CINTAKU BUKAN EMPEDU 47
(Tien Kumalsari)
Narita terkejut, karena dokter itu mengatakannya hampir berteriak.
“Anda pikir saya mau melakukannya?”
“Barangkali dengan bayaran yang lebih tinggi?” tak tahu diri Narita masih mengajukan tawaran, tapi ucapan itu membuat sang dokter menjadi semakin marah.
“Saya tidak doyan uang berlumur dosa. Kalau Ibu bersedia memikul dosa itu, pikul saja sendiri, jangan membawa-bawa saya.”
“Maaf dokter, sebenarnya saya terpaksa melakukannya.”
“Apakah ketika ibu berhubungan, juga melakukannya dengan terpaksa?”
Narita diam membisu. Terpaksa kah dia melakukannya? Tidak. Semua dilakukan atas dasar suka sama suka. Gelimang dosa yang nikmat, tanpa sadar bahwa semua itu akan membuatnya menerima segala akibat. Dan akibat itu adalah buruk, siksa dan papa. Mengapa benih tak berdosa harus menjadi korban?
“Dimana suami Ibu? Atau barangkali … ayah dari bayi ini?”
“Ada. Kami bukan suami istri,” kata Narita berterus terang.
“Suruh dia bertanggung jawab, bukan kemudian Anda ingin melenyapkannya. Apakah Anda sadar bahwa Anda melakukan dosa yang berlipat? Anda melakukan zina, lalu Anda akan mengadakan pembunuhan?”
“Tapi saya tidak ingin dia menjadi ayah anak saya ini.”
“Anda ini bagaimana? Memang dia ayahnya, kenapa Anda tidak ingin?”
“Dia dipenjara.”
“Oh ya? Sulitkah menikah di penjara? Bisa kok.”
“Tolong saya dokter,” Narita masih merengek, sekarang dia bahkan menitikkan air mata. Tapi dokter itu bergeming.
“Tidak. Saya tidak ingin terjun ke dalam dosa bersama Anda. Kalau saya menolong, yang saya lakukan adalah memberi sedikit saran untuk Anda. Menikahlah dengan laki-laki itu, dan rawat bayi yang Anda kandung. Dia suci tak berdosa. Allah menitipkannya kepada Anda, apa Anda tahu?”
“Dokter ….”
“Silakan keluar, Ibu. Masih banyak pasien saya menunggu.”
***
Narita keluar dari ruangan dokter dengan rasa putus asa. Keinginan merawat bayi yang sebelumnya ada dalam benaknya, buyar ketika Aliyah ternyata tak mau mencarikan ‘ayah’ bagi anaknya. Kalau dia tidak menikah, bagaimana kalau nanti dia bertanya di mana ayahnya?
Narita berjalan dengan perasaan tak menentu. Kejadian yang tak pernah diinginkannya, menjadikan impian untuk hidup tenang setelah bertemu saudara kembarnya, menjadi buyar.
Ia ingin bertobat. Ia tahu hari-hari yang dilaluinya adalah gelap dan kotor. Saatnya membersihkan diri, dan dia siap melakukannya. Tapi kehadiran bayi ini menjadikan kendala dalam menjalani hidup selanjutnya.
Ia berjalan tersaruk dan sedikit limbung. Ia harus berpegangan pada tiang listrik yang ada di dekatnya, kalau tak ingin jatuh tertelungkup.
Narita lupa belum minum obatnya. Sekarang kepalanya terasa sangat pusing. Sebelah tangannya masih berpegang pada tiang listrik itu, ketika seseorang memanggilnya, dengan nama saudara kembarnya.
“Aliyah?”
Narita menatap seorang laki-laki muda yang melangkah mendekatinya. Ia merasa pernah bertemu, tapi lupa di mana.
“Maaf, pasti Anda saudara kembar Aliyah, bukan?”
Laki-laki itu tahu bahwa Aliyah punya saudara kembar. Tentu saja, dia adalah Pinto yang akan kembali ke rumah kost nya setelah berbelanja barang keperluannya.
“Benar, saya Narita.”
“Saya sudah tahu tentang Anda, Mbak Narita. Nama saya Pinto, sahabat Aliyah.”
“Oh,” hanya itu yang diucapkan Narita. Ia merasa kepalanya berputar. Matanya mencari-cari, barangkali ada tempat duduk di sekitar tempat itu. Tapi tak ada. Yang ada hanyalah sebuah warung makan di pinggir jalan.
“Mbak Narita sakit?”
“Kepala saya pusing, saya mau duduk di situ,” katanya sambil menunjuk ke arah warung.
“Biar saya bantu,” kata Pinto yang kemudian memapah Narita, masuk ke dalam warung, kemudian duduk di situ.
“Pesan minuman hangat ya?”
