SEBUAH PESAN 26
(Tien Kumalasari)
Rama terkejut ketika tiba-tiba Juwita membalikkan tubuhnya.
“Heiii, mau ke mana?”
Perutku sakit sekali Mas, tolong biarkan aku pulang saja.”
Rama menarik lengan Juwita.
“Apa-apaan kamu? Kamu lupa bahwa ini di rumah sakit?” kata Rama sambil memberi tanda kepada Abi agar jangan dulu memperlihatkan diri. Abi pun menghilang entah kemana.
“Aku pulang saja. Pengin muntah. Aku kan lagi ngidam?”
“Ayo aku antar ke toilet, sini, belok sini dulu, masa di rumah sakit sambat sakit, malah mau pulang? Ya nanti biar dokter periksa dong,” kata Rama sambil menarik Juwita, diajaknya belok ke lorong lain.
Juwita melirik ke arah di mana tadi dia melihat Abi. Ia merasa lega karena rupanya Abi sudah pergi dan tidak melihatnya. Akhirnya dia menurut, mengikuti langkah Rama.
“Aku sudah merasa lega, ini, aku membawa minyak kayu putih,” kata Juwita sambil menunjukkan botol minyak kayu putih kepada Rama. Rama tersenyum dalam hati. Dia tahu, tadi Juwita hanya ketakutan karena melihat Abi. Ia mengajak Juwita berputar, kembali ke arah pendaftaran.
“Kamu duduk di sini dulu, aku mau mendaftar." Juwita mengangguk, ia duduk sambil mencium-cium minyak kayu putihnya. Padahal sebelumnya, walau dia hamil, tapi tidak merasa ngidam sama sekali. Bayinya pintar, tidak merepotkan orang lain. Justru ibunya yang merepotkan dua laki-laki tampan nan kaya raya.
Agak lama Juwita menunggu, kemudian Rama membawanya ke laboratorium untuk cek darah atau entah apa, Juwita bertanya-tanya.
“Mengapa harus cek darah segala sih? Periksa kandungan kan di sana?”
“Supaya ketahuan bahwa kamu benar-benar sehat. Aku tidak mau, anakku dilahirkan oleh ibu yang tidak sehat.”
Juwita juga heran ketika Rama juga ikut diambil darahnya di laboratorium itu.
“Mengapa Mas juga diperiksa?”
“Ini hal lain, aku hanya ingin memeriksakan kesehatan aku saja,” jawab Rama memberi alasan.
Meskipun heran, Juwita terpaksa menurut. Ada beberapa pemeriksaan yang harus dilaluinya, yang dianggapnya hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya sehat.
***
Setelah dari rumah sakit, Rama mengantarkan Juwita pulang. Meskipun dia tidak suka pada kelakuan Juwita, tapi ia berusaha tetap bersikap manis. Ia juga meninggalkan sejumlah uang karena Juwita memintanya.
“Sayang ya Mas, kita belum bisa tahu jenis kelamin anak kita.”
“Karena masih terlalu kecil.”
“Kapan kita menikah secara resmi Mas? Tapi sebenarnya aku sudah bisa menerima kalau hanya nikah siri. Aku tidak mau merusak rumah tangga Mas.”
“Aku senang kamu memiliki hati yang baik. Istriku juga ingin memiliki anak, tidak masalah bagi dia kalau aku punya anak dari wanita lain.”
“Mas kan sudah kenal lama sama aku, bukan hanya sebulan dua bulan, tapi baru sekarang mas mengatakan bahwa hatiku baik. Bukankah sejak lama aku selalu baik? Baik dan penurut. Ya kan?”
“Ya, tentu. Ternyata aku tidak salah pilih.”
“Mas tinggal dulu agak lama di sini, aku kangen.”
“Aku harus segera ke kantor, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
“Padahal aku kangen, dan aku sangat ingin,” kata Juwita sambil menggelendot manja. Rama menahan rasa muaknya.
“Tidak, tadi dokter berpesan sama aku, bahwa selama hamil, kita tidak boleh lagi berhubungan. Sekarang aku mau ke kantor,” kata Rama sambil mendorong tubuh Juwita, lalu membalikkan tubuhnya, dan keluar dari apartemen, yang sebenarnya disewa Abi, tapi Juwita mengakuinya sebagai menyewanya sendiri, agar Rama juga memberikan uang sewanya.
“Maaas, bilang pada Rosa, bahwa aku akan selalu menyenangkan suaminya, yaa,” teriaknya mengiringi kepergian Rama. Rama tak menoleh sedikitpun.
