CINTAKU BUKAN EMPEDU 45
(Tien Kumalasari}
Farah mendekati Aliyah, yang sedang bengong memikirkan sesuatu. Aliyah sedang terganggu dengan keluhan saudari kembarnya. Hanya rasa iba yang dia rasakan, melihat wajah Afifah tampak lesu tak bersemangat.
“Nyonya, ada apa? Saya barusan mendapat telpon dari mas Pinto, bahwa sebentar lagi dia sudah mulai bekerja di kantor tuan Alfi,” kata Farah riang.
Aliyah menatap mata di wajah manis itu berbinar. Tiba-tiba ia merasa berdosa telah membayangkan Pinto yang akan dijodohkannya dengan Narita.
Lalu Aliyah hanya tersenyum menanggapi laporan Farah tentang Pinto. Tapi ada satu sisi yang juga membuatnya sedih, yaitu Narita, yang tak mau menikah dengan laki-laki yang membuatnya hamil. Aliyah sangat menyayangi saudarinya. Ia ingin agar Afifah selalu bahagia, karena itu ia bertekat untuk membantunya.
“Nyonya, bagaimana keadaan Non Narita sekarang? Setelah ditangani dokter, pastilah sudah berkurang sakitnya,” kata Farah kemudian.
“Ya, aku baik-baik saja, dan sudah mendapatkan obatnya,” jawab Narita yang kemudian membaringkan tubuhnya, meninggalkan Aliyah dan Farah duduk berdua saja di sofa.
“Nyonya, kalau non Narita baik-baik saja, kita harus segera pulang. Saya belum memasak untuk makan siang nanti,” kata Farah.
“Afifah, kamu sudah minum obatnya?” tanya Aliyah.
“Sudah.”
“Sekarang kamu harus makan, sebelum kembali tidur.”
“Aku sudah makan tadi pagi.”
“Baiklah, untuk makan siang, biarlah Farah memesankannya untuk kamu. Kamu tidak usah membelinya,” kata Aliyah yang kemudian bangkit.
“Baiklah, terima kasih banyak,” jawab Narita yang kemudian memejamkan matanya.
***
Disepanjang perjalanan, bahkan sampai memasuki rumah, Aliyah kelihatan selalu murung. Farah bingung, apakah sang nyonya marah karena dia bertelpon terlalu lama?”
“Mengapa Nyonya diam saja?” Akhirnya Farah nekat bertanya.
“Aku sedih memikirkan Afifah.”
“Memangnya kenapa? Bukankah sakitnya sudah ditangani dokter? Apakah sakitnya berbahaya?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa Nyonya sedih?”
“Dia hamil.” Kata Aliyah sambil memasuki kamarnya, membuat Farah terpana. Ia berhenti mematung di luar kamar itu. Ingin bertanya lebih lanjut, tapi tidak berani. Akhirnya Farah langsung masuk ke belakang. Ia harus segera melakukan tugasnya, memasak untuk makan siang nanti.
Sementara itu Aliyah termenung di dalam kamarnya. Tangis Narita seperti terus menggelitik telinganya. Aliyah gadis sederhana, yang terkadang tidak bisa terlalu jauh memikirkan segala sesuatu yang dialaminya. Pada pikirnya, Narita sedang sedih, dan dia harus menolongnya.
Benarkah dia harus meminta tolong Pinto? Aliyah berpikir, itu satu-satunya jalan terbaik, karena ia yakin, Pinto sangat amatlah baik hati, jadi ia pasti bisa menolong. Tapi ketika ia tiba-tiba teringat Farah. Ia menjadi kebingungan.
Kalau sampai terjadi Pinto mau mengikuti sarannya, pasti Farah akan terluka. Tapi setelah menikah dia bisa menceraikannya, kan hanya menikah untuk menjadikan bayi itu punya ayah? Seperti juga dirinya, saat akan menikah dengan Alfian, itulah janji yang didengarnya. Setelah menikah, ia akan diceraikan, walau nyatanya kemudian Alfian memilih mempertahankannya.
