CINTAKU BUKAN EMPEDU
43
(Tien Kumalasari)
Narita terperanjat. Senyuman manis dari dokter yang
memeriksanya terasa bagai sembilu menusuk jantungnya. Itu bukan berita bahagia.
Rupanya Narita lebih baik dikatakan mengidap suatu penyakit saja, daripada
dianggap hamil.
“Baiklah Ibu, memang sih, wanita hamil itu bawaannya
bermacam-macam. Ada yang muntah-muntah terus, hanya mual, pusing, lemas. Tapi
ada yang tidak merasakan apa-apa, bahkan selalu bisa makan apapun dengan lahap.
Ada lagi yang efek kehamilan itu baru terasa setelah beberapa minggu. Dan Ibu
mengalami seperti hal yang terakhir itu. Ibu baru merasakannya beberapa hari
terakhir ini kan? Sepertinya kehamilan Ibu ini sudah berumur beberapa minggu.
Narita tak bereaksi, dia memejamkan matanya.
“Ibu jangan khawatir, saya akan memberikan resep untuk
diminum. Memang orang ngidam tidak ada obatnya, tapi saya berharap obat ini
bisa membantu,” kata sang dokter sambil terus menuliskan resep.
“Bu, resep ini akan saya berikan kepada resepsionis
hotel, karena tadi dia berpesan begitu. Mereka yang akan membelikan obatnya.
Rupanya Ibu tamu istimewa di sini,” kata dokter itu sambil berdiri.
Narita membuka matanya.
“Terima kasih banyak,” katanya lirih, sambil menahan
keluarnya air mata.
"Untuk lebih meyakinkan, saya harap ibu periksa ke dokter kandungan."
Dokter itu berlalu, tanpa tahu bagaimana kacaunya
perasaan Narita saat itu.
“Apa ini? Mengapa aku hamil? Mengapa? Aku tak mau anak
ini. Ini darah orang jahat. Pemabuk, penjudi. Tidaaak. Ya Tuhan, ampunilah
hamba..”
Narita menutupi wajahnya dengan ke dua tangan,
membiarkan air matanya terurai.
“Ini hukuman … ini hukuman … Biasanya tak terjadi,
mengapa tiba-tiba aku hamil? Apa sekarang yang harus aku lakukan? Aku tidak mau
janin ini. Aku akan menggugurkannya. Ini darah orang jahat. Aku tidak mau
darahnya mengalir di tubuh anakku. Aku sudah jahat, lalu ayahnya lebih jahat
lagi. Bagaimana dengan anaknya? Tidak, aku harus menggugurkannya.”
Seketika Narita bangkit. Ia ingin mengambil baju ke
sebuah almari, di mana Farah sudah menyiapkan semuanya di situ. Tapi ia
terhuyung-huyung dan jatuh sebelum mencapai almari itu. Ia merasa sangat lemas,
sangat susah saat berusaha bangkit. Tertatih dia saat kemudian bisa berdiri,
lalu melanjutkan langkahnya ke arah almari. Ia mengambil baju yang pantas, lalu
mengenakannya. Saat itulah tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, lalu Farah masuk.
“Non mau ke
mana?”
Narita menguatkan hatinya untuk mencoba tersenyum.
“Hanya ingin ganti baju saja,” katanya sambil duduk di
kursi terdekat, agar tak terlihat seperti orang sakit.
“Saya hanya mengantarkan mukena untuk Non. Bukankah Non
memintanya?”
“Iya, terima kasih Farah. Sekarang kamu bisa
meninggalkan aku, aku mau beristirahat.”
“Non tidak apa-apa? Non tampak pucat sekali.”
“Ah, aku baik-baik saja, hanya lelah, jadi ingin
segera beristirahat.”
Farah mengangguk. Tapi ketika keluar dari kamar itu,
ia melihat hal yang tak wajar pada Narita. Wajahnya yang pucat, bukan berarti
baik-baik saja. Tapi sejauh ini Farah masih menganggap kalau Narita sedang
kelelahan akibat disekap di kamar tahanan selama beberapa hari.
Sepeninggal Farah, Narita melangkah mendekati
ranjangnya, lalu meraih mukena yang diberikan Farah, mendekap di dadanya, lalu
menangis sesenggukan.
“Disaat seperti ini, aku baru mengingatMU, ya Allah …
Ya Allah … “ rintihnya sambil menciumi mukena itu, yang kemudian menjadi basah
oleh air matanya.
Tertatih Narita melangkah ke kamar mandi, mengambil
air wudhu, sambil air matanya bercucuran.
