CINTAKU BUKAN EMPEDU
21
(Tien Kumalasari)
Nungki melanjutkan menelpon pengusaha rental mobil
itu.
“Maaf, terganggu, karena saya ada tamu. Jadi bisa ya,
mobilnya diantar sekarang? Baiklah, aku tunggu, hanya sampai sore. Baik, aku
bayar begitu mobilnya sampai. Tentu … aku yang akan membawanya sendiri. Baiklah.”
Nungki mengakhiri telponnya, lalu masuk ke dalam
rumah. Ada sesuatu yang harus diambilnya di dalam kamar. Sesosok manusia yang
diam tak bergerak.
Nungki mengambil tali, mengikat sosok itu, kemudian
keluar. Ia tak melihat siapapun di rumah itu, dan di sekitarnya, lalu menarik
sosok yang sudah diikatnya itu keluar, lalu ia menunggu mobil yang dipesannya. Begitu pengantar mobil itu pergi, Nungki menarik lagi sosok itu ke teras, lalu memasukkannya ke dalam mobil.
Mobil itu berlalu, dan seakan tak ada bekas yang
tersisa di rumah itu.
“Maaf, hanya ini yang bisa aku lakukan, untuk terlepas
dari masalah aku,” bisiknya tanpa sesal, dan tak menyadari bahwa dunia yang
dijalaninya akan menjadi semakin gelap.
***
Narita berjalan tertatih tanpa tujuan. Kekecewaan
demi kekecewaan melibat dirinya, menenggelamkan ke dalam suasana pahit dan hati
yang sakit. Ia teringat Alfian, yang begitu baik dan menyayanginya, tapi dia
melarikan diri dari keindahan cinta yang semula menggelimangi hari-harinya.
Nungki hanyalah orang yang belum lama memasuki kehidupannya, dan merasa berjasa
karena telah mengentaskannya dari dunia hitam yang semula digelutinya. Ia tak
bisa meninggalkannya karena ia selalu mengancam akan membuka rahasia kelamnya
di hadapan Alfian. Tapi apa yang ditemuinya sekarang? Sakit dan kecewa. Harapan
akan menemukan ketenteraman dengan mematuhi Nungki, berbuah luka dan
penderitaan.
Narita merasa letih. Ia sedang berpikir untuk menemui
Alfian, tapi ragu-ragu, apalagi mengingat Alfian sudah menikahi seorang gadis,
yang entah bagaimana caranya, gadis itu sangat mirip dengan dirinya.
“Tapi Alfian sangat mencintai aku, tak mungkin cinta
itu lenyap begitu saja,” gumamnya perlahan, sambil duduk di bawah sebuah pohon,
ditepi jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan.
Hari sudah sore ketika itu. Narita merasa sangat
letih. Ia duduk di bawah sebuah pohon, tubuhnya terasa lemas. Ia menyandarkan
tubuhnya pada batang pohon itu, matanya setengah terpejam.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, lalu pengemudi mobil
itu turun, lalu membuka pintu mobil di sampingnya. Narita terbelalak.
“Itu kan Alfi?”
Narita sudah membuka mata lebar-lebar, dan berniat memanggilnya,
ketika Alfian membantu seseorang turun dari mobil itu. Seorang gadis dengan
dandanan yang anggun, melangkah perlahan dalam gandengan Alfian.
“Istri Alfi? Apakah itu diriku?”
Lalu Narita merasa telah mati, sedangkan yang melihat
sepasang dewa dan dewi itu adalah sukmanya yang melayang-layang.
“Apakah itu ragaku, yang berisi sukma yang lain?”
Bayangan sepasang manusia cantik dan tampan itu
memasuki sebuah toko. Narita terus mengawasinya.
“Harusnya aku yang berada di sampingnya, bukan dia.”
Narita mencoba berdiri, dan ingin melangkah mendekati,
tapi sebuah batu membuatnya tersungkur.
“Adduuhh,” pekiknya.
Lalu Narita sadar, bahwa dia masih manusia. Nyatanya
lututnya terasa sakit. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya di tempatnya semula,
lalu mengelus lututnya yang mengeluarkan darah. Memang hanya sedikit, tapi luka
itu menimbulkan rasa sakit. Sekarang Narita merasa, bukan hanya lututnya yang
sakit, tapi juga jiwanya.
