Thursday, April 13, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 20

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  20

(Tien Kumalasari)

 

Nungki beranjak dari duduknya, ketika mendengar lagi ketukan-ketukan di pintu. Ia menuju ke depan, dan melihat laki-laki tua si pemilik rumah berdiri dengan wajah kesal.

“Oh, Bapak? Saya kira siapa?”

“Siapa perempuan tadi? Diajak bicara malah pergi begitu saja,” kata sang pemilik rumah kesal.

“Dia … mana dia?”

“Pergi begitu saja, itu sebabnya saya kesal. Perempuan Anda?”

“Dia, calon istri saya Pak.”

“Masih calon. Jangan cari istri yang judes begitu. Wajahn ya cantik, tapi judes. Bisa setiap hari bertengkar.”

“Iya Pak.”

“Anda tahu kan, kenapa saya datang kemari? Sebulan yang lalu, Anda bilang akan mengontrak selama setahun, dan akan membayar beberapa hari setelah Anda tinggal. Tapi ini sudah sebulan, malah membawa calon istri juga ke rumah ini. Tampaknya dia heran, mendengar bahwa ini rumah saya. Dikiranya rumah calon suaminya ya?” kata sang pemilik rumah dengan nada mengejek.

“Maaf Pak, memang dia tidak tahu.”

“Baiklah, itu bukan urusan saya. Saya datang kemari hanya akan meminta uang sewa yang Anda janjikan saja.”

“Begini Pak, saya ini kan seorang pengusaha, baru-baru ini saya memakai seluruh uang saya untuk saya jadikan modal, jadi saya belum bisa memetik hasilnya.”

“Apa maksud Anda, masalah usaha itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah bahwa rumah saya disewa, dan saya menagih pembayarannya,” katanya dengan nada marah, karena tak ada tanda-tanda bahwa si penyewa akan membayar uang sewanya.

“Maksud saya, bukannya minta agar Bapak mengurusi usaha saya, tapi minta agar Bapak mengerti keadaan saya. Begitu lhoh Pak,” jawab Nungki dengan nada tinggi. Tampaknya dia mulai kesal karena sang pemilik rumah tidak mau mengerti.

“Lho, kok Anda seperti marah begitu. Seharusnya saya yang marah karena Anda tidak menepati janji.”

“Baiklah, tapi saya minta waktu. Bisakah Bapak mengerti?”

“Tidak, saya tidak bisa mengerti. Saya membutuhkan uang sewa rumah ini untuk suatu keperluan, jadi saya tidak mau menunggu lebih lama.”

“Bagaimana kalau saya belum punya uang?” tantang Nungki.

“Kalau Anda belum punya uang, silakan tinggalkan rumah ini, karena ada yang mau mengontrak dengan pembayaran dimuka.”

Mendengar jawaban si pemilik rumah, kemarahan Nungki tak bisa ditahan lagi. Sebuah rencana jahat, atas bisikan setan, tiba-tiba melintas.

“Baiklah Pak, baiklah, kalau begitu silakan Bapak masuk dulu.”

“Anda akan membayarnya?”

“Ada sebagian uang saya yang belum saya pergunakan, tapi karena Bapak memaksa, saya akan memberikannya pada Bapak terlebih dulu. Masuklah.”

“Akan dibayar semua kan?”

“Semua, bahkan saya akan membayar lebih.”

Si pemilik rumah mengikuti masuk, lalu Nungki memintanya agar duduk menunggu. Mana dia tahu apa yang ada didalam benak si penyewa rumah. Yang penting baginya adalah segera mendapatkan uangnya.

***

Ketika Kirman memasuki halaman rumah Alfian, dilihatnya sang tuan muda sedang duduk di teras, menunggu. Begitu melihat mobilnya datang, Alfian langsung berdiri menyambut sang istri.

“Bagaimana tadi? Senang kamu?” tanyanya sambil membantu istrinya turun dari mobil.

“Tuan jangan begini,” kata Aliyah sambil berusaha melepaskan pegangan suaminya.

“Aliyah, ingat dosa ya?”

Aliyah cemberut, ancaman dosa itu memang membuatnya takut. Neneknya selalu mengatakan, bahwa dosa itu sangat buruk. Kelak akan di siksa di neraka.

“Senangkah?”

“Senang, karena saya bisa melihat rumah saya. Sebenarnya saya ingin tinggal, tapi nanti tuan menghukum mereka,” kata Aliyah polos, sambil mengikuti langkah suaminya, masuk ke dalam rumah.

