jangan sampai ia mendengar ayahnya menanyakan uang lagi. Uangnya masih sedikit, yang dari bu Sumi beberapa hari yang lalu, sebanyak lima puluh ribu rupiah. Ia sudah menyimpannya di tempat yang aman. Belum dibelanjakan apapun, karena selama tiga hari Bowo mengajaknya makan, dari pagi, siang dan sore sebelum pulang.
“Kamu mau bekerja?” tiba-tiba kata Biran.
“Bekerja apa?”
“Sebagai pembantu di rumah keluarga Sardono, majikan aku.”
“Memangnya dia butuh pembantu?”
“Butuh. Besok kamu akan aku antarkan ke sana. Mereka orang kaya, pasti gajimu besar, dan utuh, karena makan minum sudah pasti dikasih dari sana.”
Nijah berdebar. Ayah tirinya bicara soal gaji yang pasti utuh. Pasti dia akan mengusiknya, atau bahkan malah akan meminta semua gajinya.
“Besok bersiaplah pagi hari.”
“Tapi ….” Nijah ragu-ragu. Ia merasa ayah tirinya hanya akan memperalatnya sebagai mesin uang. Ia ingin menolaknya, tapi ayahnya menggebrak meja dengan tangan kasarnya, membuat Nijah terlonjak kaget.
“Tidak ada tetapi!”
Nijah ingin berdiri. Tapi Biran menghardiknya lagi.
“Pokoknya besok kamu bersiap-siap. Bawa baju-baju kamu, barangkali kamu harus menginap di sana.” titahnya lagi.
Nijah tak menjawab. Ia langsung masuk ke kamarnya. Ia ingin segera mandi dan berganti pakaian.
Ia meletakkan bungkusan yang tadi diberikan Bowo. Ponsel. Nijah berdebar. Kalau Biran sampai tahu, pasti diambilnya. Lalu Nijah menyembunyikan kotak ponsel itu di bawah tikar tempat tidurnya, kemudian menutupinya dengan bantal.
“Oh tidak, dia bisa membongkarnya seandainya dia bertanya tentang uang.” gumamnya pelan.
Lalu diambilnya kotak itu, ponsel yang tipis itu jika di simpan di bawah kolong ranjang bambunya tak akan kelihatan, apa lagi warnanya hitam. Nijah mengeluarkan ponsel dan chargernya, memasukkannya ke kolong, lalu keresek dan kotaknya dibawanya ke belakang, dimasukkannya ke kardus sampah, diletakkannya di balik pintu, agar ayah tirinya tak melihat dan bertanya-tanya.
Setelah itu barulah Nijah mandi dan berganti pakaian.
“Kamu punya uang?” tiba-tiba pintu kamar terkuak dan Biran melongokkan kepalanya.
Tuh kan, Nijah sudah menduganya.
“Tidak punya.”
“Jangan bohong.”
“Kan sudah Bapak ambil semua? Dan saya belum mendapat pekerjaan lagi.”
“Karena kamu bersenang-senang dengan laki-laki itu kan? Kenapa kamu tidak minta uang saja sama dia?”
Nijah diam. Ayah tirinya tak tahu malu, tapi tidak dengan dirinya.
“Hei! Kenapa kamu tidak minta uang sama dia?”
Sekarang ayahnya masuk ke kamar. Membuka almari dan menemukan dompet Nijah, tapi Nijah tidak menyimpan uang yang lima puluh ribu itu di dalam dompetnya. Ia sudah tahu kalau itu berbahaya. Lalu Biran menuju ke ranjang, membalikkan bantal dan meraba-raba. Nijah bersyukur tak jadi menyimpan ponsel di bawah bantalnya. Kalau hal itu dilakukan, habislah ponsel itu di embatnya pula.
“Benar-benar nggak punya uang, kamu?”
“Harusnya Bapak memberi uang aku,” omel Nijah.
