CINTAKU BUKAN EMPEDU 44
(Tien KUmalasari)
Aliyah meletakkan ponselnya dengan wajah muram, membuat Alfian heran.
“Ada apa?”
“Afifah sakit.”
“Sakit apa? Kalau sakit suruh pergi ke dokter, bukankah kamu sudah memberinya uang? Kalau kurang suruh dia bilang, berikan uang cukup untuk dia berobat,” kata Alfian, yang sesungguhnya masih punya rasa tidak suka pada Narita, gara-gara apa yang dilakukannya di masa lalu.
“Saat mengantar ke hotel, dari kantor polisi itu, aku melihat dia berjalan agak terhuyung-huyung. Aku bertanya, apakah dia sakit, katanya baik-baik saja. Wajahnya juga kelihatan agak pucat, tapi setiap kali ditanya, dia selalu bilang bahwa dia baik-baik saja. Bahkan ketika Farah ke sana untuk mengantarkan mukena, Farah juga melihat wajahnya yang pucat, tapi karena jawabnya selalu baik-baik saja, maka aku, dan juga Farah menganggapnya dia masih merasa lelah, setelah beberapa hari berada di tempat tahanan. Tapi ini tadi, kata petugas hotel, dia diam-diam pergi ke dokter,” kata Aliyah dengan gelisah.
“Aliyah, dia merasa sakit, lalu sudah pergi ke dokter, berarti sakit apapun dia, dokter akan menanganinya. Mengapa kamu kelihatan bingung seperti itu?” tegur Alfian.
“Perasaanku nggak enak Mas, mengapa tadi dia menyembunyikannya, dengan mengatakan bahwa dia baik-baik saja?”
“Apakah itu sesuatu yang menghawatirkan? Kalau dia tidak mau berterus terang sama kamu, berarti dia memang tidak ingin merepotkan kamu. Dia menjaga kamu supaya kamu tidak bersedih.”
“Apakah itu bukan sesuatu yang berbahaya?”
“Aliyah, mengapa kamu berpikir sangat jauh?”
“Aku hanya sangat khawatir. Aku mohon, Mas memahami perasaan aku. Baru saja kami bertemu, lalu kalau dia sakit, tentu saja aku jadi kepikiran.”
“Aku tahu, aku juga mengerti, tapi yang namanya orang sakit, kalau sudah ditangani dokter, ya sudah, kamu tidak usah menghawatirkannya. Tahu apa kamu tentang penyakit? Tidak tahu kan, tapi dokter pasti tahu. Jadi jangan berlebihan, Aliyah. Dia tidak akan apa-apa.”
“Ya, baiklah.”
“Nanti kalau kira-kira dia sudah pulang, kamu boleh menelponnya. Atau besok menengoknya di hotel. Begitu lebih baik kan?” Alfian terus menerus berusaha menenangkan hati sang istri.
“Yang aku tidak tahu, mengapa dia tidak mau berterus terang kalau memang sakit.”
“Kan aku sudah bilang, barankali dia hanya ingin agar kamu tidak kepikiran. Dia merasa sudah berhutang budi sama kamu, jadi tidak ingin lebih menyusahkan lagi. Ya kan?”
Aliyah hanya mengangguk, tapi sebenarnya dia tak bisa setenang itu. Terbayang ketika turun dari mobil, lalu dia hampir terjatuh, lalu wajahnya sangat pucat, dan selalu dikatakannya bahwa dia baik-baik saja. Ternyata dia benar-benar sakit.
“Aliyah, sekarang ayo tidur, ini sudah malam. Jangan berpikir yang bukan-bukan.”
Alfian menarik tangan istrinya, lalu diajaknya masuk ke dalam kamar.
***
Narita memasuki kamarnya di hotel itu, setelah menemui dokter kandungan. Memang iya, dia hamil sudah berusia enam minggu.
“Ya Tuhan, mengapa baru sekarang aku merasakannya? Selama ini aku tak merasakan apa-apa,” keluhnya sambil masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian berganti pakaian, dan membaringkan tubuhnya. Dokter kandungan juga memberikan obat, yang sudah dibelikannya sekalian di apotik, dalam perjalanan kembali ke hotel.
Badannya terasa lemas. Ia kemudian bangkit lagi, meminum obat yang diberikan dokternya. Itu obat mual, yang harus diminum sebelum makan. Ia mengelus perutnya yang tampak mash rata, tapi sekarang ia meyakini, bahwa ada janin yang hidup di dalamnya.
Sekilas ada penyesalan, kemudian ia merasa bahwa hidupnya belum akan berakhir. Ada segumpal daging bernama janin yang harus dirawatnya, dilahirkannya dan dibesarkannya dengan kasih sayang.
