Monday, May 8, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 39

CINTAKU BUKAN EMPEDU  39

(Tien Kumalasari)

 

Aliyah terus menangis. Ia ingin keluar, tapi semua pintu dikunci dari luar. Malam sudah semakin larut, dan dia ketakutan berada di tempat asing yang tidak ada seorangpun bersamanya. Rumah itu bukan rumah berdinding anyaman bambu seperti rumah nenek Supi. Itu rumah yang kokoh dan terbuat dari tembok yang kuat. Tapi tak banyak perabotan di rumah itu. Hanya ada kursi kayu tiga buah, dan salah satunya adalah kursi panjang. Dia tak berani masuk ke kamar, karena merasa dia orang asing yang tak berhak memasuki kamar orang. Jadi dia hanya mondar mandir di dalam rumah itu, sambil menggoyang-goyangkan setiap pintu yang ada. Ada tiga buah pintu di sana. Pintu depan, pintu belakang, lalu ada pintu samping, tapi tak satupun pintu bisa dibukanya. Aliyah mulai panik karena Nungki pergi sangat lama. Ia merasa memang disekap di rumah itu.

“Apa sebenarnya salahku? Mengapa aku selalu dibawa orang asing, kemudian seperti disiksa begini? Apakah ini karena Narita? Dimana Narita yang tadi dijanjikan oleh laki-laki itu? Laki-laki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya, bahkan namanya tidak pernah aku tanyakan. Apakah dia orang jahat? Mengapa membawa aku kemari sedangkan aku sebenarnya hanya ingin bertemu Narita?”

Aliyah sudah lelah menangis. Tiba-tiba ia melihat sebuah jendela di ruangan itu, di mana dia duduk menunggu laki-laki itu.

“Apakah jendela itu bisa dibuka?”

Aliyah mendekati jendela itu, dan bersyukur dia bisa membukanya.

“Aku bisa lari dari sini,” gumamnya sedikit lega. Tapi jendela itu kelewat tinggi. Aliyah menarik sebuah kursi dan mempergunakannya untuk memanjat. Ia berhasil memanjat, lalu melompat keluar. Ia terjatuh ketika melompat, dan merasakan bahwa kakinya terluka. Tapi Aliyah nekat berdiri, setelah mengelus lututnya yang terasa nyeri.

“Sebenarnya ini di mana?”

Aliyah keluar dari halaman sempit rumah itu, melihat ke kiri dan ke kanan. Semua rumah sudah tertutup rapat.

“Di mana ini? Haruskah aku berteriak minta tolong? Kalau aku harus pergi, harus ke arah mana?”

Rupanya rumah di mana Aliyah disekap, ada di sebuah gang yang tidak begitu besar. Tak ada orang lewat, sepi sekelilingnya. Ada rasa ngeri karena lampu di gang itu hanyalah lampu yang nyalanya remang-remang.

“Harus ke mana aku?"

Aliyah kebingungan, karena tak tentu arah.

“Ya Allah, tolonglah aku. Hanya Engkau yang bisa menolong hambaMu ini, ya Allah.”

Aliyah melangkah, menurutkan kakinya. Tak tahan oleh sepi yang mencekam, Aliyah pun berteriak.

“Toloooong … toloooong ….”

Suara Aliyah menggema di sepanjang lorong itu. Aliyah terus saja melangkah, sampai kemudian didengarnya langkah-langkah kaki, ada juga orang yang membawa senter, diarahkan kepadanya.

“Ada apa dik?” tanya seseorang.

“Seorang perempuan, sendirian ….”

“Ada apa dik?”

“Tolong saya, saya ingin pulang,” isaknya.

“Apa yang terjadi?”

“Seseorang menyekap saya di rumah itu.”

Aliyah menunjuk ke arah rumah, dimana dia tadi terkunci di dalamnya.

“Itu rumah sewa. Penyewanya seorang pemabuk.”

Lalu beberapa orang membicarakan laki-laki itu.

“Namanya Nungki ….”

Aliyah baru kali itu mendengar namanya. Tapi ia lega, ada banyak orang yang pasti bisa menolongnya,

“Di mana Nungki? Mana dia dik?”

“Saya ditinggal di situ, dikunci semua pintu, saya melompat dari jendela.”

“Apa Anda diperkosa?”

“Tidak … tidak ,,” Aliyah menggeleng-geleng.

“Nama Adik, siapa?”

