CINTAKU BUKAN EMPEDU 48
(Tien Kumalasari)
Narita menatap Nungki yang memandanginya tak percaya. Memang, Nungki tidak percaya. Sudah lama bergaul dan berkumpul Narita, baru sekali ini mendengar Narita hamil.
“Kamu melakukannya lagi? Siapa kira-kira ayah dari bayi itu?”
Narita membulatkan matanya.
“Apa maksudnya ‘melakukannya lagi’?
“Narita, aku kan tahu siapa kamu, dari mana kamu berasal. Lihat saja, bajumu bagus, tas tanganmu bagus, ini pakaian kalangan atas. Kamu menemukan seorang bos yang kaya raya?”
Narita mengangkat tangannya dan menampar Nungki dengan keras.
Plaakkk!
“Narita!”
“Aku bukan lagi wanita rendahan seperti ketika kamu bertemu denganku untuk pertama kalinya. Aku wanita baik-baik, Nungki. Dan bayi yang aku kandung ini adalah darah dagingmu.”
Nungki tertawa keras sekali. Membuat beberapa polisi menoleh ke arah mereka.
“Kamu jangan bercanda, Narita. Kamu bergaul dengan banyak laki-laki, lalu kamu hamil, dan dengan entengnya kamu mengatakan bahwa itu adalah anakku?” kata Nungki sinis, membuat hati Narita sakit, dan menyesal telah kembali menemuinya.
“Aku tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Ini adalah darah dagingmu, Nungki!” kata Narita hampir berteriak.
“Oh ya? Lalu siapa memberi kamu baju-baju bagus ini, sepatu bagus, tas bagus, dandanan yang apik?”
“Aku ketemu saudara kembar aku, suaminya adalah Alfian, yang dulu hampir menjadi suami aku dan kamu merusak semuanya,” kesal Narita.
Nungki terbelalak. Ia ingat, seorang gadis bernama Aliyah yang mengaku saudara kembar Narita. Ia hampir mendapatkan satu milyar rupiah kalau saja dia bisa menemukan nomor kontak orang yang menjanjikan hadiah itu. Lalu dia keburu ditangkap polisi.
“Kamu bertemu dia?”
“Dia memberi aku pakaian bagus, uang, dan akan membuatkan rumah untuk aku. Aku merasa sudah menemukan duniaku yang lebih tenang, ketika tiba-tiba ternyata aku hamil enam minggu. Ini adalah anakmu, Nungki. Hanya kamu yang berhubungan dengan aku selama ini. Sebenarnya aku juga tak menginginkannya, tapi aku tak harus menggugurkannya. Ini adalah nyawa seorang calon manusia,” katanya pedih.
Rupanya hati Nungki tersentuh oleh kata-kata Narita, yang mengungkapkannya dengan sepenuh rasa prihatinnya.
“Anakku …,” bisiknya lirih sambil menatap Narita tak berkedip.
“Sebenarnya aku tak suka anakku terlahir sebagai anak seorang penjahat seperti kamu. Kasihan dia.”
Nungki meraih tangan Narita. Sakit sekali disebut penjahat. Sakit sekali menjadi ayah yang jahat. Tapi Nungki mengakui kesalahannya selama ini. Hatinya bergetar ketika ia menyadari akan menjadi ayah. Ia melihat air mata menitik di pipi Narita, lalu ia mengusapnya dengan telapak tangannya.
“Aku berjanji akan menjadi ayah yang baik bagi anakku,” bisiknya lembut. Narita belum pernah mendengar Nungki berkata dengan nada selembut itu. Hatinya sedikit tersentuh. Itu sebabnya air matanya menjadi luruh.
“Aku akan meminta ijin untuk menikahi kamu. Tapi aku minta maaf, selama aku di dalam penjara, aku tak bisa menafkahi kamu dan anakku.”
Narita membiarkan Nungki meremas tangannya. Ternyata inilah jalan terbaik yang ditemuinya. Tak perlu membuat tubuhnya limbung dan jiwanya sakit. Ada kekuatan yang tiba-tiba mampu menyangga jiwanya dari keterpurukan. Nungki yang seorang penjahat telah melakukannya. Menghidupkan nyala lilin yang nyaris padam dalam kehidupannya. Ia rela menunggu, entah sampai kapan.
***
Saat makan siang itu, Aliyah beristirahat dari kegiatannya belajar. Tampaknya Aliyah senang, bisa menemukan banyak hal yang belum pernah diketahuinya. Farah mendekat dan mengatakan apa yang didengarnya dari Pinto.
“Benarkah? Kamu sudah menelpon dan dia ada di sana untuk menemui Nungki?”
“Benar Nyonya, non Narita sendiri yang mengatakannya.