“Maafkan aku,” sekali lagi dia mengelus perutnya, kemudian meminum obat yang baru tadi ditebusnya.
Tak lama kemudian ia merasa, perutnya agak lebih tenang. Ia baru ingat, bahwa sejak siang dia belum makan sesuap nasi pun.
Ada nasi dan ikan goreng yang tadi dibawakan Farah dan belum disentuhnya. Ia berjalan ke arah sofa, lalu mencoba makan beberapa suap. Narita merasa lega karena perutnya tak lagi terasa mual. Kemudian dia minum dua macam vitamin yang entah apa namanya, lalu pergi tidur.
Sambil berbaring, ia meraih ponselnya yang sejak tadi dimatikan. Ada beberapa panggilan, dari Aliyah. Narita mengabaikannya. Paling-paling dia hanya menanyakan keadaannya, begitu pikir Narita.
Ia kemudian mencoba memejamkan matanya. Ketika berpikir tentang bayi yang dikandungnya, ia baru ingat bahwa bayi itu harus ada ayahnya. Ada, tentu saja. Tapi Narita tak sudi mengakuinya.
“Anakku tak boleh menjadi anaknya. Laki-laki kurangajar yang pemabuk, penjudi, juga penipu,” geram Narita sambil memegangi perutnya.
Entah dari mana datangnya kekuatan itu, tiba-tiba Narita tak lagi ingin menangis. Tapi ia butuh ayah untuk bayi itu.
“Apa aku sudah gila? Mana mungkin ada seorang laki-laki mau menikahi wanita yang sedang mengandung?”
Sekarang Narita kembali menjadi gelisah. Apapun yang terjadi, bayi ini harus punya ayah.
Narita tidur sampai larut malam, setelah kelelahan memikirkan bayi yang dikandungnya.
***
“Masih pagi, mengapa Nyonya sudah bangun?”
“Bukankah aku selalu bangun pagi-pagi?”
“Ini masih sangat pagi. Subuh juga belum.”
“Tak apa-apa, semalam aku tak bisa tidur.”
“Memangnya kenapa?”
“Semalam aku menelpon Afifah, kata petugas hotel dia pergi ke dokter.”
“Masa sih, Nyonya?”
“Iya, jadi benar, wajahnya yang pucat dan kelihatan lesu lemas itu, karena dia sebenarnya sakit, tapi menutupinya dari kita.”
“Nanti coba saya menelpon ke hotel, Nyonya. Kalau benar non Narita sakit, nanti kita ke sana saja, setelah sarapan.”
“Maksudku juga begitu, perasaanku jadi tak enak.”
“Kalau memang sudah ke dokter, sebaiknya Nyonya tidak perlu khawatir lagi.”
“Mas Alfi juga bilang begitu.”
“Memang itu benar kan? Kalau sudah ditangani dokter, berarti tak ada yang perlu kita khawatirkan.”
“Baiklah. Sekarang aku mau minum teh hangat dulu.”
“Nyonya duduk saja di situ, biar saya buatkan,” kata Farah yang segera menyiapkan teh hangat untuk Aliyah.
***
Tapi pagi hari itu, setelah sarapan dan minum obat, kembali Narita bersiap-siap untuk pergi. Mengingat anaknya, ia kemudian perlu menemui Nungki. Dia satu-satunya laki-laki yang selalu bersamanya. Ia yakin bayi itu adalah darah dagingnya. Walau dalam hati tidak rela, tapi ia tak bisa membiarkan anaknya terlahir tanpa ayah.
Ia sudah menyuruh petugas hotel untuk memanggilkan taksi. Tapi di depan, dia diberi tahu, bahwa semalam ada yang menelponnya.
“Siapa?”
“Ibu Aliyah. Katanya menelpon di ponsel tidak diangkat.”
“Oh, ya sudah. Kamu jawab apa?”
“Saya mendengar Ibu bilang pada pengemudi taksi, bahwa Ibu mau ke dokter.”
“Apa? Kamu bilang sama dia juga, bahwa aku pergi ke dokter?”
“Iya, Bu.”
“Lancang kamu. Harus bilang tidak tahu,” kesal Narita.
“Maaf Bu.”
Narita ingin melanjutkan marahnya, tapi taksi yang dipanggil sudah datang. Ia segera naik ke dalam taksi. Tapi kemudian dia mengendapkan perasaannya. Mengapa juga harus marah, dan mengapa juga harus menyembunyikannya dari Aliyah? Bukankah Aliyah sudah menyelamatkan hidupnya, dari seorang pesakitan menjadi wanita bebas yang diberikan segala kenikmatan?