Tanpa menunggu jawaban, Pinto memesan dua gelas teh panas.
“Mbak Narita dari mana? Tampaknya sakit.”
“Bukan sakit karena penyakit.”
“Maksudnya?”
Pelayan warung menyajikan teh yang dipesan.
“Minumlah dulu. Apa Mbak ingin makan?”
“Tidak. Minum saja,” kata Narita sambil menyeruput minumannya sedikit, karena masih sangat panas.
“Mas Pinto kenal baik sama Aliyah?”
“Kami sahabatan, karena saya kost tak jauh dari rumah Aliyah. Saya ingat, dulu saya pernah menyapa Mbak Narita yang saya kira Aliyah. Saya sempat sakit hati karena Mbak mengatakan tak pernah kenal sama saya. Setelah tahu bahwa Aliyah punya saudara kembar, saya mengerti, bahwa yang saya sapa bukan Aliyah.”
“Iya, saya ingat itu,” kata Narita sambil mencoba menyeruput lagi minumannya. Sudah berkurang panasnya, sehingga Narita bisa meminumnya lebih banyak, dan itu membuat tubuhnya terasa lebih segar.
“Mbak Narita tampak sakit. Tapi mengapa tadi mengatakan bahwa sakitnya bukan penyakit? Saya tidak mengerti.”
“Maukah mas Pinto menolong saya?”
“Kalau saya bisa melakukannya, pasti saya akan menolong Mbak.”
“Menikahlah dengan saya,” kata Narita tandas, tanpa ragu, tanpa malu.
Pinto terkejut, sehingga gelas yang sudah dipegangnya dan hampir diminumnya, terguling dimeja, dan airnya meluncur juga ke bawah, membasahi celananya.
“Adduh, maaf … maaf ….”
Pinto segera meminta tolong pelayan warung untuk membersihkan tumpahan teh itu, sambil mengibas-ngibaskan tangannya pada celananya yang basah.
Narita bergeming, sambil menundukkan wajahnya.
“Maaf ya, permintaan saya sangat tidak pantas,” katanya pelan, setelah keduanya berpindah tempat saat pelayan membersihkan mejanya.
“Mengapa Mbak Narita berkata begitu? Ini membingungkan saya.”
“Saya hamil,” kata Narita berterus terang, dan Pinto kembali terkejut.
“Siapa yang … melakukannya?”
Narita tak menjawab.
“Tolonglah saya, kalau tidak, saya akan menggugurkan kandungan saya.”
“Astaghfirullah, jangan Mbak. Bayi itu tidak berdosa.”
“Saya harus mencarikan ayah bagi anak saya. Laki-laki yang baik, yang bisa meneladani anaknya dengan perilaku yang terpuji.”
“Apakah Aliyah tahu tentang kehamilan Mbak?”
Narita mengangguk.
“Lalu apa kata Aliyah?”
Narita menggeleng-gelengkan kepalanya. Pinto tidak mengerti, mengapa tiba-tiba Narita ingin agar dia menikahinya.
“Siapa ayah bayi itu?”
“Jangan tanyakan dia. Dia seorang penjahat.”
“Di mana dia?”
“Di tahan polisi.”
“Tapi dia harus bertanggung jawab. Dialah yang harus menikahi Mbak Narita.”
“Jadi Mas tidak mau menikah dengan saya?”
“Maaf, bukan saya tidak mau menolong, tapi ada yang lebih berhak dari saya. Dan kalau tidak ada lagi yang bisa saya lakukan di sini, saya pamit, soalnya saya sedang bertugas, ini dari berbelanja barang-barang untuk keperluan tempat saya bekerja,” kata Pinto sambil berdiri, lalu membayar dua gelas minum yang sudah dipesannya.
“Mas Pinto, tidak mau menolong saya?”
“Maaf Mbak, tapi tolong, jangan melakukan dosa lagi. Bayi itu harus dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayang,” kata Pinto sambil berlalu.
Narita mengusap air matanya, kemudian ikut keluar dari warung itu. Ia memanggil taksi untuk membawanya ke hotel.
***
Narita bingung. Tak ada yang mau membantunya. Bahkan wajahnya yang cantik tidak bisa meluluhkan seorang pria yang baru saja ditemuinya. Bahkan ancaman akan menggugurkan kandungan tetap membuatnya tak luluh.
“Susah ya, menikahi wanita hamil?” gerutunya sambil menunggu taksi yang dipanggilnya. Kemudian dia berpikir tentang Nungki. Semua orang menyarankan agar Nungki lah yang harus menikahinya.
“Ya Tuhan, sungguh aku tidak mau diperistri olehnya. Sungguh aku tidak mau dia menjadi ayah dari bayi yang aku kandung ini. Tapi kan memang dia ayahnya?” gumamnya sambil berdiri di pinggir jalan. Agak kesal rasanya, menunggu taksi yang dipanggilnya tak kunjung datang. Tak terasa ia mengelus perutnya, walau rata tapi ada yang hidup didalam rahimnya. Tangan Narita gemetar. Yang hidup di situ adalah darah dagingnya.