***
Ketika Alfian sampai di rumah, dilihatnya sang istri
menunggunya di teras. Bahagia rasanya, saat ia menyadari bahwa dia punya istri,
yang sudah mengerti akan semua kewajibannya.
“Baru pulang, Tuan?”
“Iya, ini agak cepat pulang, habis, kangen sama kamu,”
katanya sambil mencium kening sang istri.
“Tuan kok begitu, dilihat orang tuh,” kata Aliyah
tersipu.
“Memangnya kenapa kalau dilihat orang? Mencium istri
sendiri kan tidak salah, kecuali kalau mencium istri orang,” kata Alfian sambil
merangkul Aliyah, mengajaknya masuk ke dalam.
“Malu ah.”
“Aliyah, ini terakhir kalinya aku minta sama kamu.
Jangan panggil aku ‘tuan’.”
“Memangnya kenapa? Sudah terbiasa di lidah, susah
menggantinya.”
“Tidak susah. Cuma panggilan saja kok dibuat susah.
Ingat ya, panggil aku Alfi, atau mas Alfi. Selain itu aku tidak mau dengar,”
kata Alfian tandas sambil masuk ke dalam kamarnya, diikuti istrinya.
Aliyah tersenyum. Ia ingat Afifah, yang juga
menyarankannya begitu. Kok susah ya, memanggil mas Alfi, begitu saja?
“Tuan … mas Alfi…”
“Nah, begitu manis terdengarnya, ya kan?”
Aliyah membantu Alfian melepas jas kerjanya. Ia sudah
menyiapkan baju ganti yang akan dipakai suaminya setelah mandi.
“Ada kabar baik.”
“Apa tuh?”
“Mas Pinto akan mulai bekerja di kantor aku, minggu
depan.”
“Oh ya? Itu benar-benar kabar baik. Aku ikut senang.”
“Ngomong-ngomong, apa kamu dulu dekat sama mas Pinto?”
tanya Alfian dengan nada sedikit cemburu. Sebetulnya sudah lama dia ingin
menanyakannya, baru sekarang bisa terucap.
“Dekat? Ya, karena dia pernah menolong aku saat aku
pingsan di depan rumah makannya.”
“Oh ya? Kamu sakit, waktu itu?”
“Aku … kelaparan,” kata Aliyah malu-malu.
“Kamu? Kelaparan? Ya Tuhan, istriku begitu sengsara?”
“Aku mencari pekerjaan sejak pagi, tidak dapat. Belum
makan, belum minum, lalu sebelum sampai rumah, tepatnya di depan rumah makan
tempat mas Pinto bekerja, aku pingsan.”
“Mas Pinto menolong kamu?”
“Dan memberikan aku sebungkus nasi rendang daging.
Itulah pertama kalinya aku makan daging sejak aku masih kecil.”
“Aliyah?” tak tahan oleh rasa haru, Alfian meraih
tubuh istrinya, didekapnya erat.
“Mm … mas Alfi kan sudah tahu, kalau aku orang miskin.”
“Ya, miskin harta itu bukan sebuah cacat. Miskin jiwa,
barulah itu mengenaskan.”
“Setelah itu, mas Pinto sering menolong aku,
membelikan bohlam lampu untuk rumahku, mengajari aku memasak, eh bukan,
memanasi nasi goreng yang katanya kalau dimakan dingin kurang sedap.”
“Rupanya dia jatuh cinta sama kamu, dan kamu juga?”
“Ah, tidak. Aku hidup sendirian. Setelah bertemu mas Pinto,
aku merasa menemukan seorang kakak. Tidak lebih. Aku belum pernah jatuh cinta.”
“Bohong,” kata Alfian sambil mendekapnya lebih erat.
“Kok bohong sih?”
“Kamu pernah mengatakan cinta sama aku, hayoo… ngaku.
Kalau tidak pernah jatuh cinta, berarti kata-kata kamu itu bohong, dong.”
Aliyah tertawa, mendorong pelan tubuh suaminya.
“Baru kali itu. Aku tidak bohong.”
“Benar?”
“Apa aku pernah berbohong?”
“Baiklah. Aku hanya khawatir, kamu memiliki perasaan
yang lain sama mas Pinto.”
“Tidak, aku justru ingin menjodohkan mas Pinto dengan Farah.”
“Haaa, itu aku setuju. Orang baik, berjodoh dengan
gadis yang baik. Itu sangat menyenangkan bagi kita, kan?”
