BUNGA TAMAN HATIKU 05
(Tien Kumalasari)
Biran menundukkan mukanya, tampak takut-takut.
“Benar, Tuan. Saya butuh uang sekali. Ini penting karena anak saya sakit.”
“Maksud kamu, anak tiri kamu?”
“Benar Tuan, saya akan membawanya ke dokter, tapi saya tidak punya uang,” katanya sambil menampakkan wajah sedih.
“Memangnya anakmu sakit apa?”
“Itu … Tuan, badannya panas sekali.”
“Hmh, kamu itu kan kabarnya suka berjudi sama minum-minuman keras. Ya kan?”
“Hanya sesekali, Tuan.”
“Tidak mungkin orang berjudi bisa sesekali. Orang berjudi itu, kalau kalah penasaran, kalau menang keterusan. Kapan berhentinya?”
“Saya hanya … kadang-kadang saja, Tuan.”
“Lalu kamu habiskan ke mana uang kamu?”
“Untuk makan, untuk kebutuhan saya dan anak saya Tuan. Memang hanya berdua, tapi kan ya tidak cukup. Jadi kalau kurang saya terpaksa harus memohon pinjaman sama Tuan.”
“Alasan saja kamu.”
“Tuan, kasihanilah saya,” kata Biran memelas.
“Anakmu itu masih kecil?” bu Sardono ikut menyela.
“Sudah dewasa sih Nyonya, tapi kan dia tidak bekerja, jadi ya untuk kebutuhannya tergantung saya. Sekarang ini dia sedang sakit, Nyonya. Kasihanilah,” Biran benar-benar seperti pengemis yang minta belas kasihan. Pak Sardono sudah merasa kesal karena sering mendengar kelakuan Biran yang tidak benar, tapi bahwa itu untuk anaknya yang sakit, runtuhlah belas kasihannya.
“Anakmu bekerja apa?”
“Tadi saya sudah bilang, tidak bekerja, Nyonya. Dia hanya bisa sekolah SD.”
“Perempuan?”
“Iya, Nyonya.”
“Nanti kalau dia sembuh, suruh dia datang kemari, biar dia bekerja membantu bibik di dapur,” kata bu Sardono.
“Baik, Nyonya, tapi sekarang dia sedang sakit.”
Pak Sardono mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu, yang kemudian diberikannya pada Biran. Wajah Biran berbinar, Ia menerimanya sambil mengangguk ber kali-kali, bahkan kepalanya hampie menyentuh lantai.
“Terima kasih Tuan, terima kasih sekali. Sekarang saya pamit dulu, Tuan, Nyonya.”
“Jangan lupa setelah sembuh, suruh anakmu datang kemari. Biar dia bekerja supaya tidak memberatkan kamu, sehingga kamu jadi banyak hutang,” kata bu Sardono.
“Baik, Nyonya, baik. Terima kasih banyak.”
Biran berlalu dengan langkah tegap, seperti tentara menang perang.
Pak Sardono menatap tak senang. Memang sebenarnya dia kurang senang kepada Biran. Sudah lama dia menjadi penjaga rumah, yang bertugas berjaga di depan gerbang. Ada satu lagi yang bertugas berjaga, bergantian dengan Biran. Kadang pagi, kadang malam. Sukri, teman Biran itu sering cerita kalau Biran suka berjudi dan minum-minum. Kali ini sebenarnya pak Sardono tak ingin memberinya uang yang katanya pinjam, tapi alasan bahwa anaknya sakit, menyentuh rasa belas kasihannya.
“Mengapa Ibu ingin minta anaknya Biran jadi pembantu? Bibik kerepotan?”
“Tidak. Aku hanya ingin agar Biran tidak mengeluh karena merawat anak tirinya itu. Coba saja kita lihat, apakah setelahnya dia masih akan rajin berhutang atau tidak," kata bu Sardono.
Keluarga Sardono adalah keluarga yang baik dan suka membantu. Tak pernah merasa berbeda walau mereka kaya raya.
Tapi mereka merasa kecewa dengan menantu pilihan Satria, yang tidak berperilaku seperti layaknya seorang istri. Mereka ingin agar Satria didampingi oleh seorang istri yang baik, dan seperti keinginannya sejak lama, yaitu ingin segera memiliki cucu, yang sampai tiga tahun lebih belum bisa diberikan oleh Ristia, istri Satria.
