SEBUAH PESAN 19
(Tien Kumalasari)
Damian terkejut, ketika melihat pak Rahman melangkah keluar, sementara Raya duduk didepannya, di mana sejak datang tadi Damian duduk di lantai.
“Non, ada tuan Rahman,” bisik Damian.
Dengan cepat Raya memberikan sesuatu yang tadi digenggamnya, langsung dimasukkan ke saku baju Damian. Damian sangat terkejut. Ia tak sempat menolaknya, karena pak Rahman sudah semakin dekat. Tentu saja dia khawatir kalau non cantiknya mendapat marah karena memberikan sesuatu kepadanya.
“Raya, apa yang kamu lakukan di situ?”
Raya menoleh ke arah ayahnya, tapi ia tak melihat wajah ayahnya tampak marah. Raya merasa sangat lega.
“Damian berpamit, setelah hari ini, dia sudah tidak lagi bekerja di sini,” kata Raya.
Damian mengangguk hormat. Menghormati kedatangan majikannya, sekaligus membenarkan bahwa dia memang berpamit akan pergi.
“Duduklah di atas, jangan ngelesot di situ.”
“Tidak apa-apa, biar saya di sini saja,” jawab Damian, sementara Raya kemudian sudah masuk ke dalam rumah.
“Kamu sudah mendapat pekerjaan baru, baiklah. Semoga pekerjaan kamu yang baru itu akan lebih membuat kamu mantap melakukannya.”
“Saya mohon restu, Tuan.”
“Aku tidak menyalahkan kamu, tentu aku akan mendoakan kamu, bahwa kamu akan menemukan yang lebih baik dan yang bisa memenuhi harapan kamu.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Ini untuk kamu,” kata pak Rahman sambil mengulurkan sebuah amplop.
“Ini … apa Tuan?”
“Sekedar ucapan terima kasih, karena kamu telah bekerja dengan baik.”
“Tapi Tuan, tadi nyonya sudah memberikan gaji saya.”
“Ini bukan gaji. Ini … seperti yang aku katakan tadi, hanya sebuah ungkapan terima kasih. Terima saja. Jangan menampik rejeki. Barangkali pada suatu hari nanti kamu membutuhkan uang lebih. Ini tidak seberapa, tapi jangan dilihat nilai uangnya. Aku memberikannya dengan tulus."
“Terima kasih, Tuan.”
“Kalau senggang, kamu boleh main ke sini, bertemu kami dan juga bik Sarti.”
“Baiklah, saya minta maaf kalau ada perbuatan saya dan pekerjaan saya, yang mengecewakan.”
“Tidak, sejauh ini kamu baik, juga bekerja dengan baik. Kamu juga harus memaafkan kami, kalau barangkali ada ucapan yang membuat kamu sakit hati.”
Damian terkejut. Sikap pak Rahman sangat baik, dan berbicara bukan seperti kepada pembantunya. Hal itu membuatnya sangat sungkan. Sikap ini berbeda dengan bu Rahman, yang sejak dia pamit ingin keluar dari pekerjaannya, sikapnya jadi sangat kaku dan tidak bersahabat. Tadi pun, ketika menyerahkan gajinya, wajahnya juga tampak seperti membencinya.
Damian menerimanya dengan ikhlas. Ada alasan yang tidak bisa ditawar, kenapa dia harus pergi jauh dari keluarga Rahman.
“Tidak ada Tuan, di sini saya diperlakukan dengan sangat baik. Saya berterima kasih untuk itu semua. Sekarang saya mohon diri.”
“Baiklah, hati-hati dalam setiap langkah kamu.”
Damian berdiri, meraih tangan pak Rahman, lalu menciumnya. Kemudian dia mengambil sepedanya yang disandarkan di sebuah pohon, lalu dituntunnya sampai keluar halaman. Sekali lagi dia menoleh ke arah rumah pak Rahman yang megah. Ada sesuatu yang tertinggal di sana, dan membuatnya sangat sedih. Kemudian dia mengayuh sepedanya menjauh dari sana.