“Kamu itu perempuan bodoh. Diajak jalan laki-laki, ya minta uang sama dia. Mengapa gratis?”
Nijah merasa geram, ayah tirinya menganggapnya menjual diri. Tapi dia tak menjawabnya, agar pembicaraan menyebalkan itu tidak berlanjut panjang.
“Lain kali mintalah uang,” katanya sambil keluar dari kamar, lalu membanting pintunya.
Nijah menarik napas lega. Lalu ia merasa lebih lega ketika mendengar ayahnya keluar dengan menutupkan pintu sekeras-kerasnya. Ia tak bisa menemukan uang di dompet Nijah, tapi ia sudah punya cara untuk mendapatkannya besok pagi. Biran menembus kegelapan malam dengan senyuman.
Nijah keluar dari kamar, meyakinkan dirinya bahwa ayah tirinya sudah pergi, lalu Nijah mengambil palang pintu, memalangnya dari dalam.
Lalu Nijah mengambil ponselnya yang disembunyikan di bawah ranjang.
Ia sudah belajar bagaimana mempergunakannya. Toh hanya ada nomor kontak Bowo di sana.
Nijah gelisah karena ayahnya akan membawanya kepada keluarga Sardono. Bukannya ia enggan bekerja, tapi ia yakin bahwa ayah tirinya akan mempergunakannya sebagai mesin uang.
Nijah membuka ponselnya, menemukan nomor kontak Bowo, lalu menuliskan sebuah pesan, dengan mengatakan bahwa besok dia disuruh bekerja di keluarga Sardono. Nijah harus mengatakannya, karena besok tidak akan bertemu lagi dengan Bowo. Semalam Bowo sudah pamitan, dengan mata sendu dan tampak tak rela berpisah dengan dirinya. Seminggu jalan bersama, seperti merasa dekat selama bertahun-tahun.
Mereka saling mengungkapkan kesedihan, tapi Nijah tak berani berharap terlampau jauh. Ia hanya ingin menganggap Bowo sebagai seorang teman yang istimewa. Istimewa karena di sayang, istimewa karena tertorehkan rasa yang berbeda dari teman biasa. Istimewa pula karena hanya kepada Bowo ia menceritakan seluruh kisah hidupnya. Tapi Nijah tak akan bermimpi untuk bisa memilikinya. Jauh sekali. Bagai bumi dan langit,
Tapi tentang nanti keberadaannya di rumah keluarga Sardono, dia harus mengatakannya pada Bowo.
“Nijah, kalau kamu bisa keluar dari rumah itu, aku kira itu lebih baik. Dengan begitu kamu tak akan lagi bertemu ayah tiri kamu yang akan memeras kamu setiap kamu punya uang,” itu kata Bowo yang kemudian menelpon Nijah ketika Nijah mengirimkan pesan singkatnya.
“Kamu tidak tahu. Pasti dia punya cara untuk mendapatkannya.”
“Minta uang setiap kamu menerima gaji? Kamu bilang saja kepada majikan kamu, bahwa gaji kamu tidak usah kamu minta setiap bulan. Terserah kamu untuk setiap enam bulan sekali atau setahun, sekalian,” saran Bowo.
“Begitu ya?”
“Kamu pasti punya cara untuk menghindar dari dia saat dia memeras kamu.”
“Terima kasih atas saran kamu Bowo.”
“Besok aku berangkat pagi-pagi, jadi seperti aku katakan tadi, bahwa kita tak bisa bertemu. Bagus sekali kalau kamu mendapat pekerjaan. Aku akan segera menyelesaikan kuliah aku, lalu mencari pekerjaan, kemudian aku akan mengambil kamu dan membawa kamu pergi untuk hidup bersama aku.”
Nijah terpana. Bowo tampak bersungguh-sungguh. Dan itu membuatnya gelisah. Pasti tak akan mudah jalan yang akan dilaluinya. Bowo akan membawa pergi seorang pembantu dan akan diajaknya hidup bersama?