Meskipun agak kecewa Rama nekat pergi, Juwita merasa senang karena menerima uang. Baginya uang adalah segalanya. Ia tak perlu bekerja keras untuk mendapatkannya, karena setiap bulan ada uang yang mencukupi semua kebutuhan mewah yang diinginkannya.
“Tadi aku ketakutan ketika melihat mas Abi di rumah sakit. Untunglah tampaknya dia tidak melihat aku. Slameeet … slameeet … slameeet,” gumamnya sambil membaringkan tubuhnya di ranjang, lalu mengelus perutnya yang baru sedikit membuncit.
“Kamu bayi yang beruntung. Kita selalu berkecukupan. Ya kan?” bisiknya sambil memejamkan mata. Bibirnya tersenyum. Puas bisa melakukan hal yang luar biasa.
***
Rosa menyambut suaminya yang pulang setelah dari rumah sakit. Ia sudah menyiapkan makan siang untuknya, setelah beberapa lamanya suaminya jarang pulang saat istirahat, yang menurutnya pastilah makan siang bersama Juwita.
“Bagaimana tadi Mas, beres?” tanya Rosa sambil melayani makan.
“Hampir saja gagal.”
“Kenapa?”
“Juwita melihat Abi di sana.”
“Kenapa datang bersama?”
“Tidak, dia datang lebih dulu. Juwita melihatnya dan tiba-tiba ingin pulang dengan alasan sakit.”
“Tidak masuk akal. Kan sedang di rumah sakit, kalau sakit harusnya justru masuk dan periksa ke dokter.”
“Mungkin karena gugup, bingung cari alasan. Aku mengkode Abi agar menyingkir, dan menuntun Juwita melalui jalan lain. Barulah beres.”
“Berarti Abi juga sudah diperiksa.”
“Semuanya beres, aku yang mengurusnya.”
“Mas kecewa, bukan?”
“Ya, tentu saja.”
“Bagaimana kalau itu anak Mas?”
“Tolong kamu mau merawat dia, aku tidak mau ibunya.”
“Senang sekali kalau aku mendapat bayi darah daging Mas, tapi apakah ibunya mengijinkan? Lagipula belum tentu dia anak Mas, bisa juga anaknya Abi.”
“Apa wanita seperti itu bisa memiliki rasa keibuan? Aku sudah tahu bahwa dia hanya menyukai uang. Itu sebabnya dia menipu aku dan Abi. Entah bagaimana nanti hasilnya, kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan.”
“Menyesal?”
“Tentu aku menyesal. Tapi aku tidak menyesal memiliki istri kamu, walaupun kamu tidak akan bisa mengandung anakku. Ini garis kehidupan yang harus kita lalui. Sebuah pelajaran bagiku atas kegagalan ini. Aku berjanji akan memperbaikinya, dan berusaha hanya memiliki satu wanita, yaitu kamu.”
Rosa tersenyum bahagia. Merebak air matanya, ketika Rama menatapnya mesra.
***
Kamila menelpon Raya, tapi Raya belum mau menerimanya. Walaupun tubuhnya tidak lagi panas, tapi masih saja susah makan. Dia hanya ingin tidur dan tidur. Bu Rahman selalu merayunya, tapi Raya benar-benar susah makan.
“Raya, mengapa kamu ini. Kalau tidak makan, biarpun minum obat, tetap saja kamu akan lemas. Makan dong Ray, jangan membuat ibu cemas.”
“Tadi sudah ….”
“Hanya sesendok, itu tidak cukup.”
“Disuapin bik Sarti ya?” kata bik Sarti yang ikut menunggui.
Raya menggeleng lemah.
“Bibik masak perkedel kentang, kesukaan Non. Mau ya?”
Raya menggeleng, lalu merubah posisi tidurnya, membelakangi bik Sarti dan ibunya.
“Raya, ayo dong Ray.”
Raya diam, bik Sarti memijit kaki Raya pelan.
“Kalau kamu tidak mau makan juga, aku bawa kamu ke rumah sakit.”
Raya diam saja. Dan memang dirinya merasa lemas.
Sudah tiga hari Raya tidak mau makan. Kamila yang menelpon selalu gagal menghubungi. Ia merasa prihatin ketika ibunya menceritakan tentang sakit adiknya.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Kamila.
“Entahlah Mil, adikmu itu susah sekali dikasih tahu. Badannya sih tidak panas, tapi kelihatan dia lemas, karena tidak mau makan. Kalaupun mau, hanya sesuap dua suap. Sedih ibu. Mau ibu bawa saja ke rumah sakit. Kalau tidak mau ya harus dipaksa. Tapi nanti menunggu ayahmu pulang.”