“Aku akan menelponnya.”
Aliyah mengambil ponselnya, lalu segera terhubung dengan saudara kembarnya.
“Aliyah, ini kamu? Dengar Aliyah, hatiku telah terbuka, dan aku tahu, kamu benar, memang inilah jalan terbaik untuk aku. Terima kasih atas perhatian dan cinta yang kamu berikan. Sekarang ini, Nungki bersedia menikahi aku, dan tetap menjadi ayah dari bayi yang aku kandung ini,” kata Narita panjang lebar, membuat Aliyah berlinang air mata karena bahagia.
“Kapan kalian menikah?”
“Secepatnya.”
“Aku akan minta tolong mas Alfi untuk mengurusnya.”
Aliyah menutup ponselnya lalu mengusap air matanya.
“Akhirnya Afifah menemukan jalannya. Jalan terbaik untuk hidupnya.”
“Saya ikut senang mendengarnya. Beberapa hari ini non Narita tampak seperti orang kehilangan pegangan.”
“Aku hampir saja menyesatkannya. Tapi sekarang aku bahagia.”
“Ada apa nih, kelihatannya ada pembicaraan penting. Tapi mengapa kamu menangis, Aliyah.”
Begitu melihat suaminya datang, Aliyah langsung menyambutnya, dan mencium tangannya. Alfian menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Aku menangis karena bahagia, Mas. Aku harus berterima kasih, karena Mas telah menuntun aku ke jalan yang baik, yang tadinya membuat aku tersesat.”
“Apa itu? Aku tidak mengerti,” kata Alfian sambil menatap mesra wajah istrinya.
“Afifah sudah mau bertemu Nungki, dan Nungki bersedia menikahinya.”
“Haa, itu bagus. Jadi kamu tak perlu bersedih lagi.”
”Mas, tolong Mas menyuruh siapapun, untuk mengurus pernikahan Afifah di tempat dia ditahan.”
“Baiklah, kamu tidak usah khawatir. Akan ada orang yang mengurusnya.”
“Terima kasih, Mas Alfi.”
“Tuan, Nyonya, makan siang sudah siap,” kata Farah tiba-tiba.
“Terima kasih, Mbak Farah.”
“Oh ya, Aliyah, nanti sore Farah tidak usah memasak untuk makan malam kita. Pinto meminta ijin untuk mengajaknya jalan-jalan.”
“Ah, itu bagus sekali. Biar aku saja yang masak.”
“Tidak Aliyah, kita juga harus keluar untuk jalan-jalan. Sekali-sekali makan di luar, tidak apa-apa kan?”
Farah yang mendengar hal itu tersenyum dan menyembunyikan kebahagiaannya. Rupanya Pinto benar-benar sudah minta ijin untuk mengajaknya jalan-jalan, di sore hari itu.
“Terima kasih Mas, Mas Alfi selalu baik dan bersikap manis kepada siapapun juga, terutama kepada aku,” kata Aliyah sambil menggandeng tangan suaminya ke arah ruang makan.
“Tentu saja aku selalu bersikap manis untuk kamu, karena cintaku bukan empedu,” kata Alfian, membuat Aliyah tertawa.
“Apa tuh, cinta bukan empedu?”
“Ya cinta yang manis, bukan cinta yang pahit. Empedu itu kan pahit? Nah, cinta yang penuh empedu adalah cinta palsu. Katanya cinta tapi menimbulkan perasaan pahit.”
“Aku tidak mengerti.”
“Kalau cinta, lalu tiba-tiba meninggalkannya, itu pahit kan? Membuat luka, membuat sedih.”
“O, aku tahu, itu ketika Mas ditinggalkan oleh Narita, bukan?” goda Aliyah.
“Apa tuh? Nyindir masa lalu aku? Tidak benar, perjalanan hidup adalah sebuah proses untuk menuju ke sebuah muara. Aku sudah mencapainya, dan aku bahagia bersama kamu. Yang lalu biarlah berlalu.”
Aliyah tersenyum. Ia mengerti bahwa Alfian benar-benar mencintainya, entah dari kalangan apa ia dijatuhkan. Cinta bisa datang tiba-tiba, tapi bisa datang perlahan seperti hembusan angin lembut yang menyejukkan.
“Ayo makan, mengapa menatap aku seperti itu?”
Aliyah tersenyum. Menatap wajah gagah nan tampan itu tak berkedip. Seperti mimpi rasanya ketika seorang papa bertemu pangeran dengan kuda bersayap, lalu mengajaknya terbang mengelilingi semesta.
