Friday, August 11, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 04

 BUNGA TAMAN HATIKU  04

(Tien Kumalasari)

 

Pak Sardono menghela napas panjang, kesal.kepada anaknya yang begitu menyayangi istrinya, tapi tidak bisa menuntunnya ke jalan yang semestinya dilakukan oleh seorang istri.

Karena kesal itulah ia setuju, jika istrinya mencarikan lagi seorang istri untuk Satria.

“Apa ibu punya kenalan yang punya anak gadis? Tapi yang sekiranya pantas menjadi menantu kita.”

“Jangan dari lingkungan teman ibu, kita cari gadis biasa saja, yang sederhana, tapi yang perilakunya baik.

“Siapa? Apa ibu sudah punya pandangan?”

”Kalau saat ini ya belum Pak, sedang ibu pikirkan.”

“Ibu ada-ada saja. Satria nggak mau,” tiba-tiba Satria keluar lagi sudah berganti pakaian.

“Kamu harus mau.”

“Tapi Aku tidak mau menceraikan istri aku.”

“Tidak kamu ceraikan ya terserah, pokoknya harus ada wanita lain yang akan mendampingi kamu, dan memberikan cucu untuk bapak sama ibumu ini.”

“Menurut sama orang tua itu baik. Dulu kami menuruti keinginanmu untuk melamar Ristia, tapi kami akhirnya kecewa. Ristia bukan istri yang baik. Kali ini kamu harus menurut apa kata orang tua kamu. Kalau tidak, bapak tak akan peduli lagi sama kamu, dan jangan berharap kami akan tetap menuliskan nama kamu sebagai ahli waris.”

Satria terbelalak. Berarti dia akan dicoret sebagai ahli waris? Mau hidup seperti apa nanti dirinya, dan Ristia yang sudah terlanjur menikmati segala kesenangan sebagai menantu keluarga Sardono?

“Bagaimana?”

“Satria akan bicara dulu sama Ristia.”

“Mengapa harus bicara sama dia? Yang harus menjalani itu kamu. Kalau dia setuju, boleh tetap menjadi keluarga ini, tapi kalau tidak, hm … rasanya bapak tidak usah mengucapkannya, kamu pasti sudah tahu jawabannya.”

Satria tercenung. Ia juga heran, istrinya sampai hampir maghrib belum pulang juga. Ia melongok ke arah depan, tak ada tanda-tanda mobil istrinya masuk.

“Apa yang kamu lihat? Istri kamu masih bersenang-senang dengan teman-temannya, yang katanya datang dari luar negri itu.”

“Pokoknya bapak sudah bicara, camkan itu,” kata pak Sardono sambil berdiri dan beranjak masuk ke dalam rumah.

Satria termenung sendirian. Ayahnya selalu bicara serius, dan tegas. Apa yang dikatakannya tidak bisa dibantah. Satria tidak tahu, bahwa kedua orang tuanya sudah sampai kepada titik kemarahan yang tak terbendung akibat ulah istrinya. Sekarang apa yang harus dikatakannya kepada sang istri?  Dia sungguh mencintai Ristia, dan tak ingin mengecewakannya. Ia ingin menentang keinginan sang ayah, tapi resikonya terlalu berat. Kalau dirinya lepas dari orang tuanya, berarti dia juga tak bisa bekerja di perusahaan yang sekarang dipercayakan kepadanya. Bagaimana dia menghidupi istrinya yang sudah terlanjur hidup dengan kemewahan?

“Mas, kok sudah pulang.”

Satria terkejut ketika tiba-tiba istrinya sudah ada di depannya. Ia sedang melamun, sehingga tak mendengar suara mobil istrinya. Atau … Ristia tak membawa mobil? Tak ada mobil di halaman kecuali mobilnya sendiri.

“Kemana mobilmu?”

“Ya itulah Mas, makanya aku terlambat pulang. Sampai di rumah sudah keduluan Mas yang pulang.”

”Kenapa?”

“Kecuali jalanan macet, mobilku kempes di jalan. Aku sudah menelpon bengkel langganan dan sudah diurus oleh mereka. Aku naik taksi.”

Satria berdiri, lalu beranjak masuk. Ristia mengikuti di belakangnya.

“Pasti mama mengomeli aku kan?” sungutnya.

Satria tak menjawab. Langsung naik ke lantai atas, karena kamar mereka memang ada di lantai dua.

