Bunga Taman Hatiku 03
(Tien Kumalasari)
Bowo terpana. Bukan karena kecantikan gadis itu, tapi karena cara berpakaiannya yang sangat mencolok. Belahan dada tampak nyata, roknya agak tinggi di atas lutut. Wajah Bowo menampakkan perasaan tak senang. Ia ingat, dia Keisya, teman SMA nya waktu di Jakarta. Ia tak tahu mengapa dia bisa ada di tempat itu.
“Bowo, kamu kaget melihat aku ada di sini?” kata Keisya setelah melihat Bowo memalingkan wajahnya.
“Kenapa kamu ada di sini.”
“Ini liburan, aku mengunjungi nenek aku. Ternyata kamu juga di sini? Rumah kamu di kota ini?”
“Ya.”
Tiba-tiba Nijah muncul dengan pakaian barunya. Bowo melotot melihatnya. Nijah tampak cantik dengan balutan gaun berwarna hijau lumut, bergaris hitam pada lengan dan bawahnya.
“Nijah, kamu cantik sekali.”
“Aku lepas ya?”
“Jangan pakai saja terus, nggak apa-apa.”
“Bowo, ini siapa?” tanya Keisya.
“Ini … pacarku,” jawab Bowo enteng, membuat Nijah terbelalak. Tapi dengan sebelah matanya, Bowo berkedip.
“Oh, pacar kamu? Kenalkan, aku Keisya,” dengan ramah Keisya mengulurkan tangannya.
“Nijah,” sambut Nijah sambil tersenyum.
Bowo pergi ke kasir, membayar semuanya. Kemudian dia menghampiri Nijah dengan tas besar di tangannya.
“Ayo kita pergi,” kata Bowo sambil menarik lengan Nijah. Nijah mengikutinya, setelah mengangguk kepada Keisya.
Bowo memasukkan bungkusan ke dalam bagasi, lalu meminta Nijah untuk segera naik ke boncengannya.
Keisya menatap keduanya dengan senyuman masam.
“Pacarnya? Rendah bener selera Bowo. Cantik sih, tapi tampak kampungan begitu. Awas saja, kalau sampai di Jakarta nanti, akan aku buat kamu melupakan pacar kampungan kamu itu,” gumamnya sambil memasuki toko. Rupanya dia juga ingin membeli baju.
***
“Bowo, kenapa aku tetap memakai baju ini?”
“Tidak apa-apa kan, kamu cantik kok.”
“Kamu malu aku memakai baju lusuh punyaku tadi?”
“Tidak. Bukan karena malu. Aku hanya suka melihat kamu seperti ini. Nggak apa-apa kan? Aku masih beli beberapa lagi untuk kamu.”
Nijah merasa sedih. Ia tahu Bowo mengasihaninya. Tapi sebenarnya dia tidak suka. Biarlah dirinya seperti apa adanya, memangnya harus memakai baju bagus supaya kelihatan cantik? Nijah terdiam sampai ketika Bowo membawanya ke pinggiran kota. Ada sebuah taman dikelilingi pohon-pohon teh yang berayun lembut tertiup angin. Bowo mengajaknya duduk di sebuah bangku, menatap pemandangan yang menghijau disekitar tempat itu. Hanya hijau, kecuali ketika menatap ke atas, kemudian Nijah melihat segumpal mendung.
“Mau hujan…” gumamnya. Tapi Bowo tampak bergeming.
“Udara di sini segar, tidak banyak debu seperti di kota. Biar saja hujan, kan memang musim hujan?”
Nijah merengut. Ia menatap gaunnya yang sehijau daun di sekitarnya. Tapi kemudian ia merasa sedih. Ia menghilangkan jacket Bowo, tapi Bowo malah membelikannya gaun. Bahkan menurut apa yang dikatakannya tadi, bukan hanya yang dipakainya ini.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Jacket itu,” katanya lirih.
“Ah, tidak usah dipikirkan, biar saja hilang. Aku masih punya.”
“Mana mampu aku menggantinya?”
“Kamu tidak usah menggantinya, berapa kali aku harus mengatakannya? Biarkan saja hilang, aku tidak peduli, yang penting kamu tidak hilang,” canda Bowo sambil menatap gadis di sebelahnya.
