BUNGA TAMAN HATIKU 07
(Tien Kumalasari)
Bu Sardono menatap Biran dengan wajah kesal. Ia sudah tahu kalau Biran doyan sekali duit. Bu Sardono menduga-duga. Alasan apa yang akan dipergunakan Biran untuk meminta uang darinya. Pasti ia butuh uang. Tapi bu Sardono tak sabar menunggu.
“Maaf, Nyonya,” akhirnya Biran buka suara.
“Ada apa? Jangan kebanyakan kata maaf, kamu mau minta uang? Tidak bisa, Biran. Tuan sudah berangkat kerja, lagi pula belum lama ini kamu sudah pinjam uang lagi dengan alasan anakmu sakit panas. Ya kan?”
“Nyonya, ini bukan untuk saya.”
“Katakan saja, jangan berbelit-belit.”
“Nijah kan sudah saya antarkan ke sini, tapi sebenarnya Nijah meninggalkan hutang di kampung. Untuk makan, katanya.”
Tuh kan, ini alasan yang dipergunakan.
“Kenapa kamu tidak memberi dia makan, dan membuatnya sampai dia berhutang?”
“Terkadang tidak cukup Nyonya. Sekarang ini, karena Nijah sudah tidak tinggal di rumah, maka sebaiknya hutangnya dilunasi dulu. Nanti kan bisa dipotong dari gaji yang dia terima. Saya mohon, Nyonya."
“Hmm, begitu? Berapa hutangnya?” tanya bu Sardono dengan wajah keruh.
“Dua ratus ribu, Nyonya.”
“Baiklah, dua ratus ribu ya? Tapi setelah ini kamu tidak lagi boleh meminjam atau meminta uang dengan alasan apapun, apalagi dengan membawa nama Nijah,” kata bu Sardono sambil masuk ke dalam rumah.
Biran nyengir kuda, merasa akal-akalannya berhasil. Tak lama kemudian bu Sardono keluar dengan membawa dua lembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada Biran. Biran menerimanya dengan senyum sumringah. Ia mengucapkan terima kasih sambil menundukkan wajahnya, sampai hampir menyentuh lantai.
“Terima kasih, Nyonya. Terima kasih telah menolong Nijah.”
“Sudah … sudah … pergilah,” kata bu Sardono sambil beranjak masuk ke dalam. Biran mengangkat bahu, lalu melangkah pergi. Di gerbang, dilihatnya Sukri duduk sambil masih memakai jacket. Jacket yang dibeli dari dirinya beberapa hari yang lalu, padahal jacket itu diambilnya di sandaran kursi, entah milik siapa, yang disambernya begitu saja.
“Masih kedinginan, kamu Kri?” sapa Biran riang.
“Udara memang dingin. Kamu mau pulang?”
“Ya, mau tidur sebentar, ada janjian ketemuan di pasar siang nanti,” kata Biran sambil berlalu.
“Pasti berjudi,” gumam Sukri sambil meraih rokok yang kemudian disulutnya.
***
Ristia masih duduk di meja makan. Ia hanya melirik ketika bibik lewat diikuti oleh seorang gadis. Tapi ketika selesai melahap roti bakarnya, Ristia berdiri lalu menjenguk ke arah dapur.
“Itu siapa?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Nijah.
“Ini teman baru saya Non.”
“Teman baru apa maksudnya?”
“Teman untuk bantu-bantu bibik.”
“Oh, baguslah. Nanti suruh dia membersihkan kamar aku. Tapi nanti, setelah aku pergi,” kata Ristia sambil berlalu.
Nijah membantu bibik membersihkan dapur.
“Bik, itu tadi siapanya Nyonya?” tanyanya.
“Itu menantu keluarga ini,” terang bibik.
“Kelihatannya galak. Benarkah?”
“Dia itu memang galak. Suka memerintah. Disini seperti ratu. Semua-semua harus dilayani. Padahal Nyonya besar saja masih suka membantu masak di dapur, atau bersih-bersih kamarnya sendiri. Dia sih tidak. Kamu dengar kan, tadi dia minta agar kamarnya dibersihkan?” kata bibik agak berbisik.
“O, begitu?”
“Suaminya, putra tuan Sardono, namanya tuan Satria. Sebenarnya orangnya baik, tapi dia sangat memanjakan istrinya. Sebel juga terkadang kalau melihat tuan Satria begitu menurut pada istrinya.”
Nijah hanya mengangguk. Di keluarga ini ia baru tahu ada nyonya Sardono yang tampaknya baik, dan bibik yang ramah. Tapi yang namanya Ristia menumbuhkan rasa tak senang, Seorang wanita yang tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah, kelihatan sangat tercela.