***
Memasuki kembali rumahnya, Damian kembali merasa sepi. Ia menuju ke ruang makan, menuang air putih dalam wadah, ke dalam gelas yang disiapkannya sejak pagi. Ia masuk ke kamarnya, bermaksud mandi lalu mengganti pakaiannya. Tapi ketika dia mencopot bajunya, sesuatu terjatuh dari saku, mengeluarkan suara berdenting ketika beradu dengan lantai.
Damian terkejut. Dia ingat, tadi Raya memasukkan sesuatu ke dalam sakunya, dan tidak sempat ditanyakan kepada Raya, keburu pak Rahman datang. Ia membiarkannya saja, sampai pak Rahman tiba di depannya, dan Raya kemudian pergi masuk ke dalam rumah.
Damian memungut benda berkilat itu dan terkejut bukan alang kepalang. Raya memberinya cincin?
“Mengapa non Raya melakukannya? Ini membuat perasaanku jadi tidak enak. Ini cincin yang bagus,” kata Damian sambil mengamati cincin itu.
Tak ada permata menghiasinya, tapi pasti harganya sangat mahal karena emasnya kelihatan sangat tebal. Damian heran, cincin itu sangat pas dikenakannya. Kapan Raya mengukur sebesar apa jari manisnya?
“Bagaimana ini, apakah aku harus mengembalikannya? Tapi bagaimana caranya? Kalau aku ke rumah itu lagi, belum tentu non Raya ada di rumah. Belum lagi kalau nanti ketemu nyonya Rahman yang wajahnya selalu nyinyir terhadapku akhir-akhir ini,” gumam Damian sambil tetap mengenakan cincin itu, dan tiba-tiba wajah cantik menawan itu melintas dalam angan-angannya. Senyum manisnya yang berubah kuyu dan sendu, ketika mengatakan ‘jangan pergi Damian’, sangat membuat batinnya bagai diremas-remas. Kalau saja Damian puya kekuatan dan kemampuan, pasti sudah dihentikannya langkahnya, lalu kembali menghadapinya, menyambut cintanya dengan sepenuh hati.
Damian menghela napas. Ia meneruskan membuka bajunya, setelah menyimpan uang gaji dan uang pemberian pak Rahman yang belum dilihat berapa isinya, kemudian dia pergi mandi. Tak mampu dia melepaskan cincin itu, bukan karena suka pada barang mahal itu, tapi karena tak sampai hati mengecewakan si pemberi cincin itu. Barangkali dia akan mengembalikannya nanti, kalau kesempatan bertemu itu ada. Damian tak ingin Raya menganggapnya kesenangan menerima pemberiannya.
Baru saja Damian selesai mandi dan duduk sendirian di teras, tiba-tiba dilihatnya Sari berjalan ke arahnya sambil tertatih. Mungkin kakinya yang terluka belum pulih benar. Damian berdiri menunggu di tangga teras.
“Mas Damiaaan.” panggilnya dengan suara sedikit memelas.
“Ada apa?”
“Ya ampun Mas, biarkan aku duduk dulu, aku mau bicara.”
“Baiklah, silakan duduk. Sebenarnya aku mau keluar sih,” kata Damian yang sesungguhnya kurang senang menerima kedatangan Sari, apalagi karena sikap ibunya yang tiba-tiba seperti membencinya.
“Sebentar saja, aku mau minta tolong.”
“Apa yang bisa aku lakukan untuk kamu, Sari? Malam-malam kamu datang kemari, nanti kalau ibumu tahu, pasti kamu dimarahi.”
“Ibu sedang pergi ke kondangan.”
“Lalu mau apa kamu datang kemari?”
“Aku sedih Mas, aku dipaksa menikah dengan orang yang tidak aku cintai,” katanya dengan suara memelas.
“Dipaksa menikah, mengapa kamu mengatakannya sama aku? Bisa apa aku ini, sedangkan aku bukan keluarga kamu?”
“Tolong bicara sama ibuku, bahwa memaksa itu tidak baik.”
“Sari, mengapa kamu bicara begitu? Apa menurut kamu, ibumu mau mendengar apa yang aku katakan? Aku ini bukan siapa-siapa, dan kelihatan sekali kalau bu Mijah tidak suka sama aku.”
