CINTAKU BUKAN EMPEDU 46
(Tien Kumalasari)
“Apa yang kamu lakukan?”
“Ada apa Mas?”
Kamu membuat Farah menangis. Kamu tidak sadar bahwa kamu telah melukai dia?”
“Aku … apa kata-kataku tadi melukainya?”
“Memangnya kamu mengatakan apa?”
“Ada hal yang belum sempat aku katakan sama Mas, soalnya kita baru saja ketemu. Tapi apapun yang trerjadi, aku pasti mengatakannya sama Mas”
“Baiklah, sekarang kita sudah ketemu. Katakan ada apa.”
“Afifah hamil.”
“Lalu?”
“Tapi bukankah Farah sudah mengatakan semuanya sama Mas?”
“Tapi aku ingin mendengar sendiri dari mulut kamu.”
“Baiklah, aku juga tak bermaksud menutupinya dari Mas. Aku pasti akan mengatakannya."
“Baiklah, sekarang kamu boleh mengatakannya.”
“Dia hamil, tapi tidak mau menikah dengan Nungki, sementara Nungki adalah ayah dari bayi yang dikandungnya.”
“Lalu?”
“Alasannya adalah karena Nungki itu jahat, pemabuk, penjudi, penipu. Aduh, akupun juga tidak suka Mas. Karenanya aku ingin dia mendapatkan suami yang baik, yang bisa meneladani budi baik untuk anaknya kelak.”
“Lalu?”
“Sebenarnya aku ingin agar mas Pinto mau membantunya, lalu_”
“Apa kamu berpikir, bahwa demi saudari kamu yang tersesat itu, kamu kemudian mengorbankan orang lain demi dia? Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu benar?”
“Aku … kasihan sama dia.”
“Baiklah, kamu kasihan sama dia, lalu kamu tidak kasihan kepada Pinto? Kepada Farah yang mulai menyukai Pinto?”
“Aku hanya minta menikahi sampai bayi itu lahir.”
“Aku tahu kamu lugu dan tidak begitu pintar. Maaf Aliyah, mencari kesenangan atau kepuasan dengan mengorbankan orang lain itu tidak benar. Jangan pernah melakukan hal sebodoh itu Aliyah. Belajarlah mengerti tentang perasaan orang lain, jangan hanya menyenangkan diri kamu sendiri.”
“Aku bukan menyenangkan diri aku sendiri. Aku memikirkan Afifah.”
“Dan kalau kamu menolong dia, menyenangkan dia, kemudian kamu juga senang? Bagaimana dengan Pinto? Farah? Walaupun menikah hanya sampai bayi itu lahir, kemudian menceraikannya, itu bukan perbuatan baik. Itu menyiksa orang lain. Kamu harus mengerti, kalau seandainya Pinto mau melakukannya, itu bukan karena dia suka melakukannya, tapi karena terpaksa, karena mungkin takut atau sungkan sama kamu, sama aku. Mengerti kamu?”
“Lalu aku harus bagaimana? Tak tega membuat Afifah menderita,” keluh Aliyah sedih.
“Kalau Narita menderita, itu salah dia sendiri. Dia melakukan hal yang tidak baik, hal buruk, hal dosa, bahkan dengan orang yang tidak dia sukai kelakuannya. Mengapa sekarang dia ingin ingkar dari apa yang diperbuatnya? Kalau ingin agar bayi itu memiliki ayah, ya Nungki itulah ayahnya, bukan orang lain.”
Aliyah menundukkan wajahnya, terbayang wajah Narita yang tampak menderita.
“Pohon itu akan berbuah, seperti apa orang menanamnya. Kamu mengerti? Kalau kamu menanam jambu, maka buahnya akan jambu, kalau kamu menanam anggur, buahnya juga anggur. Jadi kalau sekarang ia mengandung karena perbuatannya bersama Nungki, memang itulah buah yang harus diunduhnya.”
Aliyah terdiam, masih menundukkan wajahnya.
“Kamu memperhatikan dia, menyayangi dia, itu sudah semestinya, tapi melakukan sesuatu yang menyimpang dari kebenaran, itu perbuatan salah, bahkan dosa.”
Aliyah mengangkat wajahnya. Sejak dulu dia sangat takut akan dosa, dan apa yang akan dilakukannya adalah dosa?
“Dosa?”
“Dosa besar. Membuat orang lain menderita itu dosa, apalagi itu demi menyenangkan hati kamu.”
Sebutir air mata meluncur dari mata bintang itu. Alfian merasa iba. Sesungguhnya Aliyah bukan orang jahat. Dia baik, bahkan terlalu baik, hanya dia masih terlalu lugu, dan tidak begitu pintar. Alfian menyebutnya begitu karena tak mau mengatakan sang istri bodoh. Dengan lembut diusapnya air mata yang mengaliri pipinya.
