Wednesday, June 14, 2023

SEBUAH PESAN 18

 SEBUAH PESAN  18

(Tien Kumalasari)

 

 

Damian tertegun. Ia menjauhi rumah keluarga Rahman, karena ingin agar Raya bisa melupakannya. Tapi apa yang didengarnya, sesungguhnya menjadikannya ketakutan. Rasa bahagia dicintai oleh gadis pujaan, terselubungi oleh rasa khawatir akan akibat yang akan menimpanya.

“Nona, saya harap Non bisa melupakan saya.”

“Apakah begitu dangkalnya sebuah cinta?”

“Paling tidak, Non harus menyadari, bahwa akhir dari semuanya, tidak akan seindah apa yang kita bayangkan.”

“Darimana kamu tahu bahwa akhir dari semuanya adalah tidak seindah yang kita bayangkan?”

“Seseorang pasti punya gambaran. Sedapat mungkin, hindarilah kesulitan.”

“Cinta itu perjuangan,” kata Raya yang kemudian kembali menghadap ke arah kolam, setelah sebelumnya menatap Damian dengan penuh harap.

Damian mengeluh sedih, ia kembali menjauhi Raya, mengambil sapu lidi yang semula diletakkannya, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia berharap, bulan segera berganti ke bulan berikutnya, sehingga dia tidak terbebani oleh perasaannya sendiri, dan kenekatan Raya dalam meraih cinta. Tidak mungkin hal itu akan terjadi. Damian hanya meyakini, bahwa cinta tidak harus memiliki. Cukup puas dan bahagia, ketika seorang gadis secantik bidadari, mengaku sangat mencintai dirinya.

Diliriknya Raya, yang masih duduk menghadap ke arah kolam, tapi Damian tidak tahu, ketika bulir-bulir air mata sudah jatuh dari sepasang mata bintangnya, mengalir membasahi pipinya.

Damian lupa kalau sedang menggenggam seikat mawar di tangan kirinya, dan harus diserahkan kepada bik Sarti. Ia meletakkan kembali sapunya, lalu bergegas ke arah dapur.

“Bik …”

Bik Sarti yang sedang merajang sayur menoleh ke arah pintu.

“Ada apa Dam?”

“Ini, Non Raya menyuruh menyerahkan mawar ini, katanya Bik Sarti yang akan mengaturnya.”

“Oh, iya. Baiklah,” kata bik Sarti sambil menyerahkan sepiring kecil roti bakar.

“Ini, untuk siapa Bik?”

“Ya untuk kamu lah Dam, kan bibik berikan sama kamu?”

“Siapa tahu untuk non Raya.”

“Non Raya sudah makan roti, tadi. Apa non Raya masih di taman?”

“Masih Bik.”

“Kasihan, dia baru sembuh dari sakit.”

“Sakit apa Bik?”

“Katanya hanya pusing, tapi makan susah sekali. Nyonya meminta agar periksa ke dokter, tapi Non tidak mau. Dipanggilkan dokter juga tidak mau.”

“Tapi sekarang sudah baik kan Bik?”

“Semoga benar-benar sudah  baik,” kata bik Sarti sambil menatap Damian, tapi Damian merasa tatapan bik Sarti tampak aneh. Walau begitu dia tidak menanyakan apapun.

“Sudah, sana … makan dulu rotinya, baru melanjutkan bekerja.”

Damian mengangguk, lalu berbalik melangkah menuju ke pekerjaannya kembali.

Ketika kembali ke taman, ia berpapasan dengan Raya, yang akan masuk ke rumah. Damian terkejut, melihat mata Raya yang sembab. Bibirnya ingin bergerak untuk mengatakan sesuatu, tapi Raya seperti tak mempedulikannya, bahkan menatapnya pun tidak.

“Ya Tuhan, janganlah tangis itu disebabkan karena diriku,” bisik Damian pilu.

Ia melanjutkan pekerjaannya, sambil berpikir tentang nona cantik yang telah mencabik-cabik perasaannya. Ingin rasanya ia menyapu pipinya yang masih basah oleh air mata, sekaligus menyapu kesedihan yang menderanya.