“Mas, aku masih ingat ketika pak Timan berpesan sama aku, bahwa pak Timan ingin agar aku menjadi menantunya.”
“Sari, aku sudah pernah bilang, bahwa bapakku almarhum tidak pernah memaksa aku untuk menikahi siapapun. Lagi pula itu bukan alasan agar aku bisa bicara dengan ibu kamu. Tidak mungkin aku melakukannya.”
“Tapi Mas_”
“Tidak ada tetapi. Dengar Sari, kalau seorang ibu memilihkan suami untuk anak gadisnya, pastilah sudah diperhitungkan masak-masak. ahwa siapa yang dipilihnya, pasti sudah dipertimbangkannya masak-masak. Tak mungkin seorang ibu menjerumuskan anaknya.”
“Tapi aku tidak cinta Mas, aku cuma cinta sama kamu.”
“Hentikan kata-kata itu, Sari. Aku hanya menganggap kamu teman, tidak lebih."
"Aku mohon tolonglah aku, aku tidak cinta sama dia.”
“Pertama, aku tidak bisa dan tidak mungkin menolong kamu, kedua, cinta itu bisa datang dengan berjalannya waktu, kalau kamu sudah menjalaninya. Sekarang tolong pulanglah, aku mau pergi, ada perlu.”
Tiba-tiba sebuah teriakan terdengar, agak keras, datangnya dari luar pintu pagar rumah Damian.
“Sariiii! Sarii..! Apa kamu di situ?”
“Nah, itu dia Darmo, Mas. Tolong aku.”
“Siapa Darmo?”
“Laki-laki yang aku katakan tadi, dia dipaksa oleh ibuku untuk menjemput aku.”
“Kalau begitu pergilah, aku tak ingin punya masalah.”
“Mas, tolong sembunyikan aku.”
“Apa? Tidak mau. Aku tidak mau ikut campur,” kata Damian sambil berdiri, sedangkan Sari masih tetap duduk membatu.
“Sariii … kamu pasti di ditu kan?” teriak Darmo lagi, kali ini langsung memasuki halaman rumah Damian.
“Mas, tolonglah aku,” Sari merengek. Tapi Damian malah menunggu Darmo di depan teras.
“Kamu menyembunyikan calon istri aku?” kata Darmo keras, langsung menuding Damian dengan tatapan bengis.
“Tidak ada yang menyembunyikan calon istri Mas, itu dia, duduk di sana," kata Damian tenang.
“Sari … mengapa kamu ada di sini? Bu Mijan menyuruh aku menjemput kamu, lalu membawa kamu ke kondangan.”
“Aku tidak mau, kamu kan tahu, kakiku masih sakit?”
“Nyatanya kamu bisa berjalan sampai ke mari. Ayolah Sari, jangan membuat ibu kamu marah. Tadi wanti-wanti sama aku, agar segera membawa kamu menyusulnya ke kondangan.”
“Aku tidak mau,” kata Sari sengit.
“Sari, kalau kamu sudah dijemput, sebaiknya kamu pergi. Aku tidak mau ada pertengkaran di rumah aku. Lagi pula aku mau pergi,” kata Damian yang merasa kesal pada sikap Sari.
“Mas, kamu itu harus tahu, aku tidak cinta sama kamu,” kata Sari lagi.
“Oh ya? Lalu kamu cintanya sama siapa?”
“Sama dia lah,” katanya sambil menunjuk ke arah Damian tanpa malu. Damian sangat gusar.
“Sari !! Kamu jangan membawa-bawa aku dalam hubungan kamu dengan calon suami kamu. Aku tidak pernah merasa dekat sama kamu,” kata Damian sengit.
“Mengapa kamu sangat tidak tahu malu, Sari?” sambung Darmo yang mulai merasa kesal.
“Tolong, segeralah pergi dari rumah ini, aku punya urusan sendiri,” kata Damian sambil masuk sebentar ke dalam rumah, kemudian keluar lagi sambil mengunci rumahnya.
“Mas Damian, tolong aku.”
“Mas, maaf ya, saya mau pergi dulu,” kata Damian sambil menatap Darmo.