Ia masih termenung di bawah pohon itu, ketika hari
mulai meremang, lalu ia melihat pasangan yang tampak bahagia itu kembali
memasuki mobil, dan berlalu.
“Alfiaaaaaan,” Narita berteriak, membuat orang-orang
di sekelilingnya kemudian menoleh kearahnya, tapi tak seorangpun peduli. Mereka
hanya menganggap, Narita sedang memanggil seorang kenalan atau saudaranya, yang
sudah berlalu dengan mobilnya.
Narita terisak di sana, menyesali semuanya.
Tubuhnya terasa lemas. Ia ingin makan, tapi tak
sepeserpun uang dimilikinya. Tadi ia pergi begitu saja dari rumah yang
ditinggalinya bersama Nungki beberapa hari terakhir ini, yang diakuinya sebagai
rumahnya, tapi ternyata rumah orang lain.
Tiba-tiba sesuatu jatuh tak jauh dari depannya, ketika
seorang wanita yang menggandeng anak kecil lewat di depannya.
“Apakah yang jatuh itu? Suasana remang membuatnya tak bisa
melihat jelas, tapi ia berusaha mendekati ‘sesuatu’ itu.
“Oh, ternyata hanya sebungkus roti. Haa, roti?
Bukankah aku bisa makan roti ini?” gumamnya sambil membuka bungkusan itu, lalu
melahapnya.
Tiba-tiba terdengar anak kecil berteriak.
“Rotiku… jatuh … ibu,” teriak anak kecil itu.
Narita baru melahap separo dari roti itu, ketika
wanita yang tadi lewat, kembali ke arahnya.
“Itu roti aku …” anak kecil itu berteriak.
Tapi si ibu yang melihat bagaimana roti itu telah
dimakan oleh seseorang, kemudian berusaha menghentikan rengekan anaknya. Ia
justru merasa iba. Tampaknya ada wanita yang kelaparan. Suasana yang semakin
remang tak bisa menampakkan wajah Narita yang sesungguhnya. Tangan yang
memegang roti berhenti menggigitnya lagi, ketika melihat wanita itu kembali. Ketika
ia menunggu si ibu tadi memarahinya, tiba-tiba selembar uang diletakkan di
pangkuannya, tanpa suara. Kemudian wanita itu berlalu, sambil mengucapkan
kata-kata menghibur dan janji akan membelikannya lagi roti untuknya.
Narita meraba pangkuannya. Ada uang duapuluhan ribu
dijatuhkan wanita itu dipangkuannya. Baiklah, ia mengira Narita seorang
gelandangan yang kelaparan. Bagi Narita tak penting. Yang penting ia bisa
menghabiskan rotinya, kemudian dia berdiri untuk mendekati warung, untuk
sekedar membeli segelas minuman, dan sepotong makanan yang entah apa namanya,
yang penting bisa mengisi perutnya.
***
Hari ke dua dalam perjalanannya yang seperti
gelandangan, membawanya kembali pulang ke rumah kontrakan Nungki. Ia berharap
bisa meminta sesuatu dari Nungki, atau barangkali sedikit uangnya, agar bisa
dipergunakan untuk menyambung hidup. Barangkali juga di rumah itu ia merasa
lebih nyaman, karena tak mungkin Nungki membiarkannya kelaparan.
Dengan membelikan sisa uangnya dengan sebungkus nasi
yang entah apa lauknya, yang kemudian dimakannya dengan lahap, ia punya
kekuatan untuk berjalan. Ia butuh mandi, juga bajunya harus berganti. Ia tak
biasa berpakaian kumuh dan bau. Menjadi gelandangan selama semalam, cukup
baginya. Lalu dia berniat berdamai saja dengan keadaan, bersama Nungki, demi hidup selanjutnya.
***
Ketika ia sampai di rumah itu, ia melihat rumahnya tidak
terkunci.
“Berarti Nungki ada di dalam,” gumamnya yang segera
masuk ke arah belakang, untuk mandi.
Ia memasuki kamarnya dengan tubuh hanya berbalut
selembar handuk, untuk berganti baju. Ia membuka almari, dan terkejut melihat baju-baju
Nungki sudah tak ada.