“Kamu bisa menerima apa yang aku katakan?”
Aliyah mengangguk.
“Kamu masih mau melanjutkan keinginan kamu? Kalau masih, akan aku panggil Pinto sekarang.”
“Tidak, jangan,” kata Aliyah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Alfian tersenyum.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?”
“Aku akan membujuk Afifah agar mau menemui Nungki dan memintanya menikahinya.”
Alfian merangkul istrinya erat. Ia sudah tahu, Aliyah bukan orang jahat. Ia hanya terlalu lugu, dan cara berpikirnya sangat sederhana.
“Kamu akan berubah menjadi baik dan pintar. Aku bahagia punya kamu,” bisiknya.
Aliyah terisak di dada suaminya.
“Tuan, makan siang sudah siap,” tiba-tiba terdengar suara Farah dari balik pIntu, karena Alfian tidak menutup rapat pintunya.
“Ayo kita makan,” kata Alfian sambil menarik istrinya.
Mereka keluar dari kamar, dan begitu melihat Farah, Aliyah langsung memeluknya.
“MBak Farah, maafkan aku ya, aku tidak bermaksud melukai hati Mbak Farah.”
Farah tersenyum senang. Ia tahu bahwa Alfian pasti sudah berbicara dengan istrinya. Sesungguhnya dia tak ingin mengatakannya pada tuannya, tapi sang tuan mendesaknya. Dan tuan mudanya itu pasti mendengar dari Kirman saat melihat dirinya menangis.
“Lupakanlah Nyonya, saya tidak apa-apa, sekarang silakan makan, makan siang sudah siap.”
***
Hari itu Aliyah belajar sampai sore hari, beberapa hal sudah dimengertinya, tapi yang paling berkesan adalah pelajaran yang didapat dari suaminya. Ia baru sadar, bahwa membuat orang lain menderita demi kesenangannya sendiri, adalah dosa. Sebuah pernikahan tidak boleh dipinjam meminjamkan. Kalau dulu, dirinya sendiri, menikah dengan Alfian tapi tidak dengan membuat siapapun terluka. Ia bertekad menemui Narita malam harinya, setelah makan malam.
“Mbak Farah, nanti ke hotel dan bawakan makanan untuk Afifah ya.”
“Baiklah. Tapi apakah tidak lebih baik besok pagi saja? Sekarang Nyonya pasti sangat lelah.”
“Tidak, hanya sebentar saja. Kalau besok pagi, takutnya bu Lilia sudah datang dan kita tidak ada di rumah.”
“Baiklah kalau begitu. Tapi jangan lama-lama ya, Nyonya kan harus istirahat, seharian tidak istirahat kan?”
“Iya, sebentar saja. Aku hanya ingin berbicara dengan Afifah.”
“Kalau begitu nanti saya menunggu di lobi saja. Non Narita pasti sungkan kalau ada saya.”
“Baiklah, lebih baik begitu. Agar aku juga bisa berbicara dengan enak. Aku harap Afifah bisa mengerti.”
***
Tapi ternyata Narita merasa kesal ketika Aliyah memintanya kembali menemui Nungki dan meminta untuk menikahinya. Narita sungguh sangat membenci Nungki, rasanya berat kalau harus menikah dengannya.
“Afifah, pikirkanlah bayi yang kamu kandung. Ia memerlukan sosok seorang ayah.”
“Tapi bukan ayah seorang pecundang, penjahat.”
“Kenyataannya dia adalah ayahnya, bukan? Kamu tidak bisa mengingkarinya, Afifah. Ini kenyataan yang harus kamu hadapi.”
“Kenapa kamu berubah pikiran? Tadi kamu bilang akan menolong aku.”
“Seseorang memerlukan pikiran yang diendapkan, ditimbang, mana baik dan buruknya. Aku menemukan hal buruk kalau kamu mengingkari laki-laki itu. Dia memang harus menikah dengan kamu. Bukan laki-laki lain.”
“Sebenarnya kamu bisa melakukannya. Kamu kan punya banyak uang? Kamu bisa saja membayar orang agar mau menjadi ayah dari bayiku ini.”
“Tapi itu tidak benar, Afifah. Mengertilah. Jalan terbaik adalah menemui Nungki dan meminta agar dia menikahi kamu.”
Narita terdiam, wajahnya menampakkan rasa kecewa.
“Pikirkan dengan baik. Kalau perlu aku akan menemani kamu menemui Nungki.”