“Aku tidak berdaya Non, maafkanlah aku,” bisiknya lagi sambil memasukkan daun-daun kering ke dalam tong sampah.

***

Siang hari itu, karena Raya tidak keluar untuk makan di ruang makan, sedangkan bu Rahman sedang keluar entah kemana, bik Sarti membawakan makan siangnya ke dalam kamar.

“Non, makan siang dulu,” kata bik Sarti sambil meletakkan baki berisi makanan, diatas nakas. Dilihatnya Raya memunggunginya, tapi bik Sarti melihat pundak Raya bergerak pelan karena isak. Bik Sarti terkejut. Ia mendekat ke arah ranjang, menyentuh lengan Raya lembut.

“Non, ada apa?”

Tiba-tiba Raya membalikkan tubuhnya, merangkul bik Sarti erat-erat.

“Ada apa sih Non?”

”Bik, kepalaku pusing.”

“Kalau hanya kepala pusing, Non pasti tidak akan menangis seperti ini. Ada sesuatu yang membuat Non sedih ya?”

“Aku tidak bisa mengatakannya Bik, aku hanya pinjam bahu bibik untuk bersandar, sebentar saja.”

“Mengapa Non memilih bahu bibik? Apakah tidak ada bahu lain yang lebih pantas menjadi sandaran?” kata bibik memancing-mancing.

“Tidak ada. Aku hanya mau bahu Bibik.”

“Bukankah sebuah beban akan terasa ringan, kalau Non mau berbagi? Memang sih, bibik hanya pembantu, tapi sejak Non masih kecil, bibik sudah ikut mengasuh Non. Memandikan Non, mengganti baju Non, bahkan menunggui di sekolah Non, ketika Non baru masuk sekolah dan tidak mau ditinggal sendirian. Bibik merasa, Non bukan sekedar majikan bibik. Kalau Non sedih, bibik juga ikut sedih. Sungguh,” kata bik Sarti sambil mengelus bahu Raya.

“Bik, rasanya aku memang harus mengatakannya pada bibik.”

“Katakan saja Non, kalau Non mau berbagi, maka beban yang berat akan menjadi lebih ringan. Adakah yang menyakiti Non?”

“Aku sedang jatuh cinta Bik,” kata Raya di telinga bik Sarti.

Bik Sarti mendorong pelan tubuh Raya, lalu mengusap pipinya yang basah.

“Apakah jatuh cinta itu sakit, sehingga membuat Non Raya menangis?”

“Aku menangis karena ragu akan bisa meraih cinta itu.”

“Apakah yang Non cintai itu Dewa dari Kahyangan, sehingga Non merasa tidak bisa meraihnya?”

“Dia Dewa angin Bik.”

Bibik terkekeh geli.

“Mengapa Dewa angin?

“Dia bisa mengelus tubuhku, tapi aku tidak bisa menggenggamnya. Apakah itu bukan angin?”

“Oh, indah sekali ungkapan Non ini. Benar, angin bisa mengelus tubuh kita, tapi siapa yang bisa menangkap angin, ya Non? Tapi kan itu bukan angin beneran, hanya ungkapan, hanya kiasan. Pastilah dia manusia.”

Raya terdiam.

“Non sangat mencintai dia, dan dia tidak? Sehingga Non merasa sakit dan menangisinya berhari-hari?”

“Bukan karena dia tidak cinta.”

“Nah, lalu apa?”

“Dia merasa takut mencintai aku, dia bilang, cinta tak harus memiliki.”

“Bukankah itu benar? Tapi mengapa dia takut?”

“Dia merasa tidak pantas."

“Biar bibik tebak, apakah dia Damian?” tanya bik Sarti, yang tak tahan karena Raya hanya berputar-putar dan tidak mau mengatakannya dengan jelas. Bik Sarti kan sudah tahu, melihat sikap Raya kepada Damian yang terasa bukan sikap seorang majikan kepada bawahan atau pembantunya. Hanya saja bik Sarti tak berani mengatakannya. Kali ini Raya sedikit terbuka dan sesambat kepadanya, jadi dia langsung mengatakannya. Benar atau salah, urusan nanti. Yang jelas bik Sarti tak mau terlalu lama berteka-teki.