***
Sore itu Aliyah setelah selesai belajar, ia mandi lebih awal, karena setelah maghrib Alfian akan mengajaknya jalan-jalan. Tapi Aliyah ingin mampir ke hotel untuk menemui Narita. Ia membawa beberapa macam makanan yang sudah dipesannya, untuk diberikan kepada saudari kembarnya, sekaligus mengungkapkan kegembiraannya atas kesediaan Narita untuk dinikahi oleh laki-laki yang meneteskan benih ke rahimnya, karena itu memang tanggung jawabnya. Tapi Alfian yang masih saja merasa tak suka pada Narita, menolaknya.
“Tidak usah. Biarkan Farah yang membawa makanan itu ke hotel dan memberikannya. Bukankah dia juga mau keluar?”
“Tapi aku juga ingin bertemu dia.”
“Bukankah kamu sudah sering ketemu? Kalau tidak ketemu sehari saja kan tidak apa-apa? Aku tidak ingin acara jalan-jalan kita terganggu oleh acara lain.”
“Mas, kan hanya mampir sebentar, apakah itu mengganggu?” protes Aliyah.
“Sangat mengganggu. KIta langsung pergi saja, biar Farah yang membawanya, kalau memang kamu ingin memberinya makanan.”
Aliyah diam. Ia merasa bahwa suaminya masih saja tak suka pada Narita, dan itu membuatnya kecewa.
“Mas, apakah Mas tidak mau memaafkan dia?”
“Apa maksudmu?”
“Mas selalu menampakkan rasa tidak suka sama Afifah. Dia kan sudah menyadari kesalahannya, meminta maaf dan juga mengucapkan terima kasih atas semua bantuan Mas?”
“Siapa bilang aku tidak memaafkannya? Aku maafkan kok.”
“Tapi Mas kelihatan keberatan kalau aku mengajak Mas untuk bertemu. Itu berarti Mas belum bisa memaafkannya.”
“Belum bisa melupakan apa yang dilakukannya, itu kalimat yang tepat.”
“Mas, tolong lupakanlah. Aku mohon. Aku yakin dia pasti sangat menyesali perbuatannya.”
Alfian diam beberapa saat lamanya. Ia melihat wajah sang istri muram mendengar jawabannya. Ia menyentuh bahunya dan tersenyum lembut.
“Apa kamu marah? Baiklah, nanti kita mampir ke hotel untuk menemui saudari kamu. Tapi hanya sebentar.”
“Mas bisa memberi petuah tentang kebaikan, tapi Mas tidak menjalaninya.”
“Tidak, kamu salah menilai aku. Memaafkan seseorang bisa dengan seketika dilontarkan, tapi melupakan sebuah peristiwa yang membuat kecewa, memerlukan waktu beberapa saat. Tapi bahwa aku akan segera melupakannya. Pasti aku melakukannya. Jangan marah ya? Siapkan apa yang ingin kamu bawa ke hotel. Aku mau mandi dulu.”
Aliyah bergeming. Ketika Farah melintas, ia melambaikan tangannya.
“MBak Farah, nanti kalau Mbak keluar, maukah membawa makanan yang sudah aku siapkan itu untuk Afifah? Hanya beberapa buah-buahan dan cemilan, barangkali dia memerlukannya.”
“Baik Nyonya, nanti saya akan minta mas Pinto untuk mampir ke hotel sebentar.”
“Terima kasih Mbak.”
***
Narita yang sudah beristirahat di hotel, terkejut melihat Pinto datang bersama Farah. Mereka tampak sangat mesra, dan Narita segera tahu apa arti hubungan mereka sebenarnya. Ada rasa malu ketika siang itu berbicara yang tidak-tidak pada Pinto, bahkan meminta untuk menikahinya. Narita sadar, waktu itu pikirannya sedang bingung, terombang ambing oleh keadaan yang menimpanya. Tapi sekarang dia merasa lebih tenang.
“Ini kiriman dari Nyonya Aliyah untuk Non Narita,” kata Farah sambil meletakkan barang-barang yang dibawanya.
“Terima kasih, Farah.”
Lalu Narita menjabat tangan Pinto.
“Mas Pinto, maafkan saya ya.”
“Memangnya Mbak Narita salah apa?”
“Aku tadi bicara yang tidak-tidak. Pasti mas Pinto memandang rendah saya.”
“Tidak. Sama sekali tidak. Saya tahu apa yang Mbak rasakan. Pasti dalam keadaan bingung dan tertekan oleh keadaan.”
“Terima kasih atas pengertiannya.”
Pinto hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Non, apakah Non ingin memesan sesuatu?”
“Tidak, Farah. Terima kasih.”
“Kalau begitu saya mohon diri.”
Narita tersenyum dan berbisik di telinga Farah.
“Kapan menikah? Aku ikut bahagia untuk kamu.”