“Ini yang terbaik, mengapa tidak?”
Lalu Aliyah mantap untuk menemui Pinto. Farah tak akan terluka, bukankah hanya menikah pura-pura?
Lalu Aliyah membersihkan diri dan mengganti baju rumahan, kemudian keluar dari kamarnya. Ia langsung ke arah dapur, di mana Farah pastinya sedang memasak.
“Belum selesai, Mbak Farah?”
“Mengapa nyonya keluar dari kamar? Kalau memang Nyonya masih merasa letih istirahatlah, jangan banyak pikiran,” kata Farah yang sebenarnya masih belum percaya atas berita yang didengarnya beberapa jam yang lalu.
“Mbak Farah, ada yang ingin aku katakan.”
“Ya Nyonya, katakan saja." Kata Farah yang masih sibuk membolak balik ayam yang digorengnya.
“Aku kan sudah bilang, bahwa Afifah hamil?”
“Ya, itulah yang menjadi beban pikiran saya sampai saat ini. Apakah itu benar?”
“Benar.”
“Ya Tuhan. Siapa laki-laki itu?”
“Kata Afifah, dia Nungki.”
“Nungki yang jahat itu? Yang pernah menyekap Nyonya?”
Aliyah mengangguk. Wajahnya masih saja murung.
“Kalau begitu suruh dia menikahinya.”
“Itulah masalahnya. Afifah tidak mau.”
“Tidak mau? Memangnya kenapa? Kalau memang dia lah orangnya, kenapa tidak mau?”
“Afifah tidak ingin, anaknya menjadi anak Nungki. Ia menganggap. Nungki orang jahat, Afifah tidak mau.”
“Saya heran. Kalau memang dia ayahnya, harusnya non Narita bisa menerimanya.”
“Aku kasihan sama dia.”
“Saya bisa mengerti. Non Narita adalah saudara sedarah sedaging dengan Nyonya, jadi apapun yang dirasakannya Nyonya akan ikut merasakannya. Apalagi Nyonya dan non Narita adalah saudara kembar. Tapi tidak banyak yang bisa Nyonya lakukan, karena dia sudah tahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. Nyonya tidak perlu bersedih.”
“Aku ingin melakukan sesuatu untuk dia.”
“Apa yang akan Nyonya lakukan?”
“Bagaimana kalau mencarikan suami bagi Afifah?”
Farah terkejut. Ia tak mengerti mengapa Aliyah ingin melakukannya. Mencarikan suami untuk Narita sementara yang seharusnya menjadi suami sudah ada.
“Nyonya, apa maksud Nyonya? Mencari suami bagi seorang gadis yang sedang hamil? Itu tidak mungkin terjadi. Bukankah laki-laki yang menghamili non Narita sudah ada?”
“Tapi Afifah tidak mau.”
“Mau atau tidak, dia harus mau,” kata Farah yang kesal atas jalan pikiran sang nyonya.
Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya, memasukkan sayur ke dalam air di dalam panci yang sudah mendidih.
Tiba-tiba terdengar suara bel tamu.
“Ah ya, Nyonya, saya lupa. Guru yang saya minta datang, rupanya sudah di depan. Nyonya harus bersiap-siap. Saya akan membukakan pintu,” kata Farah sambil bergegas ke depan.
Aliyah terpaku di tempatnya. Ada yang masih mengganjal, tak mungkin dia bisa konsentrasi belajar. Tapi ia pun kemudian beranjak ke depan, menyambut guru yang pastinya sudah dipersilakan masuk ke dalam oleh Farah.
Ketika berpapasan dengan Farah, Aliyah masih sempat mengatakan sesuatu.
“Farah, bagaimana kalau aku meminta tolong mas Pinto?”
Farah berhenti melangkah, menatap Aliyah tak berkedip. Meminta tolong apa maksudnya? Mencarikan jodoh untuk Narita? Tapi Farah tidak mengucapkan apa-apa.
“Aku kira mas Pinto tidak keberatan untuk menolong. Dia laki-laki yang baik.”
