Friday, April 14, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 21

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  21

(Tien Kumalasari)

 

Nungki melanjutkan menelpon pengusaha rental mobil itu.

“Maaf, terganggu, karena saya ada tamu. Jadi bisa ya, mobilnya diantar sekarang? Baiklah, aku tunggu, hanya sampai sore. Baik, aku bayar begitu mobilnya sampai. Tentu … aku yang akan membawanya sendiri. Baiklah.”

Nungki mengakhiri telponnya, lalu masuk ke dalam rumah. Ada sesuatu yang harus diambilnya di dalam kamar. Sesosok manusia yang diam tak bergerak.

Nungki mengambil tali, mengikat sosok itu, kemudian keluar. Ia tak melihat siapapun di rumah itu, dan di sekitarnya, lalu menarik sosok yang sudah diikatnya itu keluar, lalu ia menunggu mobil yang dipesannya. Begitu pengantar mobil itu pergi, Nungki menarik lagi sosok itu ke teras, lalu memasukkannya ke dalam mobil.

Mobil itu berlalu, dan seakan tak ada bekas yang tersisa di rumah itu.

“Maaf, hanya ini yang bisa aku lakukan, untuk terlepas dari masalah aku,” bisiknya tanpa sesal, dan tak menyadari bahwa dunia yang dijalaninya akan menjadi semakin gelap.

***

Narita berjalan tertatih tanpa tujuan. Kekecewaan demi kekecewaan melibat dirinya, menenggelamkan ke dalam suasana pahit dan hati yang sakit. Ia teringat Alfian, yang begitu baik dan menyayanginya, tapi dia melarikan diri dari keindahan cinta yang semula menggelimangi hari-harinya. Nungki hanyalah orang yang belum lama memasuki kehidupannya, dan merasa berjasa karena telah mengentaskannya dari dunia hitam yang semula digelutinya. Ia tak bisa meninggalkannya karena ia selalu mengancam akan membuka rahasia kelamnya di hadapan Alfian. Tapi apa yang ditemuinya sekarang? Sakit dan kecewa. Harapan akan menemukan ketenteraman dengan mematuhi Nungki, berbuah luka dan penderitaan.

Narita merasa letih. Ia sedang berpikir untuk menemui Alfian, tapi ragu-ragu, apalagi mengingat Alfian sudah menikahi seorang gadis, yang entah bagaimana caranya, gadis itu sangat mirip dengan dirinya.

“Tapi Alfian sangat mencintai aku, tak mungkin cinta itu lenyap begitu saja,” gumamnya perlahan, sambil duduk di bawah sebuah pohon, ditepi jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan.

Hari sudah sore ketika itu. Narita merasa sangat letih. Ia duduk di bawah sebuah pohon, tubuhnya terasa lemas. Ia menyandarkan tubuhnya pada batang pohon itu, matanya setengah terpejam.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, lalu pengemudi mobil itu turun, lalu membuka pintu mobil di sampingnya. Narita terbelalak.

“Itu kan Alfi?”

Narita sudah membuka mata lebar-lebar, dan berniat memanggilnya, ketika Alfian membantu seseorang turun dari mobil itu. Seorang gadis dengan dandanan yang anggun, melangkah perlahan dalam gandengan Alfian.

“Istri Alfi? Apakah itu diriku?”

Lalu Narita merasa telah mati, sedangkan yang melihat sepasang dewa dan dewi itu adalah sukmanya yang melayang-layang.

“Apakah itu ragaku, yang berisi sukma yang lain?”

Bayangan sepasang manusia cantik dan tampan itu memasuki sebuah toko. Narita terus mengawasinya.

“Harusnya aku yang berada di sampingnya, bukan dia.”

Narita mencoba berdiri, dan ingin melangkah mendekati, tapi sebuah batu membuatnya tersungkur.

“Adduuhh,” pekiknya.

Lalu Narita sadar, bahwa dia masih manusia. Nyatanya lututnya terasa sakit. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya di tempatnya semula, lalu mengelus lututnya yang mengeluarkan darah. Memang hanya sedikit, tapi luka itu menimbulkan rasa sakit. Sekarang Narita merasa, bukan hanya lututnya yang sakit, tapi juga jiwanya.