Alfian tertawa mendengar jawaban istrinya. Rupanya Farah dan Kirman mengatakan bahwa mereka akan mendapat hukuman kalau tidak membawanya kembali.

Alfian senang, Aliyah begitu jujur, polos dan lugu. Ia berbanding terbalik dengan Narita, yang mulutnya manis tapi berbisa.

Ia juga senang, ternyata ancaman ‘dosa’ bisa membuat Aliyah tak bisa menolaknya. Ada keinginan untuk lebih, tapi Alfian tak mau tergesa-gesa. Bisa menggandeng saja dia sudah bersyukur.

“Sungguh, sebenarnya saya ingin pulang saja, Tuan,” ulang permintaannya sudah membuat Alfian kembali kesal.

“Apa yang menarik bagimu, seandainya kamu pulang?”

“Apa maksud Tuan? Pulang ke rumah, bukan saja menarik. Banyak kenangan bersama nenek saat masih hidup, dan saya tak bisa melupakannya.”

“Tapi kamu kan bisa, hanya kadang-kadang saja, pulangnya. Kamu ingat kan, kamu sudah menjadi istri aku?”

“Dulu, nyonya dan tuan sepuh mengatakan hanya pura-pura, dan setelahnya Tuan akan menceraikan saya, bukan?” kata Aliyah sambil duduk di sofa di dalam kamarnya sendiri, tapi Alfian mengikutinya.

“Apakah kamu tahu, bahwa perceraian itu dibenci oleh Tuhan?”

Aliyah terdiam, ia khawatir, Alfian akan mengatakan lagi, bahwa itu adalah dosa.”

“Bukan dosa kan?”

“Tapi Tuhan membencinya. Bukankah hidup yang lebih nyaman itu adalah kalau dikasihi dan bukan dibenci?”

Aliyah menghela napas. Sangat banyak pelajaran yang harus dimengertinya ketika dia menikah, yang masih saja dianggapnya sebagai menikah pura-pura.

“Tadi kamu beli apa saja?” tanya Alfian mengalihkan pembicaraan.

“Bukan saya yang beli, tapi Mbak Farah.”

“Iya, tapi aku kan menyuruh kamu membeli apapun yang kamu suka?”

“Saya tidak ingin beli apa-apa. Kalaupun ingin, bagaimana kalau uang yang dibawa mbak Farah kurang? Bukankah uangnya untuk belanja?”

“Aliyah, Farah membawa semua uang untuk keperluan rumah ini, jadi ia pasti bisa membayar apapun yang kamu minta.”

Aliyah yang polos ingat, saat ke pasar bersama neneknya, sang nenek selalu berpesan, jangan minta apa-apa ya, nenek hanya membawa uang untuk beli lauk dan beras. Sekarang ia heran, Farah membawa uang begitu banyak yang pasti akan cukup seandainya dia minta sesuatu. Tapi tidak, Aliyah tak ingin apa-apa.

“Jadi kamu tak ingin beli apa-apa, tadi? Nanti aku akan memberikan kamu uang, sehingga kalau kamu ingin apa-apa, tidak usah merasa merepotkan Farah. Ya.”

“Tidak … tidak … mengapa Tuan harus memberi saya uang? Kalau tuan tahu, sebenarnya saya pulang, karena ingin mencari pekerjaan.”

Alfian tertegun. Ia ingat, ketika ayah ibunya meminta agar dia mau menggantikan menjadi pengantin, dan ditanya ingin apa, Aliyah hanya menjawab ingin pulang, karena dia ingin mencari pekerjaan. Alfian tersenyum, kepolosan istrinya membuatnya kagum. Manusia yang polos tak pernah menginginkan sesuatu yang muluk-muluk. Tapi Alfian ingin merubahnya, karena dia sekarang harus menghadapi kehidupan yang berbeda, walau belum sepenuhnya mantap untuk manjalaninya.

“Aliyah, kamu tidak perlu mencari pekerjaan, karena kamu sudah menjadi istri aku.”

“Bukankah saya butuh makan, minum, berpakaian?”

“Bukankah di sini kamu cukup makan minum dan berpakaian bagus?”

“Tapi bukan karena keringat saya. Almarhumah nenek, mendapatkan makan minum dengan bekerja sangat keras.”

