CINTAKU BUKAN EMPEDU
20
(Tien Kumalasari)
Nungki beranjak dari duduknya, ketika mendengar lagi
ketukan-ketukan di pintu. Ia menuju ke depan, dan melihat laki-laki tua si
pemilik rumah berdiri dengan wajah kesal.
“Oh, Bapak? Saya kira siapa?”
“Siapa perempuan tadi? Diajak bicara malah pergi
begitu saja,” kata sang pemilik rumah kesal.
“Dia … mana dia?”
“Pergi begitu saja, itu sebabnya saya kesal. Perempuan
Anda?”
“Dia, calon istri saya Pak.”
“Masih calon. Jangan cari istri yang judes begitu.
Wajahn ya cantik, tapi judes. Bisa setiap hari bertengkar.”
“Iya Pak.”
“Anda tahu kan, kenapa saya datang kemari? Sebulan
yang lalu, Anda bilang akan mengontrak selama setahun, dan akan membayar
beberapa hari setelah Anda tinggal. Tapi ini sudah sebulan, malah membawa calon
istri juga ke rumah ini. Tampaknya dia heran, mendengar bahwa ini rumah saya.
Dikiranya rumah calon suaminya ya?” kata sang pemilik rumah dengan nada
mengejek.
“Maaf Pak, memang dia tidak tahu.”
“Baiklah, itu bukan urusan saya. Saya datang kemari
hanya akan meminta uang sewa yang Anda janjikan saja.”
“Begini Pak, saya ini kan seorang pengusaha, baru-baru
ini saya memakai seluruh uang saya untuk saya jadikan modal, jadi saya belum
bisa memetik hasilnya.”
“Apa maksud Anda, masalah usaha itu bukan urusan saya.
Urusan saya adalah bahwa rumah saya disewa, dan saya menagih pembayarannya,”
katanya dengan nada marah, karena tak ada tanda-tanda bahwa si penyewa akan
membayar uang sewanya.
“Maksud saya, bukannya minta agar Bapak mengurusi
usaha saya, tapi minta agar Bapak mengerti keadaan saya. Begitu lhoh Pak,”
jawab Nungki dengan nada tinggi. Tampaknya dia mulai kesal karena sang pemilik
rumah tidak mau mengerti.
“Lho, kok Anda seperti marah begitu. Seharusnya saya
yang marah karena Anda tidak menepati janji.”
“Baiklah, tapi saya minta waktu. Bisakah Bapak
mengerti?”
“Tidak, saya tidak bisa mengerti. Saya membutuhkan
uang sewa rumah ini untuk suatu keperluan, jadi saya tidak mau menunggu lebih
lama.”
“Bagaimana kalau saya belum punya uang?” tantang Nungki.
“Kalau Anda belum punya uang, silakan tinggalkan rumah
ini, karena ada yang mau mengontrak dengan pembayaran dimuka.”
Mendengar jawaban si pemilik rumah, kemarahan Nungki tak
bisa ditahan lagi. Sebuah rencana jahat, atas bisikan setan, tiba-tiba
melintas.
“Baiklah Pak, baiklah, kalau begitu silakan Bapak
masuk dulu.”
“Anda akan membayarnya?”
“Ada sebagian uang saya yang belum saya pergunakan,
tapi karena Bapak memaksa, saya akan memberikannya pada Bapak terlebih dulu.
Masuklah.”
“Akan dibayar semua kan?”
“Semua, bahkan saya akan membayar lebih.”
Si pemilik rumah mengikuti masuk, lalu Nungki
memintanya agar duduk menunggu. Mana dia tahu apa yang ada didalam benak si
penyewa rumah. Yang penting baginya adalah segera mendapatkan uangnya.
***
Ketika Kirman memasuki halaman rumah Alfian,
dilihatnya sang tuan muda sedang duduk di teras, menunggu. Begitu melihat
mobilnya datang, Alfian langsung berdiri menyambut sang istri.
“Bagaimana tadi? Senang kamu?” tanyanya sambil
membantu istrinya turun dari mobil.
“Tuan jangan begini,” kata Aliyah sambil berusaha
melepaskan pegangan suaminya.
“Aliyah, ingat dosa ya?”
Aliyah cemberut, ancaman dosa itu memang membuatnya
takut. Neneknya selalu mengatakan, bahwa dosa itu sangat buruk. Kelak akan di
siksa di neraka.
“Senangkah?”