“Dia minggat?” geram Narita.
Ia memakai baju yang masih tersisa, kemudian menyisir
rambutnya. Beruntung masih ada alat make up di depan cermin sehingga dia bisa
memoles wajahnya agar tampak lebih segar. Ia melihat ke seluruh kamar, lalu
membungkus sebagian baju-bajunya sendiri, dengan tas keresek yang ditemukannya.
Tak ada kopor yang semula dipakainya bersama Nungki.
Narita beranjak ke belakang, membuka kulkas dan
mendapati sisa makanan yang hampir beku.
Ia terduduk di kursi dapur, dan memikirkan apa yang
sebaiknya dia lakukan.
Narita bangkit ketika mendengar mobil berhenti di
halaman. Agak terhibur hatinya, karena mengira yang datang adalah Nungki. Tapi
hatinya terkesiap, ketika menyadari bahwa yang datang adalah mobil polisi.
Mau tak mau Narita harus keluar, karena kalau tidak,
pasti mereka yang akan memasuki rumah.
“Selamat pagi,” sapa salah seorang polisi.
“Apakah ini rumah tinggal saudara Nungki?”
“Yy..ya,” ragu Narita menjawab. Pikirannya sudah
berlari ke arah tindak kriminal yang pasti dilakukan Nungki.
“Saudari istrinya?”
“Buk .. bukan, hanya temannya.”
“Mana dia?”
“Saya tidak tahu, saya belum lama datang untuk
mengambil baju-baju saya, dan mendapati dia sudah tak ada.”
“Jangan bohong.”
“Saya tidak bohong. Apa yang dilakukan Nungki?”
“Dia mencoba membunuh pemilik rumah ini.”
“Apa?” pekik Narita.
“Saudari pasti tahu apa yang dilakukannya. Tadi pagi
seseorang menemukan bapak Daud di semak-semak, dalam keadaan hampir meninggal
karena dianiaya.”
“Ya ampun. Saya tidak tahu.”
“Saudari jangan bohong.”
“Saya pergi dari rumah ini kemarin siang, lalu baru
kembali kemari untuk mandi dan berganti baju. Lihat, saya baru selesai
membungkus sisa baju saja, karena melihat baju-baju Nungki sudah tak ada,” kata
Narita sambil menunjuk ke arah bungkusan baju yang hampir dibawanya pergi,
yang kebetulan kelihatan dari arah depan.
Beberapa polisi masuk untuk menggeledah rumah itu, dan
tak menemukan yang dicarinya. Walau begitu Narita tetap dibawa ke kantor polisi.
“Ya ampun, Sungguh sial aku ini. Semalam dikira
gelandangan, dan sekarang menjadi pesakitan,” keluhnya sambil mengikuti
perintah polisi-polisi itu.
***
Pagi itu Aliyah sedang membantu Farah di dapur, untuk
menyiapkan minuman untuk Alfian, dan membakar roti kesukaannya juga.
Tapi wajah Aliyah tampak pucat.
“Apakah Nyonya sakit?” tanya Farah.
“Tidak.”
“Tapi wajah Nyonya tampak pucat.”
“Aku tidak bisa tidur.”
“Kenapa? Jangan bilang Nyonya ingin pulang,” kata
Farah sambil tersenyum.
“Aku memang ingin pulang.”
“Nyonya jangan begitu. Kalau Nyonya hanya ingin
melihat rumah seperti kemarin itu, pasti tuan mengijinkan, tapi tidak pulang
seterusnya, kan?”
“Nyonya sepuh tidak suka sama aku.”
“Mana mungkin? Bukankah nyonya sepuh juga mau menerima
Nyonya dengan baik? Tuan Alfi pernah mengatakan, bahwa tuan dan nyonya sepuh
setuju, kalau tuan Alfi tetap menjadikan Nyonya sebagai istri.
“Tapi dia kecewa, karena aku kelihatan kampungan dan
tidak pantas.”
“Nyonya hanya mengada-ada.”
“Aku mendengar Nyonya sepuh bicara dengan tuan Alfi,
aku mendengarnya.”
“Jangan dimasukkan di hati Nyonya, orang tua sering
kali bicara semaunya. Yang penting kan tuan Alfi sayang sama Nyonya.”