Nijah tersipu, karena pandangan Bowo terasa menusuk jantungnya, dan membuatnya berdebar. Rasa yang belum pernah menyentuh hatinya.
“Bowo, mengapa kamu tadi mengatakan pada teman kamu, bahwa aku adalah pacar kamu? Mana dia percaya.”
“Mengapa dia harus tidak percaya?”
“Mana aku pantas jadi pacar kamu?”
“Memangnya kenapa? Aku kurang ganteng, untuk kamu?”
“Bukan aku nya, tapi kamu yang pastinya kurang pantas punya pacar seperti aku.”
“Kamu masih perempuan kan?” tanya Bowo dengan tersenyum lucu.
“Ya.., iya lah, masa aku berubah jadi laki-laki?”
“Kalau begitu jangan bilang tidak pantas. Laki-laki memacari perempuan itu sudah selayaknya pantas.”
Nijah tertawa, tipis. Wajahnya kembali mendongak ke atas. Kekhawatirannya akan hujan yang segera turun, membuatnya gelisah.
“Kenapa?” tanya Bowo.
“Itu, hujan mau turun.”
“Biarkan saja, kan aku sudah bilang bahwa ini memang sedang musim hujan.”
Sebenarnya Nijah tak takut, walau pulang agak sorean. Tak ada yang menunggu di rumah. Ayahnya tak akan pulang karena ia sudah mengambil uangnya yang hanya seratus ribu. Hanya seratus ribu, tapi bagi NIjah itu sangat besar. Ia mengumpulkan rupiah demi rupiah, bahkan terkadang untuk makan saja dia membeli makanan yang paling murah, agar uangnya tak banyak berkurang. Sekarang uang itu tak ada lagi. Ia heran, selama ini ayahnya tak pernah meminta uangnya. Apakah ayah tirinya itu baru tahu bawa dia terkadang mendapatkan uang dari bekerja yang tidak setiap hari dilakoninya? Kalau demikian halnya, banyak kemungkinan pada suatu hari nanti dia akan mengambil lagi uangnya. Nijah merasa ngeri,
“Kamu kenapa? Sedih tentang pacar itu tadi? Kamu tak suka aku menganggap kamu pacar?”
Nijah menggeleng pelan. Banyak hal yang dipikirkannya. Tentang kelangsungan hidupnya, tentang apa yang harus dilakukannya. Ia berpikir, tak akan selamanya hidup bersama ayah tirinya. Benar kata Bowo, ia harus pergi dari rumah itu.
“Nijah, apa kamu marah?”
Nijah menoleh ke arah laki-laki teman SD nya itu, sang sangat baik dan perhatian pada dirinya.
“Mengapa aku harus marah?”
“Karena pengakuan pacar itu tadi.”
“Tidak, aku tidak marah.”
“Berarti mau?”
“Haa? Mau apa?”
“Mau menjadi pacarku?”
Nijah tersenyum hambar. Ia tahu Bowo suka bercanda, dan kali itupun pasti dia juga bercanda.
“Heii … kok diam?”
“Apa? Aku harus bagaimana?”
“Kan aku bertanya.”
“Bercanda kan?”
“Aku serius.”
“Mimpi … ‘kali’”
“Ini nyata, bukan mimpi. Aku cinta sama kamu, Nijah.”
“Jangan terlalu mudah mengatakan cinta.”
“Ini susah, tahu … sejak kemarin aku ingin mengatakannya.”
Nijah terdiam. Hatinya berdebar tak menentu. Sebagai gadis remaja yang sedang mekar-mekarnya, ucapan cinta dari seorang laki-laki ganteng yang baik hati, pasti amatlah membuat bahagia dan berbunga-bunga. Tapi Nijah justru merasa sedih. Dia sadar siapa dirinya, lalu kalau cinta, kelanjutannya apa? Apakah cinta itu hanya sekedar mencari kesenangan dan melepaskan nafsu? Mana mungkin, Wibowo anak seorang pejabat, kaya raya, mau menjadikannya istri. Lalu apa, hanya pacaran? Bukankah itu akan menyakitkan pada akhirnya?