“Nijah, ayo sarapan dulu. Ini sudah aku siapkan,” kata bibik sambil meletakkan dua piring di meja dapur, yang didepannya sudah tersedia nasi dan lauknya.
Nijah memang belum makan apapun dari pagi. Agak kikuk rasanya ketika makan di sebuah meja dengan lauk lengkap. Ia pernah makan di rumah makan bersama Bowo, tapi makanan yang dimakan hanyalah yang dipesannya. Di sini, ada sayur ada lauk, ada kerupuk, ada sambal. Sayurnya ada dua macam.
“Ayo, makanlah, jangan sungkan,” kata bibik sambil menyendokkan nasi ke piring Nijah, membuat Nijah tersipu.
“Biar saya ambil sendiri.”
“Ya, baiklah, jangan sungkan. Kita selalu makan setelah majikan makan. Apa kamu terbiasa sarapan pagi sekali?”
“Tidak. Saya makan ketika memang ada yang dimakan.”
“Maksudnya … kalau tidak ada yang dimakan, ya tidak makan?”
“Saya bekerja kalau ada yang membutuhkan tenaga saya. Dari situlah saya bisa membeli makanan.”
“Bukankah Biran selalu memberi uang?”
Nijah tersenyum masam, tapi tidak menjawabnya. Tak enak menceritakan keburukan ayah tirinya, walau bukan ayah kandungnya.
“Tuan dan Nyonya sering mengeluh atas kelakuan Biran. Pernah hampir diberhentikan karena saat tugas pagi dia belum juga datang. Ternyata dia tidur di daerah pasar. Aku yang melihatnya ketika belanja.”
“Oh ….”
“Tapi tuan Sardono itu sangat baik dan penyayang. Kalau dipecat, dia makan apa, itu juga dipikirkannya. Dan itu sebabnya Biran masih diijinkan bekerja sampai saat ini. Maaf ya Nijah, kok aku jadi ngomongin Biran, padahal yang aku ajak bicara adalah anaknya,” kata bibik dengan tersenyum.
“Tidak apa-apa, kalau memang demikian keadaannya.”
“ Ya sudah, selesaikan makannya. Di sini, makanan pembantu tidak berbeda dengan makanan majikan. Setelah mereka makan, kita bisa menyantapnya, karena untuk makan berikutnya, lauknya sudah harus diganti yang baru dan lain dari sebelumnya.
Nijah mengangguk. Ia harus banyak belajar tentang kehidupan keluarga kaya raya yang belum pernah dijamahnya secara utuh. Biasanya dia hanya membantu bersih-bersih, belanja, atau memasak, tapi tidak seharian. Tapi karena pekerjaannya itu, Nijah jadi pintar memasak, dan alat-alat modern milik orang kaya sudah dikenalnya. Misalnya mesin cuci, kulkas, alat-alat masak yang tak akan terjangkau olehnya.
“Setelah makan, bantu aku menjemur pakaian ya, nanti aku tunjukkan tempatnya.”
“Baik, Bik.”
***
Bu Sardono sedang membaca sebuah majalah wanita, ketika terdengar langkah-langkah sepatu mendekat.
“Mama, saya mau pergi dulu,” kata Ristia sambil berhenti melangkah. Tak ada niat untuk mendekat, apalagi mencium tangan ibu mertuanya.
“Hmm,” jawab bu Sardono.
“Hari ini jadwal senam, nanti dilanjutkan kursus kecantikan,” katanya menerangkan, tanpa diminta.
Bu Sardono mengangkat wajahnya sekilas, kemudian melanjutkan membaca. Ristia berlalu, mendekati mobil yang sudah disiapkan sopir sebelumnya.
Bu Sardono mendengar suara mobil berlalu menjauh, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Setiap hari ada saja acaranya. Yang senam lah, yang kursus kecantikan lah, padahal dia sudah bisa dandan cantik dan selesai kursus beberapa bulan sebelumnya. Kalau nggak ya nemuin teman dari jauh, arsisan. Bu Sardono tak pernah menanyakannya, terserah dia mau apa.
Tiba-tiba Bibik datang, diiringi Nijah.
“Nyonya, tadi Non Ristia menyuruh membersihkan kamar, saya akan mengajari Nijah melakukannya,” kata bibik.
“Ya, baiklah. Sudah kamu ajak dia sarapan?”
“Sudah Nyonya.”
Bibik mengajak Nijah naik ke atas. Bu Sardono menatapnya sampai keduanya menghilang.