Darmo yang sangat gusar tiba-tiba melampiaskan kemarahannya pada Damian. Hatinya panas mendengar Sari lebih mencintai Damian.
“Jangan pergi. Kita selesaikan urusannya di sini,” katanya sambil menghadang di depan Damian.
“Urusan apa Mas, saya tidak punya urusan.”
“Kamu sudah berusaha menyembunyikan Sari dari saya bukan? Jangan pura-pura bilang tidak punya urusan. Jangan menjadi laki-laki pengecut,” kata Darmo sambil mencengkeram leher baju Damian.
“Mas kok ngawur sih? Saya benar-benar tidak punya urusan sama Sari. Dia datang sendiri kemari, dan mengatakan bahwa dia tidak cinta sama Mas,” kata Damian yang mulai marah melihat perlakuan Darmo. Ia menepis tangan Darmo yang mencengkeram bajunya, sehingga tangan itu terlepas. Damian membetulkan bajunya dan menatap tajam laki-laki di hadapannya.
“Mau Mas apa? Saya tidak peduli apapun tentang kalian. Segera Mas bawa Sari dari sini, dan katakan bahwa jangan sekali-sekali datang ke rumah ini lagi.”
Darmo yang gelap mata tiba-tiba mengayunkan lengannya ke arah kepala Damian, tapi dengan gerakan cepat Damian bisa mengelak, lalu menangkap tangan Darmo, kemudian memelintirnya.
“Aauughh!!” Darmo berteriak kesakitan. Damian mendorong tangan itu ke arah depan, membuat Darmo jatuh tertelentang.
“Mas Damian, sudah. Biarkan saja dia bicara semaunya,” tiba-tiba Sari berteriak.
“Kamu biang keladi kerusuhan ini. Cepat ajak dia pergi, dan jangan lagi menginjakkan kaki kamu di rumah aku,” kata Damian yang kemudian melangkah pergi meninggalkan rumah.
“Mas Damiaaan!” Sari bisa-bisanya meneriaki Damian yang sama sekali tidak peduli sama dirinya.
Damian terus melangkah pergi. Dan dengan tertatih Sari mendekati Darmo yang berusaha bangkit dengan susah payah.
“Rasain! Kamu mencari gara-gara.”
“Dasar perempuan tak tahu malu. Aku tidak sudi menjadi suami kamu,” kata Darmo yang setelah bisa bangkit, lalu pergi meninggalkan Sari begitu saja.
Sari menatap punggung Darmo, yang salah satu tangannya mengelus lengannya yang terasa nyeri karena dipelintir Damian.
Ada rasa sakit dirasakannya, ketika mendengar Darmo tak sudi memperistrikannya. Tertatih dia berjalan meninggalkan rumah yang ditinggalkan penghuninya itu. Begitu memasuki rumah, rasa takut menderanya, karena sudah pasti ibunya akan memarahinya habis-habisan. Karena itu dia langsung menuju kamarnya dan pura-pura tidur.
Tapi di pagi harinya, bu Mijan urung memarahinya, karena mengira, ketika Darmo nyamperin ke rumah, Sari sudah tidur. Bu Mijan hanya mengomel, pasti Darmo sangat kecewa.
***
Hari itu Damian sudah mulai masuk bekerja. Masih banyak yang harus dipelajarinya, karena dia belum terlalu menguasai pekerjaannya. Untunglah Agus yang baik hati selalu membantunya, sehingga Damian mulai mengerti apa dan bagaimana dia melakukan pekerjaannya.
Tapi di sore hari itu, begitu Damian memasuki halaman rumahnya, dilihatnya bu Mijan berkacak pinggang berdiri di depan teras rumahnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah SP 19 udah tayang
ReplyDeleteYang kita tunggu2 penasaran deh
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Alhamdulillah.....
DeleteAlhamdulillah.... Sebuah Pesan eps 19 sdh ditayangkan, matur nueun bu Tien...
DeleteJuara 1 nya yang itu² saja, yang lain gak diberi kesempatan tampil duluan duluan depan...