“Aliyah. Kearah mana saya bisa keluar dari sini?” tanya Aliyah yang sedikit merasa lega.

“Di mana rumah adik?”

Aliyah mengatakan nama kampungnya.

“Ya ampuun, itu dekat, hanya beberapa gang dari sini, mari saya antar,” kata beberapa orang bersahutan.

“Terima kasih banyak,” kata Aliyah.

Beberapa orang kemudian mengantarkannya keluar dari gang itu. Tapi tiba-tiba seseorang memanggil namanya.

“Aliyah?”

Aliyah terkejut. Ia sangat mengenal suara itu. Ia mencari-cari, dari mana datangnya suara, lalu melihat seorang laki-laki menyibakkan kerumunan orang yang berada di sekelilingnya.

“Mas Pinto?”

Aliyah lupa segala-galanya. Rasa gembiranya membuat dia lupa bahwa Pinto bukan siapa-siapanya. Ia menghambur ke dalam pelukan Pinto, dan menangis di dadanya.

“Mas Pinto,” Aliyah masih terisak.

“Mas Pinto mengenalnya?”

“Iya, ini Aliyah, sahabat saya,” kata Pinto.

“Apa yang terjadi?” tanya Pinto yang kemudian melepaskan pelukan Aliyah pelan.

“Aku ingin pulang.”

“Apa yang terjadi.”

“Dia disekap oleh Nungki, seorang pemabuk,” kata seseorang.

“Nungki?”

Pinto terkejut, karena mengenal nama itu, saat Nungki ditangkap polisi.

“Baiklah, Bapak-Bapak, terima kasih banyak karena telah menolong Aliyah. Saya akan mengantarkannya pulang,” kata Pinto.

Karena mereka mengenal Pinto sebagai anak kost yang baik, dan tampaknya Aliyah juga mengenalnya, maka mereka membiarkan Pinto pergi mengantarkan Aliyah.

***

Pinto mengantarkan Aliyah sampai ke rumah nenek Supi. Mereka duduk di balai-balai di depan rumah Aliyah. Lalu Aliyah menceritakan semua yang dialaminya.

“Aku mengikuti dia, karena dia mengatakan bahwa akan mempertemukan aku dengan Narita. Dia kekasih Narita.”

“Tapi rupanya laki-laki yang menyekap kamu itu sudah tahu bahwa kalau menemukan kamu, maka dia akan mendapat hadiah satu milyar.”

“Apa? Satu milyar itu banyak, bukan?”

“Tentu saja.”

“Siapa yang menjanjikan hadiah itu?”

“Suami kamu.”

Aliyah terkejut.

“Mas Pinto kenal sama dia? Tuan Alfi?”

Pinto pun menceritakan pertemuannya dengan Alfian dan Farah.

Aliyah terharu, mendengar bahwa suaminya sendiri ikut mencari-carinya.

“Mengapa kamu lari? Suami kamu sangat mencintai kamu.”

“Aku ingin dia mendapatkan wanita yang sepadan, bukan aku. Kasihan kalau aku yang mendampinginya. Mas kan tahu, aku ini siapa?”

“Cinta itu tidak mengenal derajat seseorang. Kamu telah menyiksa dia. Kamu harus kembali sama dia. Aku akan menelpon mbak Farah. Dia memberi aku nomornya, dan aku sudah berjanji akan mengabari dia kalau bertemu sama kamu.”

“Sungguh aku takut. Mengapa tuan Alfi sangat nekat?”

“Dia seorang suami yang bertanggung jawab.”

Pinto mengambil ponsel di sakunya, lalu menelpon Farah. Malam sudah larut, tapi Pinto harus segera melaporkan penemuannya yang sangat tidak terduga ini.

“Ya Tuhan, mengapa aku harus kembali?” keluh Aliyah sambil menutupi wajahnya.

Tapi Pinto tetap saja mengabari Farah. Agak lama, karena pastinya Farah sudah terlelap. Pinto akhirnya lega ketika sudah berhasil mengatakan semuanya.

“Dia akan segera menjemput kamu.”

“Sebenarnya aku mengikuti laki-laki bernama Nungki itu, karena ingin bertemu Narita,” kata Aliyah mengulang keterangannya di awal pertemuan itu.

“Laki-laki itu tak akan bisa bertemu Narita, kecuali kalau dia ditahan di kantor polisi yang sama. Dia membawa kamu karena iming-iming hadiah itu.”