“Kenapa sih Raya? Itu namanya mogok makan, apa dia memang mau bunuh diri?”
Kata-kata Kamila itu sangat mengejutkan bu Rahman.
“Bunuh diri? Ya Tuhan, kamu membuat ibu takut,” keluh bu Rahman.
“Buktinya dia tidak mau makan.”
“Akan ibu paksa dia agar dibawa ke rumah sakit.”
“Susah juga pasti, Raya kan tidak suka dokter, apalagi ke rumah sakit. Tapi kalau di rumah sakit sih sebenarnya bagus. Bisa diinfus agar dia tidak lemas.
Tapi bu Rahman terus kepikiran tentang kata-kata ‘bunuh diri’ itu. Benarkah Raya bermaksud bunuh diri? Bu Rahman baru ingat ketika beberapa hari yang lalu memarahinya gara-gara Raya bilang cinta sama Damian. Itukah yang membuatnya kecewa dan jatuh sakit?
“Ya Tuhan, mana mungkin aku menuruti kemauannya? Damian itu siapa dan seperti apa? Malu dong aku punya menantu dia," gumam bu Rahman ketika sudah keluar dari kamar Raya.
“Nyonya, menurut saya, sebaiknya non Raya dibawa saja ke rumah sakit,” kata bik Sarti sambil mendekati sang nyonya.
“Menurutku juga begitu. Tunggu ayahnya dulu, biar dia yang memaksa. Kalau perlu langsung panggil ambulans kerumah, biar perawat menggendongnya. Kalau tidak dipaksa dia tak akan mau, Yakin aku,”
“Benar Nyonya, harus dipaksa.”
***
Dan esok harinya memang Raya dipaksa untuk dibawa ke rumah sakit. Beberapa perawat yang datang bersama ambulans menggendongnya dan memasukkannya ke mobil ambulans dengan usungan. Raya yang lemas tak berdaya, terpaksa mendiamkannya saja.
Di rumah sakit, wajah Raya tampak muram. Jarum infus menghubungkan tabung berisi cairan dan obat ke dalam tubuhnya. Tak ada sinar di matanya. Ia tampak layu dan tak bersemangat.
Pak Rahman dan bu Rahman menungguinya, dan terus menghiburnya dengan kata-kata manis.
“Raya, kalau kamu sembuh, apapun yang kamu minta pasti bapak berikan.”
“Benar sayang, kamu tahu kan, bapak sama ibu sangat menyayangi kamu?”
Raya terdiam, tak ada yang bisa meluluhkan hatinya yang terasa beku. Kekecewaan karena orang tuanya, terlebih ibunya, yang sangat tidak menyukai saat dirinya mengaku cinta kepada Damian, membuatnya tidak bersemangat.
“Lihat, badan kamu sangat kurus begitu,” sambung ibunya lagi.
“Segera sembuh ya, makan yang banyak. Karena kamu tidak mau makan, maka kamu harus dibawa ke rumah sakit dan diinfus. Badan kamu lemas, ya kan? Karena kamu tidak makan dan kekurangan cairan.”
“Bawa aku pulang saja,” kata Raya lemah.”
“Kalau kamu sudah mau makan banyak, kamu boleh pulang. Bapak sangat khawatir melihat keadaan kamu.”
“Aku mau pulang. Aku mau ketemu Damian.”
“Apa? Kamu masih memikirkannya?” kata bu Rahman agak keras.
“Raya, jangan berpikir yang tidak-tidak dulu, pikirkan sakit kamu dan segera sehat. Nanti kita bicara soal itu,” hibur ayahnya.
“Bicara soal Damian? Raya mau Damian.”
“Ya Tuhan, anak ini,” keluh bu Rahman. Kali ini tidak berteriak karena pak Rahman menatapnya tajam.
“Apakah kamu sungguh mencintainya?”
Raya mengangguk.
"Kamu sudah memikirkan akibatnya? Bagaimana kehidupan kamu nanti, yang pasti sangat jauh dari kehidupan kamu sekarang ini?”
“Jadi gembel pastinya,” omel bu Rahman.
Ia sangat tidak setuju, tapi suaminya tampak bersikap lebih lunak.
“Kamu sembuh saja dulu, nanti kita bicara lagi. Ya?”
“Bapak mau menerima Damian?” lirih kata Raya.
“Kita bicara nanti, kalau kamu sembuh. Karenanya. Cepatlah sembuh. Makan banyak.”
