SEBUAH PESAN 28
(Tien Kumalasari)
Damian melangkah keluar dengan ragu, orang yang datang seperti bukan orang Indonesia. Rambutnya kemerahan, hidungnya sangat mancung, matanya kebiruan. Damian ingat cerita ayahnya tentang pak Steward, yang lupa-lupa ingat dikenalnya. Maklum waktu itu dia masih sangat kecil. Tapi orang ini masih tampak lebih muda.
Damian menyambutnya dengan senyuman ramah.
“Ada yang bisa dibantu?”
Tamu itu tersenyum lebar, tampak sangat senang melihat Damian. Ia membawa sebuah kopor kecil, yang kemudian diletakkannya di tanah.
“Kamu … Damian?” tanyanya dengan logat bahasa yang agak kaku.
“Bapak mengenal saya?”
Tiba-tiba laki-laki paruh baya itu mengembangkan tangannya dan memeluk Damian dengan hangat.
Damian agak bingung, tapi menyambut pelukan itu dengan hangat pula.
“Bolehkah aku duduk?”
“Tentu. Silakan … silakan.”
“Di sini saja, udaranya segar,” kata sang tamu yang memilih duduk di teras, ketika Damian mempersilakannya masuk.
“Di mana, Timan?” tanya tamu itu.
“Bapak, sudah meninggal sekitar tiga bulan lalu,” jawab Damian sendu.
“Ya Tuhan. Timan sudah meninggal?” Tamu itupun tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
“Sebenarnya Bapak ini siapa?”
“Kamu tidak nengenal aku, pasti tidak mengenal aku lagi, karena waktu aku datang kemari, kamu masih bayi. Sekarang kamu sudah menjadi laki-laki yang gagah, dan mirip sekali dengan kakek kamu. Itu sebabnya begitu melihatmu, aku langsung mengenalmu sebagai Damian, bayi kecil yang menggemaskan waktu itu.”
Damian mulai menduga-duga, barangkali yang datang menemuinya adalah kerabat ibunya.
“Namaku Alex. Panggil aku Alex saja. Dan aku ini adalah kakak dari Amelia, ibu kamu almarhumah,” terang laki-laki bernama Alex itu.
“Oh, Om Alex?”
Alex tertawa.
“Baiklah, om Alex juga tidak apa-apa. Aku sangat prihatin mendengar ayah kamu sudah meninggal, padahal aku membawa berita penting untuk dia,” kata Alex sedih.
“Yang sebenarnya, berita ini adalah untuk kamu. Kapan ayahmu meninggal? Ah, ya … tiga bulan lalu? Apa dia pernah mengatakan sesuatu kepada kamu?”
“Mengatakan … tentang apa, Om?”
Beberapa bulan yang lalu, uncle Steward mengirimkan pesan untuk ayah kamu. Dia tidak memberi tahu apapun sama kamu?”
Damian tampak mengingat-ingat, tapi rasanya tidak ada pesan apapun. Lalu Damian menceritakan saat ayahnya meninggal. Ketika dia dari bank, membuka tabungan, lalu ada jambret merebut dompetnya dan ayahnya terjatuh, yang menjadi penyebab meninggalnya.
“Kalau begitu dia sudah menerima pesan itu.”
“Pesan ….”
“Dia mendapat pesan dari pamanku, bahwa harus membuka rekening, karena kami akan mengirimkan sejumlah uang warisan ayah kami setelah beliau meninggal.”
Damian melongo. Jadi ayahnya membuka tabungan karena pesan itu? Dan dia belum sempat memberi tahu apapun pada dirinya, keburu sudah dipanggil olehNYa. Damian menjadi sedih, teringat betapa tak terduganya sampai ayahnya meninggal.
“Jadi itu sebabnya, maka dia tidak mengabari secara jelas, tentang apa yang sudah dilakukannya? Waktu itu kami menunggu, dan menunggu.”
“Saya tidak tahu sama sekali,” kata Damian pelan.
“Kamu juga tidak pernah membaca surat yang kami kirimkan?”
Damian menggeleng.
“Saya belum pernah membuka kamar almarhum bapak, sejak meninggalnya. Baru tadi saya membersihkan kamarnya, mengumpulkan baju-baju yang tidak terpakai, untuk saya berikan kepada orang yang membutuhkan.”
“Dan kamu tidak menemukan apa-apa?”
“Saya hanya membuka almari bapak, ketika memasukkan buku tabungan yang baru dibukanya, serta uang pemberian bekas majikannya. Sampai sekarang saya belum membukanya lagi. Sedianya hari ini, tapi saya belum selesai bersih-bersih.”
“Kejadian yang sangat tidak terduga.”
Alex menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut muka sedih.
“Kamu tahu, Damian, kedatangan aku kemari adalah untuk menyambung apa yang pernah kami bicarakan dengan ayah kamu. Karena uang tidak terkirim, maka aku diutus oleh keluarga Steward untuk datang kemari, untuk memberikan uang yang menjadi hak kamu. Uang warisan dari almarhum kakek kamu.”
Alex mengambil sebuah kopor kecil yang tadi dibawanya dan diletakkannya di lantai begitu saja.
Ia menyerahkan kopor itu.
“Ini untuk kamu,” katanya sambil meletakkan kopor itu di atas meja.
Damian menatap kopor itu, tak bisa menduga apa isinya.
“Bukalah, ini kuncinya,” kata Alex sambil menyerahkan kunci. Kecil.
Damian menerima kunci itu, dan membukanya dengan gemetar. Alex sudah mengatakan bahwa yang diserahkan padanya adalah uang. Uang sekopor? Damian tidak pernah membayangkannya.
Koper itu terbuka, dan Damian melihat setumpuk uang di dalamnya.
“Aku sudah menukarkannya dengan rupiah,” kata Alex lagi.
“Banyak sekali Om?”
“Itu bagian untuk ibu kamu, pastinya menjadi hak kamu. Karena kami lima bersaudara, jadi ibumu mendapatkan seperlima dari warisan itu. Hanya dua milyar rupiah.”
Damian terbelalak. Dua milyar?
“Ayah kami bukan orang kaya. Hanya itu yang bisa kami berikan,” kata Alex lagi.
“Ini sangat banyak.”
“Kamu sekolah?”
Damian menggeleng.
“Kamu ingin sekolah?”
Damian hanya mengangguk, mulutnya terasa kelu, tak mampu berkata-kata. Ingatannya segera melayang ke arah ketika sang ayah masih hidup. Hidup kekurangan, menyekolahkan dirinya juga tak mampu, bekerja keras hanya untuk dirinya. Alangkah bahagianya seandainya ayahnya bisa melihat anaknya mendapat uang, lalu bisa melanjutkan kuliah. Tak terasa air mata Damian menetes.
“Bapak tak sempat melihat uang ini, dan membuat saya bisa melanjutkan sekolah,” ujarnya lirih, sambil mengusap air matanya.
Alex pun ikut terbawa kesedihan keponakannya, ikut meneteskan air mata.
“Damian, kamu bisa menyimpan uang ini di bank, tidak akan menimbulkan masalah memasukkan uang sebanyak ini, karena aku membawa dokumen asal usul uang ini dengan lengkap. Kalau mau sekarang saja, bagaimana. Sekalian kita makan siang, karena aku belum makan. Tadi pagi aku datang, masuk ke hotel, lalu mencari alamat kamu.”
“Maaf Om, saya belum menyuguhkan apa-apa karema sibuk berbicara dengan Om.”
“Tidak apa-apa, kamu bisa menunjukkan rumah makan dengan nasi goreng paling enak? Aku kangen makan nasi goreng, sudah puluhan tahun aku tidak kemari, bayangkan … sejak kamu masih bayi.”
Alex tertawa kecil, walau matanya masih tampak basah.
“Kamu bersiaplah, kita ke bank dulu, bawa yang biasanya diperlukan di bank, kemudian kita makan nasi goreng. Okey?”
“Baik Om, saya ganti pakaian dulu,” kata Damian sambil berdiri.
Ia melangkah ke belakang, dengan beribu perasaan mengaduk-aduk hatinya. Tiba-tiba menjadi milyarder? Tak permah sekalipun Damian memimpikannya. Tapi ini nyata, sangat nyata. Lalu Damian kembali mengusap air matanya, teringat kembali akan ayahnya.
“Bapak, Damian akan kuliah. Damian akan membuat Bapak bangga, karena Damian berhasil mencapai apa yang Damian cita-citakan, inshaaAllah.”
***
Raya sudah pulang ke rumah, tapi tetap saja ia lebih suka bersembunyi di dalam kamar. Ada keinginannya untuk segera menemui Damian, tapi diurungkannya. Ia khawatir Damian akan mengomelinya, karena baru pulang dari rumah sakit sudah keluyuran ke mana-mana. Karenanya ia akan beristirahat dulu untuk beberapa hari. Ia masih tampak tidak bersemangat. Ia tahu ibunya mati-matian menolak Damian, terbukti ia masih saja mencela dan menganggapnya tidak pantas.
Siang hari itu Raya menerima telpon dari kakaknya, yang sudah berhari-hari menelpon tidak pernah diangkat.
“Heiii, ada apa denganmu?” kata Kamila begitu Raya mengangkat telponnya.
“Aku baru pulang dari rumah sakit, tempat yang sangat aku benci,” keluh Raya.
Kamila tertawa.
“Tak ada yang suka pada rumah sakit, apalagi sampai menginap di sana. Itu sebabnya orang tidak ingin sakit.”
“Iya, benar. Apa kabar Mbak?”
“Aku baik-baik saja, walaupun beberapa hari yang lalu mengalami hal yang membuatku terguncang. Aku ingin berbagi sama kamu, tapi tidak pernah nyambung. Ibu hanya bilang bahwa kamu sakit.”
“Memangnya ada apa?”
“Ceritanya besok saja, sudah lewat jadi nggak seru. Kalau ketemu nanti baru aku cerita. Sekarang lebih baik kamu ceritakan keadaan kamu. Sakit apa sih, sakit cinta ya? Hayo ngaku.”
“Aku sedih MBak.”
“Aku tahu, kamu sedih, bingung. Ya kan? Lalu apa yang akan kamu lakukan? Pilihlah jalan terbaik, yang bisa menenangkan semuanya.”
“Aku tidak bisa meninggalkan Damian.”
“Raya, kamu harus tahu baik dan buruknya langkahmu itu.”
“Aku mencintai dia, aku hanya cinta sama dia. Kalau aku harus putus sama dia, aku tak akan mau menikah sama siapapun juga.”
“Raya, kamu sudah memperhitungkan bagaimana kehidupan kamu di samping Damian, nantinya? Ingat, kamu terbiasa hidup nyaman, berkecukupan.”
“Aku bersedia, kaya atau miskin, disamping Damian.”
“Ya Tuhan….”
“Mbak tidak suka?”
“Bukan masalah suka atau tidak, aku hanya menginginkan kamu bahagia.”
“Kalau begitu doakan agar aku bahagia.”
“Tentu saja. Aku dan mas Abi juga berdoa, agar semuanya baik-baik saja. Yang terpenting adalah, bapak sama ibu bisa menerima keputusan kamu.”
Raya termenung setelah selesai berbincang dengan kakaknya. Itu benar, Raya sudah bertekat hidup yang bagaimanapun bentuknya, bersama Damian, laki-laki yang amat dicintainya.
***
Damian sedang menemani makan siang laki-laki gagah yang masih terhitung pamannya ini. Ia sudah menyelesaikan urusan di bank yang menurut pamannya, sebagian besar lebih baik di depositokan saja, dan menyisakan beberapa hanya untuk urusan kuliahnya.
“Kamu juga bisa membangun rumah kamu itu, supaya lebih pantas dilihat.”
“Saya tidak ingin merubah apapun tentang rumah itu, karena saya ingin menghargai bapak saya almarhum, yang bersusah payah membangun rumah sederhana itu.”
“Paling tidak dibetulkan yang sudah aus, mengecat tembok dan pagar yang sudah buram, begitu kan?”
“Ya, paling hanya itu. Saya tidak ingin menghamburkan uang saya untuk hal yang tidak perlu.”
“Itu bagus, kamu tipe orang yang sangat sederhana, aku suka itu. Nanti kalau kamu sudah mapan, kamu bisa mempergunakan uang kamu untuk membuka sebuah usaha. Ya kan?”
“Iya, Om, tapi yang penting adalah sekolah dulu. Dengan begitu saya bisa mewujudkan apa yang dulu menjadikan keinginan almarhum bapak.”
“Baiklah, apapun yang kamu inginkan, aku akan mendoakan kamu, agar menjadi orang yang benar-benar orang. Bisa mandiri dan aku percaya bapak serta ibu kamu pasti akan bangga.”
“Benar Om.”
“Aku tidak bisa lama di sini, karena masih banyak urusan yang harus aku selesaikan. Besok, antarkan aku ke makam ayah dan ibu kamu, dan besoknya lagi aku sudah harus kembali.”
“Baiklah, saya akan minta ijin untuk tidak masuk kerja, selama Om masih ada di sini. Barangkali Om ingin jalan-jalan.”
“Aku tidak suka jalan-jalan, aku hanya ingin menjelajahi makanan di sini, karena sangat membuat lidah aku menari-nari.”
Damian tertawa. Ia bersyukur, keluarga almarhumah ibunya semuanya sangat rendah hati dan tidak membeda-bedakan status seseorang, buktinya dulu, walaupun ayahnya hanya seorang tukang kebun, tapi majikannya mengijinkan keponakannya menikahinya.
***
Agus tersenyum ketika Damian menelpon agar sdia diijinkan agar tidak mauk kerja selama dua hari.
“Pacaran ya? Atau … lamaran?”
Damian tertawa. Tiba-tiba ingatan tentang Raya melintas. Kalau dia adalah mahasiswa nanti, atau kalau dia bisa memberinya kehidupan yang layak, apakah dia masih akan ragu-ragu menyatakan cintanya, bahkan melamarnya?
“Heiii, kok diam? Kamu masih di situ Dam?”
“Iya, iya … aku masih ada. Kamu menuduhku yang bukan-bukan saja. Aku sedang menemani paman aku yang baru datang siang ini. Hanya dua hari aku minta ijin.”
“Baiklah, tidak masalah. Aku bisa meminta yang lain untuk membantu aku.”
Damian merasa lega. Ia sudah pulang ke rumah setelah mengantarkan Alex kembali ke hotel.
Ia belum menyelesaikan acara bersih-bersih kamar ayahnya. Bahkan pakaian sang ayah yang ditumpuk di lantai masih belum dibenahi.
Ia melanjutkan pekerjaannya, lalu menemukan surat tercatat yang datang dari pak Steward beberapa bulan lalu.
Damian kembali menitikkan air mata. Ayahnya ingin memberi kejutan setelah membuka rekening seperti permintaan tuan Steward, tapi belum kesampaian, Allah telah memanggilnya.
Ia membenahi lagi almarinya, lalu membersihkan kamarnya sampai bersih, karena sesungguhnya ayahnya sangat menyukai kebersihan.
***
Pak Rahman pulang agak sore hari itu, langsung memasuki kamar anak bungsunya.
“Apa kabar, bidadari bapak, sore ini?” katanya sambil mencium ubun-ubun Raya yang sedang duduk di sofa sendirian.
“Raya sudah sehat. Bolehkah besok Raya jalan-jalan?”
“Besok bapak temani kamu jalan-jalan. Mau jalan ke mana?”
“Mau ketemu Damian,” kata Raya terus terang. Ia merasa sudah kepalang tanggung, dan tak mau berhenti. Jadi ia lebih baik berterus terang.
Pak Rahman duduk di samping Raya.
“Kamu serius?”
“Bapak sudah tahu apa yang Raya inginkan.”
“Kamu benar-benar menginginkannya? Sudah berpikir jauh ke depan?”
Raya mengangguk.
“Bagaimana kalau bapak sama ibu tidak mengijinkan?”
“Raya tidak akan menikah selamanya. Mungkin Raya akan mati muda.”
“Raya. Kamu tidak boleh berkata begitu. Mati atau hidup itu bukan kamu yang bisa menentukannya.”
“Siapa tahu ….” Raya nekat.
“Baiklah, berikan alamat bengkelnya, besok bapak akan menemuinya.”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah EsPe_28 sdh tayang.
DeleteTerima kasih bu Tien, sugeng mirsani wayang wong SRIWEDARI.....
Cik kobere ngdit karo mirsani wayang orang...
Salam ADUHAI....
Juara 1 Pak Latief
DeleteTerima kasih , bu Tien cantiik.... semogabterus sehat dan semangat....
DeleteMbak Nani, numpang di sini , yaa
Matur nuwun Mbak Tien sayang . Salam sehat Aduhai selalu
DeleteSelamat sore Bunda Tien...
DeleteMatur nuwun..
Semoga Bunda Tien sehat selalu Aamiin..
Haduuhhh jauh di bawah..
Ga papa deh...
Salam ADUHAI...
Dari Kalimantan....