Alfian terhenyak lagi.  Ia hampir kehabisan akal untuk membujuk Aliyah agar bisa mengerti keadaannya. Mendapatkan uang, harus dengan mengucurkan keringat. Alangkah manisnya ungkapan itu. Seperti dirinya, sebenarnya. Ia bekerja keras di perusahaan ayahnya, untuk mendapatkan hidup berkecukupan. Tak ada bedanya, hanya lingkupnya yang berbeda. Tapi sekarang Alfian sedang berpikir, bagaimana caranya, agar Aliyah tampak seperti bekerja, dan mendapatkan penghasilan.

“Apa saya salah, Tuan?”

“Oh, tidak … tidak, kamu benar. Kamu tahu, aku mendapatkan hidup berkecukupan ini, juga karena bekerja keras. Memajukan usaha itu juga sebuah pekerjaan keras. Bahkan sepulang kerja, aku sering merasa letih dan lelah.”

“Benarkah?”

“Benar Aliyah, aku tak akan bisa mendapatkan semua ini kalau aku tidak bekerja.”

Aliyah menatap suaminya, dengan mata berkejap-kejap. Alfian terpana, memandangi sepasang mata bintang yang polos tapi cemerlang.

“Nanti sore aku ajak kamu ketemu bapak sama ibuku ya?”

“Apa?”

“Bertemu mertua kamu. Mau ya, supaya bisa mengenal mereka lebih dekat.”

 “Ya ampun, saya takut Tuan.”

“Kenapa takut? Mereka tidak menggigit lhoh,” canda Alfian.

Aliyah tertawa.

“Tuan lucu ya, mana ada manusia menggigit?”

“Ya sudah, kamu istirahat saja, nanti sore kita ke sana.”

“Saya mau ke dapur.”

“Ngapain ke dapur? Semua sudah dikerjakan Farah.”

“Saya harus membantu, supaya saya juga bisa memasak.”

Alasan yang bagus. Alfian mengangguk senang. Ketika ia mau keluar dari kamar, dielusnya pipi istrinya lembut. Aliyah tak berani menolak, bukankah menolak itu dosa? Tapi tak urung elusan di pipi itu membuatnya berdebar aneh.

***
Farah terkejut ketika tiba-tiba Aliyah masuk ke dapur.

“Nyonya ngapain ke sini? Apa Nyonya lapar?” tanya Aliyah, membuat Aliyah tersenyum.

“Baru saja makan sama Mbak Farah, masa aku sudah lapar? Aku mau membantu.”

“Eh, jangan, nanti tuan Alfi marah.”

“Tidak, aku sudah bilang, dan dia tidak marah.”

“Ya ampun, Nyonya nih.”

“Ajari aku memasak. Aku sama sekali tidak bisa memasak kecuali menanak nasi, soalnya nenek aku tidak pernah memasak.”

“Kalau tidak memasak, harus beli setiap hari dong.”

“Tidak selalu beli. Setiap hari nenek membawa sisa lauk dari majikannya, kadang juga ada nasinya, jadi nenek tidak pernah memasak.”

Farah menatap nyonya muda nya dengan haru.

“Baiklah Nyonya, senang kalau Nyonya mau belajar memasak.”

“Bener ya, ajari aku setiap hari.”

“Baiklah Nyonya, ayo kita mulai belajar menggoreng. Kita akan menggoreng ikan, dan ikannya sudah saya bersihkan. Ini sudah ditaruh di wadah yang sudah ada bumbunya.”

“Bumbunya apa?”

“Hanya bawang putih, sama ketumbar. Sekarang kita menyalakan kompor dan memasang wajan yang sudah diberi minyak.

“Tidak pakai kayu ya?”

“Apanya?”

“Memasaknya.”

“Ya tidak, Nyonya, kalau pakai kayu, dapur ini bakal berwarna kehitaman.”

“Iya, dapurnya nenek memang hitam di sekelilingnya, padahal hanya menjerang air, atau menanak nasi.”

Farah tersenyum, lagi-lagi perasaan haru menyelimutinya, ketika mendengar Aliyah bercerita tentang kesehariannya.

***

Sore itu bu Candra terkejut, ketika Alfian datang bersama Aliyah. Tak bisa disangkal, bu Candra sebenarnya kagum melihat kecantikan Aliyah, tapi sedikit kecewa melihat penampilan dan perilakunya yang masih terlihat lugu dan tampak seperti kampungan.