“Tampaknya Nijah ini baik. Semoga tidak mewarisi watak ayahnya. Eh, ayah tirinya yang pemalas. Lagi pula sebenarnya dia cantik. Mungkin seperti almarhumah ibunya. Aku belum pernah melihat istri Biran sampai mendengar dia meninggal,” gumam bu Sardono.
***
Hari itu Nijah banyak belajar. Karena dia harus membantu bibik, maka apapun yang dilakukan bibik dia harus bisa melakukannya. Bibik senang, karena Nijah bisa melakukan apa yang dimintanya, dengan sangat baik. Tampak bahwa Nijah sudah terbiasa bekerja keras.
Tiba-tiba bibik mendengar suara nyonya majikan berteriak memanggil, ternyata bu Sardono ada di dalam kamar.
“Ya, Nyonya.”
Dilihatnya sang nyonya sedang menumpuk beberapa baju bekas.
“Bik, coba tolong berikan baju-baju bekas ini pada Nijah. Badan Nijah sama badanku hanya terpaut sedikit besarnya. Tapi ini kan pakaian rumahan, aku sudah kekecilan. Biar Nijah memakainya.”
“Oh, iya Nyonya. Ini masih bagus. Pakaian Nijah memang sudah agak lusuh.
“Bukan karena merendahkan, tapi kalau pakaian lebih bersih kan jadi nyaman. Bilang minta maaf ketika memberikannya, supaya dia tidak tersinggung,” kata bu Sardono yang memang berperasaan lebih halus, walaupun hanya kepada seorang pembantu.
“Baik nyonya. Ini semua?”
“Iya, aku sudah kekecilan. Kalau kamu pasti tidak cukup, badanmu segede itu.”
Bibik tertawa.
“Iya Nyonya, ini sih kerbau kebanyakan rumput.”
“Ishhh! Orang cantik begitu kok dibilang kerbau. Sudah, sana, bawa semua baju-bajunya.”
“Baik, Nyonya.”
Bibik ke belakang, mendekati Nijah yang sedang mencuci perabotan. Sambil mendekap baju-baju pemberian sang nyonya majikan, bibik menarik tangan Nijah, diajaknya masuk ke kamar.
“Ada apa Bik?”
“Ini lho Nak, tadi Nyonya memberikan baju-baju bekas ini untuk Nijah.”
“Ini? Semua?”
“Iya, nyonya minta maaf, bukan karena merendahkan, tapi nyonya minta, baju-baju Nijah yang sudah lusuh lebih baik tidak usah dipakai lagi saja. Pakai ini untuk harian.”
“Oh ini … bagus-bagus semua.”
“Kamu jangan tersinggung ya, maksud nyonya supaya kamu kelihatan segar. Coba lepas baju kamu itu.”
“Ini ?”
“Iya, lepas saja. Hanya ada aku, dan pintunya tertutup tuh.”
Nijah melepas bajunya, lalu mengenakan baju pemberian bu Sardono. Bibik berdecak kagum.
“Tuh, kamu kelihatan bersih dan cantik.”
Nijah tersipu.
“Baju seperti ini pantasnya dipakai kalau sedang keluar,” desis Nijah sambil mengamati baju yang dipakainya.
Bibik tertawa, sambil memungut baju Nijah yang terserak di lantai, lalu Nijah mengambilnya, sungkan bibik memegangi baju lusuhnya.
“Ini, tidak usah dipakai lagi Jah, setiap hari, pakailah baju yang diberikan nyonya. Kamu tidak tersinggung kan? Nyonya sangat baik. Dia juga bermaksud baik.”
“Tidak, mengapa harus tersinggung? Saya harus berterima kasih kepada nyonya.”
“Dan kamu kelihatan sangat cantik.”
Nijah tersipu malu.
“Hanya orang kampung, mana bisa cantik?”
“Memangnya yang boleh cantik hanya orang gedongan? Ya sudah, ayo, simpan baju-baju itu di almari, lalu kita lanjutkan pekerjaan kita, sebentar lagi saatnya nyonya makan.”
Nijah memasukkan baju-baju pemberian bu Sardono ke dalam almari. Almari kayu yang bagus, bukan almari di rumahnya yang hanya dibuat dari triplek dan sudah bolong di sana-sini karena dimakan usia. Sungguh Nijah merasa takjub mendapat kamar sendiri yang dianggapnya sangat mewah. Walau kecil, tapi ada kasur empuk tempat merebahkan tubuh, ada meja kecil untuk meletakkan entah apa nantinya, ada almari dan ada cermin untuk berdandan.
