CINTAKU BUKAN EMPEDU
39
(Tien Kumalasari)
Aliyah terus menangis. Ia ingin keluar, tapi semua
pintu dikunci dari luar. Malam sudah semakin larut, dan dia ketakutan berada di
tempat asing yang tidak ada seorangpun bersamanya. Rumah itu bukan rumah berdinding
anyaman bambu seperti rumah nenek Supi. Itu rumah yang kokoh dan terbuat dari
tembok yang kuat. Tapi tak banyak perabotan di rumah itu. Hanya ada kursi kayu
tiga buah, dan salah satunya adalah kursi panjang. Dia tak berani masuk ke
kamar, karena merasa dia orang asing yang tak berhak memasuki kamar orang. Jadi
dia hanya mondar mandir di dalam rumah itu, sambil menggoyang-goyangkan setiap
pintu yang ada. Ada tiga buah pintu di sana. Pintu depan, pintu belakang, lalu
ada pintu samping, tapi tak satupun pintu bisa dibukanya. Aliyah mulai panik
karena Nungki pergi sangat lama. Ia merasa memang disekap di rumah itu.
“Apa sebenarnya salahku? Mengapa aku selalu dibawa
orang asing, kemudian seperti disiksa begini? Apakah ini karena Narita? Dimana
Narita yang tadi dijanjikan oleh laki-laki itu? Laki-laki yang tidak pernah aku
kenal sebelumnya, bahkan namanya tidak pernah aku tanyakan. Apakah dia orang
jahat? Mengapa membawa aku kemari sedangkan aku sebenarnya hanya ingin bertemu
Narita?”
Aliyah sudah lelah menangis. Tiba-tiba ia melihat
sebuah jendela di ruangan itu, di mana dia duduk menunggu laki-laki itu.
“Apakah jendela itu bisa dibuka?”
Aliyah mendekati jendela itu, dan bersyukur dia bisa
membukanya.
“Aku bisa lari dari sini,” gumamnya sedikit lega. Tapi
jendela itu kelewat tinggi. Aliyah menarik sebuah kursi dan mempergunakannya untuk
memanjat. Ia berhasil memanjat, lalu melompat keluar. Ia terjatuh ketika
melompat, dan merasakan bahwa kakinya terluka. Tapi Aliyah nekat berdiri,
setelah mengelus lututnya yang terasa nyeri.
“Sebenarnya ini di mana?”
Aliyah keluar dari halaman sempit rumah itu, melihat
ke kiri dan ke kanan. Semua rumah sudah tertutup rapat.
“Di mana ini? Haruskah aku berteriak minta tolong?
Kalau aku harus pergi, harus ke arah mana?”
Rupanya rumah di mana Aliyah disekap, ada di sebuah
gang yang tidak begitu besar. Tak ada orang lewat, sepi sekelilingnya. Ada rasa
ngeri karena lampu di gang itu hanyalah lampu yang nyalanya remang-remang.
“Harus ke mana aku?"
Aliyah kebingungan, karena tak tentu arah.
“Ya Allah, tolonglah aku. Hanya Engkau yang bisa
menolong hambaMu ini, ya Allah.”
Aliyah melangkah, menurutkan kakinya. Tak tahan oleh
sepi yang mencekam, Aliyah pun berteriak.
“Toloooong … toloooong ….”
Suara Aliyah menggema di sepanjang lorong itu. Aliyah
terus saja melangkah, sampai kemudian didengarnya langkah-langkah kaki, ada
juga orang yang membawa senter, diarahkan kepadanya.
“Ada apa dik?” tanya seseorang.
“Seorang perempuan, sendirian ….”
“Ada apa dik?”
“Tolong saya, saya ingin pulang,” isaknya.
“Apa yang terjadi?”
“Seseorang menyekap saya di rumah itu.”
Aliyah menunjuk ke arah rumah, dimana dia tadi
terkunci di dalamnya.
“Itu rumah sewa. Penyewanya seorang pemabuk.”
Lalu beberapa orang membicarakan laki-laki itu.
“Namanya Nungki ….”
Aliyah baru kali itu mendengar namanya. Tapi ia lega,
ada banyak orang yang pasti bisa menolongnya,
“Di mana Nungki? Mana dia dik?”
“Saya ditinggal di situ, dikunci semua pintu, saya
melompat dari jendela.”
“Apa Anda diperkosa?”
“Tidak … tidak ,,” Aliyah menggeleng-geleng.