“Senang, karena saya bisa melihat rumah saya.
Sebenarnya saya ingin tinggal, tapi nanti tuan menghukum mereka,” kata Aliyah
polos, sambil mengikuti langkah suaminya, masuk ke dalam rumah.
Alfian tertawa mendengar jawaban istrinya. Rupanya
Farah dan Kirman mengatakan bahwa mereka akan mendapat hukuman kalau tidak
membawanya kembali.
Alfian senang, Aliyah begitu jujur, polos dan lugu. Ia
berbanding terbalik dengan Narita, yang mulutnya manis tapi berbisa.
Ia juga senang, ternyata ancaman ‘dosa’ bisa membuat
Aliyah tak bisa menolaknya. Ada keinginan untuk lebih, tapi Alfian tak mau
tergesa-gesa. Bisa menggandeng saja dia sudah bersyukur.
“Sungguh, sebenarnya saya ingin pulang saja, Tuan,”
ulang permintaannya sudah membuat Alfian kembali kesal.
“Apa yang menarik bagimu, seandainya kamu pulang?”
“Apa maksud Tuan? Pulang ke rumah, bukan saja menarik.
Banyak kenangan bersama nenek saat masih hidup, dan saya tak bisa melupakannya.”
“Tapi kamu kan bisa, hanya kadang-kadang saja,
pulangnya. Kamu ingat kan, kamu sudah menjadi istri aku?”
“Dulu, nyonya dan tuan sepuh mengatakan hanya pura-pura,
dan setelahnya Tuan akan menceraikan saya, bukan?” kata Aliyah sambil duduk di
sofa di dalam kamarnya sendiri, tapi Alfian mengikutinya.
“Apakah kamu tahu, bahwa perceraian itu dibenci oleh Tuhan?”
Aliyah terdiam, ia khawatir, Alfian akan mengatakan
lagi, bahwa itu adalah dosa.”
“Bukan dosa kan?”
“Tapi Tuhan membencinya. Bukankah hidup yang lebih
nyaman itu adalah kalau dikasihi dan bukan dibenci?”
Aliyah menghela napas. Sangat banyak pelajaran yang
harus dimengertinya ketika dia menikah, yang masih saja dianggapnya sebagai
menikah pura-pura.
“Tadi kamu beli apa saja?” tanya Alfian mengalihkan
pembicaraan.
“Bukan saya yang beli, tapi Mbak Farah.”
“Iya, tapi aku kan menyuruh kamu membeli apapun yang
kamu suka?”
“Saya tidak ingin beli apa-apa. Kalaupun ingin,
bagaimana kalau uang yang dibawa mbak Farah kurang? Bukankah uangnya untuk
belanja?”
“Aliyah, Farah membawa semua uang untuk keperluan
rumah ini, jadi ia pasti bisa membayar apapun yang kamu minta.”
Aliyah yang polos ingat, saat ke pasar bersama
neneknya, sang nenek selalu berpesan, jangan minta apa-apa ya, nenek hanya
membawa uang untuk beli lauk dan beras. Sekarang ia heran, Farah membawa uang
begitu banyak yang pasti akan cukup seandainya dia minta sesuatu. Tapi tidak,
Aliyah tak ingin apa-apa.
“Jadi kamu tak ingin beli apa-apa, tadi? Nanti aku
akan memberikan kamu uang, sehingga kalau kamu ingin apa-apa, tidak usah merasa
merepotkan Farah. Ya.”
“Tidak … tidak … mengapa Tuan harus memberi saya uang?
Kalau tuan tahu, sebenarnya saya pulang, karena ingin mencari pekerjaan.”
Alfian tertegun. Ia ingat, ketika ayah ibunya meminta
agar dia mau menggantikan menjadi pengantin, dan ditanya ingin apa, Aliyah
hanya menjawab ingin pulang, karena dia ingin mencari pekerjaan. Alfian tersenyum,
kepolosan istrinya membuatnya kagum. Manusia yang polos tak pernah menginginkan
sesuatu yang muluk-muluk. Tapi Alfian ingin merubahnya, karena dia sekarang
harus menghadapi kehidupan yang berbeda, walau belum sepenuhnya mantap untuk
manjalaninya.
“Aliyah, kamu tidak perlu mencari pekerjaan, karena
kamu sudah menjadi istri aku.”
“Bukankah saya butuh makan, minum, berpakaian?”
“Bukankah di sini kamu cukup makan minum dan berpakaian
bagus?”