Raya menatap tajam bik Sarti. Tak mengira pembantu dan pengasuhnya bisa menebaknya begitu tepat.

“Dari mana Bibik tahu?”

“Jadi itu benar?”

Raya mengangguk lemah.

“Bibik itu kan orang tua, dan banyak pengalaman dalam hidup. Bibik tahu sikap non Raya yang sangat baik dan manis pada Damian.”

“Damian bilang menyayangi aku, tapi dia memilih pergi.”

“Karena Damian seorang laki-laki yang baik. Dia tahu diri, rendah hati dan tidak terbuai oleh cinta seorang dewi cantik seperti Non. Barangkali dia juga sedih, sesedih Non saat ini. Sedih karena sadar tak bisa memiliki. Baginya, non juga pasti disebutnya sebagai Dewi Angin. Bisa mengelus tubuhnya tapi tak bisa digenggamnya.”

“Tapi aku sangat mencintai dia Bik,” air mata Raya kembali merebak.

“Non, jodoh itu Allah yang menentukan. Dan betul kata ungkapan, bahwa cinta tak harus memiliki. Non tidak perlu menangisinya. Kalau memang jodoh, pasti Allah akan mempertemukan Non dan dia. Entah bagaimana caranya,” kata bik Sarti sambil mengusap kembali air mata Raya.

Raya terdiam. Memang benar, hatinya merasa sedikit lega setelah mengatakan semuanya kepada bik Sarti. Sebenarnya ia ingin mengadu kepada kakaknya, tapi Kamila sudah mulai bekerja, dan tampak lelah saat pulang.

“Sekarang Non makan dulu saja, kalau pusing, minum obat.”

“Bawa saja makanannya keluar Bik, aku mau makan di ruang makan.”

“Baiklah.”

***

 Abi begitu setia, setiap hari mengantar Kamila, dan menjemputnya serta menunggu dengan sabar sampai saat selesainya dia bekerja.

Kamila yang tiba-tiba merasa ragu, belum bisa memastikan bahwa dirinya akan menerima lamaran Abi. Ada yang ingin diyakininya, bahwa Abi benar-benar mencintai dirinya.

Sore itu, ketika dalam perjalanan pulang dari kantornya, Abi mengajaknya mampir di sebuah rumah makan.

“Sebenarnya aku tidak lapar,” kata Kamila yang terpaksa menuruti permintaan Abi, lalu duduk berdua di sebuah bangku di dekat taman.

“Tidak harus memesan nasi. Bisa gado-gado, atau selat.”

Lalu mereka memesan selat, kesukaan Abi.

“Aku sungguh-sungguh akan segera melamar kamu, setelah kamu mengatakan siap,” kata Abi disela-sela menikmati menyantap selatnya.

“Ada hal yang membuat aku ragu.”

“Aku akan merubahnya, aku berusaha bisa menguasai diri saat aku ingin melakukannya.”

“Bukankah Mas bilang bahwa pernah melakukannya kepada seorang wanita? Yang kemungkinan besar adalah sekretaris Mas?”

“Aku tidak ingkar. Benar, dia itu terlalu menggoda.”

“Kalau Mas memiliki iman kuat, tak akan mudah tergoda.”

“Aku akan lebih kuat. Pengalaman ketika kamu menolak aku, membuat aku berubah. Aku tidak akan terjerumus lagi ke dalam perbuatan itu.”

“Bagaimana dengan wanita itu?”

“Aku sudah memecatnya. Aku sudah bilang bahwa sekretarisku sekarang seorang pria.”

Kamila terdiam. Tak bisa dipungkiri, dia sangat mencintai Abi. Sikapnya yang berubah drastis, menjadi penuh perhatian dan sangat manis, selalu bisa meluluhkan hatinya.

“Dulu aku sangat dingin, karena tak ingin tergoda oleh hasrat yang selalu menggangguku. Barangkali kamu kesal karena aku tampak tidak punya perhatian sama kamu. Tapi sebenarnya itu adalah usaha aku untuk tidak melakukan hal buruk terhadapmu. Tapi malam itu aku benar-benar tak bisa menguasai diri. Aku bersyukur, kamu wanita hebat, yang membuat aku sangat kagum, dan tak pernah ragu untuk selalu mencintai kamu, dan ingin menjadikan kamu istriku.”