“Nama Adik, siapa?”
“Aliyah. Kearah mana saya bisa keluar dari sini?”
tanya Aliyah yang sedikit merasa lega.
“Di mana rumah adik?”
Aliyah mengatakan nama kampungnya.
“Ya ampuun, itu dekat, hanya beberapa gang dari sini,
mari saya antar,” kata beberapa orang bersahutan.
“Terima kasih banyak,” kata Aliyah.
Beberapa orang kemudian mengantarkannya keluar dari
gang itu. Tapi tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
“Aliyah?”
Aliyah terkejut. Ia sangat mengenal suara itu. Ia
mencari-cari, dari mana datangnya suara, lalu melihat seorang laki-laki
menyibakkan kerumunan orang yang berada di sekelilingnya.
“Mas Pinto?”
Aliyah lupa segala-galanya. Rasa gembiranya membuat
dia lupa bahwa Pinto bukan siapa-siapanya. Ia menghambur ke dalam pelukan
Pinto, dan menangis di dadanya.
“Mas Pinto,” Aliyah masih terisak.
“Mas Pinto mengenalnya?”
“Iya, ini Aliyah, sahabat saya,” kata Pinto.
“Apa yang terjadi?” tanya Pinto yang kemudian melepaskan
pelukan Aliyah pelan.
“Aku ingin pulang.”
“Apa yang terjadi.”
“Dia disekap oleh Nungki, seorang pemabuk,” kata
seseorang.
“Nungki?”
Pinto terkejut, karena mengenal nama itu, saat Nungki
ditangkap polisi.
“Baiklah, Bapak-Bapak, terima kasih banyak karena
telah menolong Aliyah. Saya akan mengantarkannya pulang,” kata Pinto.
Karena mereka mengenal Pinto sebagai anak kost yang
baik, dan tampaknya Aliyah juga mengenalnya, maka mereka membiarkan Pinto pergi
mengantarkan Aliyah.
***
Pinto mengantarkan Aliyah sampai ke rumah nenek Supi.
Mereka duduk di balai-balai di depan rumah Aliyah. Lalu Aliyah menceritakan
semua yang dialaminya.
“Aku mengikuti dia, karena dia mengatakan bahwa akan
mempertemukan aku dengan Narita. Dia kekasih Narita.”
“Tapi rupanya laki-laki yang menyekap kamu itu sudah
tahu bahwa kalau menemukan kamu, maka dia akan mendapat hadiah satu milyar.”
“Apa? Satu milyar itu banyak, bukan?”
“Tentu saja.”
“Siapa yang menjanjikan hadiah itu?”
“Suami kamu.”
Aliyah terkejut.
“Mas Pinto kenal sama dia? Tuan Alfi?”
Pinto pun menceritakan pertemuannya dengan Alfian dan
Farah.
Aliyah terharu, mendengar bahwa suaminya sendiri ikut
mencari-carinya.
“Mengapa kamu lari? Suami kamu sangat mencintai kamu.”
“Aku ingin dia mendapatkan wanita yang sepadan, bukan
aku. Kasihan kalau aku yang mendampinginya. Mas kan tahu, aku ini siapa?”
“Cinta itu tidak mengenal derajat seseorang. Kamu
telah menyiksa dia. Kamu harus kembali sama dia. Aku akan menelpon mbak Farah.
Dia memberi aku nomornya, dan aku sudah berjanji akan mengabari dia kalau
bertemu sama kamu.”
“Sungguh aku takut. Mengapa tuan Alfi sangat nekat?”
“Dia seorang suami yang bertanggung jawab.”
Pinto mengambil ponsel di sakunya, lalu menelpon
Farah. Malam sudah larut, tapi Pinto harus segera melaporkan penemuannya yang
sangat tidak terduga ini.
“Ya Tuhan, mengapa aku harus kembali?” keluh Aliyah
sambil menutupi wajahnya.
Tapi Pinto tetap saja mengabari Farah. Agak lama, karena
pastinya Farah sudah terlelap. Pinto akhirnya lega ketika sudah berhasil
mengatakan semuanya.
“Dia akan segera menjemput kamu.”
“Sebenarnya aku mengikuti laki-laki bernama Nungki
itu, karena ingin bertemu Narita,” kata Aliyah mengulang keterangannya di awal
pertemuan itu.