“Aku harap itu akan benar-benar terjadi. Kelihatannya
Farah juga suka, mas Pinto demikian juga.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari cara dia memandang. Tadi itu, ketika mereka
bertelpon, kelihatan kalau Farah amat senang dan tertawa-tawa. Pasti mas Pinto
menggodanya.”
“Bagus kalau begitu. Oh ya, ada lagi, aku lupa
mengatakannya. Besok pagi akan ada guru datang kemari.”
“Guru? Untuk apa?”
“Dia akan mengajari kamu banyak hal. Pengetahuan umum, mungkin bahasa, atau cara kamu bersikap dan berbicara.”
“Memangnya aku kenapa?”
“Aliyah, aku minta maaf. Bukan karena aku merendahkan
kamu, tapi aku hanya ingin kamu lebih pintar, bisa menguasai setiap situasi,
bergaul dengan siapa saja tanpa merasa rendah diri, berbicara sangat lancar
dengan siapapun juga, karena kamu menguasai banyak hal. Pokoknya banyak. Sekali
lagi maaf, bukan karena kamu banyak kekurangan. Menurut aku, kamu itu sangat sempurna.
Tapi kamu harus tahu, karena kedudukan aku, aku harus berbaur dengan banyak
orang dan banyak kalangan, sedangkan aku ingin kamu selalu berada di samping
aku. Apa kamu mengerti?”
“Baiklah, aku mengerti.”
“Kalau begitu, kamu akan mulai besok pagi. Sekarang
aku mau mandi, gerah.”
“Mandilah, akan aku siapkan minuman untuk kamu,” kata
Aliyah yang mulai bisa bercakap lancar dengan suaminya, bahkan ber ‘aku’ dan
ber ‘kamu’, serta belajar membiasakan diri dengan memanggilnya ‘mas Alfi’.
***
Aliyah sedang menuju ke arah belakang, untuk membuatkan minum untuk suaminya, tapi ternyata Farah sudah membuatkannya.
“Sudah saya buatkan Nyonya,” kata Farah sambil
meletakkan gelasnya di nampan.
“Terima kasih Mbak Farah. Oh ya, tadi Mbak Farah
mampir ke hotel untuk memberikan mukena, bukan?”
“Iya, Nyonya. Hanya menyerahkan mukena, lalu disuruh
segera pulang, katanya, non Narita ingin segera istirahat. Tapi saya melihat
non Narita masih sangat pucat.”
“Barangkali setelah ia merasa nyaman selama beberapa
hari, dia akan senang dan sumringah.”
“Iya Nyonya, saya juga sudah menanyakan lagi, apa non
sakit, tapi katanya baik-baik saja.”
“Iya Mbak, terima kasih banyak. Kalau ada apa-apa,
tolong dibantu ya.”
“Baik Nyonya.”
“Oh iya, tadi tu .. mm … mas Alfi bilang, kalau bulan
depan, mas Pinto sudah akan mulai bekerja di kantornya mas Alfi.”
Farah tersenyum, bukan karena sang nyonya sudah mau
memanggil suaminya dengan sebutan ‘mas’, tapi juga karena berita tentang Pinto
yang segera akan bekerja di kantor tuannya.
“Syukurlah, Nyonya.”
“Semoga dia kerasan. Dengan begitu, kamu akan lebih
sering ketemu,” goda Aliyah.
“Ah, nyonya, kenapa bisa lebih sering ketemu? Bukankah
kerjanya di kantornya tuan, bukan di rumah ini?”
“Benar, siapa tahu mas Alfi akan sering mengajaknya ke
rumah.”
“Nyonya ada-ada saja. Mari, minumnya saya bawakan,”
kata Farah mengalihkan pembicaraan.
“Biar aku saja, kan Mbak Farah sudah membuatkan. Mulai
sekarang kita akan selalu berbagi pekerjaan ya Mbak, aku senang melakukannya.”
“Baiklah Nyonya. Kalau Nyonya melakukannya, pasti tuan
akan lebih suka lagi.”
“Aku kan belajar dari Mbak Farah,” kata Aliyah sambil
membawa nampan, berisi minum untuk Alfian, sekaligus cemilan kesukaannya.
Farah tersenyum senang. Rumah itu sekarang terasa
lebih hidup dengan penuh cerah ceria.
***
Narita sudah selesai bersujud, sesambat kepada Sang
Pencipta, dan memohon ampun kepadaNya, sambil menangis sesenggukan.
Saat melipat mukena itu, tiba-tiba Narita seperti
mendengar suara.