“Kenapa kemarin-kemarin kamu meminta waktu setahun lamanya, lalu sekarang tiba-tiba ingin segera melamar aku?”

“Aku takut kehilangan kamu.”

Dan tatapan mata Abi yang selalu membuatnya terpesona itu, lagi-lagi meluluhkan hatinya. Ada bahagia yang mengoyak keangkuhannya untuk menolak keinginan Abi yang segera ingin melamarnya.

“Kapan kamu bisa menerima lamaran aku?”

“Kamu serius? Kamu sungguh-sungguh menginginkan aku?”

“Kamila, apa aku harus berlutut di hadapan kamu agar kamu percaya?”

Kamila tak harus menolak, kesungguhan Abi tak diragukannya. Karenanya dia mengangguk, bahkan air matanya merebak, karena haru yang menyelimutinya.

“Sungguh? Aku akan bersiap-siap, orang tua aku pasti akan segera datang untuk melamar kamu. Tapi nanti setelah menjadi istri aku, kamu tidak harus bekerja. Aku akan membawa kamu ke Jakarta. Kamu mau kan?”

“Apapun, aku akan mengikuti kamu.”

“Terima kasih MIla, aku bahagia mendengarnya. Aku berjanji tak akan membuat kamui meneteskan air mata duka. Kita akan bahagia bersama.”

Kebahagiaan karena janji akan dilamar, adalah sebuah cinta yang sudah hampir tiba di muaranya. Janji Abi sangat dalam dirasakannya. Lalu segala keraguan itu tiba-tiba sirna.

***

“Itu bagus, memang seharusnya kamu tidak menunggu terlalu lama. Aku agak khawatir melihat kalian selalu pergi berduaan. Bukan khawatir karena apa, tapi gunjingan tetangga sudah pasti ada. Memiliki anak gadis itu tidak mudah. Seperti menjaga sebuah kristal yang teramat mahal, jangan sampai cacat ataupun retak. Kamu tahu maksud bapak kan?”

“Iya Pak, Mila tahu.”

“Kapan mereka akan datang kemari. Beri kabar agar ibumu bisa mempersiapkan semuanya.”

“Dalam waktu dekat, dia baru akan bicara dengan orang tuanya.”

“Apakah orang tuanya ada di Jakarta?”

“Tidak, dia sendiri yang nantinya akan tinggal di Jakarta.”

“Pastinya kamu akan mengikutinya, kalau sudah menjadi istri, kan?”

“Dia sudah mengatakannya.”

“Ya sudah, bicara sama ibumu kalau sudah ada kepastian.”

Bu Rahman yang semula hanya diam, tampak sangat bahagia. Ia merangkul pundak Kamila dengan penuh haru.

“Memang bapak sama ibu ini sudah ingin punya cucu. Itu pula sebabnya, menunggu setahun lagi rasanya akan sangat lama. Syukurlah kalau dia berubah pikiran,” kata bu Rahman.

“Untuk keperluan pernikahan kamu, sudah bapak siapkan. Harus meriah, karena kamu adalah anak sulung bapak.”

Tiba-tiba bik Sarti menghadap majikan mereka yang sedang berbincang.

“Tuan, ada Damian yang ingin berpamit,” kata bik Sarti.

“Oh, dia jadi keluar? Apakah penggantinya sudah ada, Bu?”

“Sudah ada. Katanya baru dua hari lagi datang. Jadi sebelum dia datang, biarlah urusan menyiram tanaman, bik Sarti yang melakukannya.”

“Suruh Damian menunggu di depan, Bik,” kata pak Rahman yang segera berdiri, lalu mengambil sesuatu ke dalam kamarnya.

Tapi ketika keluar, dilihatnya Damian tidak sendiri. Ada Raya menemaninya.

***

Besok lagi ya.