Ristia cemberut melihat wajah sang suami keruh. Begitu masuk di kamar, dia langsung menggelendot di tubuh suaminya dengan manja.

“Mas marah, karena aku terlambat pulang?” rengeknya. Dan rengek manja itulah yang selalu menggoda Satria sehingga susah untuk melepaskannya.

“Tidak, apa aku pernah marah sama kamu?”

“Kok wajahnya masam begitu. Hilang gantengnya lho, kalau merengut.”

“Aku juga belum lama pulang, ayo mandi dulu.”

“Baiklah, aku siapkan dulu ganti untuk Mas ya,” kata Ristia sambil terus bangkit dan membuka almari, mengambil handuk kering dan ganti baju untuk mereka berdua.

***

Saat makan malam,  mereka berempat hanya diam. Suasana kaku melingkupi ruang makan itu. Tapi kemudian Ristia membuka pembicaraan, mencoba  menawarkan suasana kesal keluarga mertuanya karena keterlambatannya pulang, Padahal juga nggak ada yang menanyakannya.

“Tadi mobil Ristia mogok di jalan Ma,” katanya kepada ibu mertuanya.

Bu Sardono hanya menoleh sekilas menatap menantunya.

"Bannya kempes, mana jalanan macet pula. Jadi mobilnya Ristia suruh mengurus bengkel langganan kita, lalu Ristia pulang naik taksi.”

Tak ada yang menanggapi kata-katanya. Bibir Ristia sudah terlihat manyun. Jelek banget, makan sambil bibir manyun. Satria menatapnya dan menahan tawanya karena menurutnya, Ristia tampak sangat lucu.

“Sudah kamu pikirkan, apa yang tadi bapak dan ibumu bicarakan?” tiba-tiba pak Sardono mengingatkan sesuatu. Membuat Satria urung memasukkan sesendok nasinya ke mulut, lalu meletakkannya kembali.

Pak Sardono menatapnya tajam.

“Bagaimana?”

“Nanti saya pikirkan lagi Pak.”

“Memangnya papa bicara tentang apa?” tanya Ristia yang selalu memanggil ayah dan ibu mertuanya dengan panggilan papa dan mama, seperti panggilannya kepada orang tua Ristia sendiri.

“Nanti aku ceritakan sama kamu,” katanya sambil melanjutkan makan. Tapi selera makan itu tiba-tiba hilang. Masih tersisa setengahnya ketika Satria kemudian menutupkan sendok dan garpunya.

“Kok nggak dihabiskan?” tanya ibunya.

“Tiba-tiba kenyang, perut rasanya nggak enak. Satria ke kamar dulu ya,” katanya sambil berdiri.

“Maas, tungguin aku dong,” kata Ristia sambil buru-buru menghabiskan makannya, kemudian pamit mendahului.

“Ristia ke kamar dulu Pa, Ma, mau melihat mas Satria, ada apa dia,” katanya sambil berdiri dan berlalu.

“Ibu sudah bilang, Satria merasa berat melakukannya,” celetuk bu Sardono ketika Satria dan istrinya tak ada lagi di ruang makan.

“Biar dia berpikir. Siapa tahu dia berubah, dan mau menegur istrinya.”

“Rasanya tidak mungkin.”

“Kalau begitu Ibu usahakan gadis baik untuk Satria. Sikapnya saja tak pernah membuat senang orang tua.”

“Iya Pak. Sedang ibu pikirkan.”

***

Di kamar, Satria tidak segera mengatakan kepada Ristia, tentang apa yang ditanyakan ayahnya. Rasa takut kehilangan menghantuinya. Bagaimana kalau Ristia marah, lalu minta cerai?  Ristia adalah segalanya bagi Satria, walau sang istri tak pernah melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memasak? Bersih-bersih rumah? Mana mungkin. Sejak awal Satria sudah memanjakannya.

“Mas, katakan dong, apa maksud papa tadi,” Ristia kembali merengek.

“Ooh, itu … bukan apa-apa.”

"Bukan apa-apa bagaimana? Tadi sudah jelas papa menanyakan sesuatu, dan menunggu jawab Mas, kan?”

“Itu soal pekerjaan,” Satria belum berani mengatakannya.

“Soal pekerjaan. Kok wajah papa jadi serem begitu, dan Mas juga langsung meninggalkan ruang makan. Padahal aku masih ingin nambah, tadi.”