“Dia mencari koran di sepanjang jalan.”

“Dia mungkin lupa tidak mencatat nomor yang harus dihubungi ketika sudah bertemu kamu.”

“Kok bisa begini, Tapi tadi Mas Pinto bilang bahwa dia hanya bisa bertemu Narita di kantor polisi?”

“Narita sudah ditangkap polisi.”

“Apa?”

“Saudara kembar kamu mengaku bernama Aliyah dan mengikuti mbak Farah ketika mencarimu kemari.”

“Kemari? Jadi Narita pernah kemari?”

“Secara kebetulan dia bertemu pak RT, dan karena mengira dia Aliyah, maka dia mengantarkannya ke rumah ini.”

“Oh, pantesan saat aku kemari, pak RT ngomong yang tidak jelas, aku tidak suka cara dia berbicara. Menyebalkan,” keluh Aliyah.

Tiba-tiba sebuah lampu senter terarah ke arah mereka, lalu seseorang melangkah mendekat.

“Kamu? Aliyah?” pekik pak RT yang memang sebentar-sebentar menyatroni rumah Aliyah, demi mendapatkan uang satu milyar itu.

“Ya, pak RT.”

Tapi pak RT begitu marah ketika melihat Pinto sedang bersamanya.

“Ini Pinto?” kata pak RT dengan nada marah, dan melupakan panggilan ‘nak’ yang biasanya diucapkannya.

“Ya pak RT.”

“Kamu ini sungguh tidak sopan ya. Ini bukan saatnya bertamu,” katanya dengan nada semakin tinggi.

“Maaf pak RT, saya tidak sedang bertamu, saya_”

“Jangan mencari alasan. Perbuatan ini merusak nama baik kampung aku, mencoreng tanggung jawabku sebagai ketua RT di sini.”

“Pak RT jangan marah,” sambung Aliyah.

“Kamu jangan ikut campur Aliyah, biar aku bawa laki-laki ini ke kelurahan,” ancam pak RT.

“Pak RT harus mendengar penjelasan dia dulu, dia ini_”

“Diam Aliyah, kamu ada dalam pengawasan aku. Aku akan menghubungi _”

“Untuk mendapatkan hadiah satu milyar?” ejek Pinto.

“Apa? Kamu jangan bicara sembarangan. Aliyah ada dalam kekuasaan aku sekarang.”

Tiba-tiba dari arah depan muncul seorang wanita, yang kemudian bergegas mendekati.

“Ya ampun Pak, dia sudah pulang? Beruntungnya kita,” sorak wanita yang baru datang.

“Bu RT?” sapa Aliyah.

“Aliyah, ayo Nak, ikut ke rumah bersama aku,” kata bu RT sambil mendekati Aliyah.

Tapi tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Semua orang menatapnya.

Berdebar hati Aliyah ketika melihat siapa yang pertama kali turun dari mobil itu, yang kemudian bergegas mendekatinya.

“Aliyah?”

“Tuan Alfi,” Aliyah tak berkutik ketika Alfian sudah memeluknya dan mendekapnya erat.

“Kenapa kamu pergi, Aliyah? Kamu tega membuat aku sakit,” bisik Alfian di telinga Aliyah, membuatnya merinding.

“Ini tuan yang membuat sayembara itu?” tiba-tiba pak RT nimbrung.

“Anda siapa? Tanya Alfian yang sebelah tangannya masih merangkul Aliyah.

“Saya RT di kampung ini. Saya menemukan Aliyah, tuan.”

Alfian melihat wajah pak RT yang tampak nyengir dan itu membuatnya sebal.

“Apa Anda yang menelpon tadi?”

“Bukan, saya baru akan menelpon. Istri saya yang membawa nomor kontak itu.”

“Iya Tuan, saya hampir menelpon,” sambung bu RT.

“Yang mendapat hadiah adalah yang menelpon tadi. Mas Pinto ya?” kata Alfian sambil menatap Pinto ramah.

“Ya Tuan.”

“Mas,” lagi-lagi Alfian membetulkan panggilan Pinto.

“Ya, tapi saya tidak berharap hadiah itu. Saya senang Aliyah sudah ditemukan,” kata Pinto.

“Apa? Dia tamu yang tidak sopan, saya akan membawanya ke kelurahan,” pak RT masih sok berkuasa dan mamaksakan kehendak.