Narita terdiam. Sangat sulit menerima keinginan Aliyah. Tadinya dia sudah senang ketika Aliyah mengatakan bersedia membantu. Ia yakin Aliyah bisa melakukannya, karena Aliyah kan istri orang kaya, yang pasti bisa melakukan apa saja. Siapa sangka, dia berubah pikiran. Dan itu membuatnya sangat kecewa.
“Afifah, kamu jangan menginginkan hal yang tidak mungkin. Bayi yang kamu kandung itu ada bapaknya. Jadi tanggung jawab sepenuhnya, ada pada dia.”
Narita hanya mengangguk, tapi tak mengucapkan apapun.
Aliyah bukannya tak mengerti bahwa Narita masih ragu-ragu untuk melakukan apa yang dia minta. Tapi ia berharap saudara kembarnya itu bisa mengerti.
“Afifah, kamu sudah pernah mengalami segala macam warna dalam hidup kamu, dan sadarlah bahwa banyak dosa yang sudah kamu perbuat. Aku tidak perlu mengatakannya satu per satu, karena kamu sendiri yang mengatakannya. Sekarang, buatlah lembaran baru dalam hidupmu, dengan kehidupan yang bersih. Jauhi dosa. Dosa itu buruk, tebusannya adalah neraka.”
Aliyah mengatakan apa yang pernah dikatakan nenek Supi saat mereka masih bersama. Itulah yang tertanam dalam hatinya sampai sekarang.
Narita masih terdiam.
“Malam ini istirahatlah dengan nyaman, endapkan segala pemikiran buruk dan keinginan yang tidak masuk dalam perilaku baik. Besok aku akan kesini, melihat kamu sudah menemukan titik terang dalam hati kamu.”
Aliyah pulang, masih dengan perasaan bimbang, karena Afifah yang belum tentu bisa melakukannya. Tapi Aliyah berharap, saudara kembarnya bisa berpikir lebih jernih.
***
Pagi hari itu Farah bersih-bersih kamar yang tadinya dipergunakan untuk kamar Aliyah. Ia yakin Aliyah tak akan mempergunakan kamar itu lagi, setelah berbaikan dengan suaminya.
Semua baju yang ada di almari dikeluarkan, dan dipindahkan ke dalam almari yang ada di kamar Alfian, dengan ijin Aliyah, tentunya. Setelah dikeluarkan, Farah membersihkan semuanya. Dan ketika itu, tiba-tiba ia melihat sebuah kotak diatas almari, agak jauh dari jangkauan, dan memerlukan naik ke atas kursi untuk bisa meraihnya.
“Ya ampuun, ini kan ponsel yang diberikan kepada nyonya Aliyah waktu itu, dan dicari-cari tidak ketemu? Ternyata nyonya meletakkannya di atas almari,” gumam Farah sambil keluar dari kamar dan menunjukkan kotak berisi ponsel itu kepada Aliyah, yang juga sedang membersihkan kamarnya sendiri.
“Nyonya, lihatlah, ini apa?”
“Ini?” Aliyah kaget. Ia sama sekali lupa dimana meletakkan ponsel itu. Waktu itu dia belum bisa menerima Alfian yang seperti memaksakan kehendak tetap ingin memperistrikannya, sementara dia ingin pulang saja. Ketika ponsel itu diberikan, dia melemparkannya sembarangan, entah di mana. Ternyata diletakkannya di atas lemari, karena ia tak ingin mempergunakannya.
“Ini kan ponsel yang dicari-cari?”
“Aku lupa meletakkannya di mana.”
“Tuan tidak memikirkannya, karena mengira Nyonya membawanya ketika pergi, lalu hilang entah di mana.”
“Tidak. Ketika pergi aku tidak membawa apa-apa.”
“Untunglah tuan Alfi membelikannya lagi ponsel yang baru, ketika Nyonya sudah kembali. Dulu, waktu non Narita datang kemari, berpura-pura jadi Nyonya, dia ikut mencari-cari ponsel itu, tampaknya non Narita membutuhkannya. Mana bisa ketemu, karena tak seorangpun mengira Nyonya menyimpannya di atas almari.”
“Ya sudah, itu untuk Mbak Farah saja,” kata Aliyah.
“Jangan Nyonya, nanti tuan marah. Nyonya bawa saja, karena itu kan milik Nyonya.”
“Aku kan sudah punya.”
“Saya juga sudah punya, Nyonya. Simpan saja. Eh, sepertinya ada tamu di depan,” kata Farah setelah menyerahkan ponsel itu, lalu bergegas ke depan.
Farah terkejut, melihat Pinto ada di depan. Wajahnya bersemu merah, karena menyembunyikan debaran jantung yang tiba-tiba serasa lebih kencang.
“Selamat pagi, Mbak Farah,” sapa Pinto.