***
Nijah sudah selesai mandi dan membersihkan rumah. Sudah jam sembilan pagi, dan perutnya merasa lapar. Ia menyesal menolak tawaran bu Sumi, gara-gara berharap Bowo akan datang.
Nijah mencari-cari sesuatu di dapur. Ia ingat beberapa hari yang lalu pernah beli ubi jalar. Tapi ternyata sudah habis, karena hanya tiga batang yang sudah direbusnya satu demi satu. Nijah melangkah ke depan, dan terkejut ketika melihat Bowo sudah berdiri di depan rumah.
Debar di dada Nijah bagai akan merontokkan isi dadanya, ketika Bowo menatap tajam ke arahnya dengan pandangan yang aneh.
“Nijah, kamu sudah mandi?”
Nijah mengangguk, karena mulutnya tiba-tiba seperti terkunci.
“Ayo kita pergi jalan-jalan.”
“Sekarang?”
“Tahun depan,” canda Bowo kemudian tertawa keras.
“Ya sekarang dong. Ayuk. Kamu mau ganti baju dulu?”
Nijah mengangguk. Bowo sudah membelikannya, tak enak jika dia tak mau memakainya. Nijah merasa, Bowo agak malu berjalan bersamanya dengan baju yang lusuh, walaupun dia mengatakan tidak.
“Duduklah dulu, aku hanya sebentar.”
Bowo duduk di kursi teras itu, menunggu Nijah berganti baju. Bowo heran pada hatinya, mengapa dia begitu menyukai Nijah. Apakah karena kasihan? Apakah karena Nijah punya kecantikan yang tersembunyi? Atau karena apa? Cinta tak pernah datang dengan permisi. Ia datang begitu saja, saat ingin datang, lalu menguasai hati dan jiwa, menjanjikan rasa bahagia.
Nijah keluar dengan gaun kuning berkembang merah dan hijau kecil-kecil, memenuhi bagian bawah gaun itu. Ada pita putih yang ditalikannya kebelakang, dan kerudung warna kuning tua yang dibeli Bowo beserta dengan bajunya.
Bowo menatapnya kagum. Seandainya Nijah anak orang kaya, kecantikannya akan berpendar semakin sempurna. Tapi itu cukup bagi Bowo yang sudah merasa tertawan sejak pertemuannya saat hujan di sebuah mini market itu.
“Bowo, kenapa menatap aku seperti itu? Aku tidak pantas memakainya?”
“Aaah, bukan Nijah, kamu cantik sekali.”
Itu adalah pujian yang keluar dari mulut Bowo untuk kesekian kalinya, yang membuat hati NIjah berbunga-bunga. Nijah mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menghindari tatapan Bowo yang membuatnya gelisah.
“Ayo berangkat, kita sarapan dulu ya, aku belum makan,” kata Bowo.
Nijah tiba-tiba teringat akan perutnya yang dari pagi melilit minta diisi. Ia bersyukur Bowo datang dan mengajaknya makan.
“Kita jalan dulu ya, aku tidak membawa motor.”
Nijah mengangguk, lalu menutup pintunya yang tidak benar-benar bisa dikunci.
“Kamu tahu, mengapa aku tidak membawa motor?”
Nijah menatap Bowo yang berjalan di sampingnya.
“Karena aku tahu bahwa hujan datang setiap saat. Kasihan, kalau kamu kehujanan terus, kan bisa sakit.”
“Tidak apa-apa, jalan kaki. Aku sudah biasa berjalan kaki ke mana-mana.”
“Kita cari warung terdekat, lalu kita naik taksi.”
“Naik taksi? Kemana?”
Liburku tinggal tiga hari lagi, aku akan mengajakmu jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja, pokoknya kamu harus gembira selama ada aku.”
“Kalau kamu nggak ada, aku jadi sedih dong.”
“Iya, tentu. Aku juga akan sedih kalau kita berjauhan.”
“Tidak apa-apa. Jauh di mata, dekat di hati. Ya kan?” kata-kata itu muncul begitu saja dari mulut Nijah, tapi membuat Bowo sangat senang.
“Benarkah aku akan berada dekat di hati kamu?”
Nijah terkejut, karena tanpa sengaja menunjukkan apa yang dirasakannya.
“Kok diam?”
“Maaf,” kata Nijah malu-malu.
“Kok maaf?” Bowo mengganggu Nijah, sampai wajah Nijah berwarna kemerahan. Bowo senang melihatnya seperti itu.