“Tak apa-apa. Biarlah, memang aku harus berterus terang sama dia,” gumamnya.
“Ya Bu?” tanya pengemudi taksi yang sudah menjalankan taksinya, dan mengira penumpangnya mengajaknya bicara.
“Tidak, tak apa-apa.”
Narita bertekat untuk menemui Nungki di kantor polisi. Ia sudah mendengar bahwa Nungki ditahan di sana.
**
Narita sedang menunggu dan banyak berpikir tentang hidupnya. Terkadang ia menyalahkan dirinya, yang kemudian ingin menemui Nungki. Begitu berhargakah Nungki untuknya. Tidak, ia tak ingin Nungki menjadi ayah bayi itu. Tapi bagaimana? Bukankah kenyataannya memang dia yang telah meneteskan benih di dalam rahimnya.
“Narita! Senang akhirnya kamu menemui aku,” kata Nungki riang, yang keluar dengan diiringi petugas.
Narita tersentak mendengar suaranya. Ia hampir meninggalkannya dan mengurungkn niatnya.
Kemudian Nungki duduk, dan memandangi Narita lekat-lekat.
“Kamu kangen sama aku kan?”
“Tidak ada yang kangen sama penipu dan penjahat seperti kamu,” dan tiba-tiba Nungki merasa jijik menatap laki-laki yang cengar cengir di hadapannya.
Nungki seperti tak berdosa, terbahak lepas, tanpa malu.
“Lalu kenapa kamu datang menemui aku?”
“Tidak. Hanya memastikan bahwa kamu sudah terhukum,” kata Narita sambil berdiri, siap meninggalkan Nungki yang masih menahan tawanya.
“Ya ampun, kamu kebangetan ya Narita, lupa bahwa kita saling mencintai?”
“Aku tidak pernah mencintai kamu. Kamu yang memaksa aku, penjahat!”
Narita menguatkan hatinya, lalu melangkah cepat meninggalkan kantor polisi itu.
Nungki bergumam kesal.
“Aku kira kamu mau membebaskan aku setelah berhasil mengumpulkan uang lagi.”
Lalu Nungki pasrah ketika petugas kembali membawanya masuk.
***
Tapi begitu sampai di hotel, ia melihat Aliyah dan Farah sedang duduk menunggu di lobi.
“Aliyah?"
Aliyah berdiri, diikuti Farah, lalu mereka menuju ke arah kamar Narita, dan duduk bersama di sofa.
“Ternyata kamu sakit?”
“Ah, tidak, aku tidak apa-apa.”
“Kamu selalu bilang begitu. Tidak apa-apa, baik-baik saja, nytanya kamu pergi sendiri ke dokter, dan menyembunyikan sakitmu,” tegur Aliyah.
Narita tertawa. Entah mengapa, ia merasa sedikit lega. Tadi pagi doyan makan sarapan walau cuma sedikit, dan sudah minum obat-obat yang diberikan dokter, sekaran ia meras lebih sehat. Paling tidak wajahnya tidak sepucat kemarin.
“Kata dokter, kamu sakit apa?”
“Hanya masuk angin.”
“Mengapa Non tidak berterus terang kalau sebenarnya juga sakit? Farah ikut menegur.
“Dengar, sakitku tidak berbahaya. Kalian tenang saja.”
“Kamu membuat kami khawatir.”
“Saya bukan anak kecil. Kenapa kalian khawatir?”
Narita masih berusaha menyembunyikn semuanya. Tapi ia tak bisa terus bertahan. Beban yang disandangnya cukup berat. Ia tak ingin anaknya terlahir tanpa ayah, tapi ia tak mau Nungki yang menjadi ayahnya.
“Tapi kamu tampak sedang memikirkan sesuatu.”
“Ya, benar.”
Ketika itu, terdengar dering panggilan telpon di ponsel Farah. Farah agak menjauh, karena sungkan. Soalnya telpon yang masuk adalah dari Pinto. Beberapa hari terakhir ini, Pinto sering menelponnya. Entah untuk sekedar bertanya tentang Alfian, atau terkadang hanya ingin mengganggu Farah. Tapi Farah selalu menerimanya dengan suka cita.
Narita melihat Farah sedang tertawa-tawa saat menelpon itu, lalu ia duduk mendekati Aliyah. Ia harus mengatakannya, dan tak mungkin bisa memikulnya seorang diri.
“Aliyah, sebenarnya aku sedang bingung.”
“Kenapa? Kalau uang kamu habis untuk membayar dokter dan membeli obat, bilang saja tak usah sungkan, aku pasti akan membantu kamu,” kata Aliyah sambil merangkul pundak saudara kembarnya.