“Nyonya meminta mas Pinto mencarikan jodoh untuk non Narita?”
“Aku akan meminta mas Pinto untuk menikahinya.”
Farah terbelalak. Pemikiran sang nyonya sungguh tidak masuk akal. Pinto disuruh menikah dengan Narita? Baru saja sebuah ikatan terjalin, selangkah lagi pasti akan didengarnya Pinto mengucapkan cinta pada dirinya. Lalu Aliyah akan memintanya agar menikahi Narita? Tubuh Farah bergoyang limbung. Untunglah di dekatnya ada pintu masuk ke ruang tengah. Farah bersandar di pintu itu. Wajahnya muram.
“Mbak Farah, aku hanya minta mas Pinto menikahinya, sampai bayi yang dikandung Afifah terlahir. Setelah itu dia akan menceraikannya. Lagipula mas Pinto tidak akan mendekati Afifah selama menjadi istrinya,” kata Aliyah dengan pemikiran sederhana yang dimilikinya. Sebuah pernikahan, akan dipergunakannya untuk mainan. Seperti perjalanan cinta antara Aliyah dan Alfian.
“Apakah Mbak Farah bisa mengerti?”
“Tidak Nyonya, saya tidak bisa mengerti. Saya kira lebih baik Nyonya segera menemui ibu Lilia yang sudah menunggu. Dia guru yang berbeda dengan sebelumnya,” kata Farah yang kemudian berlalu.
Aliyah menatap punggung Farah sampai ia menghilang di ruangan yang lain. Sebodoh-bodohnya Aliyah, ia tahu bahwa Farah sangat kesal dengan ucapannya. Aliyah menjadi sedih. Bukankah ia sudah menerangkan bahwa pernikahan itu hanya untuk bayi yang dikandung Narita sampai dia melahirkan? Mengapa Farah masih marah? Selama hidup Aliyah tidak ingin melukai hati orang lain. Begitu lugunya dia, sampai tidak terasa telah membuat Farah terluka. Ia ingin memburu ke belakang, tapi tiba-tiba sebuah panggilan membuatnya berhenti.
“Bu Aliyah?”
“Oh, Anda guru itu ya?”
“Benar, saya sudah menunggu. Nama saya Lilia.”
“Baiklah, saya siap memulainya sekarang,” kata Aliyah sambil tersenyum.
***
Farah mengusap air matanya yang tiba-tiba menitik. Rasa cinta itu sudah terbangun, oleh kebaikan Pinto yang selalu membuatnya senang dan berbunga-bunga. Tapi tiba-tiba sang nyonya ingin merusaknya. Begitu kejamkah nyonya cantik yang lembut budi dan sangat dihormatinya? Apa dia tidak mengerti benar tentang cinta? Betapapun sederhananya Aliyah, pasti dia punya perasaan. Atau karena sangat lugu sehingga menganggap bahwa seseorang bisa dipinjam untuk menikahi orang selain kekasihnya? Dengan alasan hanya sebentar?
Farah kembali mengusap air matanya, lalu mengentas sayur yang tampaknya menjadi terlalu matang karena kelamaan direbus.
“Farah.”
Farah terkejut, kembali mengusap air matanya, ketika melihat Kirman sudah ada di dapur, dan mengambil sendiri air dingin yang kemudian dituangkannya ke dalam gelas.
“Kamu menangis Rah?”
“Tidak Mas.”
“Itu, matamu basah dan merah.”
“Mengiris cabe tadi tuh.”
“Itu bukan merah karena cabe. Kamu menangis, ya kan?”
Farah mencoba tersenyum, tapi tak urung Kirman tetap saja tidak mempercayainya.
“Apa tuan Alfi memarahi kamu?”
“Tidak.”
“Nyonya?”
“Juga tidak. Kenapa Mas Kirman mengira begitu?”
“O, berantem sama mas Pinto. Ya ampun, pacaran baru beberapa hari sudah berantem. Hati-hati Rah, bisa jadi dia orangnya keras. Belum jadi istrinya saja sudah membuat kamu menangis,” kata Kirman.