“Menurutmu, jatuh cinta itu apa?”
“Kamu aneh. Bagaimana ya menjabarkan cinta. Dia itu datang tak pernah permisi. Tiba-tiba saja mengisi relung hati.”
“Kamu sudah dewasa Bowo, kamu akan segera menyelesaikan kuliah, setelah itu pasti kamu harus bekerja, dan menikah.”
“Ya, tentu saja.”
“Jangan bermain-main dengan cinta, kalau akhirnya tak bisa mewujudkan cinta itu menjadi sesuatu yang bisa kamu miliki, untuk hidup bersama dan mengayuh rumah tangga dengan baik.”
“Kamu kira aku bermain-main? Aku jatuh cinta sama kamu, dan akan menjadikan kamu istriku.”
Nijah tertawa. Alangkah senangnya kalau itu benar. Bowo laki-laki baik, ganteng dan penuh kasih sayang. Tapi adalah mimpi untuk bisa menjadikannya suami. Memangnya siapa dirinya ini?
“Apa jawabmu?” Bowo mendesaknya. Baru bertemu kemarin dan Bowo sudah mengatakan suka. Ia merasa Bowo terlalu tergesa-gesa. Ia hanya terhanyut oleh perasaan tanpa memikirkan hari esuk yang harus dilaluinya.
“Aku tak bisa menjawabnya.”
“Kamu tidak suka sama aku?”
“Kamu adalah sahabat terbaikku. Kamu laki-laki baik, dan aku tak ingin kamu terjerumus ke dalam situasi yang akan membuat kamu susah.”
“Kenapa?”
“Lihatlah diriku ini, Bowo. Dan lihat pula diri kamu. Aku kira kamu tergesa-gesa.”
Tiba-tiba gerimis menerpa wajah-wajah mereka.
“Hujan bener kan?”
“Ada warung makan di situ, mengapa takut? Ayo ke sana. Ini sudah siang dan saatnya makan," Bowo menggandeng Nijah setengah berlari memasuki warung yang tak jauh dari tempatnya duduk.
Keduanya mencari meja agak di sudut ruangan, supaya tidak terganggu oleh para tamu yang lain.
Nijah merasa takjub menyaksikan dirinya bisa masuk ke dalam sebuah rumah makan yang agak besar dari kedai kopi di mana keduanya minum saat hujan deras kemarin. Dia juga belum pernah mengalaminya. Ya Tuhan, hidupnya begitu nestapa..
“Kamu mau minum apa, makan apa?”
“Apa? Entahlah, aku tidak tahu.”
“Itu, ada daftar menu, kamu boleh memilih mana yang kamu suka.”
Nijah mengangkat bahunya. Sederet menu yang tidak dimengertinya. Nama-nama asing yang belum pernah diketahuinya. Mana yang harus dipilih? Tentu saja dia bingung.
“Kamu mau makan steak, atau nasi dengan lauk ayam goreng, nila goreng, atau_”
“Terserah kamu saja, aku tidak mengerti semuanya,” katanya malu-malu.
Bowo tersenyum mengerti.
Baiklah, karena belum makan, pilih nasi saja, lauk … apa ya, kakap asam manis, mau? Atau sup buntut, atau sup iga.”
“Terserah kamu saja, aku tidak mengerti. Kalau aku boleh memilih, disini pasti tidak ada, oseng daun pepaya, sama ikan asin?” kata Nijah sambil tertawa. Akhirnya dia tak begitu malu karena Bowo tampaknya bisa mengerti keadaannya.”
Bowo tertawa mendengar permintaan Nijah. Ia memesan nasi dan ikan goreng, serta minum jus mangga, mumpung sedang musim mangga.
Nijah menurut. Diam-diam dia bersyukur, hari ini, saat sepeser uangpun tak ada di dompetnya, Bowo mengajaknya makan. Entah untuk esok hari. Akhirnya Nijah hanya pasrah.
Hujan turun sangat lebat, keduanya asyik makan tanpa berbicara. Kalaupun berbicara, haruslah lebih keras karena kalah dengan gemuruh hujan yang mengguyur di luar sana.