Ia masih termenung di bawah pohon itu, ketika hari mulai meremang, lalu ia melihat pasangan yang tampak bahagia itu kembali memasuki mobil, dan berlalu.

“Alfiaaaaaan,” Narita berteriak, membuat orang-orang di sekelilingnya kemudian menoleh kearahnya, tapi tak seorangpun peduli. Mereka hanya menganggap, Narita sedang memanggil seorang kenalan atau saudaranya, yang sudah berlalu dengan mobilnya.

Narita terisak di sana, menyesali semuanya.

Tubuhnya terasa lemas. Ia ingin makan, tapi tak sepeserpun uang dimilikinya. Tadi ia pergi begitu saja dari rumah yang ditinggalinya bersama Nungki beberapa hari terakhir ini, yang diakuinya sebagai rumahnya, tapi ternyata rumah orang lain.

Tiba-tiba sesuatu jatuh tak jauh dari depannya, ketika seorang wanita yang menggandeng anak kecil lewat di depannya.

“Apakah yang jatuh itu? Suasana remang membuatnya tak bisa melihat jelas, tapi ia berusaha mendekati ‘sesuatu’ itu.

“Oh, ternyata hanya sebungkus roti. Haa, roti? Bukankah aku bisa makan roti ini?” gumamnya sambil membuka bungkusan itu, lalu melahapnya.

Tiba-tiba terdengar anak kecil berteriak.

“Rotiku… jatuh … ibu,” teriak anak kecil itu.

Narita baru melahap separo dari roti itu, ketika wanita yang tadi lewat, kembali ke arahnya.

“Itu roti aku …” anak kecil itu berteriak.

Tapi si ibu yang melihat bagaimana roti itu telah dimakan oleh seseorang, kemudian berusaha menghentikan rengekan anaknya. Ia justru merasa iba. Tampaknya ada wanita yang kelaparan. Suasana yang semakin remang tak bisa menampakkan wajah Narita yang sesungguhnya. Tangan yang memegang roti berhenti menggigitnya lagi, ketika melihat wanita itu kembali. Ketika ia menunggu si ibu tadi memarahinya, tiba-tiba selembar uang diletakkan di pangkuannya, tanpa suara. Kemudian wanita itu berlalu, sambil mengucapkan kata-kata menghibur dan janji akan membelikannya lagi roti untuknya.

Narita meraba pangkuannya. Ada uang duapuluhan ribu dijatuhkan wanita itu dipangkuannya. Baiklah, ia mengira Narita seorang gelandangan yang kelaparan. Bagi Narita tak penting. Yang penting ia bisa menghabiskan rotinya, kemudian dia berdiri untuk mendekati warung, untuk sekedar membeli segelas minuman, dan sepotong makanan yang entah apa namanya, yang penting bisa mengisi perutnya.

***

Hari ke dua dalam perjalanannya yang seperti gelandangan, membawanya kembali pulang ke rumah kontrakan Nungki. Ia berharap bisa meminta sesuatu dari Nungki, atau barangkali sedikit uangnya, agar bisa dipergunakan untuk menyambung hidup. Barangkali juga di rumah itu ia merasa lebih nyaman, karena tak mungkin Nungki membiarkannya kelaparan.

Dengan membelikan sisa uangnya dengan sebungkus nasi yang entah apa lauknya, yang kemudian dimakannya dengan lahap, ia punya kekuatan untuk berjalan. Ia butuh mandi, juga bajunya harus berganti. Ia tak biasa berpakaian kumuh dan bau. Menjadi gelandangan selama semalam, cukup baginya. Lalu dia berniat berdamai saja dengan keadaan, bersama Nungki,  demi hidup selanjutnya.

***

Ketika ia sampai di rumah itu, ia melihat rumahnya tidak terkunci.

“Berarti Nungki ada di dalam,” gumamnya yang segera masuk ke arah belakang, untuk mandi.

Ia memasuki kamarnya dengan tubuh hanya berbalut selembar handuk, untuk berganti baju. Ia membuka almari, dan terkejut melihat baju-baju Nungki sudah tak ada.

“Dia minggat?” geram Narita.