“Ngarang. Siapa yang berantem?”
“Kalau begitu jawab, ada apa kamu menangis. Memangnya aku anak kecil, yang tidak bisa membedakan antara tangis dan kena cabe?”
“Nggak apa-apa kok Mas, sungguh.”
“Kamu itu kan sudah seperti anakku sendiri Rah. Jadi kalau ada sesuatu, katakan saja, supaya bisa mengurangi beban pikiran kamu.”
“Sungguh aku tidak apa-apa. Sudah, kalau mau minum ya minum saja, aku masih belum selesai nih. Jangan sampai nanti tuan Alfi pulang, aku belum selesai memasak."
Kirman putus asa. Rupanya Farah memang tidak mau berterus terang sama dia. Pasti ada sesuatu yang serius. Ia meneguk segelas air yang sudah dituangkannya, lalu keluar dari dapur lewat pintu belakang.
***
Siang itu Alfian memang mengabari bahwa dia akan makan siang di rumah. Jadi Kirman menjemputnya saat Alfian sudah memerintahkannya untuk menjemput.
Karena tak tahan memikirkan tangisnya Farah, ia berterus terang tentang apa yang dilihatnya di dapur tadi.
“Menangis? Benarkah? Selama ini aku tak pernah melihat Farah menangis. Sejak kecil dia bandel seperti laki-laki, karena dia selalu bermain bersama aku. Tidak pernah sama sekali dia menangis. Jatuh dari tangga saja dia hanya meringis, kemudian tertawa-tawa,” kata Alfian.
“Tapi tadi saya melihatnya menangis.”
“Kamu tidak bertanya sama dia, mengapa dia menangis?”
“Sudah Tuan, tapi dia tidak mengaku. Mungkin dimarahi nyonya Aliyah.”
Alfian tertawa. Istrinya yang lemah lembut itu memarahi Farah? Rasanya tak mungkin.
“Mana mungkin Aliyah memarahinya?”
“Saya juga baru sekali ini melihat Farah menangis.”
“Nanti kalau sudah di rumah, akan saya tanya dia. Oh ya, apakah hari ini, guru yang dipanggil Farah sudah datang?”
“Sudah Tuan, sepertinya nyonya juga sudah mulai belajar.”
“Syukurlah, semoga semuanya lancar. Aku akan menjadikan istriku wanita hebat, yang tak kalah dengan wanita berpendidikan tinggi sekalipun. Aku yakin dia bisa.”
***
Alfian sudah sampai di rumah, mengintip diam-diam ke ruangan di mana istrinya belajar. Ia melihat Aliyah memperhatikan ketika Lilia menerangkan sesuatu. Alfian tersenyum, kemudian beranjak ke belakang. Ia hampir masuk ke kamarnya ketika melihat Farah sedang menata meja makan.
“Farah,” panggilnya.
Farah menoleh. Ia sudah tahu tuannya datang, dan sudah menuangkan jus mangga yang diletakkannya di ruang tengah.
“Jus mangga sudah saya siapkan di meja Tuan,” kata Farah tanpa melihat tuannya.
“Kenapa matamu merah?” pertanyaan Alfian mengejutkan Farah.
“Tidak apa-apa, Tuan.”
“Kamu boleh berbohong sama Kirman, tapi jangan sampai kamu membohongi aku,” tandas ucapan Alfian, dan itu membuat Farah kecut.
“Nyonya Aliyah_”
“Aliyah memarahi kamu?”
“Tidak.”
“Lalu ... kenapa?”
Secara singkat Farah mengatakan apa yang membuatnya sedih. Alfian sangat terkejut. Ia bergegas ke arah depan, di mana istrinya sedang belajar.
“Bu Lilia, biarkan istri saya beristirahat sebentar, dan pastinya Ibu juga harus beristirahat bukan?” kata Alfian ramah.
"Baiklah, Tuan.”