Pagi itu mereka makan di sebuah warung sederhana, yang menjual makanan ala rumahan. Nijah senang karena ada oseng papaya juga di sana. Tanpa malu NIjah menatap oseng yang ditata dalam piring besar.
“Pahit, tidak?” tanya Bowo.
“Pahit-pahit enak.” jawab Nijah santai.
Warung itu adalah warung, di mana semua makanan yang dijual tersaji, dan pembeli bisa mengambil lauk apa saja yang diinginkannya, lalu membayarnya setelah selesai memilih.
Bowo tersenyum melihat Nijah benar-benar mengambil nasi dengan daun pepaya.
"Ambil lauknya".
“Tidak ada ikan asin ya?”
“Ikan itu rasanya juga asin, ambil saja salah satu, atau ayam, atau apa saja yang kamu suka.”
Nijah mengambil sepotong tahu bacem, tapi kemudian Bowo menambahinya dengan sepotong kakap goreng.
“Ih, kok banyak?” pekik Nijah.
“Sudah, jangan membantah.”
Bowo sendiri hanya mengambil ikan dan urap, lalu memesan jeruk panas, Kemudian duduk di sebuah bangku setelah Bowo membayarnya.
“Enak?” tanya Bowo ketika Nijah menyendok oseng daun pepaya nya.
“Enak. Oseng daun opepaya ini kan seperti kehidupan aku. Rasanya pahit, tapi aku harus menelannya, karena inilah hidup yang harus aku jalani.” kata Nijah sendu.
“Pada suatu hari nanti kamu akan menemukan hidup yang lebih baik, dan membuat kamu bahagia.
“Aamiin.”
“Maukah kamu ikut aku ke Jakarta?” kata Bowo tiba-tiba, membuat Nijah terpana.
“Ikut kamu?”
“Ya.”
“Ngapain aku ikut kamu? KIta bukan siapa-siapa. Apa kata orang nanti.”
“Akan aku jadikan kamu ‘siapa-siapa' ".
“Apa?” Nijah menatap Bowo tak berkedip. Sepertinya menyenangkan. Tapi Nijah harus kembali menyadari siapa dirinya. Biarlah cinta terus bersemayam di dalam dadanya, tapi tak usah bermimpi terlalu tinggi. Cukuplah saling menyayangi, walau tak harus memiliki.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Bowo.
“Tidak ada. Rasa pahit ini sebenarnya enak.”
“Mana bisa, rasa pahit dibilang enak?”
“Soalnya daun hijau itu kan sehat. Bukankah enak kalau badan merasa sehat?” jawab Nijah seenaknya.
Mereka sarapan sambil bercanda.
“Bagaimana ya, kala aku sudah balik ke Jakarta lagi? Maksudku, bagaimana menghubungi kamu.”
“Pandanglah rembulan, dan aku akan memandangnya juga. Bukankah berarti kita memandang rembulan yang sama? Katakan apa saja, agar rembulan menyampaikannya padaku.
“Mana ada rembulan, setiap malam langit tertutup mendung.”
“Ada saatnya musim akan berganti.”
***
Keesokan harinya, Nijah sudah berjanji pada bu Sumi untuk membantu bersih-bersih gudang rumahnya, jadi dia menolak Bowo yang tetap akan datang menemuinya. Padahal tiga hari liburan yang tersisa bagi Bowo, akan dipergunakannya untuk mengajak Nijah untuk bersenang-senang, ke tempat yang belum pernah dilihatnya.
Nijah memang merasa seperti baru lahir ke dunia dan melihat semesta bersama isinya yang begitu indah untuk dinikmati. Belum pernah dia melihat pemandangan di tempat-tempat wisata, di pantai, atau mal yang ramai oleh pengunjung, rumah makan besar dan kecil, semua dinikmatinya dengan rasa takjub.
Dia sudah berjanji kepada Bowo untuk sehari itu saja memenuhi permintaan Bu Sumi yang sudah begitu baik kepada dirinya, karena sering memberinya pekerjaan. Lagi pula kalau ia mengecewakan salah seorang warga yang meminta tolong, bisa-bisa mereka kesal dan tak lagi mau memberinya pekerjaan.
Sehari yang dijanjikan Nijah membuat Bowo merasa gelisah. Dia tak tahu harus mengapa, padahal kepulangannya sebenarnya hanya untuk melihat keluarga orang tuanya yang sudah lama ditinggalkan.
Setelah memenuhi permintaan bu Sumi itu, Nijah pulang pada sore harinya. Dan betapa terkejutnya ketika sampai di rumah, Bowo sudah menunggu di depan rumah. Nijah berdebar. Bowo sangat memperhatikannya, dan kelihatan sangat menyayanginya.