“Kenapa tidak nambah saja?”

“Ya nggak enak, lah. Mas sudah nggak ada. Wajah mama juga nyebelin.”

“Ristia, kamu harus bersikap baik kepada kedua orang tuaku, supaya mereka sayang sama kamu.”

“Lhoh, Ristia kurang baik apa sih. Mereka itu sejak awal memang tidak suka sama Ristia.”

“Pasti ada sebabnya dong,” Satria mengatakannya masih dengan tersenyum, sambil mempermainkan anak rambut yang menutupi dahi istrinya. Ia harus mengatakannya dengan hati-hati, takut sang istri marah.

“Sebabnya apa? Mungkin mama kesal karena aku tak suka memasak. Pernah suatu ketika mama sedang ada di dapur bersama bibik, mama suruh aku belajar masak, tapi hari itu adalah jadwal aku fitnes, jadi aku minta maaf sama mama. Setelah itu aku nggak mau lagi deket-deket sama mama. Aku tuh kan banyak kegiatan, sudah sejak belum menikah sama kamu. Kamu tahu kan? Aku nggak mau dong, dirumah saja, seperti pembantu. Kalau aku memasak, lalu apa kerjaan bibik? Sudah digaji, lalu aku yang bekerja. Aneh,” kata Ristia membela diri dengan mulut manyun. Satria sedang galau, kalau tidak, pasti sudah dicubitnya bibir menggemaskan itu.

Satria tak tahu harus berbuat apa. Akal warasnya tertutup oleh rasa cintanya kepada sang istri. Ia selalu merasa, tak ada yang salah pada istrinya, bahkan ketika dia tak peduli pada urusan rumah tangga kecuali hanya bersenang-senang diluaran, dan bersenang-senang memuaskan nafsu bersama suaminya saat ada di rumah. Harusnya saat mengetahui bahwa istrinya tak menghormati ibunya, ia memarahi atau menegurnya. Tapi selalu saja Satria tak bisa melakukannya.

Ucapan ayahnya terus saja terngiang di telinganya. Ucapan yang artinya adalah, apabila dia tidak menuruti keinginan orang tuanya, maka dia bukan lagi ahli waris keluarga Sardono.

Tiba-tiba Ristia membalikkan tubuhnya, memunggungi sang suami. Ia kesal karena Satria tak bereaksi apapun ketika dia berkata-kata.

Satria baru sadar bahwa Ristia marah, dan hal itu membuatnya kemudian ia menarik tubuh istrinya, membalikkannya sehingga mereka tidur berhadapan.

“Kamu marah?”

“Kamu aneh malam ini. Seperti tak peduli sama aku.”

“Maaf, aku sedang memikirkan ….”

“Memikirkan apa? Ucapan papa tadi? Seberat apa ucapan itu untuk kamu sehingga wajahmu masam dan sama sekali tidak menarik?”

“Sangat berat.”

“Sangat berat? Urusan yang seperti apa sih?”

“Tidak apa-apa, kamu tidak akan mengerti.”

“Katakan saja, aku kan istri kamu. Aku harus tahu dong, apa yang terjadi pada suami aku.”

“Lain kali saja. Mendekatlah. Bersama kamu, apapun beratnya pikiran aku, tetap saja aku akan terhibur,” katanya sambil mengelus pipi sang istri.

“Benarkah?”

“Ristia, aku sangat mencintai kamu. Aku tak ingin kehilangan kamu.”
Dan didekapnya istrinya kuat-kuat, seakan tak ingin dilepaskannya selamanya.

***

Nijah sedang duduk di tepi pembaringannya, sambil mengamati tiga buah baju pemberian Wibowo. Tidak terlalu mewah, tapi sangat cantik menurutnya. Sayang rasanya untuk memakainya dalam keseharian.

Ada sedih yang terus mengikatnya, mengingat dirinya harus dikasihani oleh temannya sendiri. Teman baik, yang penuh perhatian, yang memiliki mata setajam elang, yang setiap kali memandang membuat seluruh tubuhnya merinding. Nijah merasa aneh akan perasaannya. Ia belum pernah jatuh cinta, tapi ia pernah mendengar seorang laki-laki mengatakan cinta. Baru sekali, dan itu diucapkan oleh Bowo, yang dianggapnya hanya sebagai canda. Tapi malam itu, tiba-tiba Nijah merasa bahwa ia menginginkannya. Menginginkan bahwa ucapan itu bukan gurauan. Menginginkan bahwa ada rasa cinta yang merengkuh jiwanya dengan kuat, sehingga sulit melepaskannya. Nijah mendekap baju-baju itu didadanya, dan tiba-tiba ada rasa rindu untuk bertemu lagi dengannya.