Jendela di kamar itu kalau dibuka, ia bisa melihat kebun yang penuh tanaman hijau dan bunga-bunga yang terhampar dari depan rumah sampai ke belakang. Nijah merasa ini adalah keindahan yang nyata, bukan hanya datang dari dalam mimpinya.
Nijah tak bisa berlama-lama mengagumi kamarnya, ia segera keluar untuk membantu bibik menyiapkan makan siang untuk majikan.
***
Hampir setiap siang bu Sardono makan sendirian, kecuali kalau pak Sardono tidak pergi ke kantor. Nijah melayaninya, setelah mendapat petunjuk dari bibik.
Bu Sardono tersenyum senang melihat Nijah sudah memakai pakaian yang diberikannya.
“Nijah, kamu cantik sekali,” puji bu Sardono.
“Dia juga pintar memasak, Nyonya,” sambung bibik.
“Benarkah?”
“Sup sayur itu, Nijah yang memasaknya.”
“Oh ya? Segar dan enak. Apa kamu setiap hari masak, saat di rumah kamu?”
“Tidak, Nyonya. Di rumah saya tidak pernah memasak. Tapi saya sering membantu tetangga, kalau tetangga membutuhkan bantuan saya. Saya belajar dari sana.”
“Bagus sekali. Pengalaman bisa menjadi guru terbaik, ya Jah?”
“Benar Nyonya.”
”Suatu hari nanti, kamu harus menceritakan kehidupan kamu.”
“Nyonya, tidak ada yang bagus untuk diceritakan. Semenjak ditinggalkan ibu saya, saya merasa sendirian, mengayuh hidup yang sangat keras bagi saya.”
“Apapun itu, aku ingin mendengarnya. Sekarang aku mau makan dulu.”
Bibik menggamit lengan Nijah, diajaknya duduk di kursi kecil tak jauh dari meja makan, siap melayani kalau sang majikan membutuhkan sesuatu.
***
Sore harinya, saat pak Sardono pulang, agak terkejut melihat Nijah menyajikan minuman sore seperti saran bibik.
“Lhoh, ini siapa?”
“Ini namanya Nijah, Pak. Anaknya Biran.”
“Ini anaknya Biran? Bagaimana mungkin Biran punya anak secantik ini?”
“Dia mirip ibunya. Lagian Biran bukan ayah kandungnya, hanya ayah sambung. Ya kan, Nijah?”
“Betul tuan. Saya permisi ke belakang,” kata Nijah sopan, lalu mengundurkan diri.
"Kapan dia datang?”
“Tadi pagi, diantar sendiri oleh Biran. Tadi Biran juga minta uang lagi dua ratus ribu.”
“Untuk apa lagi? Beberapa hari yang lalu katanya untuk berobat anaknya yang sakit. Kali ini untuk apa lagi?”
“Katanya sebelum diajaknya kemari, Nijah punya hutang di warung sebanyak duaratus ribu.”
“Hm, ada-ada saja.”
Nijah belum melangkah jauh saat itu, dan memerlukan berhenti ketika mendengar namanya di sebut. Geram mendengar kebohongan ayah tirinya yang meminta uang dengan memakai dirinya sebagai tameng.
“Jah, ini kue jagungnya sajikan sekalian” tiba-tiba bibik menghampiri sambil membawa sepiring kue-kue dari jagung.
Nijah mengangguk, lalu kembali ke arah depan.
Saat itu Satria baru pulang dan terkejut melihat ada gadis cantik membawa nampan dari arah belakang.
***
Besok lagi ya.
Dasar penjudi..... ada saja alasan Biran merayu majikan minta uang. Tega-2nya Nijah dipakai alasan....... Katanya ninggal hutang di warusng tetangga sebesar rong atus ewu......
ReplyDeleteSabar ya nduk.... uripmu muga-2 mulyo......
Kasihan bowo ya ... hu ..hu
DeleteNggih kakek ...
DeleteTerima kasih bu tien bunga taman hatiku 07 sdh tayang,
ReplyDeletesmg bu tien sekeluarga sll sehat salam hangat dan aduhai untuk bunda tien .
Waduuuh nijah sdh cantik, pintar dan rajin ... bisa jadi menantu nih
DeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah Nijah sudah datang di Bunga Taman Hatiku episode kang kaping 7 Selasa 15 Agustus 2023.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, salam sehat rohani dan jasmani
Tetap ADUHAI
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah dah tayang
ReplyDeleteTrmksh
ReplyDeleteMaturnuwun Bunda Tien, sehat selalu buat Bunda Tien sekeluarga
ReplyDeleteπΉπΌπΉπΌπΉπΌπΉπΌ
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 07
telah tayang.