“Hidupku tidak nyaman. Lebih baik menjadi orang
miskin, tinggal di gubug kumuh.”
“Hentikan Nyonya, itu tidak benar. Nyonya harus mengerti, bahwa Tuhan telah
mengentaskan kehidupan kumuh Nyonya ke dalam kehidupan yang lebih baik, melalui
tuan Alfi.”
Aliyah diam.
“Ayo sekarang ke ruang tengah. Minuman untuk Nyonya
dan tuan Alfi akan aku bawa ke sana.”
Aliyah mengikutinya, tapi wajahnya tak memperlihatkan
bahwa dirinya puas dengan jawaban Farah.
“Aliyah, kamu dari dapur?” tanya Alfian yang sudah
duduk terlebih dulu di ruang tengah.
“Nyonya Aliyah belajar membuat roti bakar, Tuan,”
Farah menjawabnya.
“Istriku luar biasa,” puji Alfian. Tapi Alfian melihat
wajah kusut Aliyah.
“Kalau Nyonya mau mandi, baju ganti sudah saya
siapkan,” kata Farah sambil berlalu.
“Mengapa wajahmu pucat? Ayo minumlah dulu, mumpung
masih hangat,” kata Alfian sambil mengulurkan cangkir berisi coklat susu panas
ke hadapan istrinya.
Aliyah menerimanya, lalu menyeruputnya.
“Kamu sudah belajar banyak dari Farah. Aku suka punya
istri rajin dan bersemangat untuk bisa melakukan semuanya. Kamu akan menjadi
istri aku yang sempurna.
Aliyah tak menjawab. Ia ingin mengatakan bahwa dirinya
ingin pulang, tapi tersekat di tenggorokan. Ia tahu, Alfian akan menjawab apa,
kalau dia mengatakannya.
“Jangan sedih. Oh ya, mana ponsel yang semalam?”
rupanya sepulang dari rumah orang tuanya, Alfian membelikan ponsel untuk
Aliyah. Ketika mereka turun dan memasuki toko ponsel itulah Narita melihatnya.
“Aku tidak tahu, untuk apa Tuan membelikannya.”
“Kalau aku di kantor, aku pasti kangen sama
kamu, nanti kita bisa telponan, bisa vidio cal an. Bukankah aku sudah
mengajarkannya sama kamu?”
Aliyah tak tampak gembira, seperti ketika semalam
Alfian mengajarinya dengan penuh semangat. Aliyah bisa mengerti, tapi merasa tak
ada gunanya memiliki ponsel.
“Minggu depan aku harus sudah aktif di kantor,
bukankah aku harus bekerja?”
Aliyah hanya mengangguk.
“Aliyah, ayo kita nikmati roti bakar ini. Apa ini kamu
yang membuatnya? Ini roti bakar lapis selai kacang yang aku sukai,” lagi-lagi
Alfian mengambil sepotong, lalu disuapkannya kepada Aliyah. Aliyah menerimanya,
mengunyahnya perlahan.
Ada rasa sedih melihat perhatian Alfian yang begitu
besar, sementara ternyata ibunya tidak menyukainya.
“Setelah ini, kamu mandi, aku akan mengajak kamu
jalan-jalan, ya. Kita akan berkeliling kota, melihat pemandangan diluar kota
yang indah dan pasti menyenangkan,” kata Alfian sambil menyibakkan rambut
Aliyah yang tergerai di dahi. Aliyah tak menolaknya, bukankah menolak ajakan
suami itu dosa?
***
Narita akhirnya dibebaskan, setelah dipertemukan
dengan pak Daud yang dirawat di rumah sakit, dan pak Daud memberikan keterangan
seperti yang Narita katakan. Tapi Nungki tetap diburu, karena dia melakukan
penganiayaan dan berniat membunuh.
Tapi Narita kembali terlunta lunta. Ia berjalan sambil
membawa bungkusan pakaian, tanpa uang dan tanpa tujuan yang pasti.
Ketika ia sedang duduk termenung di tepi jalan,
tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak.
“Aliyah !!”
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah CeBeE 21 tayang
DeleteMksh bunda Tien sehat selalu doaku
Jaga gawang ya mbk?
DeleteJuara lagi jeng Mimiet....