Ia menirukan suaminya yang begitu datang langsung mencium tangan bu Candra.

Dengan ramah bu Candra mepersilakannya duduk.

“Duduklah, Aliyah.”

“Terima kasih, Nyonya Sepuh.”

“Kamu senang, punya suami Alfian?”

Aliyah tampak kebingungan menjawab. Ingin mengatakan senang, malu. Tapi ingin mengatakan tidak senang, sungkan.

“Entahlah,” akhirnya itu jawaban yang terlontar.

“Kok entahlah bagaimana sih? Alfian suka sama kamu, dan menolak ketika aku memintanya menceraikan kamu. Harusnya kamu senang dong.”

Ada luka menggores batinnya, ketika mendengar bahwa sang nyonya sepuh ternyata juga meminta agar Alfian menceraikannya.

Aliyah menundukkan wajahnya.

“Aliyah, bukankah kamu juga suka sama aku? Cinta sama aku?” sambung Alfian yang kurang puas mendengar jawaban istrinya.

“Sesungguhnya … saya ingin pulang saja,” akhirnya itulah yang kemudian diucapkannya.

“Jadi sebenarnya kamu ingin pulang? Alfi, sebenarnya dia ingin pulang, mengapa kamu tidak menurutinya? Apa enaknya dan apa senangnya mencintai seseorang, sementara yang dicintai tidak membalas perasaan kamu?” kata bu Candra kemudian kepada Alfian.

“Ibu, Aliyah gadis yang sangat lugu. Susah bagi dia untuk mengucapkan kata cinta, walau sesungguhnya dia juga cinta sama Alfian,” sanggah Alfian, sementara Aliyah hanya menundukkan wajahnya.

Dalam sebuah kesempatan, bu Candra berbisik di telinga Alfian.

“Alfi, dia memang cantik, tapi kampungan. Benarkah kamu akan terus memperisterikannya? Lebih baik kamu beri dia uang, dan biarkan dia pulang.”

Alfian meradang mendengar bisikan ibunya. Wajahnya keruh seketika. Rasa sesal karena memaksa Aliyah untuk mengunjungi sang ibu, menyergapnya. Tanpa menjawab perkataan ibunya, Alfian segera berdiri.

“Aliyah, ayo kita pulang,” katanya sambil menarik lengan istrinya.

“Mengapa buru-buru? Ayahmu sedang dalam perjalanan pulang.”

“Kami akan jalan-jalan dulu Bu, mohon pamit.”

Alfian mencium tangan ibunya, dan menuntun Aliyah agar mengikutinya, kemudian menggandeng sang istri untuk keluar dari rumah, menuju ke arah mobilnya.

Bu Candra tertegun. Ia baru menyadari kalau Alfian terluka oleh kata-katanya. Ia tentu juga tidak menyangka, bahwa ada sedikit bisikan itu yang tertangkap oleh telinganya.

***

Nungki sedang menelpon ke sebuah rental mobil, ketika seorang wanita setengah tua datang mendekatinya.

“Selamat sore,” kata wanita itu.

“Sore, Bu. Ibu Bu Sari, bukan?”

“Iya, saya bu Sari, istrinya pak Daud, pemilik rumah ini.”

“Oh iya, saya tahu Bu, ada apa ya?”

“Tadi suami saya datang kemari kan?”

“Iya Bu, sudah tadi. Beliau meminta uang sewa rumah ini, dan sudah saya bayar lunas,” kata Nungki.

“Sudah dari tadi, atau baru saja?”

“Sudah dari tadi Bu, beliau langsung pulang.”

“Tapi kok dia belum sampai rumah ya, padahal tadi pamit hanya mau mengambil uang saja, lalu pulang, soalnya sebenarnya sore ini kami mau ke luar kota, mengunjungi saudara yang sedang sakit.”

“Oh, belum pulang ya Bu? Mungkin mampir-mampir kemana, gitu,” jawab Nungki enteng.

Nungki kemudian menatap punggung wanita setengah tua itu dengan senyuman aneh.

***

Besok lagi ya.