Nijah baru bisa tidur menjelang pagi, karena gelisah memikirkannya.
***
Nijah benar-benar harus bersiap, karena Biran datang pagi-pagi setelah jaga malam, langsung pulang untuk menjemput Nijah.
“Bawa pakaian kamu, karena kemungkinannya kamu akan langsung tinggal di sana. Berterima kasihlah sama aku, karena mengupayakan tempat tinggal yang lebih bagus dari rumah ini,” kicau Biran sambil duduk di teras, sementara Nijah sedang bebenah. Rupanya Biran merasa berjasa, padahal bu Sardono lah yang minta agar Nijah bekerja di sana.
Nijah hanya diam. Ia tak tahu apa yang menunggunya di hari-hari mendatang. Apakah hidupnya lebih tenang, atau akan lebih menderita.
“Sudah selesai?” teriak Biran.
Nijah sedang mengambil kembali kardus pembungkus ponsel, dan memasukkan ponsel ke dalamnya, lalu memasukkannya ke dalam tas keresek berisi beberapa baju-bajunya. Ia juga membawa empat buah baju pemberian Bowo, karena merasa baju-baju itu lebih pantas, tapi ketika berangkat bersama Biran, dia hanya mengenakan pakaian miliknya yang lama, yang dianggapnya paling bersih dan pantas.
“Sudah atau belum? Keburu siang, aku sudah ngantuk nih.”
Nijah tak menjawab. Ia keluar dari dalam sambil menjinjing keresek yang sudah disiapkannya.
“Ayo berangkat sekarang. Tapi ingat ya, apapun yang aku katakan nanti, kamu tidak boleh membantahnya. Kamu cukup diam dan diam. Mengerti?”
“Ya.”
“Ingat ya, diam dan jangan membantah!” Biran mengulanginya berkali-kali, tapi Nijah enggan menjawab. Ia hanya berdoa, semoga ia menemukan hari-hari yang lebih baik.
Mereka berjalan kaki, walau rumah keluarga Sardono agak jauh.
Biran juga selalu berjalan kaki kalau pulang. Tapi kalau tidak, ia memilih tidur di pos jaga di rumah keluarga Sardono, atau pergi ke pasar untuk mencari tempat tidur di pinggiran toko, hanya kadang-kadang saja pulang ke rumah.
“Kamu benar-benar tidak punya uang?” kata Biran tiba-tiba.
“Kan Bapak sudah melihatnya semalam. Siapa yang memberi saya uang kalau saya tidak bekerja?”
“Ya sudah. Kalau kamu punya uang kan bisa naik angkot, nggak mahal, dari pada capek.”
“Saya nggak capek.”
“Kamu sih, bodoh. Kenapa nggak minta uang sama teman kamu? Bukankah dia orang kaya?”
“Saya tidak tahu. Hanya berteman, tidak bicara soal kaya miskin.”
“Itu sebabnya aku bilang kamu bodoh.”
Nijah tetap tak menjawab. Terus melangkah, walau sebenarnya merasa lelah.
***
Satria sudah berangkat ke kantor satu jam yang lalu, sementara Ristia baru saja turun dari tempat tidur. Ia menggeliat dan menguap berkali-kali, lalu menuju kemar mandi. Ia keluar dalam keadaan belum mandi, lalu langsung pergi ke ruang makan.
“Biiik, minumku mana?” teriaknya.
Pak Sardono sedang duduk di ruang tengah, bersiap menyusul Satria ke kantor. Dia masih aktif di kantornya, walau tidak setiap hari. Ia menyerahkan perusahaannya kepada Satria, anak semata wayangnya.
“Siapa itu berteriak?” tanya pak Sardono.
“Siapa lagi kalau bukan Ristia? Baru bangun dia, lalu minta minum. Dia kan seorang ratu di rumah ini. Pekerjaannya hanya makan, tidur, bepergian. Sudah.”