Mereka pulang saat hari mulai gelap, saat udara lembab dan tanah basah oleh hujan seharian yang tak kenal lelah. Sebelum masuk ke pintu rumah, dari temaram lampu suram di teras rumahnya yang sederhana, Nijah melihat mata Bowo berkilat, membuatnya salah tingkah dan segera memasuki rumah dengan perasaan gelisah.

“Nijah ….”

Suara panggilan lembut itu terdengar ketika dia sudah berada di tengah pintu usang rumahnya. Nijah ingin segera menutupnya, tapi kemudian ia melihat Bowo melambaikan tangannya.

“Aku pulang, besok aku pasti datang. Jangan ke mana-mana,” pesannya, lalu membalikkan tubuhnya dan pergi.

Sekarang Nijah tak bisa tidur. Satu persatu ingatan melintas. Ia masih mendekap setumpuk baju itu ketika kemudian membaringkan tubuhnya di tikar.

“Aku ini seperti pungguk merindukan bulan,” desahnya perlahan. Ia merasa sedang memimpikan sesuatu yang tak mungkin. Kalau siang tadi dia masih sempat menolaknya, sekarang dia sangat menginginkannya.

“Aku sudah gila,” desahnya lagi.

***

Nijah terbangun ketika mendengar ketukan pintu di pagi yang mulai  menjamah bumi. Bergegas dia bangun, dan menyesal harus bangun kesiangan.

“Nijah.”

Panggilan itu seperti suara bu Sumi pemilik toko kelontong diujung kampungnya. Nijah bergegas ke depan.

“Jah, apa hari ini aku bisa minta tolong?”

“Ya, Bu.”

“Sudah seminggu aku tidak sempat membersihkan rumah. Apalagi keadaan gudang yang berantakan. Kalau bisa, nanti datanglah ke rumah.”
Nijah termangu, ia teringat apa yang dikatakan Bowo semalam sebelum pergi. ‘Besok aku akan datang’.

“Jangan terlalu siang, karena aku mau pergi setelah kamu datang.”

Bu Sumi mengulurkan uang yang entah berapa, membuat mata Nijah berkilat. Ia tak punya uang sepeserpun. Sehari kemarin ia bisa makan karena ada Bowo yang membelikannya makan di warung dan di restoran yang disinggahinya. Tempat-tempat yang membuatnya nyaman.

“Bagaimana Jah? Bisa kan?”

“Mm … ini Bu … maaf, saya sudah ada janji untuk_”

“Jadi tidak bisa ya?” kata bu Sumi yang kemudian urung mengulurkan uangnya.

“Bagaimana kalau besok pagi?” Nijah menawar, bayangan Bowo melintas lagi.

“Besok ya, bener? Jam delapan harus sampai di rumah aku ya, akan aku bayar sekarang saja, supaya kamu ingat kalau sudah berjanji sama aku.”

“Tidak usah Bu, besok saja setelah saya melakukan tugas itu.”

Bu Sumi mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya.

Nijah termenung. Uang bu Sumi terbayang mengingat ia tak punya sepeserpun yang tersisa setelah ayah tirinya merampasnya.

“Bagaimana kalau Bowo tidak datang?”

***

Pagi hari itu keluarga Sardono sudah selesai sarapan. Seperti biasanya, Ristia tidak ikut sarapan karena masih meringkuk diatas ranjangnya. Bahkan ia tak pernah mengantarkan suaminya sampai ke depan, kecuali mengecup tangan sang suami dari tempat dia tergolek malas, ditempat tidur. Hal yang biasa itu tak membuat bu Sardono menanyakannya pada Satria setiap pagi. Tapi pagi itu bu Sardono tak tahan untuk tidak mengatakannya.

“Lihat istri kamu. Saat suaminya berangkat bekerja, jangankan melayaninya sarapan, mengantarkan keberangkatannya saja tidak.”

Satria menghela napas. Ia bergegas menaiki mobilnya, sebelum mendengar ayahnya mengatakan hal tentang istri baru, yang mereka inginkan.