“Tapi bukan karena keringat saya. Almarhumah nenek,
mendapatkan makan minum dengan bekerja sangat keras.”
Alfian terhenyak lagi.
Ia hampir kehabisan akal untuk membujuk Aliyah agar bisa mengerti
keadaannya. Mendapatkan uang, harus dengan mengucurkan keringat. Alangkah
manisnya ungkapan itu. Seperti dirinya, sebenarnya. Ia bekerja keras di
perusahaan ayahnya, untuk mendapatkan hidup berkecukupan. Tak ada bedanya,
hanya lingkupnya yang berbeda. Tapi sekarang Alfian sedang berpikir, bagaimana
caranya, agar Aliyah tampak seperti bekerja, dan mendapatkan penghasilan.
“Apa saya salah, Tuan?”
“Oh, tidak … tidak, kamu benar. Kamu tahu, aku
mendapatkan hidup berkecukupan ini, juga karena bekerja keras. Memajukan usaha itu
juga sebuah pekerjaan keras. Bahkan sepulang kerja, aku sering merasa letih dan
lelah.”
“Benarkah?”
“Benar Aliyah, aku tak akan bisa mendapatkan semua ini
kalau aku tidak bekerja.”
Aliyah menatap suaminya, dengan mata berkejap-kejap.
Alfian terpana, memandangi sepasang mata bintang yang polos tapi cemerlang.
“Nanti sore aku ajak kamu ketemu bapak sama ibuku ya?”
“Apa?”
“Bertemu mertua kamu. Mau ya, supaya bisa mengenal
mereka lebih dekat.”
“Kenapa takut? Mereka tidak menggigit lhoh,” canda Alfian.
Aliyah tertawa.
“Tuan lucu ya, mana ada manusia menggigit?”
“Ya sudah, kamu istirahat saja, nanti sore kita ke
sana.”
“Saya mau ke dapur.”
“Ngapain ke dapur? Semua sudah dikerjakan Farah.”
“Saya harus membantu, supaya saya juga bisa memasak.”
Alasan yang bagus. Alfian mengangguk senang. Ketika ia
mau keluar dari kamar, dielusnya pipi istrinya lembut. Aliyah tak berani
menolak, bukankah menolak itu dosa? Tapi tak urung elusan di pipi itu
membuatnya berdebar aneh.
***
Farah terkejut ketika tiba-tiba Aliyah masuk ke dapur.
“Nyonya ngapain ke sini? Apa Nyonya lapar?” tanya
Aliyah, membuat Aliyah tersenyum.
“Baru saja makan sama Mbak Farah, masa aku sudah
lapar? Aku mau membantu.”
“Eh, jangan, nanti tuan Alfi marah.”
“Tidak, aku sudah bilang, dan dia tidak marah.”
“Ya ampun, Nyonya nih.”
“Ajari aku memasak. Aku sama sekali tidak bisa memasak
kecuali menanak nasi, soalnya nenek aku tidak pernah memasak.”
“Kalau tidak memasak, harus beli setiap hari dong.”
“Tidak selalu beli. Setiap hari nenek membawa sisa
lauk dari majikannya, kadang juga ada nasinya, jadi nenek tidak pernah memasak.”
Farah menatap nyonya muda nya dengan haru.
“Baiklah Nyonya, senang kalau Nyonya mau belajar
memasak.”
“Bener ya, ajari aku setiap hari.”
“Baiklah Nyonya, ayo kita mulai belajar menggoreng.
Kita akan menggoreng ikan, dan ikannya sudah saya bersihkan. Ini sudah ditaruh
di wadah yang sudah ada bumbunya.”
“Bumbunya apa?”
“Hanya bawang putih, sama ketumbar. Sekarang kita
menyalakan kompor dan memasang wajan yang sudah diberi minyak.
“Tidak pakai kayu ya?”
“Apanya?”
“Memasaknya.”
“Ya tidak, Nyonya, kalau pakai kayu, dapur ini bakal
berwarna kehitaman.”
“Iya, dapurnya nenek memang hitam di sekelilingnya,
padahal hanya menjerang air, atau menanak nasi.”
Farah tersenyum, lagi-lagi perasaan haru
menyelimutinya, ketika mendengar Aliyah bercerita tentang kesehariannya.