“Kalau sudah sembuh … Raya akan pergi bersama Damian.”
“Apa maksudmu pergi?” teriak ibunya.
Pak Rahman kembali memelototi istrinya.
“Pokoknya kamu sembuh dulu. Masalah ini harus dibicarakan secara serius. Bapak janji, tapi kamu harus berusaha sembuh dan sehat.”
Ada rasa lega dihati Raya, ketika mendengar kata-kata ayahnya yang lebih lunak, dan tampaknya akan bersedia memenuhi permintaannya.
***
Hari itu Abi pulang untuk makan siang. Kamila sudah masak sejak pagi untuk menyediakan makan siang bagi sang suami, dan itu sudah dilakukannya setiap hari. Tapi hari ini sangat berbeda, karena suaminya bilang kalau hasil pemeriksaan DNA sudah dikirimkannya ke kantor.
Sejak turun dari mobil, Kamila menungguinya dengan harap-harap cemas. Tapi Kamila berdebar, melihat wajah suaminya tampak muram dan sedih. Kamila merasa, pasti ia membawa berita buruk. Pasti bayi itu adalah memang darah dagingnya.
Kamila masuk ke dalam rumah, mengikuti sang suami. Ia tak bertanya apapun, karena melihat wajah suaminya tampak tegang.
Ia sudah menduga ada hal buruk yang tak mampu disampaikannya. Kamila menata batinnya. Ia membiarkan sang suami mencuci tangan di wastaffel, yang ada di ruang makan, dimana Kamila sudah menyiapkan makan siang mereka.
Ia juga melihat suaminya meletakkan sebuah surat dengan kop rumah sakit di meja itu. Kamila bertambah berdebar ketika suaminya duduk dikursi makan, tepat di sampingnya.
“Bacalah suratnya,” kata sang suami.
“Katakan hasilnya saja,” jawab Kamila singkat.
“Mila, maafkanlah aku," kata Abi yang tiba-tiba merangkul istrinya erat-erat.
“Ya sudah, terima saja apapun yang terjadi,” kata Kamila dengan bibir gemetar.
“Mila, bayi itu bukan darah dagingku,” bisiknya ditelinga Mila, membuat Kamila terkejut, kemudiam mereka berpelukan.
“Syukurlah, alhamdulillah … Jadi ….”
Mereka urung melanjutkan pembicaraan yang ternyata membahagiakan itu, ketika ponsel Kamila berdering. Kamila mengangkatnya, dari Rosa, pasti Rosa akan mengeluh karena ternyata Rama lah ayah bayi yang dikandung Juwita. Kamila menyiapkan kata-kata untuk menghiburnya.
“Rosa …:” sapa Kamila.
“Kamila, aku sangat prihatin.”
“Apa kabarmu?” Kamila pura-pura tak tahu.
“Aku prihatin untuk kamu. Juwita tidak mengandung anak suami aku, berarti itu adalah anak Abi?”
“Apa?” Kamila berteriak.
“Aku prihatin untuk kamu, Mila.”
“Rosa, bayi itu juga bukan anak mas Abi.”
“Apa?” Rosa pun berteriak.
Abi tersenyum sambil menyendok makanannya. Ia sudah tahu hasilnya sejak awal, karena Rama sudah menelponnya saat di kantor.
***
Besok lagi ya.
Alhamdululillah
ReplyDeleteSilahkan dibaca dgn cermat bagi yang ikutan kuiz EsPe_25 dam tunggu pengumuman dari bu Tien.
ReplyDeleteHe eh trnyt Juwita wanita jalang
DeleteBnr tuh anak org lewat
Hbs kl bukan anak Abi ataupun Rama
Horee selamat bagi pemenang
Trnyt kakek juga kalah
Toos deh
Mksh bunda Tien yg dgn piawai bikin heboh pembaca
ADUHAI ADUHAI ADUHAI
Selamat malam Bunda Tien..
DeleteMaturnuwun...
Semoga Bunda Tien sehat selalu
Aamiin...
Salam aduhai dari Sulawesi..
💜💙💚💛❤
Jaga gawang Kek,Juara 1
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteHadiiirrr...😍😍
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏🙏
Salam sehat selalu dari kota Malang.
Alhamfulillah
ReplyDeleteAsyik...
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien.. tumben gasik pisan.
DeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Jadi bukan anak ke 2 nya ya bu?