Farah tersipu malu, ia tak menjawab, dan segera mengajak Pinto berlalu.
Narita menatap punggung keduanya dengan perasaan tak menentu. Mereka tampak bahagia, dan dia tak pernah merasakan kebahagiaan itu. Cinta, baginya hanyalah semu. Bukan salah siapa-siapa, tapi salah dia sendiri karena melangkah di jalan yang salah. Kalau dulu-dulu tak ada yang mengingatkannya, itu karena memang ada saat di mana dia bisa menemukan jati dirinya. Baru sekarang. Apakah itu terlambat? Tidak. Narita menyadari tentang sebuah garis kehidupan. Memang inilah yang harus dijalaninya.
“Semoga Nungki bisa menjadi suami yang baik untuk aku, dan ayah yang baik bagi anakku,” bisiknya pelan, kemudian membaringkan lagi tubuhnya. Ia merasa sangat lelah.
***
Ketika berangkat, Alfian heran karena Aliyah tidak membawa apa-apa, yang katanya akan diberikannya pada Narita.
“Mana barang-barang yang akan kamu berikan pada Narita?”
“Tidak jadi,” jawab Aliyah singkat.
“Kenapa?”
“Sudah dibawa mbak Farah.”
“Baiklah, tapi jangan sambil merengut dong jawabnya,” kata Alfian sambil merangkul istrinya.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Aliyah.
“Ya sekarang. KIta akan jalan-jalan, dan makan di luar,” kata Alfian sambil menggandeng tangan istrinya. Kirman menunggu di depan, tapi Alfian akan menyetir mobilnya sendiri.
“Kamu jaga rumah ya Man?”
“Baik, Tuan.”
Aliyah masih terdiam ketika ia sudah menaiki mobil bersama suaminya.
Alfian terus memegangi tangan Aliyah, yang mendiamkannya saja. Tapi Aliyah terkejut, ketika Alfian menghentikan mobilnya di depan kantor polisi.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete๐๐
Mtrnwn
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDelete๐⚘๐⚘๐⚘๐⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 48
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai ๐น๐ฆ
๐⚘๐⚘๐⚘๐⚘
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulilah, matur nuwun inggih mbakyuku Tienkumalasari sayang, salam aduhaai dan kangen dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdullilah .terima ksih cbe nya bundaa..slmt istrhat dan salam seroja tetap aduhai dri skbmi๐๐๐น❤️
ReplyDeleteTur nuwun bu Tien, salam sehat selalu. Tetap ADUHAI
ReplyDeleteSuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun bu
Soga sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien, semoga sehat selalu.
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah Cintaku Bukan Empedu 48 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat dari Tangerang.
Alhamdulillah..tayang lebih awal..๐คฒ
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien.๐๐
Salam sehat selalu kagem bunda.
Semua tulisan bunda Tien Kumalasari tidak sekedar disebut cerbung, tetapi tulisan yang berisi 'pitutur luhur'. Dapat kita temukan seperti sikap yang suka menolong, jangan membenci, persamaan derajat, pangkat, suka kepada kebaikan dan jauhi kejahatan.
ReplyDeleteMungkin diakhir cerita ini Alfian membantu Nungki menjadi orang baik.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien...
Salam sehat selalu...
Alhamdulillah.... Terimakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE-48 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~48 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..๐
ReplyDeleteAlhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat dan selalu semangat. Aduhai.
Alhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ๐ท๐ท๐ท๐ท๐ท
Trima kasih Bunda Tien Kumalasari, salam aduhai dari Pasuruan
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteKรชrรจn
ReplyDeleteTuan Alfian mau membebaskan bersyarat pada Nungki, untuk menyelesaikan nikahnya dengan Narita biar sah jadi pasutri.
Heboh ketemuan Narita di tempat penginapan sementara sambil menunggu renovasi rumah nenek Supi.
Kejutan kejutan yang berikan Alfian untuk kebahagiaan sang tercinta Aliyah
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke empat puluh delapan sudah tayang
Sehat sehat ya Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Terimakasih bunda Tien, Alhamdulillah.. permasalahan Narita sudah hampir selesai..
ReplyDeleteMbak Tien memang luar biasa memberi teladan melalui novel...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Semoga sehat selalu..
Aamiin.. ๐๐๐๐น❤️
Pertolongan Tuhan yg maha kuasa, tdk pilih kasih kpd semua ciptaanNya dg kehendakNya. maka.. jadilah..
ReplyDeleteTks ya Alloh..
Tks bu Tien yg sdh menuliskan cerbung nya dg indah dan menenangkan hati pembacanya.. 19052023
Terimakasih Bu Tien... Salam sehat selalu...
ReplyDelete