Ketika taksi itu datang, Narita segera naik ke dalamnya. Ia mengubah niatnya, dari kembali ke hotel, kemudian menuju ke kantor polisi. Hanya itu hal terbaik yang harus dilakukannya. Sejelek apapun, Nungki adalah ayah dari bayi ini. Kesadaran yang tiba-tiba muncul, membuat hatinya lebih tenang.
Narita menghela napas panjang. Seharian mencari jalan keluar, akhirnya ia menemukan sesuatu yang dicarinya. Barangkali memang inilah jalan hidup yang harus ditempuhnya. Hidup bersama Nungki, yang menjadi pesakitan, entah akan berapa lama.
***
Farah sedang sibuk di dapur. Jam makan siang tak lama lagi, dan akhir-akhir ini tuan Alfi selalu pulang saat makan siang. Aliyah sedang belajar sejak beberapa jam lalu. Farah senang, sang nyonya sangat rajin, dan bersemangat mengikuti pelajaran yang diajarkan.
Ia terkejut ketika ponselnya berdering.
Tapi kemudian senyumnya mengembang, ketika melihat siapa yang menelpon.
“Ya, mas Pinto?”
“Sedang sibuk ya?”
“Iya Mas, masak buat makan siang. Kesini saja, makan siang di sini,” undang Farah.
“Wah, jam istirahatku tidak lama, bisa terlambat aku, kalau harus datang kemari untuk makan siang. Aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Ya, katakan saja, acara jalan-jalan nanti sore batal ya?” kata Farah berdebar.
“Tidak. Aku hanya ingin mengatakan, barusan aku ketemu Narita.”
“Lhoh, ketemu di mana?”
“Dia lagi jalan, dan kelihatan sakit.”
“Kenapa dia jalan-jalan sampai ke dekat situ?”
“Bukan, aku ketemunya di daerah pasar. Aku sedang belanja keperluan kantor rumah makan. Tiba-tiba melihat dia. Tadinya aku memanggil dia Aliyah, ternyata bukan. Kami sempat bicara banyak. Dia bersikap akrab begitu tahu bahwa aku teman Aliyah.”
“Lalu, dia bicara apa?”
“Dia agak pusing, lalu aku antarkan dia ke sebuah warung, lalu kami memesan teh panas.”
“Dia memang sedang sakit. Kenapa pergi ke mana-mana?” kesal Farah.
“Sakitnya bukan karena penyakit, itu yang dia katakan.”
“Dia mengatakan itu? Bahwa dia hamil?”
“Dia bahkan minta agar aku menikahi dia.”
“Apa?” Farah berteriak kaget. Rasa khawatir kembali menguasai pikirannya.
“Kenapa berteriak? Telingaku sampai berdengung,” keluh Pinto.
“Jadi Mas mau menikahi dia?” kata Farah dingin.
“Ya tidak. Dia bilang ayah bayi itu ada. Jadi aku sarankan dia agar meminta agar dia menikahinya. Bukankah itu yang terbaik?”
Farah menghempaskan napas lega.
“Syukurlah. Aku hampir kehilangan Mas Pinto,” kata Farah pelan.
Pinto tertawa senang.
“Kamu tidak akan kehilangan aku.”
“Syukurlah.”
“Tapi ada yang membuat aku khawatir. Tadi dia mengancam akan menggugurkan kandungan.”
“Apa?” Farah berteriak lagi.
“Jangan berteriak lagi. Tadi aku sudah berbicara banyak. Intinya aku mengatakan bahwa bayi itu tak berdosa, dan banyak lagi. Semoga dia mau mendengarkan kata-kataku.”
“Baiklah, terima kasih Mas, aku akan menghubungi dia sekarang juga. Khawatir kalau dia nekat. Nanti sore kalau ketemu aku akan bicara banyak.”
Farah buru-buru menutup ponselnya. Rasa khawatir kalau sampai Narita benar-benar menggugurkan kandungannya, memenuhi benaknya. Ia segera menelponnya. Untunglah, tak lama kemudian Narita mengangkatnya.
“Non Narita?”
“Ya, Farah?”
“Non ada di mana?”
“Aku mau ke kantor polisi.”
“Untuk apa?”
“Menemui Nungki.”
Farah merasa lega. Ia berharap Narita melakukan hal baik untuk bayinya.
***
Narita turun dari taksi, dan merasa kepalanya kembali pusing. Ia menyesal tak minum obat sebelum berangkat. Ia melangkah pelan ke arah kantor polisi, tapi kemudian dia terjatuh, karena tak ada tempat untuk berpegang.