“Satria masih ragu-ragu melakukannya.”

“Dia harus melakukannya,” kata pak Sardono.

“Selamat pagi Tuan,” suara itu membuat pak Sardono urung masuk ke dalam rumah. Dilihatnya BIran, penjaga rumahnya datang dan duduk begitu saja di tangga teras.

“Ada apa? Kamu tugas malam ini kan? Mau pulang?”

“Iya Tuan, tapi saya mau minta tolong,” kata Biran ragu-ragu.

“Minta tolong apa? Jangan bilang kamu mau pinjam uang lagi. Hutang kamu sudah setumpuk sampai-sampai kamu tidak pernah menerima gaji dan hutang itu terus saja bertambah.”

***

Besok lagi ya.

 

 

35 comments:

  1. πŸŒΈπŸŒΉπŸ„πŸŒ»πŸ’πŸ’πŸŒΊπŸ’ž❤‍🩹
    πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€

    _*BUNGA TAMAN HATIKU*_
    _#Episode_04_

    by: Tien Kumalasari.
    editor: Kakek Habi.

    πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€πŸ‘€
    πŸŒΈπŸŒΉπŸ„πŸŒ»πŸ’πŸ’πŸŒΊπŸ’ž❤‍🩹

    Alhamdulillah sudah tayang......
    Hore.... besuk ketemu sang penulis di Solo, kita mau rame-2 nonton bareng Wayang Orang Sriwedari bersama sang "IDOLA" dari Malang 6 orang, Solo 6 orang Surabaya 1 orang Jonegoro 1 orang Bandung 1 orang Sragen 1 orang Semarang 4 orang Pekalongan 1 orang dan tuan rumah Solo 6 orang...... Lakone sesuk bengi PREGIWO PREGIWATI.

    Yuk .... siapa yang mau gabung lagi ??????

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang

    ReplyDelete
  3. 🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
    Alhamdulillah BTH 04
    telah tayang.
    Matur nuwun Bu Tien
    Sehat2 trs nggih Bu
    Salam Aduhai πŸ¦‹πŸ’
    🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼

    ReplyDelete
  4. Horeee..asiikkk..πŸ₯°πŸ˜

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah tayang gasik, terima kasih bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang sudah tayang episode ke 4 hayuuh blom bisa coment krn rebutan hahaha btw salam kangen n aduhaai dari Cibubur

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Terima kasih bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah dah tayang makasih bunda salam dari tasikmalaya

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah .... BTH 4 sdh tayang
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  12. Terima kasih bunda , cerita memelas banget, nijah emang nasibmu belum.baik

    ReplyDelete
  13. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu aduhai

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah....BTH 04 sampun tayang....matur nuwun Bu Tien salam ADUHAI dari Bla

    ReplyDelete
  15. Hamdallah BTH 04 telah tayang. Matur nuwun Bu Tien.

    Satria termasuk kategori ISTI... ialah Ikatan Suami Takut Isteri.

    Salam Aduhai dari Jakarta

    ReplyDelete
  16. Oh jadi Biran mau menawarkan Nikjah untuk istri Satria?

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien. Wah Nijah bakal jadi pelunas hutang ayah tirinya.....

    ReplyDelete
  18. Nijah jatuh cinta kepada Bowo, tetapi belum kerja. Kalau jadi istri kedua bagaimana ya, takut dikira merusak rumah tangga...
    Bowo juga repot tentunya, banyak cewek mengejar..
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  19. Cinta itu indah, tapi kalau salah alamat dan tempatnya, jadi runyam.
    Seharusnya Satria menjadi orang yg lebih bijaksana terhadap isteri maupun ortu.
    Salam manis selalu.
    Sampai jumpa lagi.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah BTH- 04 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda srhat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Biran memohon agar anak tirinya dijadikan pembantu di rumah juragan Dono, padahal biar tiap hari nggak perlu mengais rezeki kerumah tetangga, biar keluar dari rumah dan ada maunya; negosiasi jual rumah itu rupanya.
    Biran sok perhatian pada anak tirinya.
    Jebulanya berupaya jual rumah buat lunasi hutang.
    ADUHAI

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  23. Terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete

JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 26

      JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU  26 (Tien Kumalasari)   Wanda hampir berteriak senang. Lupa bahwa dirinya sedang membuat kedua orang tuany...