Lha pas buka pas tayang berarti serba pas2an aj deh
DeleteSuwun
ReplyDeleteYeess
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteMatur suwun ibu Tien salam tahes ulales
ReplyDeleteAlhamdulilah...suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda sehat selalu 🙏
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahgia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien cantiiik... tetap sehat dan semangat, ya Bu....
ReplyDeleteAkhirnya yg di tunggu datang juga, matur nuwun Bunda Tien Kumalasari
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien..sehat selalu
Alhamdulillah...
ReplyDelete🍒🍃🍒🍃🍒🍃🍒🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah eSPe 19
sudah tayang...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
🦋 Salam Aduhai 🦋
🍒🍃🍒🍃🍒🍃🍒🍃
alhamdulillah maturnuwun bunda
ReplyDeleteAlhamdulilah tks bu tiem, salam hangat aduhai dan sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku, Sebuah Pesan telah tayang
ReplyDeleteMaturnuwun tumbler dan buTien kerso respon langsung wapri saya... salam aduhai.
ReplyDeleteAlhamdulillah,maturnuwun bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SP-19 sdh hadir
ReplyDeleteTerims kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
Aamiin
Nah lho...Damian "diikat" oleh Non Raya...wkwk...kepo kelanjutannya. Terima kasih, bu Tien. Sehat selalu.🙏😘😘😀
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat. Aduhai
Hhhmmmm.... cincin emas berbentuk ring, itu cincin pengikat, tanda bahwa si pemakai sudah ada yang punya. Semoga kesampaian ya Raya.
ReplyDeleteSari pembuat perkara, yang kena justru orang lain. Semoga cepat sadar saja.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur nuwun Bu Tien karena selalu membuat penasaran... pasti diputus pas seru-serunya. Semoga Ibu sekeluarga selalu sehat penuh barakah, aamiin...
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien Kumalasari ... Sebuah pesan ke 19 sdh tayang dan sdh dibaca ... Smg bu Tien & keluarga sll sehat wal'afiat ...
ReplyDeleteLuar biasa...
ReplyDeleteDamian laku keras karena anak Indo...
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMatur nuwun...Bu Tien.Waduh ...Bu Mijan melabrak Damian
ReplyDeleteTerima kasih cerbungnya bu tien. Salam sehat dan jaga kesehatan
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH PESAN~19 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..🤲
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSeperti apa ya, cakepnya Damian.
ReplyDeleteSampai gadis tetangga nggak mau lepas mengamatinya hanya sekedar mengedipkan mata.
Anak juragan Rahman sampai mengabaikan teman sekampusnya; yang sudah barang tentu tidak sedikit ingin mendekat untuk sekedar minta ada rasa simpatinya.
Luapan luapan emosi pembela keinginan, dasar keangkuhan selalu mendera Damian yang masih memiliki capaian angan demi masa depan lebih nyaman bekal menikmati karunia kehidupan dari Nya.
Pak RT belum nampak mau ikut mendudukkan masalah yang dihadapi Damian sang sebatangkara, adakah yang perhatian.
Masih kecil perkara perkara yang dihadapi; masalah angan, keinginan dan cita-cita.
Tentu modal tegar menghadapi semua akan lebih mantap melangkah, apa lagi ada sebuah pesan; berupa ring yang bakal mendering mengingatkan tiap ayunan langkah kakinya, bila melemah.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Sebuah pesan yang ke sembilan belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.salam sehat wal'afiat semua 🤗🥰
ReplyDeleteSari kamu itu ngomong apa ya ,,kok jd marah ibumu ke Damian ,,🤣🤣🤭
Damaian sabaaaar ya
Sebuah pesan
ReplyDeleteAlhamdulillah sebuah pesan telah sampai
ReplyDeleteMatursuwun Bu Tien, salam sehat selalu
Menunggu itu katanya pekerjaan membosankan.... tapi tidak untuk SEBUAH PESAN....
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat dari Rewwin...🌿
Kutunggu Sebuah Pesan dari bunda Tien untukku...
ReplyDeleteKutunggu dan kutunggu lagi
ReplyDeleteDari waktu kewaktu
Kutunggu
ReplyDeleteDan
Kutunggu
Semoga
Bu
Tien
Sehat2
Selalu