“Mengapa harus kamu lenyapkan janin tak berdosa itu?
Kenapa harus kamu kutuk dia hanya karena darah orang jahat yang mengalir di
tubuhnya? Kamu harus ingat, dia suci, bersih tak bernoda.”
Narita mengusap air matanya. Bahwa terciptanya bayi di
rahimnya adalah karena dosa dan keburukan tingkahnya. Bahwa kemudian bayi itu
ada, mengapa harus menyalahkannya? Ia sudah membuka buka info tentang dokter kandungan yang
ada, dari ponsel pintar yang dimilikinya. Ia bersiap pergi ke sana, bukan untuk
menggugurkannya, tapi untuk meyakinkan kehadirannya, yang harus disambutnya
dengan sorak dan gempita kebahagiaan.
Narita meraih sepotong roti yang ada di meja,
mengunyahnya pelan dengan berat hati karena perutnya terasa tak enak. Ia
memaksanya, karena ia harus punya kekuatan untuk keluar menemui dokter
kandungan tersebut.
Ketika sebuah ketukan pintu terdengar, kemudian Narita
melihat seorang petugas hotel menyerahkan kantung plastik berisi obat.
“Ini sudah kami belikan, dari resep yang tadi
diberikan dokter.”
“Berapa harganya?”
“Nyonya tidak perlu membayarnya, saya akan melaporkan
semua pengeluaran kepada mbak Farah, dia sudah berpesan wanti-wanti.”
“Tidak. Untuk obat-obat itu, jangan melaporkannya
kepada Farah. Saya akan membayarnya sendiri. Juga tentang pembayaran untuk
dokter yang tadi memeriksa aku. Ingat, aku juga tidak ingin mereka tahu bahwa
aku sakit dan butuh ke dokter.”
“Baiklah Nyonya, kwitansi pembayaran akan kami serahkan
kepada Nyonya secepatnya.”
“Nanti saja, tolong sekarang panggilkan taksi, aku mau
keluar sebentar,” perintah Narita.
“Baik, Nyonya.”
Petugas hotel itu berlalu. Mereka benar-benar melayani
Narita dengan sangat istimewa, karena mereka mendapat bayaran mahal untuk itu.
Sekarang Narita bersiap untuk pergi. Ia sudah memiliki uang yang diberikan
Aliyah, ia akan membayar semua biaya dokter dan obat-obatnya, dan tak ingin
Aliyah tahu tentang hal itu.
***
Aliyah dan Alfian sedang duduk bersantai di ruang
tengah. Televisi yang menyala, bukan untuk dinikmati oleh mereka, karena mereka
asyik bercanda sambil meluapkan rasa cinta mereka.
Tapi tiba-tiba Aliyah ingin menelpon Narita, hanya
untuk menanyakan keadaannya.
“Kamu kan sudah dari sana, sudah memenuhi semua
kebutuhannya, mau apa lagi, malam-malam menelpon dia?”
“Hanya ingin menanyakan keadaannya saja.”
Tapi ternyata Narita tidak menyalakan ponselnya.
Karena penasaran, Aliyah menelpon ke hotel. Tapi petugas hotel mengatakan bahwa
Narita sedang keluar.
“Kemana?” tanya Aliyah.
“Saya kurang jelas, tapi tadi saya mendengar bu Narita
mengatakan mau ke dokter, kepada pengemudi taksi itu. Saya kebetulan
mendengarnya, karena saya mengantarkannya sampai ke lobi.”
“Ke dokter?” Aliyah tentu saja terkejut.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien..waah tambah gayeng ceritanya. Afifah hamil, sebentar lagi Aliyah juga "ketularan" hamil. Rame nih..saat Afifah membesarkan kansunhannya, dia sudah pindah ke rumah nenek Supi. Bu RT bakal geger kalau tahu Afifah yang sempat dikiranya Aliyah, hamil. Pasti curiga pada psknRT...hehehe
DeleteAkan ada peperangan dong .....wah rame
DeleteAlhamdulilah..
DeleteTks bunda Tien.. Aliyah sdh aman dg Alfian..
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtnuwun MB Tien 🙏🙏
🍒🍰🍒🍰🍒🍰🍒🍰
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 43
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🦋⚘
🍒🍰🍒🍰🍒🍰🍒🍰
Maturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah.... maturnuwun bunda
ReplyDeleteMatursuwun🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun Bunda
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien cantiik... salam sehat penuh semangat untuk seluruh keluarga, ya...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ..