“Mas Pinto, mari ikut bersama kami, kita akan bicara di sana,  karena di sini rupanya ada pengganggu,” kata Alfian sambil melirik ke arah pak RT.

“Bawalah Aliyah, biarkan saya pulang, Tuan … eh … Mas.”

“Tidak, kali ini aku ingin memaksa Mas Pinto.”

“Sungguh saya tidak ingin hadiah, Tu .. eh … Mas, biarkan saya pergi.”

“Memang saya yang seharusnya mendapatkan hadiah itu, karena Aliyah ada dalam pengawasan saya,” timbrung pak RT tanpa malu, sedangkan bu RT mengangguk-angguk.

“Ayo Mas Pinto, Tuan sudah meminta,” kali ini Farah ikut menimbrung.

Melihat Farah menatapnya, hati Pinto luluh. Walau ia bukan menginginkan hadiah itu, tapi Farah sudah ikut mengundangnya, dan itu membuatnya kemudian ikut melangkah dan memasuki mobil Alfian, yang tetap menggandeng lengan Aliyah, seakan takut ditinggalkannya kembali.

Begitu mobil berlalu, bu RT membanting-banting kakinya.

“Bapak kurang cepat datang. Kelamaan tidur sih, jadi keduluan Pinto tadi.”

“Kamu juga, kenapa tidak membangunkan aku?”

Keduanya melangkah pulang sambil omel mengomeli dan saling menyalahkan. Hadiah satu milyar sudah terbang dari angan-angan.

***

Aliyah berada di kamarnya kembali, di rumah Alfian. Pikirannya melayang ke mana-mana. Kewajiban di warung bu Siti yang ditinggalkannya, dan gagalnya bertemu Narita, saudara kembarnya.

Seperti biasa Farah melayaninya mandi dan berganti pakaian, sementara Alfian sedang berbincang dengan Pinto, yang dengan bersungguh-sungguh menolak hadiah yang mestinya didapatkannya.

“Saya cukup berbahagia melihat Aliyah kembali kepada kehidupannya di samping Mas Alfian. Itu cukup.”

“Mas Pinto seorang yang luar biasa. Baiklah, sebuah kebaikan jangan sampai dikotori oleh ambisi mendapatkan imbalan. Saya bisa mengerti. Bagaimana kalau hadiahnya adalah pekerjaan di kantor saya, dan menjadi asisten pribadi saya?” tawar Alfian pada akhirnya.

Pekerjaan? Pinto bukan laki-laki tak berpendidikan. Dia lulusan D3 jurusan informatika yang membuatnya cukup karena orang tuanya tak mampu menyekolahkannya lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Kesulitan mencari pekerjaan membuat dia menerima pekerjaan apa saja yang bisa dia kerjakan. Itu sebabnya dia menerima dengan senang hati pekerjaan menjadi pelayan di sebuah rumah makan. Sekarang, Alfian menawarkan pekerjaan di kantornya. Haruskah ditolaknya pula? Tadi, di awal pembicaraan, Alfian memang sudah bertanya tentang pendidikan yang pernah dijalaninya.

“Bagaimana Mas Pinto?” desak Alfian.

Hari menjelang pagi, dan Farah telah menyajikan dua gelas kopi panas untuk tuan dan tamunya. Ada juga beberapa potong roti bakar yang disajikannya.

“Bagaimana Mas?” Alfian mengulangi tawarannya lagi, ketika Pinto belum juga menjawab.

“Saya takut, Mas Alfian akan kecewa.”

“Tidak. Aku sudah bisa menilai, bahwa Mas Pinto pasti akan bisa menjadi karyawan yang baik. Kita akan mulai, begitu mas Pinto siap.”

“Baiklah, saya akan menyelesaikan tugas saya sampai akhir bulan ini.”

“Setelah itu, temui saya. Saya akan menunggu.”

Ketika Aliyah keluar dari kamarnya dan sudah berdandan rapi, Alfian segera melambaikan tangannya, memintanya duduk di sampingnya.

Pinto ikut tersenyum bahagia melihat sikap manis Alfian kepada istrinya.

“Kamu jangan pernah lagi meninggalkan aku, Aliyah,” kata Alfian lembut.

“Ada satu permintaan saya,” kata Aliyah pelan.

“Katakan saja. Apa sih yang enggak untuk istriku ini?”

“Bebaskan Narita.”

***

Besok lagi ya. 