“Bukan soal uang.”
“Lalu soal apa?”
“Soal penyakit aku.”
Aliyah terbelalak. Tampaknya Narita menderita penyakit yang sangat serius.
“Afifah, sebenarnya kamu sakit apa? Apa harus dioperasi? Katakan saja berapa biayanya, aku yakin mas Alfian akan bersedia membantu. Dia laki-laki yang sangat baik.”
“Bukan harus operasi.”
“Lalu apa? Katakan saja Afifah.”
“Aku hamil.”
Kali itu Aliyah merasa seperti disambar geledeg. Saudarinya belum menikah, tapi dia hamil? Ia menatap wajah Narita sambil mencengkeram bahunya.
“Kamu bercanda, bukan?”
“Ini benar.”
“Lalu ... siapa laki-laki itu? Ia harus bertanggung jawab.”
“Dia Nungki.”
"Nungki? Laki-laki jahat itu?”
Narita mengangguk, lesu.
“Bagaimanapun dia harus bertanggung jawab, walaupun dia sedang ditahan polisi.
“Masalahnya adalah, aku tidak mau.”
“Apa maksudmu Afifah?”
“Anakku tidak boleh punya ayah seorang penjudi, pemabuk, penipu. Jangan Aliyah, kasihanilah dia. Kemarin aku hampir menggugurkannya, tapi tiba-tiba aku merasa sangat menyayanginya. Aku harus melahirkannya ke dunia.”
“Itu benar, menggugurkan adalah perbuatan dosa. Bayi itu masih suci.”
“Benar Yang berdosa adalah aku.”
“Tapi bagaimana mungkin kamu tidak mau dia menjadi ayahnya? Bukankah dia memang darah dagingnya?”
“Aku tidak mau, Aliyah. Tapi aku ingin agar anakku terlahir dengan orang tua yang lengkap. Ada ibunya, ada ayahnya.”
Aliyah terhenyak. Keinginan Narita sangat membingungkan. Ada ayahnya, tapi menginginkan ayah yang lain? Tiba-tiba ada rasa curiga di hati Aliyah.
“Ingin agar mas Alfi menjadi ayah bayi itu? Bukankah itu hal yang tdak mungkin karena mereka bersaudara?” kata batin Aliyah.
Farah sudah selesai bertelpon, tapi tiba-tiba terbersit sebuah nama yang bisa menolongnya. Pinto.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteTanduk pak Latief, ben apal sesuk ujian
DeleteAlhamdulillah...
DeleteSmg Pinto sama Farah saja...bukan Narita
Besok ujian ulang, kondangan, banyak teman mantu.
DeleteAlhamdulillah, maturnuwun bu, selamat instarahat.
ReplyDeleteMatur nuwun bu
ReplyDeleteAlhamdulillah
Ahirnya datang juga
Asyiik...sudah lanjut...terima kasih, bu Tien sayang...sehat selalu ya...🙏🙏🙏😀😘😘
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah... Maturnuwun bu Tien... Blm bisa tidur ngintap ngintip dr tadi. Sehat selalu njih bu...
ReplyDeleteJangan Pinto ta yang jadi "tumbal"
ReplyDeleteEmak2 pasti nggak ridho
walau mung dadi pemeran pengganti "ethok2"
Aku ya gak sarujuk.
Narita/Afifah ngunduh wohing pakarti....
Alhamdulillah .....
ReplyDelete🌸🍃🌸🍃🌸🍃🌸🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 44
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🦋⚘
🌸🍃🌸🍃🌸🍃🌸🍃
Alhamdulillah, Terimakasih Bund... Sehat selalu nggih... Lama gak menyapa... Hehehe...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteUessss... Alhamdulillah...
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat dari Rewwin 🌿
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun sanget bu Tien, mugi barokah kagem sedoyo
ReplyDeleteBlais.........sptnya Pinto mau dimintai tlg utk jd ayah bayinya Narita
DeleteMestinya Narita mengakui saja, tapi... kurang heboh dan...ikut saja bagaimana kiprah sang dalang.
ReplyDeleteMungkin tinggal sedikit episode lagi ya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
Waduh siapa ni jd ayah pengganti?? jng2 nanti Alfian disuruh menikahi Narita ni oleh Aliyah..😥😪
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Terima kasih bu Tien Kumalasari , sdh baca CBE s.d CBE 44 ... ceritanya tambah menarik ... Semoga bu Tien & kelrg happy dan sehat sll ... wassalam dan maaf Enny baru muncul lagi
ReplyDeleteKok Pinto harus menyandang lemang panas?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien....