***
Di sebuah rumah mewah, sore itu pak Sardono dan istrinya sedang bersantai di teras rumah, dan berbincang, Mereka kesal dengan ulah Satria, anak tunggalnya, yang menikahi gadis yang tidak mereka sukai karena suka berhura-hura. Lagi pula sudah tiga tahun mereka menikah, belum juga Satria dikaruniai anak. Ristia, menantunya tak pernah ada di rumah. Saat suaminya pergi ke kantor, dia juga berangkat menemui teman-temannya untuk bersenang-senang. Ia juga tak menghargai kedua mertuanya dan membantah setiap kali diingatkan.
“Mama, kalau Ristia pergi, itu kan pasti sudah sepengetahuan mas Satria, jadi kalau mama marah, marahlah sama mas Satria,” jawabnya setiap kali diperingatkan.
Satria juga tak peduli apa yang dilakukan istrinya. Baginya, kesenangan istrinya adalah yang nomor satu. Satria sangat mencintai istrinya, dan itulah sebabnya dia membiarkan apa saja yang dilakukan istrinya, asalkan setiap dirinya pulang kerja, Ristia sudah ada di rumah.
“Dia belum pulang juga hari ini?” tanya pak Sardono.
“Bapak seperti tidak tahu saja. Ristia itu baru pulang kalau saatnya Satria pulang. Sudah capek ibu mengingatkannya. Dia seperti tidak menghargai kita sama sekali.”
Pak Sardono menghela napas kesal.
“Mereka juga belum dikaruniai seorang anakpun. Sudah tiga tahun lebih mereka menikah.”
“Kita carikan istri baru saja untuk Satria. Istri yang bisa melahirkan anak, yang bisa memberikan cucu untuk kita,” kesal bu Sardono.
“Nah, itu aku suka.”
“Tapi Satria mana mau? Dia seperti tergila-gila sama istrinya.”
“Alasannya sudah tepat. Kita ingin cucu,” tegas pak Sardono.
“Jangan mencari gadis yang terlalu pintar. Gadis yang pintar susah diatur. Kita sudah belajar dari Ristia. Sekolah tinggi, akhirnya apa yang dilakukannya setelah menjadi istri? Menyebalkan.”
Sebuah mobil berhenti di halaman.
“Tuh, Satria sudah pulang, dan Ristia belum tampak batang hidungnya.”
Satria turun dari mobil, melangkah ke teras.
“Ristia sudah pulang Bu?” tanyanya kepada sang ibu.
“Belum pulang. Dia pergi tidak lama setelah kamu berangkat ke kantor. Katanya buru-buru, ada temannya dari luar negri yang datang,” kata ibunya dengan wajah cemberut.
Satria duduk di depan ayah ibunya, tampaknya ia akan menunggu istrinya pulang di teras itu.
“Dengar Satria, kalau bapak jadi kamu, sudah bapak ceraikan istri seperti Ristia itu.”
“Bapak kok begitu. Satria sangat mencintai Ristia, Pak.”
“Bagaimana kamu bisa jatuh cinta kepada istri yang tidak bisa diatur? Dia hanya ada di rumah saat kamu ada di rumah. Selebihnya dia kabur entah kemana.”
“Ibu akan mencarikan kamu istri yang baik. Yang bisa segera memberi kami cucu,” sambung ibunya.
Satria merasa kesal, ia berdiri lalu melangkah ke dalam rumah.
“Ibu serius Satria, bapakmu sudah setuju,” teriak bu Sardono karena Satria sudah menjauh.
***
Besok lagi ya
Yess
ReplyDelete๐ป๐ผ๐ป๐ผ๐ป๐ผ๐ป๐ผ
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 03
telah tayang.
Matur nuwun Bu Tien
Sehat2 trs nggih Bu
Salam Aduhai ๐ฆ๐น
๐ป๐ผ๐ป๐ผ๐ป๐ผ๐ป๐ผ
Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Taman Hatiku telah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bu tien bunga taman hatiku eps 3 sdh tayang, smg pak Biran tdk menyakiti Nijah anak tirinya.
ReplyDeletesmg bu tien sekeluarga sll sehat salam hangat dan aduhai bunda tien.