Beberapa polisi datang memburunya, lalu mengangkatnya ke dalam karena Narita kelihatan sangat lemas.
Narita didudukkan di sebuah kursi, lalu bersandar di kursi itu dengan lemas.
“Ibu sakit?”
“Agak pusing.”
“Sebenarnya Ibu mau ke mana?”
“Eh, ini kan yang kemarin pernah datang kemari?” kata salah seorang polisi.
“Ini saudaranya pak Nungki? Ya kan Bu?”
“Ya.”
“Ibu ingin menemuinya?”
Narita mengangguk.
Salah seorang polisi membawakan teh hangat dan yang lainnya segera masuk, kemudian keluar dengan membawa Nungki.
Nungki terkejut melihat Narita datang kembali, wajahnya pucat, dan sangat lemas. Narita sedang meneguk teh hangatnya.
“Narita?” kali ini wajah Nungki sangat serius. Ia khawatir melihat keadaan Narita.
Narita meletakkan gelasnya di meja, lalu berusaha duduk dengan tegak.
“Kamu sangat pucat. Kamu sakit?” tanya Nungki khawatir.
“Nungki ….”
Narita melambaikan tangannya ke arah Nungki, agar Nungki lebih mendekat.
“Apa yang terjadi? Kamu tinggal di mana? Kamu hidup enak ya? Baju kamu bagus-bagus. Ketika kemarin datang, kamu juga mengenakan baju bagus, berdandan cantik.”
Narita agak kesal karena Nungki malah membicarakan bajunya. Tapi sebenarnya Nungki khawatir, Narita kembali ke dunia lamanya, di mana dia telah mengentaskannya dari kubangan hitam itu.
“Kamu tidak kembali melakukannya kan?”
“Nungki, aku hamil,” kata Narita lirih.
Nungki terbelalak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteWah cepat...makasih, bu Tien sayaang...ππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien
ReplyDeleteMatursuwun mb Tienπ
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~47 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..π
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah ... trimakasih Bu Tien. Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteBegitulah baiknya, Nungki yang harus bertanggung jawab. Perasaanku Nungki akan cepat keluar dan hidup bersama Narita, berubah menjadi orang baik.
ReplyDeleteYang lain akan mengalir seperti perkiraan kebanyakan pembaca.
Sudah episode 47, mungkin tinggal sedikit episode.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah...suwun bunda Tien...yg ditunggu sdh hadir
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdullilah..terima ksih bunda Tien cbe nya..slm sht dan aduhai unk bundaπππΉπ
ReplyDeleteAlhamdulilah cbe sdh tayang ... selamat malam bu tien ...salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteCBE 47 sdh hadir...
Matur nuwun bu Tien...
Salam sehat selalu...
π⚘π⚘π⚘π⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 47
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai πΉπ¦
π⚘π⚘π⚘π⚘
Matur nuwun bunda Tien...ππ
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE-47 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, jg sapaannya semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Terimakasih Bu Tien... Salam sehat dan sukses..
ReplyDeleteAohamdulillah Cintaku Bukan Empedu eps 47 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari.
Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
SEMOGA KOMEN SAYA INI TIDAK HILANG
Alhamdulillah Cintaku Bukan Empedu eps 47 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari.
Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam hangat dari Tangerang.
SEMOGA KOMEN SAYA INI TIDAK HILANG
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dari Yogya...
ReplyDeleteAlhamdulillah... Trm ksh bu Tien.
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMudah²an Nungki mau bertanggung jawab ya.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteNungki curiga tuh, jangan jangan balik kedunia lain, bajunya bagus bagus lagi.
ReplyDeleteMasa seeh gitu aja terus nggak memberi tanggal merah.
Capek dong kerja mulu, terus langsung maen cuti aja.
Dari mana dia dapat baju baju bagus gitu coba, kan dhuwitnya udah aku pakΓ© semua, dari mana dia dapat duwit.
Kan nemuin buat mengakui ini, paket komplit, eh malah nggedein curiga.
Kalau nggak mau, yaudah niatan mau suruh ikutan merawat bareng bareng malah; enaknya sendiri.
Gimana nich atau biar aja membesarkan sendiri, toh nanti kembarnya nggak tega pasti; bansos dari kembaran nya mengucur.
Untuk apa kesini menemui kamu, kalau kamu nggak mau mengakui, percuma mendatangi kamu.
Blegitu lah susahnya klumbrak klumbruk asal tubruk
Kan kaya disandera waktu itu, maen ancam lagi.
Lho kan janji pengentasannya mau selalu bersama; itu kalau mengikuti mulut mabok nggak ada bener benernya sama sekali kan.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke empat puluh tujuh sudah tayang
Sehat sehat selalu Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Maturnuwun bu Tien
ReplyDelete