DeleteMatur nuwun bu Tien, salam SEROJA.... Mugi laris manis bunda, gudeg lan sambel goreng atine.
Dadi pengin ke Solo....
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDelete🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 21
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 🦋🌹
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃
Tks banyak bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah , terima kasih bunda tien
ReplyDeletealhamdulillah maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang gasik
Matur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Alhamdullilah bundaaaa cbe sdh hadir..terima ksih bunda..slmt berbuka puasa dan slm seroja n tetap aduhaaai unk bunda sekeluarga🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteWaahhh... makin serruuu.... terima kasih Mbu Tien... sehat sllu bersama keluarga....
ReplyDeleteNah... Narita 'ditemukan' oleh seseorang yang mungkin Pinto. Terus diajak pulang, dianggap sebagai Aliyah yang dikira sudah bahagia...
ReplyDeleteAliyah sendiri pasti baru belajar banyak hal tentang kehidupan modern.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Maturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah CBE 21
ReplyDeletesudah hadir...
Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari.
Sehat selalu & tetap
smangat berkarya.
Salam Aduhai dari Tanggamus, Lmpg 🦋🌹
Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~21 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDeleteSiiiiplaaah.... tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun.tetap semangat & sehat
ReplyDeleteHatur nhn bunda tayangannya, sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat n bahagia selalu 🤗🥰
Jangan2 Pinto....
Waou cbe 21 sudah hadir ...
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien ...
Sehat selalu, bahagia bersama keluarga tercinta ❤️😇
Berkah Dalem Gusti 🙏🛐
Aduhai ...
Matur nuwun bu. Salam hangat dan ADUHAI nggih..
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga bu Tien sehat selalu
Sama-sama ibu...terima kasih sudah setia berkarya, memberi hiburan bermanfaat untuk para penggemar...sehat selalu ya, bu Tien sayang...🙏😘😘😀
ReplyDeleteSiapa ya yg manggil Narita dg Aliyah.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Terima kasih bu tien cerbungnya. Salam sehat dan jaga kesehatan
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE-21 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda,semoga Bunda sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Salsm Aduhai kembali Bunda Tien
Ada secercah harapan dari teriakan itu ..
ReplyDeleteLho pak tuwa itu lagi.. ih ganjen tuh orang tua
Pakai model boliwood panggil panggil paké gema biar gimana kesannya; maunya..
Gimana lha wong kepepet nggak punya tempat tinggal..
Mau nya di rumah nya, yang ambisi banget mau merawat, tapi kan ada emaknya yang galaknya pake mecucu segala; bisa bisa dikrawu ampas kambil nanti, tapi kan kasihan sendiri, kelihatan letih tak terurus lagi..
Lho kalau ketemu Pinto (yang manggil) bisa nanti di direct ke tempat kerjanya buat pegawai cadangan walau cuma buat pengganti tapi kan lumayan dapat income buat nyambung hidup, dapat subsidi BLT lagi, kan punya tempat tinggal yang di tinggalkan Aliyah.
Kelihatan mulai sadar dan tahu, benar ada orang yang mirip dengannya, yang sekarang bersama mantan kekasihnya.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke dua puluh satu sudah tayang
Sehat sehat
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdullilah... Trm ksh bu Tien..
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien... Ditunggu kelanjutannya 😅
ReplyDeleteAlhamdulilah bu tien ..terima kasih cbe sdh dinikmati sesudah teraweh ...semoga ibu selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT asmiin yra 🤲
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Kali ini menikmati CBE di Kota Solo
ReplyDeleteMampir..
DeleteAlhamdullilah... Matursuwun bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat selalu. Selamat menggapai kemenangan di akhir Romadhon.
Reply
Alhamdulillah CBE 21 sudah tayang,
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, salam sehat dari mBantul
Pak RT memanggil Aliyah kah?...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Semoga buka Alfian yg memanggil Aliyah..
DeleteKlo pak RT ..seruuu pasti nanti di epsd berikutnya...
Alhamdulillah
ReplyDeleteDatang gasik
Matur nuwun bu
Semoga sehat selalu
Alhamdulilah, matur nuwun CBE nya mbakyuku Tien Kumalasari sayang, salam sehat ya dari Lampung
ReplyDelete