Pak Sardono hanya mengangkat bahu, enggan berkomentar. Ia segera berdiri dan bersiap pergi, sang istri mengantarkannya sampai ke mobil.
Sementaran itu bibik sedang melayani Ristia, dengan menyajikan kopi susu untuk Ristia.
“Mau sarapan apa Non?”
“Aku mau roti bakar saja, selai kacang ya,” perintahnya.
“Baik, Non.”
“Nggak pakai lama, aku mau segera pergi.”
“Baik,” kata bibik sambil menjauh. Ia menyembunyikan wajah kesal, karena Ristia tidak mau sarapan bersama yang lain, sementara dirinya yang sedang bersih-bersih dapur harus berhenti karena melayaninya. Dalam hati dia juga menyesali, kenapa Satria mendapat istri yang begitu pemalas dan mau enaknya sendiri.
***
Bu Sardono masih duduk di teras, ketika melihat Biran datang bersama seorang gadis. Bu Sardono mengamati wajah gadis yang pastinya anak tiri Biran.
“Kok Biran punya anak perempuan cantik ya,” gumamnya sambil terus menatap mereka.
“Selamat pagi Nyonya,” sapa Biran sambil membungkuk.
“Kamu sudah datang bersama anakmu?”
“Iya, Nyonya. Begitu sehat langsung saya ajak kemari.”
Nijah agak heran mendengar kata ‘begitu sehat’ yang diucapkan ayah tirinya. Tapi kan tadi sang ayah tiri sudah berpesan berkali-kali bahwa dia harus diam? Karenanya Nijah hanya diam, menyimpan kekesalan hatinya karena Biran pasti berbohong tentang sesuatu.
“Anakmu cantik sekali,” gumam bu Sardono.
“Iya Nyonya.”
“Tidak ada mirip-miripnya sama kamu.”
“Dia mirip ibunya.”
“Oh iya, dia bukan anak kandung kamu kok.”
“Benar, Nyonya.”
“Namamu siapa?” tanyanya kemudian kepada Nijah.
“Nama saya Nijah, Nyonya.”
“Kamu mau, bekerja di rumah ini?”
“Mau, Nyonya.”
“Baiklah, sekarang juga kamu bisa mulai kan?”
“Bisa.”
“Bibiiik!” bu Sardono berteriak, tak lama kemudian bibik muncul dari dalam.
“Ya, Nyonya.”
“Anak ini, namanya Nijah. Dia anaknya Biran. Mulai hari ini, dia akan bekerja di sini membantu kamu.”
“Oh, iya. Baik Nyonya.”
“Ajak dia ke belakang. Ada satu kamar lagi di sebelah kamar kamu. Coba di bersihkan, kalau masih kotor.”
“Setiap hari saya bersihkan, Nyonya.”
“Bagus, ajak dia ke sana, dan beri tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baik. Ayo Nak, ikut aku,” ajak bibik kepada Nijah. Nijah langsung mengikutinya.
Bu Sardono menatap Biran yang masih duduk di depan tangga.
“Kamu baru jaga malam kan? Kamu boleh pulang sekarang.”
“Maaf Nyonya, masih ada yang ingin saya katakan.”
“Apa lagi?” tanya bu Sardono tak senang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteAlhamdulillah....
DeleteWah kakek jogo gawang
DeleteMatur nuwun bunda Tien 🙏
Kakek fresh abis cfd an...jd langsung gooolll..😂
Deletehahahahaha
DeleteBisa saja jeng Padma Sari kera Ngalam....
Sudah hilang capeknya kah, nglipet kaki sepanjang Solo-Malang kemarin ????
MAtur nuwun bunda
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih bu tien bunga taman hatiku 06 sdh tayang,
ReplyDeletesmg bu tien sekeluarga sll sehat salam hangat dan aduhai untuk bunda tien .