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteTrmksh
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien
Semoga bunda sehat selalu
Yes tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah. Terima kasih bunda Tien
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteBunga Taman Hatiku 03 sdh tayang..
Siapakah bpk dan ibu Sardono??
Ooh.. itu juragannya ayah tiri Nijah
Tp knp ya pak Biran kerja di rumahan tp terjerumus judi dan suka mabuk..
Apkh blm ketahuan oleh juragannya ..
Tambah penasaran kan..
Aduhai.... tunggu bsk lg..
Terimakasih banyak bunda Tien..
Semoga bunda selalu sehat, sejahtera dan berbahagia..
Aamiin.. ๐๐๐น❤️
Makasih Bu Tien , cerbungnya sdh tayang ๐ฅฐ
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteBTH 03 sudah tayang
Matunuwun bu Tien..
Salam sehat selalu...
Trima kasih Ibu Tien.
ReplyDeleteCinta itu indah, Apa lagi di masa muda.
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete๐๐
Alhamdullilah BTH SDH hadir..terima ksih bundaqu..slmt MLM dan slmt istrhat..slm Seroja dari skbmi ๐๐๐น❣️
ReplyDeleteAlhamdulillah....matur nuwun Bu Tien BTH 03 sampun tayang gasik
ReplyDeleteWaw
ReplyDeleteOrang kaya ini yang punya idรฉ membuat; sengsara lahir batin.
Ada ya ; sengsara kok lahir batin, ya nggak cuma maaf saja, maksudnya sengsara ber-tubi-tubi gitu..
Mang nggak enak punya mertua kaya?
Lha nggo ndog ndogan jew. padakรฉ รฅpรฅ waรฉ. Bar kuwi terus digusah bojonรฉ yรฅ; caranรฉ itu lho, maksa maksa pakรฉ ancaman segala.
Bisan ya.
Nggak urusan dia nggak suka.
Pokoknya dapat bonus dari juragan di ujung desa, itu saja, terus nggo kulaan nang mbekonang.
dhahar kembul bujana, karo kanca kanca,
wes Jah lengkap sudah deritamu.
Lha kalau mertua perhatian ya nggak apa-apa tรฅ, nggak apa-apa gimana; kalau malam njedhindhil gitu terus, siapa yang nggak ngenes.
Nggak ada kehangatan, ya medang jahe aja biar hangat.
Luka batin gitu namanya ya.
Kesel aku ngasih tahu; ya iyalah. Ngocรจh.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga taman hatiku yang ke tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu ya Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Keluarga Sardono yang kaya akan mencarikan istri kedua untuk anaknya, Satria. Mungkin Nijah yang akan diambil. Terus bagaimana dengan Wibowo...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Satria sptnya akan dijodohkan dg Nijah nih.. semoga pak Biran jd sadar ga judi & mabuk"an lg..
DeleteNah loh pasti si Nijah yg akhirnya dikawinkan oleh mereka, kenal dimana ya ortunya Satria hihihi...wait n see...btw matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, salam kangen n aduhaai dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah BTH 03 sdh tayang..Siapa yg akan dipilih sbg istri tambahan dari Satria...??? Kita tunggu saja.. Salam sehat utk Bu Tien๐๐๐๐น๐
ReplyDeleteTerima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien.
Tks bu tien.Sehat2 Slalu
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...๐๐
ReplyDeleteMaaf baru buka² blog , masih umyek nyiapin buat hari sabtu besok.rasanya koq lama nunggu hari sabtu...๐๐
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu tien atas tayangan bth 03, semoga bu tien sehat2 selalu
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteHamdallah.. Terima Kasih Bu Tien, Bunga Taman Hatiku 03 telah tayang
ReplyDeleteBowo sdh menyatakan cinta nya pada Nijah, tapi Nijah
minder untuk menerima Cinta nya Bowo krn Bowo anak orang Kaya dan Nijah anak miskin yang sengsara.
Trus gimana nih jalan keluar nya..๐๐
Salam Aduhai nan Mesra dari Jakarta
Alhamdulillah, sehat selalu.. ๐น
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete