Saturday, June 24, 2023

SEBUAH PESAN 27

 SEBUAH PESAN  27

(Tien Kumalasari)

 

Tanpa dikomando, keduanya berteriak histeris, karena berita yang sama-sama tidak diduganya, Yang satu mengira yang lain, yang lain mengira yang satu, dan ternyata tidak dua-duanya,

“Ya ampun Mila, syukurlah, ini berita bagus untuk kita. Tadinya aku sedih, karena mengira bayi itu anak tiri kamu,” kata Rosa sambil tertawa.

“Tadinya aku mengira anak tiri kamu,” lalu keduanya terkekeh seru.

Sementara itu Abi yang sedang asyik makan sudah nambah dua kali, tapi Kamila belum beranjak dari kursi tempatnya menerima telpon.

Lalu Abi berdehem agak keras, barulah Kamila sadar kalau sedang melayani suaminya.

“Rosa, besok aku ke rumah kamu saja, kita akan merayakannya berdua. Ini aku sedang melayani mas Abi makan.”

“Oh, ya ampun, kasihan mas Abi. Baiklah, dilanjut besok ya.”

Dan telpon penuh kegembiraan itu pun berakhir. Kamila menutup ponselnya, lalu kembali ke kursi makan, di samping suaminya.

“Kok sayurnya tinggal sedikit?” kata Kamila.

“Kalau kamu masih ngomong di telpon tadi, sudah aku habiskan. Aku sudah menambah dua kali sambil menunggu kamu,” kata Abi sambil meneruskan makan.

Kamila tertawa. Ia mengambil mangkuk sayur asem yang tinggal sedikit, dibawanya ke belakang untuk ditambah lagi.

Abi tersenyum ketika Kamila kembali duduk.

“Sekarang makanlah, aku hampir habis nih,” kata Abi.

“Maaf ya Mas, itu tadi Rosa, karena hasil tes DNA itu tidak mengarah ke mas Rama, lalu mengira itu anak Mas. Dia sudah mengucapkan kata-kata prihatin dengan sangat memelas. Tapi karena hasilnya di kita sama, jadinya malah lucu. Kami bercandaan lama.”

“Nggak apa-apa kok. Aku justru minta maaf ke kamu, karena ulahku, hampir saja kamu benar-benar punya madu.”

“Sekarang kan masih madu aku,” kata Kamila cemberut.

“Tadi aku sekalian mengurus perceraian aku sama dia.”

“Oh ya?”

“Aku ingin semuanya segera selesai. Agar kita bisa hidup tenang. Sekali lagi aku minta maaf ya.”

“Ya sudah. Lupakan saja semuanya. Aku bersyukur semuanya sudah berakhir.”

“Aku berjanji tidak akan mengulanginya. Yakinlah, karena aku sudah punya kamu, yang sangat aku cintai,” kata Abi yang sudah selesai makan, kemudian merangkul bahu istrinya.

“Terima kasih Mas. Tapi sebenarnya aku juga masih merasa prihatin nih, sampai belum sempat cerita ke Mas.”

“Ada apa lagi?”

“Raya sakit.”

“Sakit? Sakit apa?”

“Nggak tahu, tampaknya malam tadi masuk ke rumah sakit.”

“Sampai masuk ke rumah sakit? Sakit apa sih?”

“Dia tidak mau makan, entahlah. Dokter bilang tidak ada yang menghawatirkan. Tapi badannya lemas.”

“Tentu saja lemas. Tidak mau makan sih.”

“Tampaknya Raya sedang tertekan. Hubungannya dengan Damian sudah diketahui oleh bapak sama ibu.”

“Lalu kena marah?”

“Pastinya.”

”Susah kalau orang sakit cinta.”

“Nah, aku juga mau bilang kalau Raya tuh sakit cinta. Menurut Mas bagaimana?”

“Raya harus mengerti dong, apa akibat dari hubungan itu. Kalau aku sih, silakan saja, kalau memang Raya bisa menjalani. Memangnya Damian sekarang bekerja apa?”

“Katanya bekerja di bengkel sih. Tapi di mana aku nggak tahu.”

“Orang tua itu yang dipikirkan pasti kehidupan anaknya di kemudian hari. Bisa tidak Damian membahagiakan Raya? Bisa tidak mencukupi semua kebutuhannya? Ya kan?”

“Yang namanya cinta itu kebanyakan buta. Tidak peduli apapun, bahkan kehidupan di masa depannya nanti. Tapi Damian tuh memang anaknya baik, santun. Hanya saja karena orang tuanya tidak punya, jadi tidak bisa melanjutkan kuliah. Di SMA dia berhenti, lalu menjadi tukang kebun di keluarga kami, menggantikan ayahnya yang sudah tua. Tapi sudah dua bulan ini dia keluar, dan kabarnya bekerja di bengkel.”

“Supaya bisa bebas ketemu Raya?”

“Menurut Raya, sebenarnya dia tuh menghindari Raya. Dia takut berhubungan dengan anak majikannya dong.”

“Tapi Raya nekat?”

“Tampaknya begitu. Nggak tahu aku, bagaimana nanti kelanjutannya.”

“Kita doakan saya yang terbaik untuk Raya. Semoga segera sembuh, dan mendapatkan apa yang diinginkannya, tanpa adanya pertikaian dengan bapak sama ibu, pastinya.”

“Aamiin. Aku juga berharap begitu. Besok aku coba menelpon dia lagi. Beberapa hari ini tidak pernah nyambung.

***

Hari itu bik Sarti gantian menunggui Raya di rumah sakit, karena bu Rahman sudah sejak semalam ada di sana. Raya masih belum mau makan banyak. Seperti di rumah, ia hanya mau sesendok dua sendok.

“Non, kenapa sih, susah sekali disuruh makan? Non pengin sembuh nggak sih?”

“Aku mau pulang saja.”

“Lha kalau masih sakit, mana boleh pulang?”

“Aku nggak sakit, aku pengin pulang.”

“Non, kalau sehat itu pasti makannya harus banyak, seperti orang-orang lain itu lho Non. Lihatlah, Non sampai kurus begitu,”

“Aku kan memang langsing, Bik.”

“Ini bukan langsing Non, ini kurus. Nanti kalau keterusan, cantiknya hilang lhoh.”

“Bik, mana ponsel aku.”

“Lhoh, mana bibik tahu, pasti tertinggal di kamar.”

“Kalau tahu Bibik mau ke sini, aku pasti minta bibik untuk membawakan.”

“Tadi bibik juga nggak tahu kalau di suruh nemenin Non di rumah sakit, tampaknya nyonya kecapekan.”

“Bibik bawa ponsel nggak?”

“Ya bawa Non, tapi ponsel bibik ini kan bisanya hanya untuk menelpon dan menerima telpon. Sekali-sekali kalau anak bibik kangen sama biyungnya.”

“Biyung itu apa?”

“Biyung itu ibu. Orang kampung kalau manggil ibunya, bisa simbok, bisa biyung. Beda dengan orang kota. Ibu, mamah, mami, umi.”

“O, biyung itu ibu? Boleh lihat ponsel bibik nggak?”

“Lha ini Non, lihat, kecil, jelek banget kan? Tidak bisa buat ngirim-ngirim gambar atau motret-motret seperti punya Non.”

“Nggak apa-apa. Aku mau menelpon Damian.”

“Non itu, mbok ya jangan cari perkara. Nanti kalau nyonya tahu, bisa rame lagi. Bibik ikutan kena semprot kemarin dulu itu.”

“Kan ibu ada di rumah?”

“Mengapa sih, Non suka sekali sama Damian? Dia itu orang miskin. Memang sih dia baik, tapi dia itu hanya bekas tukang kebun. Tidak aneh kalau nyonya marah sampai berteriak-teriak begitu. Milih suami itu yang seperti non Mila itu lho Non, sudah ganteng, kaya. Nggak ada cacat celanya.”

“Damian juga ganteng kan Bik?”

“Ganteng tapi duitnya sedikit.”

“Tidak apa-apa. Yang penting aku cinta sama dia.”

“Hm, Non ini kalau dikasih tahu ….”

“Diam dulu, aku mau menelpon. Ini jam berapa?”

“Jam dua belas lebih sedikit.”

“Ini saatnya dia istirahat. Diam dulu ya.”

“Non.”

“Nanti aku gantiin pulsanya. Eh ini ada nggak, jangan-jangan nggak ada pulsanya.”

“Ada Non, kemarin sore setelah telponan sama anak bibik, lalu bibik isi dua puluh lima ribu.”

“Nanti aku ganti seratus deh.”

“Non.”

“Ssssttt,” kata Raya sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir. Ia sudah menelpon nomor kontak Damian.

“Non Raya?” hanya sedetik, Damian sudah menyahut panggilan telpon itu. Berhari-hari dia menahan kerinduannya pada non cantik yang menggemaskan ini, karenanya begitu ponselnya berdering, ia langsung mengangkatnya. Bahkan ia tak melihat nomor siapa yang menelpon, pikirnya adalah Raya saja. Untunglah benar.

“Damian ….”

“Non, ini nomor siapa?”

“Ini nomor kontaknya bibik.”

“Ponsel Non di mana?”

“Tertinggal di kamar, Dam.”

“Ini Non ada di mana?”

“Aku sakit Dam, di rumah sakit,” katanya sambil merengek manja, membuat bibik tersenyum-senyum. Sebenarnya dia bukannya membenci Damian, hanya takut terjadi keributan.

“Non sakit?” dari seberang sana Damian berteriak. Berhari-hari dia merindukannya, ternyata sang bidadari sakit?

“Iya Dam, sebenarnya aku nggak mau dibawa ke rumah sakit, tapi dipaksa, sekarang aku ingin pulang, lalu ketemu kamu.”

“Non, kalau Non masih sakit, jangan pergi ke mana-mana dulu. Nanti nggak sembuh-sembuh.”

“Tapi aku kangen sama kamu.”

“Non, pokoknya Non harus sembuh dulu, jangan memikirkan apapun.”

“Aku akan cerita banyak sama kamu, Dam.”

“Iya, masih banyak waktu untuk bercerita kan? Sekarang saya sudah lega, sudah tahu keadaan Non.”

“Memangnya kamu memikirkan aku?”

“Biasanya Non kan sering ke bengkel, beberapa hari tidak kelihatan, tentu saja saya memikirkannya.”

“Apa kamu kangen?”

“Non sukanya memancing-mancing, deh, diam-diam Damian tersipu, karena sesungguhnya dia memang merindukannya.

“Tapi aku senang sudah mendengar suara kamu. Aku ingin bicara banyak, sungkan ada bibik,” canda Raya yang wajahnya menjadi cerah.

Di seberang sana, Damian pun tertawa.

“Baiklah Non, Non istirahat saja dulu, dan cepat sembuh ya.”

“Aku sudah sembuh, dan sebenarnya aku tidak sakit, hanya perlu istirahat.”

Damian merasa lega.

Raya menutup ponselnya, lalu mengembalikannya kepada bik Sarti.

“Sudah merasa lega, Non?”

“Sebenarnya biasanya aku tak bisa banyak bicara. Setelah ada bibik, baru aku bicara agak banyak.”

“Memangnya kenapa, Non?”

“Nggak suka saja. Ibu selalu merendahkan Damian. Padahal dia tak salah apa-apa. Damian hanya miskin. Selebihnya dia adalah laki-laki yang baik.”

“Iya, bibik tahu.”

“Aku hanya mau memiliki suami dia,” gumam Raya pelan, tapi membuat bibik berdebar-debar. Rupanya huru hara belum akan berakhir.

***

Agus tertawa ketika tiba-tiba Damian menyusulnya ke warung. Tadi sudah diajak, tapi beberapa hari ini Damian tampak murung, dan hanya mau makan kalau dia membawakan nasi bungkus. Itu sebabnya Agus heran ketika Damian menyusulnya ke warung,

“Katanya nggak lapar?” tanya Agus ketika Damian duduk di sampingnya, dan memesan nasi rames serta segelas es jeruk.

“Tiba-tiba aku lapar.”

“Dan wajah kamu tidak lagi tampak murung.”

“Masa? Bisa saja kamu, nih.”

“Iya. Memang wajah kamu tampak berbeda. Sudah bertemu anak bungsu majikan?” goda Agus.

Damian tertawa. Ia menghirup es jeruk yang lebih dulu dihidangkan, tampak sangat nikmat.

“Pasti ada sesuatu nih, dia datang?”

“Tidak, hanya telpon.” kata Damian yang akhirnya harus berterus terang, daripada digoda terus-terusan.

”Dia pergi kemana, sampai lama nggak datang kemari?”

“Dia sakit.”

“Kasihan, sakit apa?”

“Katanya tidak sakit, hanya perlu istirahat.”

“Syukurlah.”
Agus tersenyum, melihat Damian makan sangat lahap. Cinta bisa membuat apapun berubah begitu cepat. Tapi dia senang, Damian sudah ceria kembali.

***

Hari itu Raya memaksa minta pulang, karena sesungguhnya dia tidak suka diperiksa dokter, apalagi harus berada di rumah sakit.

Karena tampaknya Raya baik-baik saja, pak Rahman membiarkannya. Hanya saja saat di rumah, Raya tidak seperti hari-hari sebelumnya. Wajahnya tetap saja murung, dan makanpun walaupun akhirnya mau, harus dipaksa, terlebih oleh bik Sarti.

“Sarti, sudah lama kah Raya berhubungan dengan Damian?” tiba-tiba bu Rahman masuk ke dapur dan duduk menunggui bik Sarti yang sedang mengupas wortel.

Bik Sarti sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Sesungguhnya dia tak tahu kapan persisnya Raya dekat dengan Damian. Ia hanya tahu, akhir-akhir ini mereka terlihat sangat akrab.

“Hei, aku bicara sama kamu, Sarti,” kata bu Rahman dengan nada kesal.

“Eh, iya Nyonya, saya sedang berpikir. Rasanya saya tidak tahu apa-apa, Nyonya.”

“Kamu jangan bohong. Raya selalu berterus terang sama kamu, bukan?”

“Tidak selalu Nyonya, dan saya tidak tahu kapan persisnya,” bik Sarti menjawab dengan bingung. Takut untuk berterus terang bahwa dia mengetahui hubungan itu,

“Kamu pasti bohong.”

“Saya tidak bohong, Nyonya.”

“Buktinya, aku dulu mendengar Raya bicara tentang Damian bersama kamu. Dia pasti selalu membicarakannya sama kamu, kan?”

“Tidak, Nyonya. Non Raya hanya bicara, bahwa Damian itu baik. Dan … non Raya kecewa, Damian keluar dari pekerjaannya.”

“Dia itu keluar supaya bisa bebas bertemu dengan Raya. Kalau di sini kan tidak bisa sebebas ketika di luar?”

Bik Sarti sebenarnya tahu, Damian keluar bukan karena alasan seperti yang dikatakan sang nyonya, tapi justru menghindari Raya. Tapi bik Sarti diam saja. Kalau dia menjawab, nanti pembicaraan tentang hal itu akan bertambah panjang.

“Bagaimana menurut kamu?”

“Saya tidak mengerti, Nyonya.”

“Hmh, kamu itu memang bodoh, Sarti. Dari tadi tidak tahu … tidak tahu ,,,” kata bu Rahman sambil bangkit dan keluar dari dapur.

Bik Sarti merasa lega.

***

Hari itu Damian libur. Tidak selalu hari Minggu dia mendapat libur, karena bengkel itu tetap buka di tanggal merah.

Ia belum pernah membersihkan kamar ayahnya sejak meninggal, karena setiap kali masuk, masih ada rasa mengiris yang dirasakannya. Tapi hari itu Damian merasa sudah lebih kuat. Ia harus membenahi semuanya, membersihkan tempat tidurnya, dan menyisihkan pakaian-pakaian ayahnya. Kalau ada yang masih pantas dipakai, ia bisa memberikannya kepada orang yang membutuhkan.

Ia sudah selesai menumpuk pakaian-pakaian itu, ketika tiba-tiba  didengarnya ketukan di pintu. Damian berdiri, dan melihat seseorang tinggi besar berdiri di depan rumah. Ia tidak mengenalnya.

***

Besok lagi ya

 

42 comments:

  1. Replies
    1. Selamat malam...
      Terima kasih Bunda Tien
      Semoga Bunda sehat selalu
      Aamiin.....

      Salam aduhai dari Sulawesi...

      Jales Viva Jaya Mahe

      💜💙💚💛❤

      Delete
  2. Alhamdulillah Damian sdh ditelepon sama Raya
    Matur nuwun bude EsPe_27 sdh tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat Budhe Yanik nomor siji..... mesti ngagem celana panjang. Yen ngagem nyamping pasti kesrimpet......

      Delete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah...
    Matur nuwun Bu Tien...
    Mugiya ibu tansah pinaringan sehat wal afiat...
    Aamiin Yaa Mujibassailiin...

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~27 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..🤲

    ReplyDelete
  6. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  7. Se umur umur baru kali ini nomer nomer satu
    Aku nganggo clana panjang sandal jepit tak taleni peniti dadi dhisik aku playune karo mas kakek Habi

    ReplyDelete
  8. 🌻🍀🌻🍀🌻🍀🌻🍀
    Alhamdulillah eSPe 27
    sudah tayang...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    🦋 Salam Aduhai 🦋
    🌻🍀🌻🍀🌻🍀🌻🍀

    ReplyDelete
  9. Terimakasih bunda Tien.... Selalu menegangkan karya karya bunda...

    Semoga selalu sehat dalam lindungan dan karunia Alloh SWT Aamiin YRA 🤲

    ReplyDelete
  10. Wah, nampaknya Damian segera akan menemukan 'warisan' bapaknya nih...ikut deg-degan dengan reaksinya...👍👍👏👏👏 Matur nuwun, ibu Tien yg baik. Sehat selalu.🙏😘😘😀

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah sp 27 sdh tayang, terima kasih bu tien.... damian sdh menunjukkan tanda tanfa bakalan sukses .. sabar ya raya ..salam hangat dan aduhai utk bu tien dari pondok gede

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah...maturnuwun Bunda

    ReplyDelete
  14. Matur suwun ibu Tien , salam tahes ulales Dan tetap Aduhaiii 🙏

    ReplyDelete
  15. Siapakah gerangan tamu nya??? Mungkinkah keluarga ibunya yang mau takziah karena bapak nya meninggal? Tunggu kelanjutannya Senin... Terimakasih bunda Tien..

    ReplyDelete
  16. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  17. Nha...Tuan Londonya datang, memberi warisan. Masa depan Damian bakal cerah. Bisa kuliah, bisa punya modal untuk usaha. Bisa bekerja kantoran...

    ReplyDelete
  18. Alhamdulilah
    Terimakasih bunda Tien SP

    ReplyDelete
  19. Terima kasih Bunda Tien...
    Sehat selalu ...
    Bahagia bersama keluarga tercinta ❤️
    Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇

    ReplyDelete
  20. Alhamdulilah sudah tayang
    Terimakasih bunda Tien SP

    ReplyDelete
  21. Masalah Mila sudah selesai sementara, tinggal menunggu Raya.
    Tampaknya pemberi dana
    sudah muncul. Semangat Damian, bisa kuliah hingga setinggi tingginya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  22. Keluarga Damian ya yg datang.
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah SP-27 sdh hadir
    Siapakah yg datang ke rumah Damian? apakah keluarga Ibunya yg dari Amerika?
    semskin seru dan penasaran cerita lsnjutannys.
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu.
    Aamiiñnv

    ReplyDelete
  24. Matur nuwun bunda Tien..🙏🙏

    ReplyDelete
  25. Kedatangan orang tinggi besar berdiri didepan pintu.
    Memperkenalkan diri katanya Mbah ciliknya Damian, setelah mengira kira seumuran segitu kalau bener cucunya Damian.
    Lho kok kaget kuwi mbahmu cilik lé.
    Amelia ibumu kuwi ponakanku.
    Bar ngirimi uang warisan haknya ibumu, mau konfirmasi kok nggak nyambung nyambung, katanya tukang penjaga telpon tidak aktip jadi kesini, memastikan apakah sudah sampai kiriman ku.
    Wuah Damian senang walau masih ragu, dan bener di hape pak Timan ada miscall berderet-deret, lagian tadi waktu ngeberesin lemari bapak nya ada beberapa surat yang belum diketahui, buat apa bapak ke bank buka rekening, terjawab sudah.
    Apakah Damian juga berkeluh kesah tentang dia kejatuhan hati sang putri bungsu juragan; Damian merasa tidak pantas.
    Kalau Damian menceritakan kenekatan putri bungsu sampai dirawat di rumah sakit?
    Andai kan itu yang terjadi pasti Mbah Kakek Setuwed tentu membantu dan merasa jadi pengganti orang tuwa Damian, yang ternyata sangat perhatian pada masalah Damian; walah dadi cepet rampung ini cerita.
    Bengong tuh makdernya Raya ternyata Damian keturunan bule Ameriko, tindak ameriki niliki putu Damian, yang ternyata sudah sebatang kara.
    Kårå yèn digawé témpé yå marahi mendem, anggêr masaké nggak piawai.
    Tuh di Jogja ada témpé benguk nyatané yå pådå nggak tèlèr, biasa aja.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang kedua puluh tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun Bu Tien, salam aduhai....

    ReplyDelete
  27. Terima kasih bu Tien. Wah tuan Steward datang berarti Damian dapat warisan bisa kuliah bisa punya banyak uang gak kerja di bengkel lagi ..siapa tahu bisa punya usaha optik jadi saingan mb Nani Siba ...😀. Salam sehat selalu bu
    aduhai......

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 selalu n senantiasa dlm bimbingan n lindungan Allah SWT .... Aamiin yra

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah terimakasih bu Tien. Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat

    Damian sebentar lg kamu jd org kaya
    Paman Steward dr Amerika dah dtg ...

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...