Semoga Nijah mendapatkan perlakuan yg baik di rumah bi sardono ..tidak seperti Biran bpk tiri yg jahat
DeleteAlhamdulillah tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Terimakasih bunda Tien Nijah sudah hadir .
ReplyDeleteMasih dlm perjalanan pulang .
Sehat selalu ya bunda Tien
💞💐💞💐💞💐💞💐
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 06
telah tayang.
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu
Salam Aduhai 🦋🌹
💞💐💞💐💞💐💞💐
Trmksh
ReplyDeleteYesss tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Tambah penasaran...
Alhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSehat² njih bun...🥰
Maturnuwun ibu
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku, Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 6 sdh tayang, teramakasih bu Tien, salam sehat dari mBantul
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteBiran mau ngomong apa ya??
ReplyDeletePasti mau perlu uang lagi..
Alhamdulilah Nijah udh aman di rmh bu Sardono..
Semoga nasib baik menjemputmu ya Nijah..
Alhamdulillah....maturnuwun Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 06 sudah hadir...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien cantik...
Salaam sehat selalu 🌹🌹🌹
Terima kasih Mbu Tien.... mulai menguras penasaran pmbaca....seht sllu bersama keluarga trcnta...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Tks Bu Tien Cerbungnys
ReplyDeleteTerima kasih Bunda
ReplyDeleteBiran minta uang lagi...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Matur suwun ibu Tien
ReplyDeleteSalam tahes ulales 🙏❤️
Nasib kita mau kemana, kita nggak tahu, demikian juga nasib Nijah. Kita ikuti, kemana ibu Tien akan membawa nasibnya.
ReplyDeleteSelamat malam, sampai jumpa lagi besok.
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteBiran minta ongkos kirim hé hé hé.
ReplyDeleteSyukurlah.
Akhirnya ponselnya aman.
Èh, Nijah ini bakal dibuat bulan bulanan sama Ristia, biasa anak baru diplonco; tahunya kan pembantu.
Satria kan nggak berani ngomong Ristia; kalau disuruh nikah lagi, dengan alasan ingin segera punya cucu.
Untung bibik cepat cepat nggandeng masuk keburu ponselnya berdering, ketahuan Biran repot.
Sayang ya, sekali kali wonder women gitu lho; jadi berani melawan, kan kêrèn ada yang rèsèh; langsung bisa bikin lampah lumpuh. Iyå yå rasanya mantap gitu, jadi nggak nyuklun nyuklun amat, kan lulusan ès dé inpres, gimana seeh.
Lho sepakbola sekarang ada kesebelasan wanita kan, terus piyé tuh yèn tabrakan mbêndal gitu maksudmu?
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke enam sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah ..... dapat penghantar tidur
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien selalu sehat2 n senantiasa dalam lindungan Allah SWT
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Gemes deh dg Biran , ceritanya mengingatkan dg kel Retno , Sapto n Qori,,
Salam aduhaiii bu Tien
Hamdallah BTH 06 telah tayang. Terima Kasih Bu Tien semoga Ibu beserta Keluarga tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu Aamiin.
ReplyDeleteNijah memasuki Dunia baru di rumah Pak Sardono, semoga aman dan terkedali.
Salam Hangat dan Aduhai dari Jakarta
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteMulai dengan kisah baru dari rumah majikan. Nijah 'diangkat' menjadi pembantu bibik. Tugasnya memang membantu si pembantu itu.
ReplyDeleteNah... bagaimana sikap Satria dan Ristia, kita tunggu saja lanjutannya.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Smoga Nijah cerdik pintar dan berani
DeleteTapi spt nya harus nikah ya sama Satria.
Ha ha.. nasib
( maaf pak Latief ini sekedar nebak)
Alhamdulillah BTH-06 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kaih Bunda Tien, semoga sehat fan bahagia selalu.
Aamiin
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu
Terimakasih Bu Tien, sehat2 _selalu Bu, salam aduhaiii 🙏😘🌹
ReplyDelete