“Pagi, Mas Pinto. Kenapa pakai mbak sih, Farah, begitu saja kan lebih enak. Atau, saya sudah kelihatan lebih tua?” pancing Farah.
“Tidak … tidak, bukan begitu, panggilan ‘mbak’ itu kan panggilan untuk menghormati seseorang, terlebih yang belum lama kita kenal,” terang Pinto.
“Anggap saja kita sudah lama kenal,” Farah ngeyel.
“Baiklah, kalau begitu, Farah,” kata Pinto sambil tersenyum. Senyum itu manis sekali, begitu kata Farah yang debar di dadanya semakin kencang.
“Nah, begitu lebih baik. Oh ya, silakan masuk.”
“Apa tuan Alfi ada?”
“Tuan Alfi sudah di kantor dong, ini kan sudah jam sembilan?”
“Oh iya, aku lupa.”
“Kok bisa lupa sih, jam kerja itu kan jam delapan. Tuan Alfi itu biarpun seorang pimpinan, selalu datang tepat waktu.”
“Baiklah, aku mengerti. Tapi sebenarnya kan aku hanya ingin ketemu Mbak Farah, eh … Farah.”
Farah terbelalak. Ya ampun, laki-laki yang sangat menarik ini, setengah menyatakan suka dengan ucapan ‘ingin ketemu’, itu membuat hati Farah berbunga-bunga. Hampir saja Pinto menjadi suami Narita, pikir Farah dengan rasa syukur.
“Benarkah?”
“Tentu saja benar, kalau Farah tidak keberatan.”
Farah mengulaskan sebuah senyuman malu-malu. Siapa yang keberatan? Setiap hari ketemu juga mau kok.
“Saya mau ke kantor, karena ingin menyerahkan surat-surat yang harus saya berikan tuan Alfi, sebelum saya masuk bekerja.”
“Oh, baiklah, lebih baik Mas Pinto langsung ke kantor saja.”
“Sekalian nanti mau minta ijin tuan Alfi, agar diperbolehkan mengajak Farah jalan-jalan sore nanti.”
“Benar?”
“Kalau Farah tidak keberatan.”
Farah hanya tersenyum, tapi senyuman itu seperti sebuah jawaban bagi Pinto, sehingga ketika meninggalkan rumah Alfian, Pinto membawa hati yang sangat bahagia.
***
Pagi itu Narita sedang berada di ruang dokter kandungan, dimana beberapa hari yang lalu dia memeriksakan kandungannya. Tapi kali itu sang dokter kelihatan sangat marah, atas permintaan Narita.
“Apa? Menggugurkan kandungan?” katanya setengah berteriak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah....
DeleteCBE_46 sdh tayang.
Matur nuwun bu Tien, dalam sehat selalu.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteMatursuwun🙏
ReplyDeleteSelamat jeng Iin sdh bisa lari cepat paska operasi katarak, semoga berhasil baik. Dan normal kembali mata kanannya.
ReplyDeleteDisusul Uti Nani Sragentina
alhamdulillah
ReplyDeletemksh
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien..
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~46 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Sehat selalu
Padahal bolak balik nginjen...keduluan bunda I'in..matur muwun bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
Nah.. makin dekat saja Pinto dengan Farah. Ayo segera dilamar...
ReplyDeleteNarita putus asa ya, mencari pengganti Nungki yang seorang penjahat. Tapi dengan berjalannya waktu, bisa saja berubah menjadi orang baik.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Semoga sehat selalu dan semangat
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien...
Salam sehat selalu...
Salam.sehat bunda Tien.... matur nuwun detik2 hepi ending smg ya....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah.... maturnuwun Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matursuwun bu Tien. Salam sehat semangat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillaah tayang, nikahkan saja sama pa RT dia kan demen
ReplyDeleteWah, masih panjang ini pasti ceritanya...asyik...tokoh jahatnya belum pada bertobat.😀
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien. Sehat selalu.🙏😘😘
Alhamdullilah Alfian bs menyadarkan Aliyah..Narita ingin menggugurkan kandungannya..tambah dosa lagi nih..smg sang sutradara membuat endingnya bahagia semuanya..terima ksih bundaqu..slmt mlm dan slmt istrahat..slm seroja dan aduhai dri sukabumi🙏😘🌹💞
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE-46 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien,jg sapaannya semoga Bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin
💕⚘💕⚘💕⚘💕⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 46
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🌹🦋
💕⚘💕⚘💕⚘💕⚘
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien ....
ReplyDeleteAlhamdulillah. Trm ksh bu Tien.. smg selalu sehat. Aamiin yra..
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga senantiasa sehat penuh barakah, aamiin....
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSehat selalu njih...
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap aduhai
Terimakasih Bu Tien... Salam sehat selalu
ReplyDelete