“Bowo, apa yang kamu lakukan?”
“Menunggu kamu.”
Senyum Nijah merekah.
“Kenapa nggak duduk?”
"Kalau duduk, aku nggak bisa melihat kamu saat datang.”
Nijah tertawa.
“Kan nantinya juga bisa melihat.”
“Beda. Melihat dari kejauhan ketika kamu melenggang, rasanya beda.”
“Hmh, ada-ada saja. Ayo sekarang duduk,” katanya mempersilakan.
“Apa kamu capek?”
“Nggaak. Sudah biasa. Tidak terasa capek.”
“Ayo jalan.”
“Ke mana?”
“Ke mana saja. Aku harus menghabiskan sisa liburan aku bersama kamu.”
Nijah tersenyum. Bahagia itu ada, dan dia akan selalu menyimpannya. Bahagia tanpa mimpi-mimpi yang muluk-muluk.
“Ini sudah mendung. Kalau hujan bagaimana?”
“Biarkan saja. Setiap hari mengeluh hujan, kan memang musim hujan. Kamu mau mandi dulu?”
“Iya, sabar menunggu kan?”
“Untukmu, sangat sabar.”
Nijah menatapnya sekilas, menahan debar jantungnya, lalu masuk ke dalam untuk membersihkan diri.
***
Hari ini adalah hari terakhir masa liburan Bowo. Malam itu ia mengajak Nijah makan di sebuah rumah makan. Mereka memesan makanan, tapi kelihatan sekali bahwa Bowo tampak sangat tidak bersemangat, karena besok tidak lagi bisa bertemu Nijah untuk menatap wajahnya dan melantunkan kata-kata manis yang tak akan dilupakan oleh Nijah.
“Kenapa makan hanya sedikit?” tanya Nijah yang melihat Bowo tak menghabiskan makanannya.
“Aku sedih, tahu nggak sih? Besok kita tidak akan bersama lagi. Menunggu rembulan untuk menyampaikan salam juga tak akan kesampaian, karena rembulan selalu bersembunyi di balik awan,” katanya sendu, sambil terus menatap Nijah.
“Jangan sedih, menunggu semusim lagi tidak akan lama. Bukankah musim memang harus silih berganti? Yang penting adalah bahwa kita tidak akan saling melupakan,” kata Nijah lirih, karena dia pun sebenarnya juga akan merasa kehilangan setelah Bowo pulang ke Jakarta.
Tiba-tiba Bowo mengeluarkan sesuatu dari bungkusan kecil yang tadi dibawanya. Kemudian diangsurkannya bungkusan itu kepada Nijah.
“Ini apa?” tanya Nijah dengan heran.
“Buka saja.”
Nijah membukanya dengan tangan gemetar. Hadiah apa lagi yang diberikan Bowo untuk dirinya.
“Ini apa? Ponsel ?”
“Ya, untuk kamu, supaya kita bisa saling berhubungan, tidak usah menunggu munculnya rembulan,” kata Bowo sambil tersenyum.
“Bagaimana mempergunakannya? Percuma saja. Aku tidak bisa,” kata Nijah sambil membolak balikkan ponsel itu.
Bowo berpindah tempat duduk, dari yang semula di depannya, berpindah ke sampingnya. Dengan telaten dia mengajari Nijah mengoperasikan ponsel yang baru saja diberikannya.
“Ini pasti sangat mahal, aku berterima kasih kamu memberi aku bermacam-macam, tapi aku sedih, mengapa kamu harus mengasihani aku,” kata Nijah sedih.
“Aku tidak mengasihani kamu. Aku memberikan sesuai kebutuhan saja. Tolong jangan berpikir yang terlalu sempit. Aku memberikan kamu ponsel ini supaya aku selalu bisa menghubungi kamu, dan melihat wajah kamu walau hanya melalui layar kaca sekecil ini.”
Nijah menggenggam ponselnya erat-erat. Lalu tiba-tiba Bowo memberikan sebuah amplop. Nijah mengerutkan keningnya.
“Ini untuk keperluan kamu sehari hari.”
“Apa? Ini uang?” Nijah membelalakkan matanya.
Diangsurkannya amplop itu kembali ke hadapan Bowo.
“Tidak. Tolong jangan memberikan aku uang. Ini tidak benar. Aku bisa mencari uang sendiri dengan caraku. Maaf.”