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu
Salam Aduhai π¦π
πΉπΌπΉπΌπΉπΌπΉπΌ
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu π€²
ReplyDeleteMatur suwun BTH 07 sdh tayang...Salam sehat selalu buat Bu Tien dan keluarga..πππππΉπ
ReplyDeleteAlhamdulillah BUNGA TAMAN HATIKU~07 sudah hadir, terima kasih bu Tien, semoga bu Tien tetap sehat dan tetap berkarya.
ReplyDeleteAamiin yra..π€²
Ingin tahu , apa akal Biran untuk minta uang kalau Nijah ikut majikannya.
ReplyDeleteApakah Satria tertarik pada Nijah ya, ketika dia melihat ada gadis cantik di rumahnya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Belum pak Latief..
DeleteSatria baru kaget liat ada gadis cantik di rmhnya..
Semoga Biran tdk bs lg bohong minta uang utk judi & mabuk" an dg munjual nama Nijah...
Pasti ketahuan skrg sm majikannya..
Tambah serrruuu nih..
Kpn Nijah.. mulai jd bunga taman hatiku?
Hati siapa ya?? Bowo or tuan Satria??
Tunggu bsk lg ah..
Salam Aduhai utk bunda Tien..
Tks banyak.. hsl karya bunda selalu menghibur pembacanya.. πππΉπ₯°
Sebenarnya saya pilih Bowo teh Hermina, tapi ya terserah dalangnya saja.
DeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteYg ditunggu sdh tayang..
Tks banyak bunda Tien
Semoga sehat dan berbahagia srlalu..
Matur suwun bunda Tien ...sehat selalu utk bunda n keluarga ....aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah Bu Tien
ReplyDeleteTks Bu tien.Sehat2 Slalu
ReplyDeleteAlhamdulillah....terimakasih Bunda
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun..BTH 7..sdh tayang..sdh mulai tebak2 an..π€
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 7 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 selalu
Pandangan pertama satriya atas nijah sdh terpana ..... selanjutnya terserah sutradara
Hamdallah BTH 07 telah tayang. Matur nuwun nggih Bu Tien semoga Ibu beserta Keluarga di Sala tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu, Aamiin
ReplyDeleteSaat ini Nijah lagi jadi Sekuntum Bunga Indah yang sedang mekar...di keluarga Pak Sardono. Semua mata memandang nya, Cantik...alami gadis asal desa Sala tsb ..πππΉπΉAkankah Satria tertarik pada nya...ππ
Salam Hangat dan Aduhai dari Jakarta
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dari Yogya.....
ReplyDeleteHm
ReplyDeleteMempesona para pria dirumah itu hanya baru pakai baju bekas mak Sardono.
Apalagi kalau sengaja dibuat spesial, waw dèh.
Dasar nya juga cakep dari sononya.
Nah masihkah ada kurang, dan beranikah jalan kehidupan yang telah terlewati bakal diceritakan kepada madam; yang sangat ingin mengetahui hari hari sebelum ini.
Berani jujurkah Nijah pada Bu Sardono, tadi juga sudah disinggung tabiat Biran sampai menyangkut pautkan namanya, yang dijadikan pelengkap penderita demi alasan mendapatkan dana.
Biran bakal ngrecokin Nijah, masalah cuan.
Rasa kenyamanan sekarang dirasakan bakal terus berlanjut kah.
Walaupun bagaimana dimata Nijah; Biran sudah berjasa; mempertemukan dengan keluarga Sardono.
Merasakan kenyamanan hidup, walau sebagai art.
Begitulah bunyinya.
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Alhamdulilah.. Skrg Nijah tdk lg serumah dg Biran..
DeleteAlhamdulillah BTH-07 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Aduh...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSeruu...
Salam sehat dan selalu aduhai
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteCeritanya semakin menarik. Semoga kehidupan Nijah makin membaik. Ibarat gadis, Nijah adalah bunga, dan hati adalah tanam. Dalam hal ini tapi tanam siapa ys?
ReplyDeleteIbu Yien, trima kasih untuk episode 7, Selamat pagi, sampai jumpa kembali besok malam.
Ikut lega...Nijah sudah tidak serumah dengan ayah tirinya yang selalu memanfaatkan dirinya, masih bersyukur tidak dilecehkan... Terima kasih, bu Tien...deg2an menunggu konflik2 yg akan timbul selanjutnya...salam sehat.πππ
ReplyDelete