“Laki-laki itu tak akan bisa bertemu Narita, kecuali
kalau dia ditahan di kantor polisi yang sama. Dia membawa kamu karena
iming-iming hadiah itu.”
“Dia mencari koran di sepanjang jalan.”
“Dia mungkin lupa tidak mencatat nomor yang harus
dihubungi ketika sudah bertemu kamu.”
“Kok bisa begini, Tapi tadi Mas Pinto bilang bahwa dia
hanya bisa bertemu Narita di kantor polisi?”
“Narita sudah ditangkap polisi.”
“Apa?”
“Saudara kembar kamu mengaku bernama Aliyah dan
mengikuti mbak Farah ketika mencarimu kemari.”
“Kemari? Jadi Narita pernah kemari?”
“Secara kebetulan dia bertemu pak RT, dan karena
mengira dia Aliyah, maka dia mengantarkannya ke rumah ini.”
“Oh, pantesan saat aku kemari, pak RT ngomong yang
tidak jelas, aku tidak suka cara dia berbicara. Menyebalkan,” keluh Aliyah.
Tiba-tiba sebuah lampu senter terarah ke arah mereka,
lalu seseorang melangkah mendekat.
“Kamu? Aliyah?” pekik pak RT yang memang
sebentar-sebentar menyatroni rumah Aliyah, demi mendapatkan uang satu milyar
itu.
“Ya, pak RT.”
Tapi pak RT begitu marah ketika melihat Pinto sedang
bersamanya.
“Ini Pinto?” kata pak RT dengan nada marah, dan
melupakan panggilan ‘nak’ yang biasanya diucapkannya.
“Ya pak RT.”
“Kamu ini sungguh tidak sopan ya. Ini bukan saatnya
bertamu,” katanya dengan nada semakin tinggi.
“Maaf pak RT, saya tidak sedang bertamu, saya_”
“Jangan mencari alasan. Perbuatan ini merusak nama
baik kampung aku, mencoreng tanggung jawabku sebagai ketua RT di sini.”
“Pak RT jangan marah,” sambung Aliyah.
“Kamu jangan ikut campur Aliyah, biar aku bawa laki-laki
ini ke kelurahan,” ancam pak RT.
“Pak RT harus mendengar penjelasan dia dulu, dia ini_”
“Diam Aliyah, kamu ada dalam pengawasan aku. Aku akan
menghubungi _”
“Untuk mendapatkan hadiah satu milyar?” ejek Pinto.
“Apa? Kamu jangan bicara sembarangan. Aliyah ada dalam
kekuasaan aku sekarang.”
Tiba-tiba dari arah depan muncul seorang wanita, yang
kemudian bergegas mendekati.
“Ya ampun Pak, dia sudah pulang? Beruntungnya kita,”
sorak wanita yang baru datang.
“Bu RT?” sapa Aliyah.
“Aliyah, ayo Nak, ikut ke rumah bersama aku,” kata bu
RT sambil mendekati Aliyah.
Tapi tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Semua
orang menatapnya.
Berdebar hati Aliyah ketika melihat siapa yang pertama
kali turun dari mobil itu, yang kemudian bergegas mendekatinya.
“Aliyah?”
“Tuan Alfi,” Aliyah tak berkutik ketika Alfian sudah
memeluknya dan mendekapnya erat.
“Kenapa kamu pergi, Aliyah? Kamu tega membuat aku
sakit,” bisik Alfian di telinga Aliyah, membuatnya merinding.
“Ini tuan yang membuat sayembara itu?” tiba-tiba pak
RT nimbrung.
“Anda siapa? Tanya Alfian yang sebelah tangannya masih
merangkul Aliyah.
“Saya RT di kampung ini. Saya menemukan Aliyah, tuan.”
Alfian melihat wajah pak RT yang tampak nyengir dan
itu membuatnya sebal.
“Apa Anda yang menelpon tadi?”
“Bukan, saya baru akan menelpon. Istri saya yang
membawa nomor kontak itu.”
“Iya Tuan, saya hampir menelpon,” sambung bu RT.
“Yang mendapat hadiah adalah yang menelpon tadi. Mas
Pinto ya?” kata Alfian sambil menatap Pinto ramah.
“Ya Tuan.”
“Mas,” lagi-lagi Alfian membetulkan panggilan Pinto.
“Ya, tapi saya tidak berharap hadiah itu. Saya senang
Aliyah sudah ditemukan,” kata Pinto.