Bowo mengangguk mengerti. Bukan kewajibannya memberikan uang untuk mencukupi kebutuhan Nijah. Bowo sudah bersyukur, Nijah mau menerima pemberian baju dan ponsel darinya,
***
Sudah lepas maghrib ketika Bowo mengantarkan Nijah pulang. Nijah heran melihat lampu rumah sudah menyala, karena sebelum pergi dia tidak menyalakannya.
Begitu sampai di teras, dilihatnya Biran sedang duduk di kursi sambil mengepulkan asap rokok yang dihisapnya.
***
Besok lagi ya.
8
𝘠𝘦𝘴𝘴𝘴𝘴𝘴𝘴
ReplyDelete𝘚𝘥𝘩 𝘵𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢 𝘦𝘱𝘴_05
Jos Kek di mobil iso juara 1
DeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteHoreeeee
ReplyDeleteTernyata tayang juga walaupun bunda Tien, pak Tom dan kakek Habi serta kawan2 sedang menikmati WO.... selamat menikmati dan heppy heppy semua
Delete𝘓𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩.....
ReplyDeleteWonten menopo mss kakek ?
Delete🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 05
telah tayang.
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu
Salam Aduhai 🦋🌹
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
Alhamdulillah BTH- 05 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda srhat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun
ReplyDeleteYes tayang
ReplyDeleteSuwun
ReplyDeleteYg ditunggu-tunggu muncul jg...manusang, ibu Tien...salam sehat.🙏😘
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil 'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Terima kasih Bunda, masih sempat update Bunga Taman Hatiku 05 malam ini
ReplyDeleteAlhamdulilah...suwun bunda Tien
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien...
ReplyDeleteNijah sdh hadir..
Pak Biran sdh pasti bohoong tuh..
Kpn ya Nijah diajak ke rmh bu Sardono, biar bs kerja tetap dan tdk tinggal serumah dg ayah tiri tukang judi & pemabuk..
alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien, smg sehat2 selalu
ReplyDeleteCinta mulai tumbuh di hati, akankah mulus perjalanannya ... Tentu banyak rintangan yang harus dihadapi. Setelah Nijah bekerja di keluarga Sardono akan ada cerita menarik yang membuat gemas para pembaca.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Ayah tiri jahaaat.....smg Nijah sll terhindar dari bahaya... matur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteWadhuh
ReplyDeleteBowo nêmoni man Doblang, mbêsêngut malah malak sisan duh jian ngisin ngisini, munyer pikiran.
Kalau gini aku punya dua sumber, bisa nyamber sana nyambêr sini, enaknya gimana ya, tapi takut sama bu juragan. Jadilah membantu bibi, aduh ponselnya kok ya nggak di silent ketahuan man Doblang, disamber lagi aduh. Putus kontak dèh.
Kasihan dèh lu.
Jeli juga ya, Bu juragan walau pakaian sederhana tapi ada sesuatu yang menarik dari Nijah.
Ya udah dikasih kamar tersendiri, diamat amati betulan; jadilah kandidat mbok enom. Setelah perdebatan serius, beberapa kriteria; masuk sebagai calon tunggal tapi nggak pakai kotak kosong.
Lulus.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke lima sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terima kasih mbak Tien, serem juga punya Bpk tiri Biran. Takut dia gelap mata.
ReplyDeleteHamdallah BTH 05 telah tayang. Matur nuwun nggih Bu Tien semoga Ibu beserta Keluarga di Sala, tetap Sehat wal Afiat dan bahagia selalu, Aamiin
ReplyDeleteSesaat Bowo hadir telah membuat hati Nijah berbunga bunga. Mereka berdua berjanji akan seia sekata. Tapi Biran, ayah tiri Nijah bermaksud lain. Akankan mulus perjalanan cinta mereka.
Salam Hangat dan Aduhai dari Jakarta
Terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien ceritanya bikin baper
ReplyDeleteWah ceritanya mulai ada problemnya yg mana akan membuat para pembaca menebak nebak mau diarahkan kemana oleh ibu Tien dan bagaimana jalan keluarnya.
ReplyDeleteSalam hangat selalu.
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat selalu dari Yogya....
ReplyDeleteSemoga sehat selalu mbak.. Ceritanya selalu dinanti,, selalu dihati.. Terimakasih salam aduhaiii dr Kota kecil Sawahlunto.. 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur suwun Bu Tien, salam sehat selalu ...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu aduhai l