ReplyDeleteBukan tuh.. kata yang punya cerita . Heheee... supaya jeng dokter koment
DeleteLoh yg punya cerita siapa bu Tien lebih penasaran lg nih😀😀😀🤭
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Sehat selalu
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDelete🌹🌿🌹🌿🌹🌿🌹🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 26
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
🦋 Salam Aduhai 🦋
🌹🌿🌹🌿🌹🌿🌹🌿
Alhmdulilah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Alhamdulillah Tabarakallahu .Maturnuwun sanget Bunda Tien .namaku termasuk dpt hadiah kuis.semoga Ibu Tien & Bapak Tom selalu sehat wal afiat sejahtera bersama keluarga .Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteTernyata, ahklak juwita tdk sesuai dgn namanya.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga sehat selalu.
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteLah, salah dong jawaban saya (kuis), Rama. Ternyata bukan keduanya? Payah Juwita tuh...hehe, ibu Tien pinter bikin baper penggemar deh...terima kasih. Salam sehat, bu...🙏😘😘😀
ReplyDeleteAlhamdulillah...perkawinan Kamila maupun Rosa terselamatkan. Entah anak siapa itu....
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien
Alhamdulillah gasik.... salam sehat dan bahagia kagem bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah bukan anak rama dan abi .... rasain juwita mencari sasaran bpk lain.... smg raya sehat2 dan diijinkan dg damian.. terima kasih bu tien..salam hangat dan aduhai dari pondok gefe
ReplyDeleteEpisode di luar dugaan saya jadi siapa ayah biologis bayi Juwita ? Tunggu episode berikutnya
ReplyDeleteTerimakasih ....Bu Tien sdh menjungkirbalikkan pikiran pembaca
Bener jaga gawang kakek la wong sing woro² mesti waé, btw matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sdh tayang episode 25, wassalam...dari Tanggamus, Lampung
ReplyDeleteNah loh..... 🤣🤣🤣
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteHoreee jadi bukan anak abi dan rama lantas anak siapa ? Juwita emang salome
ReplyDeleteAnaknya Genderuwo....
Delete😅😅😅
🤣🤣🤣🤭
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien SP26 sampun tayang
Alhamdulillah... Maturnuwun, Bu Tien🙏🏼
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbung nya
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah.... maturnuwun bu tien
ReplyDeleteCeritanya tambah aduhai. Matur nuwun Bu Tien.....tetap sehat njih Bu....aamiin...
ReplyDeleteTeman apalagi sudah jadi sahabat menjadikan tegar menghadapi persoalan.
ReplyDeleteJebulanya sudah saking bingungnya, ternyata bukan anak siapa-siapa.
Tapi jadi mau adopsi nggak ya.
Sahabat tak akan bisa saling menyakiti, dari situ bisa lebih nyaman.
Kamila sedikit lepas beban yang menggerus perasaan hatinya selama ini.
Raya yang dijanjikan; merasa ada semangat, makder ini kaya nggak pernah muda, masih aja menghalangi.
Ortu ya gitu kawatir masa depan anaknya.
Lho siapa tahu juragan besar Rahman memerintahkan Damian sekolah management perusahaan, demi masa depan anaknya.
Bisa kan, ya bisa tapi kan diselidik dulu mau enggak, jangan ketok memohon mohon agar Damian di arep arep banget gitu; nanti besar kepala; megang perusahaan warisan, disama masih ada pemilik saham; tuh Kamila.
Masak seeh Damian segitu kejamnya, mau menguasai.
Kata bibik Sarti anak baek baek, iya; didengar memuji muji Damian jadi ikutan kena damprat juragan putri nya.
Kemelut harapan Raya bagai 'api nan tak kunjung padam', itu kan slogan dep.penerangan.
Hayuh Damian di panggil juragan besar, mau di apakan tuh
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang kedua puluh enam sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh...
ReplyDeleteMoga Bu Tien sehat selalu Nggih....
Semakin banyak penggemar nya....
Salam aduhai dari Mekah Al Mukaromah....
Alhamdulillah SP-26 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah SEBUAH PESAN~26 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..🤲
ReplyDeleteTernyata Juwita ini pedagang ulung...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Selamat pagii bunda Tien..terima ksih SP nya..salam seroja dri sukabumi unk bundaqu🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat 🤗🥰
Jd Juwita kembang jalanan ,
Salah juga jawaban sy ternyata bukan anak nya Rama 🤭
Aduhaiii deh bu Tien mengaduk perasaankuh,,,
Alhamdulillah .
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Waouw sebuah pesan ke 26 sudah tayang...
ReplyDeleteSehat selalu bunda Tien...
Bahagia bersama keluarga tercinta ❤️
Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇
Alhamdulillah
ReplyDelete