39 comments:

  1. Asyiikk....manusang, bu Tien.🙏😀

    ReplyDelete
  2. 💞💐💞💐💞💐💞💐
    Alhamdulillah eSPe 18
    sudah tayang...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    🦋 Salam Aduhai 🦋
    💞💐💞💐💞💐💞💐

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien, mugi tansah sehat.

    ReplyDelete
  5. Wuah ndak sabaran, jadi kepancal d duluan pak Djoko hehehe matur nuwun mbakyuku Tien Kumalasari sayang udh njedul episode ke 18 nya, salam sehat dari Cibubur

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~18 sudah hadir, terimakasih, semoga bu Tien beserta keluarga tetap sehat .. Aamiin..🤲

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah SP-18 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  8. Terima kasih bu tien, salam hangat . Aduhai dan sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..

    ReplyDelete
  10. Mungkin Mila lega setelah ada janji akan dilamar, tapi bagaimana kalau mantan sekretaris Abi datang mengadu...
    Selamat kerja ditempat yang baru Damian, jangan lupa non Raya menunggu. Kamu bisa kuliah dulu.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Salam juga dari Depok bu Tien... matur nuwun

    ReplyDelete
  13. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip shg SP18 hadir bagi kami penggandrungnya.
    Semoga Abi sungguh menyesali kekurangan2nya di mata Kamila, dan Kamilapun memaafkannya.
    Semoga menjadi pasangan yg saling melengkapi...

    Monggo ibu, dilanjut aja, matur nuwun berkah Dalem...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun mbak Tien

    ReplyDelete
  15. Maturnuwun Bu Tien yg ditunggu-tunggu sdh datang S.P.18
    Sehat, semangat, salam aduhai.🙏

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, setelah beberapa hari saya kehilangan berita mengenai mbak Tien. Tapi saya positif thinking saja dan berdo'a....

    ReplyDelete
  17. Terimakasih Mbak Tien...
    Setangkai Bungaku
    https://sck.io/p/jfF3ejvE

    ReplyDelete
  18. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete
  19. Mila yang kena rayuan; mulai laporan pandangan mata sama ortu, sayang asal bapak senang, nggak menambahi catatan; ada perilaku kejiwaan yang bisa mengganggu kaya spikopat dibalik perubahan sikap yang mendadak. Masak mengajukan kandidat kok yang jelek-jelek diberi tahu nggaklah.
    Toh biyungnya menerima dengan senang hati.
    Masuk angin; kelamaan dipinggir kolam, banyak angan, ingin segera ikutan nyebur dikolam ikutan berenang bergerak ceria berbisik-bisik, kata kata indah seindah angannya.
    Nah kaya murid menghadap kepala sekolah berdua mengikrarkan proklamasi saling menyayangi, terima aja Dam; tuh mau di tambahi uang saku sama kepala sekolah.
    Buat bekal menggapai cita cita mu.
    Sudah dapat kerjaan di bengkel katanya, jadi penampakan berdua ini, menjadikan tanda ada sesuatu diantara mereka; iya kalau peka, masak nggak bisa men direct si anak bawang, wuah maknya mencak mencak, ngapain êloh disitu geser meuni atuh, teuk patut sareng jalmi tea.
    Sasar susur asal teriak, pênêr waé ora, duh gimana nich, itu kan maknya lagi latihan seriosa.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang ke delapan belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah semakin menggelitik, sebuah pesan18 nan indah. Terimakasih bu Tien audah memanjakan hatiku. Salam sehat selalu untuk bu Tien dan keluarga.

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu semua 🤗🥰

    Aduhaiiii ,, jd tambah penasaran ,, apa Raya mau ikut Damian 🤣🤭
    Mantab n aduhaiiii

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu semua 🤗🥰

    ReplyDelete
  23. Terima ksih SPnya bunda..salam seroja dri skbmi unk bundaqu🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  24. Menunggu itu katanya membosankan....tapi tidak untuk SEBUAH PESAN....
    Salam sehat penuh semangat dari Rewwin...🌿

    ReplyDelete
  25. Bu Tien dan Bapak Ibu yth

    Mohon info untuk sebuah pesan no 16 dan 17 apakah tidak tayang atau terhapus ya..
    Matursuwun

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...