Ia memakai baju yang masih tersisa, kemudian menyisir rambutnya. Beruntung masih ada alat make up di depan cermin sehingga dia bisa memoles wajahnya agar tampak lebih segar. Ia melihat ke seluruh kamar, lalu membungkus sebagian baju-bajunya sendiri, dengan tas keresek yang ditemukannya. Tak ada kopor yang semula dipakainya bersama Nungki.

Narita beranjak ke belakang, membuka kulkas dan mendapati sisa makanan yang hampir beku.

Ia terduduk di kursi dapur, dan memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan.

Narita bangkit ketika mendengar mobil berhenti di halaman. Agak terhibur hatinya, karena mengira yang datang adalah Nungki. Tapi hatinya terkesiap, ketika menyadari bahwa yang datang adalah mobil polisi.

Mau tak mau Narita harus keluar, karena kalau tidak, pasti mereka yang akan memasuki rumah.

“Selamat pagi,” sapa salah seorang polisi.

“Apakah ini rumah tinggal saudara Nungki?”

“Yy..ya,” ragu Narita menjawab. Pikirannya sudah berlari ke arah tindak kriminal yang pasti dilakukan Nungki.

“Saudari istrinya?”

“Buk .. bukan, hanya temannya.”

“Mana dia?”

“Saya tidak tahu, saya belum lama datang untuk mengambil baju-baju saya, dan mendapati dia sudah tak ada.”

“Jangan bohong.”

“Saya tidak bohong. Apa yang dilakukan Nungki?”

“Dia mencoba membunuh pemilik rumah ini.”

“Apa?” pekik Narita.

“Saudari pasti tahu apa yang dilakukannya. Tadi pagi seseorang menemukan bapak Daud di semak-semak, dalam keadaan hampir meninggal karena dianiaya.”

“Ya ampun. Saya tidak tahu.”

“Saudari jangan bohong.”

“Saya pergi dari rumah ini kemarin siang, lalu baru kembali kemari untuk mandi dan berganti baju. Lihat, saya baru selesai membungkus sisa baju saja, karena melihat baju-baju Nungki sudah tak ada,” kata Narita sambil menunjuk ke arah bungkusan baju yang hampir dibawanya pergi, yang kebetulan kelihatan dari arah depan.

Beberapa polisi masuk untuk menggeledah rumah itu, dan tak menemukan yang dicarinya. Walau begitu Narita tetap dibawa ke kantor polisi.

“Ya ampun, Sungguh sial aku ini. Semalam dikira gelandangan, dan sekarang menjadi pesakitan,” keluhnya sambil mengikuti perintah polisi-polisi itu.

***

Pagi itu Aliyah sedang membantu Farah di dapur, untuk menyiapkan minuman untuk Alfian, dan membakar roti kesukaannya juga.

Tapi wajah Aliyah tampak pucat.

“Apakah Nyonya sakit?” tanya Farah.

“Tidak.”

“Tapi wajah Nyonya tampak pucat.”

“Aku tidak bisa tidur.”

“Kenapa? Jangan bilang Nyonya ingin pulang,” kata Farah sambil tersenyum.

“Aku memang ingin pulang.”

“Nyonya jangan begitu. Kalau Nyonya hanya ingin melihat rumah seperti kemarin itu, pasti tuan mengijinkan, tapi tidak pulang seterusnya, kan?”

“Nyonya sepuh tidak suka sama aku.”

“Mana mungkin? Bukankah nyonya sepuh juga mau menerima Nyonya dengan baik? Tuan Alfi pernah mengatakan, bahwa tuan dan nyonya sepuh setuju, kalau tuan Alfi tetap menjadikan Nyonya sebagai istri.

“Tapi dia kecewa, karena aku kelihatan kampungan dan tidak pantas.”

“Nyonya hanya mengada-ada.”

“Aku mendengar Nyonya sepuh bicara dengan tuan Alfi, aku mendengarnya.”

“Jangan dimasukkan di hati Nyonya, orang tua sering kali bicara semaunya. Yang penting kan tuan Alfi sayang sama Nyonya.”

“Hidupku tidak nyaman. Lebih baik menjadi orang miskin, tinggal di gubug kumuh.”