“Apa? Dia tamu yang tidak sopan, saya akan membawanya
ke kelurahan,” pak RT masih sok berkuasa dan mamaksakan kehendak.
“Mas Pinto, mari ikut bersama kami, kita akan bicara
di sana, karena di sini rupanya ada
pengganggu,” kata Alfian sambil melirik ke arah pak RT.
“Bawalah Aliyah, biarkan saya pulang, Tuan … eh … Mas.”
“Tidak, kali ini aku ingin memaksa Mas Pinto.”
“Sungguh saya tidak ingin hadiah, Tu .. eh … Mas,
biarkan saya pergi.”
“Memang saya yang seharusnya mendapatkan hadiah itu,
karena Aliyah ada dalam pengawasan saya,” timbrung pak RT tanpa malu, sedangkan
bu RT mengangguk-angguk.
“Ayo Mas Pinto, Tuan sudah meminta,” kali ini Farah
ikut menimbrung.
Melihat Farah menatapnya, hati Pinto luluh. Walau ia
bukan menginginkan hadiah itu, tapi Farah sudah ikut mengundangnya, dan itu
membuatnya kemudian ikut melangkah dan memasuki mobil Alfian, yang tetap
menggandeng lengan Aliyah, seakan takut ditinggalkannya kembali.
Begitu mobil berlalu, bu RT membanting-banting
kakinya.
“Bapak kurang cepat datang. Kelamaan tidur sih, jadi
keduluan Pinto tadi.”
“Kamu juga, kenapa tidak membangunkan aku?”
Keduanya melangkah pulang sambil omel mengomeli dan
saling menyalahkan. Hadiah satu milyar sudah terbang dari angan-angan.
***
Aliyah berada di kamarnya kembali, di rumah Alfian.
Pikirannya melayang ke mana-mana. Kewajiban di warung bu Siti yang
ditinggalkannya, dan gagalnya bertemu Narita, saudara kembarnya.
Seperti biasa Farah melayaninya mandi dan berganti
pakaian, sementara Alfian sedang berbincang dengan Pinto, yang dengan
bersungguh-sungguh menolak hadiah yang mestinya didapatkannya.
“Saya cukup berbahagia melihat Aliyah kembali kepada
kehidupannya di samping Mas Alfian. Itu cukup.”
“Mas Pinto seorang yang luar biasa. Baiklah, sebuah
kebaikan jangan sampai dikotori oleh ambisi mendapatkan imbalan. Saya bisa
mengerti. Bagaimana kalau hadiahnya adalah pekerjaan di kantor saya, dan
menjadi asisten pribadi saya?” tawar Alfian pada akhirnya.
Pekerjaan? Pinto bukan laki-laki tak berpendidikan. Dia
lulusan D3 jurusan informatika yang membuatnya cukup karena orang tuanya tak
mampu menyekolahkannya lagi ke jenjang yang lebih tinggi. Kesulitan mencari
pekerjaan membuat dia menerima pekerjaan apa saja yang bisa dia kerjakan. Itu
sebabnya dia menerima dengan senang hati pekerjaan menjadi pelayan di sebuah
rumah makan. Sekarang, Alfian menawarkan pekerjaan di kantornya. Haruskah
ditolaknya pula? Tadi, di awal pembicaraan, Alfian memang sudah bertanya
tentang pendidikan yang pernah dijalaninya.
“Bagaimana Mas Pinto?” desak Alfian.
Hari menjelang pagi, dan Farah telah menyajikan dua
gelas kopi panas untuk tuan dan tamunya. Ada juga beberapa potong roti bakar
yang disajikannya.
“Bagaimana Mas?” Alfian mengulangi tawarannya lagi,
ketika Pinto belum juga menjawab.
“Saya takut, Mas Alfian akan kecewa.”
“Tidak. Aku sudah bisa menilai, bahwa Mas Pinto pasti
akan bisa menjadi karyawan yang baik. Kita akan mulai, begitu mas Pinto siap.”
“Baiklah, saya akan menyelesaikan tugas saya sampai
akhir bulan ini.”
“Setelah itu, temui saya. Saya akan menunggu.”
Ketika Aliyah keluar dari kamarnya dan sudah berdandan
rapi, Alfian segera melambaikan tangannya, memintanya duduk di sampingnya.
Pinto ikut tersenyum bahagia melihat sikap manis
Alfian kepada istrinya.
“Kamu jangan pernah lagi meninggalkan aku, Aliyah,”
kata Alfian lembut.