๐๐๐๐❤
Alhamdulillah...maturnuwun Bunda
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteSugeng daluuu....mbak Tien
ReplyDeleteMatur Nuwun sampun tayang
Durung di baca, bu Tien lagi nonton wayang orang Sriwedari..... M
DeleteSalam sehat ibu... matur nuwun nggih.
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien
ReplyDelete๐๐
Matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien SP 29
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Alhamdulillah tayang sugeng ndalu bu Tien
ReplyDelete๐ผ๐๐ผ๐๐ผ๐๐ผ๐
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 28
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
๐ฆ Salam Aduhai ๐ฆ
๐ผ๐๐ผ๐๐ผ๐๐ผ๐
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMakasih bu Tien
Salam sehat selalu
Alhamdulilah sdh tayang
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Alhamdulillah SEBUAH PESAN~28 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..๐คฒ
ReplyDeleteMaturnuwun Ibu Tien...Sehat selalu buat Ibu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah ... terima kasih bu tien .... sp 29 sdh tayang ..masa depan yg cerah menanti damian ...salam hangat dan aduhai untuk ibu tien dari pondok gede
ReplyDeleteAlhamdulillah dah tayang dah d baca moga damian bahagia dgn ponakannya lanjut kuliah dan berhasil makasih bunda salam sehat salu
ReplyDeleteSelamat ya Damian, walau 'hanya' dua M cukup untuk kuliah. Ambil jurusan yang ada hubungan dengan mesin/ mobil kali.
ReplyDeleteBagaimana ni non Raya sudah ngebet ingin ketemu pujaan hatinya. Apa segera dinikahkan saja..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteLuar biasa Bu Tien sampai memikirkan dokumen yg di bank disebut KYC ( know your customer ) untuk transaksi jumlah besar.
Pak Rahman mau menemui Damian ada 2 kemungkinan merestui atau meminta Damian menjauhi Raya....
Salam sehat selalu Bu Tien.
Terima kasih, bu Tien...akhirnya Damian punya saudara, ternyata bukan Mr. Steward...kalau dibikin kuis, pada kecele nih...kok tiba2 yg muncul Om Alex? Wkwk...btw, itu nomornya membingungkan, bu...Episode 28, bukan 29 kan? Salam sehat.๐๐๐๐
ReplyDeleteIya, nuwun.
DeleteSekarang nggak bingung lagi kan?
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien cantik...
Salaam sehat selalu ๐น๐น๐น
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SP-28 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ๐คฒ๐ฝ๐๐ป๐น
ReplyDeleteLuar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdulillah Sebuah Pesan Eps. 28 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat.
Trm ksh bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐น๐น๐น๐น๐น
Trimakasih bu Tien ....salam sehat selalu
ReplyDeleteDamian kuliah setelah lulus baru mendekati Raya masih lama ya? Matur nuwun Bu Tien ditunggu eps berikutnya
ReplyDeletePak Dhe Alex tho,
ReplyDeleteDadi elik ing pocapan yรฅ.
Halah wong biasanรฉ mung crigiz njaluk apik, jeglongakรฉ sisan.
Paman datang bawa uang, uang warisan buat Damian.
Lumayan deposito, sisain buat keperluan sekolah dan kebutuhan harian.
Sudah biasa hidup sederhana mematut aja, nggak ada yang perlu dipamerin.
Juragan Rahman bingung di bengkel nggak ada Damian katanya ijin dua hari, ada pamannya yang datang katanya, lho apa Timan punya saudara, sambutan Damian; sampai ijin dua hari Damian menemani pamannya, alih-alih mau menyenangkan putri bungsu malah nggak kesampaian; apa harus kerumah Timan.
Biarlah suruh bersabar dulu.
Raya masih nggak berani keluar, takut kalau ibunya menjelek jelekan kekasihnya.
Terpaksa mejalani isoman dulu.
Juragan besar Rahman yang merepotkan diri demi putri tercinta.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke dua puluh delapan sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
๐
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat, aamiin....
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu aduhai
Alhamdulillah, Salam hangat dan sehat selalu mbakyu..
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat ๐ค๐ฅฐ
Senangnya Damian punya keluarga
Alhamdulillah, dalam perjalanan yang macet karena di depan nun nauh di sana ada truk yg macet, ditemani rintik hujan kunikmati pesan ke 28 yang ku tunggu selalu. Salam sehat Mbak Tien, dan terimakasih.
ReplyDelete