“Hentikan Nyonya, itu tidak benar.  Nyonya harus mengerti, bahwa Tuhan telah mengentaskan kehidupan kumuh Nyonya ke dalam kehidupan yang lebih baik, melalui tuan Alfi.”

Aliyah diam.

“Ayo sekarang ke ruang tengah. Minuman untuk Nyonya dan tuan Alfi akan aku bawa ke sana.”

Aliyah mengikutinya, tapi wajahnya tak memperlihatkan bahwa dirinya puas dengan jawaban Farah.

“Aliyah, kamu dari dapur?” tanya Alfian yang sudah duduk terlebih dulu di ruang tengah.

“Nyonya Aliyah belajar membuat roti bakar, Tuan,” Farah menjawabnya.

“Istriku luar biasa,” puji Alfian. Tapi Alfian melihat wajah kusut Aliyah.

“Kalau Nyonya mau mandi, baju ganti sudah saya siapkan,” kata Farah sambil berlalu.

“Mengapa wajahmu pucat? Ayo minumlah dulu, mumpung masih hangat,” kata Alfian sambil mengulurkan cangkir berisi coklat susu panas ke hadapan istrinya.

Aliyah menerimanya, lalu menyeruputnya.

“Kamu sudah belajar banyak dari Farah. Aku suka punya istri rajin dan bersemangat untuk bisa melakukan semuanya. Kamu akan menjadi istri aku yang sempurna.

Aliyah tak menjawab. Ia ingin mengatakan bahwa dirinya ingin pulang, tapi tersekat di tenggorokan. Ia tahu, Alfian akan menjawab apa, kalau dia mengatakannya.

“Jangan sedih. Oh ya, mana ponsel yang semalam?” rupanya sepulang dari rumah orang tuanya, Alfian membelikan ponsel untuk Aliyah. Ketika mereka turun dan memasuki toko ponsel itulah Narita melihatnya.

“Aku tidak tahu, untuk apa Tuan membelikannya.”

“Kalau aku di kantor, aku pasti kangen sama kamu, nanti kita bisa telponan, bisa vidio cal an. Bukankah aku sudah mengajarkannya sama kamu?”

Aliyah tak tampak gembira, seperti ketika semalam Alfian mengajarinya dengan penuh semangat. Aliyah bisa mengerti, tapi merasa tak ada gunanya memiliki ponsel.

“Minggu depan aku harus sudah aktif di kantor, bukankah aku harus bekerja?”

Aliyah hanya mengangguk.

“Aliyah, ayo kita nikmati roti bakar ini. Apa ini kamu yang membuatnya? Ini roti bakar lapis selai kacang yang aku sukai,” lagi-lagi Alfian mengambil sepotong, lalu disuapkannya kepada Aliyah. Aliyah menerimanya, mengunyahnya perlahan.

Ada rasa sedih melihat perhatian Alfian yang begitu besar, sementara ternyata ibunya tidak menyukainya.

“Setelah ini, kamu mandi, aku akan mengajak kamu jalan-jalan, ya. Kita akan berkeliling kota, melihat pemandangan diluar kota yang indah dan pasti menyenangkan,” kata Alfian sambil menyibakkan rambut Aliyah yang tergerai di dahi. Aliyah tak menolaknya, bukankah menolak ajakan suami itu dosa?

***

Narita akhirnya dibebaskan, setelah dipertemukan dengan pak Daud yang dirawat di rumah sakit, dan pak Daud memberikan keterangan seperti yang Narita katakan. Tapi Nungki tetap diburu, karena dia melakukan penganiayaan dan berniat membunuh.

Tapi Narita kembali terlunta lunta. Ia berjalan sambil membawa bungkusan pakaian, tanpa uang dan tanpa tujuan yang pasti.

Ketika ia sedang duduk termenung di tepi jalan, tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak.

“Aliyah !!”

***

Besok lagi ya.

 


41 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah CeBeE 21 tayang

      Mksh bunda Tien sehat selalu doaku

      Delete
    2. Juara lagi jeng Mimiet....

      Matur nuwun bu Tien, salam SEROJA.... Mugi laris manis bunda, gudeg lan sambel goreng atine.
      Dadi pengin ke Solo....