“Ada satu permintaan saya,” kata Aliyah pelan.
“Katakan saja. Apa sih yang enggak untuk istriku ini?”
“Bebaskan Narita.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah sdh tayang CBE_39
ReplyDeleteAlhamdulillah ,mbk Tien
ReplyDeleteMtnuwun 🙏🙏
🍓🌿🍓🌿🍓🌿🍓🌿
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 39
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🦋⚘
🍓🌿🍓🌿🍓🌿🍓🌿
Mtrnwn
ReplyDeleteMatur nuwun bu
ReplyDeleteMaturnuwun sanget Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Matur nuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun CBE 39 sudah tayang.
ReplyDeleteAyo Pinto kejar cita²mu ....Farahmu sudah menunggu ....
Salam sehat
Salam aduhai
Alhamdulillah, komentar saya ini saya buat sebelum membaca CBE _39, ternyata konteksnya nyambung.....
DeleteTerima kasih bu Tien Kumalasari .....sekali lagi Ayo kejar impianmu Pinto....orang baik akan dapat imbalan baik, apalagi jodoh sudah didepan mata ....Farah yang akan setia kepadamu ....
Mungkin sebagai kisah penutup ya pak Hadi, mengingat 'sang lakon ' sudah mapan ditempatnya.
DeleteBiasanya mbak Tien menutup dengan menyadarkan orang jahat menjadi baik.
Asiiikkkk....
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Salam Sehat Selalu dari kota Malang...🥰
Alhamdulillah Aliyah sudah tayang....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
Alhamdullilah CBE 39 sdh hadir..terima kasih bundaqu Tien..selamat istirahat dan tetap sehat y bunda..salam seroja dan tetap aduhai unk bundaqu🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteMatursuwun
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien. Salam sehat,...🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah🙂
ReplyDeleteMatur nuwun nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah CBE-39 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu.
Aamiin
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah cbe 39 sdh tayang.... terima kasih bu tien salam sehat
ReplyDeleteAlhandulillaah dah tayang
ReplyDeleteAkankah alfian membebaskan narita?
Bagaimana kalau menggangu alfian?
Hanya bunda tien yg bisa menjawab
Suwun....
ReplyDeleteTerimakasih bu tien. Semoga selalu sehat aamiin yra
ReplyDeleteAlhamdulillah, senangnya Aliyah sudah kembali, terima kasih Bunda Tien Kumalasari salam sehat penuh semangat
ReplyDeleteAlhamdulillah.. CBE sdh tayang. Trm ksh bu Tien. Salam Seroja..
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~39 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah. Suwun ibu
ReplyDeleteNamanya juga saudara.....
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteYa begitulah, saudara kembar nya diselamatkan, keluarga satu satunya yang tersisa.
ReplyDeleteRumah nenek Supi dibangun bagus.
Buat tempat tinggal Narita.
Pak RT semakin aduhai donk.
Biarlah kalau memang itu yang bisa dilakukan.
Buat bertahan di kehidupan buka kios; ah dikampung, harus tiga kali modalnya, kok bisa, coba saja nanti yang bilang ambil dulu, buanyak lho.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke tiga puluh sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Akhirnya..... Aliyah dan Alfian..
ReplyDelete😍😍😍
Tak ada ucapan lain selain Alhamdulillah karena mbak Tien masih bisa berkarya untuk kita semua....🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun bu Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat selalu dan terus berkarya untuk kita semuanya. Salam A D U H A I 😍😍😍
Salam hangat dan ADUHAI juga bu Tien, dari Bekti (Bekasi Timur)
ReplyDeleteAliyah sudah kembali kepada Alfian, mendapat support dari Pinto juga.
ReplyDeletePinto segera mendapat pekerjaan yang mantap, bisa lebih dekat dengan Farah ya...
Kalau Narita dibebaskan, mungkin juga dia akan sadar kelakuannya yang buruk, terus hidup dengan cara yang baik.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terimakasih Bu Tien... Salam sehat dan sukses selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMenjelang ending saya kira, banyak pelajaran dari cerita ini. Terima kasih banyak mbak tien, didoakan Semoga mbak Tien dan keluarga sehat srlalu.. Amin.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat penuh barakah, aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Oh senangnya .. Aliyah ,pinto dpt pekerjaan ,,Farah siap2 ya
,,bgm Narita ya jika keluar dr penjara
Makasih mba Tien
ReplyDelete