***
Sore itu bu Candra terkejut, ketika Alfian datang
bersama Aliyah. Tak bisa disangkal, bu Candra sebenarnya kagum melihat
kecantikan Aliyah, tapi sedikit kecewa melihat penampilan dan perilakunya yang
masih terlihat lugu dan tampak seperti kampungan.
Ia menirukan suaminya yang begitu datang langsung
mencium tangan bu Candra.
Dengan ramah bu Candra mepersilakannya duduk.
“Duduklah, Aliyah.”
“Terima kasih, Nyonya Sepuh.”
“Kamu senang, punya suami Alfian?”
Aliyah tampak kebingungan menjawab. Ingin mengatakan
senang, malu. Tapi ingin mengatakan tidak senang, sungkan.
“Entahlah,” akhirnya itu jawaban yang terlontar.
“Kok entahlah bagaimana sih? Alfian suka sama kamu,
dan menolak ketika aku memintanya menceraikan kamu. Harusnya kamu senang dong.”
Ada luka menggores batinnya, ketika mendengar bahwa
sang nyonya sepuh ternyata juga meminta agar Alfian menceraikannya.
Aliyah menundukkan wajahnya.
“Aliyah, bukankah kamu juga suka sama aku? Cinta sama
aku?” sambung Alfian yang kurang puas mendengar jawaban istrinya.
“Sesungguhnya … saya ingin pulang saja,” akhirnya
itulah yang kemudian diucapkannya.
“Jadi sebenarnya kamu ingin pulang? Alfi, sebenarnya
dia ingin pulang, mengapa kamu tidak menurutinya? Apa enaknya dan apa senangnya
mencintai seseorang, sementara yang dicintai tidak membalas perasaan kamu?”
kata bu Candra kemudian kepada Alfian.
“Ibu, Aliyah gadis yang sangat lugu. Susah bagi dia
untuk mengucapkan kata cinta, walau sesungguhnya dia juga cinta sama Alfian,”
sanggah Alfian, sementara Aliyah hanya menundukkan wajahnya.
Dalam sebuah kesempatan, bu Candra berbisik di telinga
Alfian.
“Alfi, dia memang cantik, tapi kampungan. Benarkah
kamu akan terus memperisterikannya? Lebih baik kamu beri dia uang, dan biarkan
dia pulang.”
Alfian meradang mendengar bisikan ibunya. Wajahnya
keruh seketika. Rasa sesal karena memaksa Aliyah untuk mengunjungi sang ibu,
menyergapnya. Tanpa menjawab perkataan ibunya, Alfian segera berdiri.
“Aliyah, ayo kita pulang,” katanya sambil menarik
lengan istrinya.
“Mengapa buru-buru? Ayahmu sedang dalam perjalanan
pulang.”
“Kami akan jalan-jalan dulu Bu, mohon pamit.”
Alfian mencium tangan ibunya, dan menuntun Aliyah agar
mengikutinya, kemudian menggandeng sang istri untuk keluar dari rumah, menuju
ke arah mobilnya.
Bu Candra tertegun. Ia baru menyadari kalau Alfian
terluka oleh kata-katanya. Ia tentu juga tidak menyangka, bahwa ada sedikit bisikan
itu yang tertangkap oleh telinganya.
***
Nungki sedang menelpon ke sebuah rental mobil, ketika
seorang wanita setengah tua datang mendekatinya.
“Selamat sore,” kata wanita itu.
“Sore, Bu. Ibu Bu Sari, bukan?”
“Iya, saya bu Sari, istrinya pak Daud, pemilik rumah
ini.”
“Oh iya, saya tahu Bu, ada apa ya?”
“Tadi suami saya datang kemari kan?”
“Iya Bu, sudah tadi. Beliau meminta uang sewa rumah
ini, dan sudah saya bayar lunas,” kata Nungki.
“Sudah dari tadi, atau baru saja?”
“Sudah dari tadi Bu, beliau langsung pulang.”
“Tapi kok dia belum sampai rumah ya, padahal tadi
pamit hanya mau mengambil uang saja, lalu pulang, soalnya sebenarnya sore ini
kami mau ke luar kota, mengunjungi saudara yang sedang sakit.”
“Oh, belum pulang ya Bu? Mungkin mampir-mampir kemana,
gitu,” jawab Nungki enteng.
Nungki kemudian menatap punggung wanita setengah tua
itu dengan senyuman aneh.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteSelamat heng Mimiet, jeng Ion, jeng Sari, Uti Yanik, jeng Nanik.....