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang

    ReplyDelete
  3. 🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃
    Alhamdulillah CBE 21
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai 🦋🌹
    🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah , terima kasih bunda tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...
    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Sdh datang gasik
    Matur nuwun bu
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah bundaaaa cbe sdh hadir..terima ksih bunda..slmt berbuka puasa dan slm seroja n tetap aduhaaai unk bunda sekeluarga🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  8. Waahhh... makin serruuu.... terima kasih Mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga....

    ReplyDelete
  9. Nah... Narita 'ditemukan' oleh seseorang yang mungkin Pinto. Terus diajak pulang, dianggap sebagai Aliyah yang dikira sudah bahagia...
    Aliyah sendiri pasti baru belajar banyak hal tentang kehidupan modern.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah CBE 21
    sudah hadir...
    Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari.
    Sehat selalu & tetap
    smangat berkarya.
    Salam Aduhai dari Tanggamus, Lmpg 🦋🌹

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~21 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah Maturnuwun.tetap semangat & sehat

    ReplyDelete
  13. Hatur nhn bunda tayangannya, sehat selalu

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat n bahagia selalu 🤗🥰

    Jangan2 Pinto....

    ReplyDelete
  15. Waou cbe 21 sudah hadir ...
    Terima kasih bunda Tien ...
    Sehat selalu, bahagia bersama keluarga tercinta ❤️😇
    Berkah Dalem Gusti 🙏🛐
    Aduhai ...

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun bu. Salam hangat dan ADUHAI nggih..

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Sama-sama ibu...terima kasih sudah setia berkarya, memberi hiburan bermanfaat untuk para penggemar...sehat selalu ya, bu Tien sayang...🙏😘😘😀

    ReplyDelete
  19. Siapa ya yg manggil Narita dg Aliyah.
    Makasih mba Tien.

    ReplyDelete
  20. Terima kasih bu tien cerbungnya. Salam sehat dan jaga kesehatan

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah CBE-21 sdh hadir
    Terima kasih Bunda,semoga Bunda sehat dan bahagia selalu
    Aamiin
    Salsm Aduhai kembali Bunda Tien

    ReplyDelete
  22. Ada secercah harapan dari teriakan itu ..
    Lho pak tuwa itu lagi.. ih ganjen tuh orang tua
    Pakai model boliwood panggil panggil paké gema biar gimana kesannya; maunya..
    Gimana lha wong kepepet nggak punya tempat tinggal..
    Mau nya di rumah nya, yang ambisi banget mau merawat, tapi kan ada emaknya yang galaknya pake mecucu segala; bisa bisa dikrawu ampas kambil nanti, tapi kan kasihan sendiri, kelihatan letih tak terurus lagi..
    Lho kalau ketemu Pinto (yang manggil) bisa nanti di direct ke tempat kerjanya buat pegawai cadangan walau cuma buat pengganti tapi kan lumayan dapat income buat nyambung hidup, dapat subsidi BLT lagi, kan punya tempat tinggal yang di tinggalkan Aliyah.
    Kelihatan mulai sadar dan tahu, benar ada orang yang mirip dengannya, yang sekarang bersama mantan kekasihnya.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke dua puluh satu sudah tayang
    Sehat sehat
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Terimakasih Bu Tien... Ditunggu kelanjutannya 😅

    ReplyDelete
  24. Alhamdulilah bu tien ..terima kasih cbe sdh dinikmati sesudah teraweh ...semoga ibu selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT asmiin yra 🤲

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun, bu Tien. Kali ini menikmati CBE di Kota Solo

    ReplyDelete
  26. Alhamdullilah... Matursuwun bu Tien..
    Salam sehat selalu. Selamat menggapai kemenangan di akhir Romadhon.

    Reply

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah CBE 21 sudah tayang,
    Terimakasih bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  28. Pak RT memanggil Aliyah kah?...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga buka Alfian yg memanggil Aliyah..
      Klo pak RT ..seruuu pasti nanti di epsd berikutnya...

      Delete
  29. Alhamdulillah
    Datang gasik
    Matur nuwun bu
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  30. Alhamdulilah, matur nuwun CBE nya mbakyuku Tien Kumalasari sayang, salam sehat ya dari Lampung

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...