43 comments:

  1. Replies
    1. Selamat heng Mimiet, jeng Ion, jeng Sari, Uti Yanik, jeng Nanik.....
      Tetap semangat

      Delete
  2. ⚘☘⚘🦋⚘☘⚘
    Alhamdulillah CBE 20
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai 😍
    ⚘☘⚘🦋⚘☘⚘

    ReplyDelete
  3. Yesssss!!!!
    Terima kasih bu Tien....
    Waduh kemana pa Daud, bu Daud nyusul karena mau keluar kota menengok saudara yang sakit..... Disekap Nungki apa ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ceritanya ada horor ini kalo sampai pak Daud dibunuh oleh Nungki

      Delete
  4. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun mbak Tien
    Sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdullilah CBE sdh hadir..terima ksih bunda..slmt malam dan slm seroja unk bunda sekeluarga🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Datang gasik
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ... 🙂semoga kita semua sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~20 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah..
    Tks bunda Tien..
    Semoga sehat" selalu..

    ReplyDelete
  13. Aliyah terlalu polos ya, jadi tampak bodoh.
    Terus si Nungki punya rencana jahat apa, awas nanti jadi urusan polisi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Terimakasih banyak bunda Tien .. telah menyapa kami semua dg penuh cinta..🌹🌹🌹🥰
    Tetap semangaat.. menanti epsd selanjutnya.
    Apkh Aliyah bs tau siapa org tuanya dan apkh Narita saudara kembarnya?
    Aliyah yg lugu semoga bs meluluhkan hati mertuanya utk tdk komen kampungan lg.. Kaciaaan 😭😭

    ReplyDelete
  15. Jebulanya si Nungki itu bênêr bênêr sadis, waduh betul nih gila, orang tua di disekap di rumah nya yang disewakan.
    Transaksi semua pakai data Narita lagi, kasihan dia kêtemu buaya berbadan manusia.
    Nah ini bisa penelusuran sketsa wajah bisa sampai ke wajah Aliyah, wadhuh bruwet métani cêrita pahit ini karena memang wajah mereka mirip, barusan kata kata emaknya menyakiti hati anaknya, yang serta merta mengajak pergi Aliyah, Aliyah sendiri sampai terguncang juga, ternyata ibunya Alfi yang juga menginginkan perceraian itu.
    Tambah lagi kasus Nungki yang berusaha menghindar tagihan kontrakan rumah, malah mau melarikan diri.
    Mengerikan ternyata Nungki orang dingin kaya gitu, sadisnya minta ampun.
    Gimana nanti kalau Nungki berhasil melarikan Aliyah yang dikira Narita.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke dua puluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  16. Maturnuwun Bu Tien cbe 20 sampun tayang...
    Sehat selalu, salam Aduhai ...
    Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇

    ReplyDelete
  17. Terimakasih banyak banyak Bu Tien
    Episode yang ke dua puluh sudah tayang 🙏

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bundaTien . .

    ReplyDelete
  19. Yah .....Nungki sudah menghilangkan pak Daud, sekarang mau menghilangkan bu Daud juga ? ........

    Sepandai pandai tupai melompat....pasti suatu ketika gawal juga ......
    Jahat sekali si Nungki.....

    Apakah yang dibisikkan bu Candra ketelinga Alfian, sehingga bisa membuat mukanya keruh ?

    Penisirin .....kita tunggu episode berikutnya.

    Salam sehat
    Salam aduhai

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah CBE-20 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin Yaa Allah

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  22. Terima kasih bu tien atas suguhannya cbe 20, salam sehat ... aduuuh bahagianya disapa bu tien , semoga ibu tien dan keluarga sll dlm lindungan Allah SWT aamiin yra

    ReplyDelete
  23. Waduuh diapain tu pemilik rumah sama Nungki..?
    Bikin penasaran ni bu Tien.
    Terimakasih, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  24. Terima kasih mbak Tien Kumalasari, cerbungnya makin membuat penasaran

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  26. Makasih mba Tien.
    Sehat selalu dan tetap semangat.
    Aduhai

    ReplyDelete
  27. Matur suwun ibu Tien

    Salam tahes ulales Dan tetap Aduhaiii

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien
    semakin aduhai

    ReplyDelete
  29. Salam aduhai juga, bu Tien...wah, malam ini rame sekali blog nya. Semoga ibu Tien makin semangat dalam berkarya dan sehat selalu. 🙏🙏🙏😘😘

    ReplyDelete
  30. Waaah nama saya hilang dari sapaan mbak Tien..
    Gpp yang penting saya masih bisa menikmati cerbungnya tiap hari..
    Selamat berpuasa.. Salam sehat selalu.
    Kang Idih, Bandung

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...