Jangan korbankan Pinto. Kasihan dia orang baik.
ReplyDeleteCarikan orang lain saja.
Makasih mba Tien .
Salam sehat,tetap semangat.
Aduhai
Selamat pagi, mbakyu. Menurut pendapat saya Narita memang hrs menikah dg Nungki, krn dia adalah ayah dari janin itu. Itu juga yg diyakini Narita bukan? Memang harus ada upaya untuk menyadarkan dan mengangkat Nungki dari tempatnya berkubang sekarang. Bukankah jauh lebih bermartabat seorang bekas maling daripada bekas kyai? Saya kira Pinto bisa berperan di sini. Bukankah mbakyu sdh mempersiapkan jauh2 sebelumnya dg mempertemukan mereka berdua?
ReplyDeleteTapi ini angan angan, lamunan saya.
Matur nuwun mbakyu
Mas Djoko Royanto, matur nuwun sanget. Semoga saya bisa menyyuguhkan cerita yang apik dan nyaman untuk dinikmati. Aamiin
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteSemalaman tidur nyenyak baru baca setelah subuh, makasih bunda tayangannya salam sehat selalu
ReplyDeleteMatur nuwun mbakyuku Tienkumalasari sayang, CBE 44 sudah muncul meskipun semalam nunggu sampai malam, salam kangen dan aduhaaai dari Cibubur
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah bisa komen lagi.... terima kasih Mbu Tien.... CBE sllu makin seruuu.... semoga sehat terus bersama keluarga....
ReplyDeleteTerima ksih cbe nya bunda..slmt berhari minggu dan salam seroja tetap aduhai dri skbmi🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE-44 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda jg sapaannya, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalan sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
Aduhaiiii deh bu Tien bikin gemesin nih ceritanya dah senang jd kesel dg Aliyah kl mau dijodohin dg Pinto ,,,,,trs Farah bgm tuh.... Duh nyonya Aliyah 🤣🤣🤭
Haduh....
ReplyDeleteCilaka....
Pinto arep nggo tumbal
Aja gelem To.....
Farah kepriwe sich,..
Disenengi deneng ora ngerti....
Pokoke aja gelem Tooo
Aku gak setuju
Alhamdulilah..
ReplyDeleteTks banyak bunda Tien Aliyah sdh tayang
Waduuh pinto nanti bingung mau nolak usul Aliyah.. Tunggu bunda aja deh bgmn baiknya yaa hehe...
Tambah penasaran, msh hr senin lg...
Salam aduhai utk bunda..
Semoga sehat" selalu.. 🙏🙏🙏
Alhamdulillah. Bu Tien smg shat selaalue
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien.
Salam aduhai dan sehat selalu.
Aliyah... Kamu tidak boleh egois, hanya karena ingin menyenangkan hati saudara mu, lalu kamu mau orang lain berkorban..
ReplyDeleteSiapa Narita, ?? Masa lalunya aja kelam, .
🤭🤭🤭
Bagusnya kamu nasihatin Narita biar dia mau menikah dengan Nungki, karena dia ayah biologis nya. Dan biarkan keduanya menjadi pasangan, siapa tahu dengan adanya anak, mereka mendapat hidayah...
Maafkan, terbawa emosi bacanya..
😆😆😆😆😆😆
Penonton gak usah esmosi...
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat🌿
Selamat pagi mbak Tien, semoga selalu sehat dan semangat.🙏
ReplyDeleteYg bertanggung jawab harus Nungki kan Nungki yg menabur jangan Pinto lah . Terimakasih Bu Tien tentu Bu Tien lbh bijaksana dg kasus Narita
ReplyDeleteKasian ya kalau pinto hrs menikahi narita.. 2 org akan tersakiti... Hrs nya Aliyah bs memikirkan seb.. Permintaan d sampaikan.. Mdh"an tdk ya... Hehe knp jd ikut khawatir... wkwkwk... Lanjut mba Tien critanya mantaaffff
ReplyDeleteMudah2an jangan Pinto..
ReplyDeleteNungki aja menjadi suami Narita .kemudian bertobat menjadi ayah yg baik..
Dinikahkan sama Kirman saja untuk menyelamatkan bayi Narita
ReplyDeleteNgincang nginceng.com 😁🙏
ReplyDeleteMenanti CBE 45
ReplyDeleteSemoga bunda Tien sehat selalu 🙏
CBE-45 belum nongol.
ReplyDeleteSemoga Mbak Tien sehat² saja
Sudah nongol yuh....
DeleteAlhamdulillah terimakasih Bu Tien... Ceritanya jadi seru. Salam sehat selalu.
ReplyDelete