Lalu Alfian menggandeng istrinya masuk ke dalam kamar.
Aliyah sangat terkejut. Alfian bersikap sangat tidak manis siang itu. Ia meminta Aliyah duduk di sofa, lalu ditatapnya Aliyah dengan wajah masam.
“Katakan tentang Narita.”
Aliyah terkejut. Rupanya Farah sudah melaporkannya pada suaminya, sebelum dia mengatakannya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYes... tayang..
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien.
Alhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien...
Sugeng Dalu, mugiya ibu tansah pinaringan sehat wal afiat...
Aamiin...
Terimakasih Bunda
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Sugeng ndalu bu Tien
ReplyDeleteAya aya wae...
ReplyDeleteAkhirnya yg ditunggu hadir ...suwun bunda Tien
ReplyDeleteπ¦⚘π¦⚘π¦⚘π¦⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 45
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai πΉπ
π¦⚘π¦⚘π¦⚘π¦⚘
Terimakasih untuk CBE 45.
ReplyDeleteTetap sehat katur mbak Tien, salam aduhai.π
Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~45 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..π
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteJangan sama Pinto ach...sama Kirman aja...π ππ
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien, sehat selalunjih...
Alhamdulillah
ReplyDeleteSudah hadir
Matur nuwun bu
Semoga sehat selalu dan tetap semangat
Alhamdulillah. Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu dan tetap semangat tuk berkarya menghibur penggemarnya
Wah, kasihan kalau Pinto yang dikorbankan...π°
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien...salam sehat.ππ
Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai selalu π
Alhamdulillah CBE-45 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tie, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah, CBE 45 sdh tayang,
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, salam sehat dan Aduhai dari mBantul
Keren
ReplyDeleteTuan Alfian bijak
Bos betulan nich, bikin simulasi nich bagaimana rasanya putus cinta ha ha
Baru dimabok rasa sayang, masih pupus kuncup, sudah mau suruh berpisah; mudah mudahan nggak balik ke Mak Siti, lho itu kalau keras kepala bisa lho.
Dosa lagi, nggak ah mending minta maaf, mbok yao itu di terapkan ke Nungki.
Habis lahiran terus cerai, blegitu sadja wis.
Nahkan jadi sering nengok ke wisma nenek Supi.
Biar saja Farah menikmati kebahagiaan sendiri, Aliyah baru tahu kalau itu tangis pertama Farah, dari cerita Alfian jadi betapa sedihnya dia.
Bos Alfi bisa lah urusan gitu banyak anak buahnya hanya untuk urusan begitu. Jangan ngatur rasa orang seturut dugaanmu.
Kadang kira kira seperti dugaan perasaan Aliyah, juga belum sempat bicara banyak, jadi belum tahu maunya Narita sebenarnya.
Belum tentu Pinto juga mau, dia juga baru ini juga ada rasa suka sama Farah.
Saking lugunya disamakan swith lampu aja.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke empat puluh lima sudah tayang
Sehat sehat ya Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteYa...belum terjawab solusi tentang Narita Terimakasih. Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai... Gara-gara Narita, Aliyah jadi tidak berpikir bahwa identitas membuat Farah merasa...
ReplyDeleteTerima kasih bu tien... aliyah memang terlalu dangkal cara berfikirnya, smg tidak jadi dg pinto .... salam sehat bu tien
ReplyDeleteTerima ksiih bunda cbe 45 nya..iih bikin gemees aja ke Aliyah .seenaknya sj mau jodohin sementara ke Pinto..smg suaminyaAlfian bisa menyadarkan istrinya...lamseroja unk bundaquππππΉ
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteMakin seruu...
Salam hangat selalu aduhai
Aliyah... Aliyah.. Lugu tapi egois..
ReplyDeleteAyok Alfian, nasehati lagi istrinya, biar lebih dewasa dalam berfikir nya.. wkwkwk
Salam aduhai dari Bandung, semoga Bu Tien senantiasa sehat.. πππ
Matursuwun Bu Tien
ReplyDelete