DeleteTetap semangat
Horee tayang
ReplyDelete⚘☘⚘🦋⚘☘⚘
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 20
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai 😍
⚘☘⚘🦋⚘☘⚘
Matur nuwun
ReplyDeletealhamdulillah maturnuwun
ReplyDeleteYesssss!!!!
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien....
Waduh kemana pa Daud, bu Daud nyusul karena mau keluar kota menengok saudara yang sakit..... Disekap Nungki apa ya?
Nah ceritanya ada horor ini kalo sampai pak Daud dibunuh oleh Nungki
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Alhamdullilah CBE sdh hadir..terima ksih bunda..slmt malam dan slm seroja unk bunda sekeluarga🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteDatang gasik
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Turnuwun Bunda
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ... 🙂semoga kita semua sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~20 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏
ReplyDeleteWoouw sdh tayang alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Semoga sehat" selalu..
Aliyah terlalu polos ya, jadi tampak bodoh.
ReplyDeleteTerus si Nungki punya rencana jahat apa, awas nanti jadi urusan polisi.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih banyak bunda Tien .. telah menyapa kami semua dg penuh cinta..🌹🌹🌹🥰
ReplyDeleteTetap semangaat.. menanti epsd selanjutnya.
Apkh Aliyah bs tau siapa org tuanya dan apkh Narita saudara kembarnya?
Aliyah yg lugu semoga bs meluluhkan hati mertuanya utk tdk komen kampungan lg.. Kaciaaan 😭😭
Jebulanya si Nungki itu bênêr bênêr sadis, waduh betul nih gila, orang tua di disekap di rumah nya yang disewakan.
ReplyDeleteTransaksi semua pakai data Narita lagi, kasihan dia kêtemu buaya berbadan manusia.
Nah ini bisa penelusuran sketsa wajah bisa sampai ke wajah Aliyah, wadhuh bruwet métani cêrita pahit ini karena memang wajah mereka mirip, barusan kata kata emaknya menyakiti hati anaknya, yang serta merta mengajak pergi Aliyah, Aliyah sendiri sampai terguncang juga, ternyata ibunya Alfi yang juga menginginkan perceraian itu.
Tambah lagi kasus Nungki yang berusaha menghindar tagihan kontrakan rumah, malah mau melarikan diri.
Mengerikan ternyata Nungki orang dingin kaya gitu, sadisnya minta ampun.
Gimana nanti kalau Nungki berhasil melarikan Aliyah yang dikira Narita.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke dua puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Maturnuwun Bu Tien cbe 20 sampun tayang...
ReplyDeleteSehat selalu, salam Aduhai ...
Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇
Terimakasih banyak banyak Bu Tien
ReplyDeleteEpisode yang ke dua puluh sudah tayang 🙏
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bundaTien . .
ReplyDeleteYah .....Nungki sudah menghilangkan pak Daud, sekarang mau menghilangkan bu Daud juga ? ........
ReplyDeleteSepandai pandai tupai melompat....pasti suatu ketika gawal juga ......
Jahat sekali si Nungki.....
Apakah yang dibisikkan bu Candra ketelinga Alfian, sehingga bisa membuat mukanya keruh ?
Penisirin .....kita tunggu episode berikutnya.
Salam sehat
Salam aduhai
Alhamdulillah CBE-20 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Allah
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
Salam sehat selalu...
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien atas suguhannya cbe 20, salam sehat ... aduuuh bahagianya disapa bu tien , semoga ibu tien dan keluarga sll dlm lindungan Allah SWT aamiin yra
ReplyDeleteWaduuh diapain tu pemilik rumah sama Nungki..?
ReplyDeleteBikin penasaran ni bu Tien.
Terimakasih, salam sehat dari mBantul
Terima kasih mbak Tien Kumalasari, cerbungnya makin membuat penasaran
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat.
Aduhai
Matur suwun ibu Tien
ReplyDeleteSalam tahes ulales Dan tetap Aduhaiii
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeletesemakin aduhai
Salam aduhai juga, bu Tien...wah, malam ini rame sekali blog nya. Semoga ibu Tien makin semangat dalam berkarya dan sehat selalu. 🙏🙏🙏😘😘
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteWaaah nama saya hilang dari sapaan mbak Tien..
ReplyDeleteGpp yang penting saya masih bisa menikmati cerbungnya tiap hari..
Selamat berpuasa.. Salam sehat selalu.
Kang Idih, Bandung