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~43 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga selalu sehat Aamiin yra
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteKutunggu akhirnya hadir juga...
Maturnuwun bu Tien, salam sehat selalu...
Matur suwun ibu Tien
ReplyDeleteSalam tahes ulales Dan tetap Aduhaiii 🙏💪
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu kagem bunda...
Wah, sudah rame to...wkwk...tadi diintip2 belum muncul...terima kasih, ibu Tien sayang...salam sehat selalu.🙏 (Tamat di episode berapa ya? Nampaknya sudah hampir nih...karena yang jahat sudah mulai bertobat.😀
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur nuwun bu Tien...🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu kagem bunda sklg...
Salam sehat selalu buat Bu Tien sekeluarga.....
ReplyDeleteMatur nuwun namaku dicantumkan....
Alhamdulilah, CBE 43 sampun tayang hehehe emang bioskop, matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang, salam kangen n aduhaai dari Cibubur inggih
ReplyDeleteOoh .....Narita mengandung hasil perbuatannya dengan Nungki...
ReplyDeleteKelihatannya nanti diasuh oleh Aliyah .....
***
Sudah ada perubahan pada Aliyah ......ketika bercakap dengan Alfian, selain sudah bisa merubah panggilannya dari tuan menjadi mas dan sudah bisa ber aku dan ber kamu, dia menyebut Farah juga langsung namanya tanpa *mbak* seperti biasanya .......
***
Cerita masih panjang
Kita nantikan episode selanjutnya
Salam sehat
Salam aduhai .......
Akhirnya mbabar layar juga, terbentang; ceritaku bukan empedu; namanya juga kembaran, saudara kembar jeritan hati, terbeban berat, tentu juga terasa pada kembarannya.
ReplyDeletePenasaran Aliyah, itu juga yang menjadi kan tidak fokus pada sekitarnya; aduh jian melas temen Fi Alfi.
Kami kakon saiki, wis mulai mumpluk malah mimpes manèh, biyuh biyuh cèk mleruk katon kagol.
Syukur lah ada niat mau merawat, karunia Nya.
Sarman, eh tapi kan sama, iya sama sama terlahir nggak diketahui investor, wuih apaan.
Lain lah kae sengit banget, sama.
Inikan masih ada saudara yang memperhatikan dan peduli, yaudah biarin malah bisa buat semangat menjalani hidup, ya mudah mudahan.
La nanti kalau lahir tau nggak biasa, trus mlayu.
Ya nggaklah nanti jadi puanjang, kan pemabok jalanan ngontrak deket rumah nenek Supi; yang lagi ikutan bedah rumah.
Siapa tau disitu niat jualan lotek; nanti kalau mau dinjaili gampang, kalau dia datang dikasih cabe yang banyak biar kapok.
Mirip Narita tapi rumahnya bagus, masih mau jualan lagi.
Mana ada jaman sekarang model begitu; jadul itu, sekarang jualan online.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke empat puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terimakasih Bu Tien.Semoga sehat selalu.Bagaimana nasib Narita?
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteUntung Narita segera insyaf kesalahannya, meski terlanjur ada benih tertanam...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kaaih bu tien... salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdullilah terimaksih bunda cbe nys..salam sht dan tetap aduhai dri skbmi🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu. Aduhai
Klo Narita masih "jahat", kebayang masih lanjut nih episode... ngga kelar-kelar dongs.
ReplyDeleteKasian Alfian dan Aliyah.. wkwkwk
Salam sehat selalu Bu Tien... 😘😘
Terimakasih Bu Tien. Salam sehat dan semangat
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien.
ReplyDeleteSalam bahagia dan aduhai selalu.
Ibu Tien... smg sehat2 nggih...aamiin.
ReplyDeleteDalam penantian Aliyah dan Afifah nih.
Matur nuwun bu Tien. Menunggu kelanjutannya episode 44. Salam sehat selalu
ReplyDeleteMasih nginceng blm nampak juga😁
ReplyDeleteHo'oh.....
ReplyDeleteMasih mununggu
ReplyDeleteIkut nginceng aahh
ReplyDeleteMalem minggon karo nunggu...
ReplyDeleteNgintip...🥸
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat2 selalu
ReplyDeleteNgintip lagi...
ReplyDeleteApa libur yaaa
ReplyDeleteLibur ya mbak Tien,malam mingguan,salam seroja mbak Tien dr Neni Tegal
ReplyDeleteBu Tien ketiduran ya'e
ReplyDeleteBerbahagialah di WAG PCTK Eps 44 sdh tayang.