44 comments:

  1. 🍓🌿🍓🌿🍓🌿🍓🌿
    Alhamdulillah CBE 39
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai 🦋⚘
    🍓🌿🍓🌿🍓🌿🍓🌿

    ReplyDelete
  2. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun CBE 39 sudah tayang.
    Ayo Pinto kejar cita²mu ....Farahmu sudah menunggu ....
    Salam sehat
    Salam aduhai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, komentar saya ini saya buat sebelum membaca CBE _39, ternyata konteksnya nyambung.....

      Terima kasih bu Tien Kumalasari .....sekali lagi Ayo kejar impianmu Pinto....orang baik akan dapat imbalan baik, apalagi jodoh sudah didepan mata ....Farah yang akan setia kepadamu ....

      Delete
    2. Mungkin sebagai kisah penutup ya pak Hadi, mengingat 'sang lakon ' sudah mapan ditempatnya.
      Biasanya mbak Tien menutup dengan menyadarkan orang jahat menjadi baik.

      Delete
  5. Asiiikkkk....

    Matur nuwun bunda Tien...🙏
    Salam Sehat Selalu dari kota Malang...🥰

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah Aliyah sudah tayang....

    Matur nuwun Bu Tien....

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah CBE 39 sdh hadir..terima kasih bundaqu Tien..selamat istirahat dan tetap sehat y bunda..salam seroja dan tetap aduhai unk bundaqu🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  8. Terima kasih, bu Tien. Salam sehat,...🙏

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah🙂
    Matur nuwun nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah CBE-39 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah cbe 39 sdh tayang.... terima kasih bu tien salam sehat

    ReplyDelete
  12. Alhandulillaah dah tayang
    Akankah alfian membebaskan narita?
    Bagaimana kalau menggangu alfian?
    Hanya bunda tien yg bisa menjawab

    ReplyDelete
  13. Terimakasih bu tien. Semoga selalu sehat aamiin yra

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, senangnya Aliyah sudah kembali, terima kasih Bunda Tien Kumalasari salam sehat penuh semangat

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah.. CBE sdh tayang. Trm ksh bu Tien. Salam Seroja..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~39 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏

    ReplyDelete
  17. Namanya juga saudara.....
    Terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  18. Ya begitulah, saudara kembar nya diselamatkan, keluarga satu satunya yang tersisa.
    Rumah nenek Supi dibangun bagus.
    Buat tempat tinggal Narita.
    Pak RT semakin aduhai donk.
    Biarlah kalau memang itu yang bisa dilakukan.
    Buat bertahan di kehidupan buka kios; ah dikampung, harus tiga kali modalnya, kok bisa, coba saja nanti yang bilang ambil dulu, buanyak lho.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke tiga puluh sembilan sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Akhirnya..... Aliyah dan Alfian..
    😍😍😍

    ReplyDelete
  20. Tak ada ucapan lain selain Alhamdulillah karena mbak Tien masih bisa berkarya untuk kita semua....🙏

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien.
    Semoga sehat selalu dan terus berkarya untuk kita semuanya. Salam A D U H A I 😍😍😍

    ReplyDelete
  22. Salam hangat dan ADUHAI juga bu Tien, dari Bekti (Bekasi Timur)

    ReplyDelete
  23. Aliyah sudah kembali kepada Alfian, mendapat support dari Pinto juga.
    Pinto segera mendapat pekerjaan yang mantap, bisa lebih dekat dengan Farah ya...
    Kalau Narita dibebaskan, mungkin juga dia akan sadar kelakuannya yang buruk, terus hidup dengan cara yang baik.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  24. Terimakasih Bu Tien... Salam sehat dan sukses selalu

    ReplyDelete
  25. Menjelang ending saya kira, banyak pelajaran dari cerita ini. Terima kasih banyak mbak tien, didoakan Semoga mbak Tien dan keluarga sehat srlalu.. Amin.

    ReplyDelete
  26. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat penuh barakah, aamiin

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
    Oh senangnya .. Aliyah ,pinto dpt pekerjaan ,,Farah siap2 ya
    ,,bgm Narita ya jika keluar dr penjara

    ReplyDelete

SENANDUNG KECILKU

SENANDUNG KECILKU (Tien Kumalasari) Hai senja, kau datang ketika merah jingga mewarnai langit dibarat sana ada senandung kecil berkumandang ...