CINTAKU BUKAN EMPEDU
19
(Tien Kumalasari)
Farah terkejut, tak menyangka akan melihat Narita di
tempat itu. Aliyah heran, ketika melihat Farah berhenti melangkah, dan menatap
seseorang. Aliyah ikut memandang ke arah yang sama, dan terpana melihat sosok
yang mirip dirinya, sedang berjalan ke arah keluar. Farah segera menarik
Aliyah, menjauh dari tempat itu, berlindung diantara orang-orang yang berlalu
lalang memasuki area mal.
“Mbak Farah_”
“Ssst …” Farah memotong perkataan Aliyah, untuk
melarang Aliyah berkata-kata. Ia terus menarik Aliyah masuk, sampai bayangan
Narita lenyap dari pandangan mereka.
“Aduuh, hampir saja,” gumam Farah.
“Mbak Farah, aku melihat seseorang yang sangat mirip
dengan aku,” kata Aliyah, setelah Farah membiarkannya bicara.
“Iya Nyonya, itu tadi yang namanya Narita.”
“Benar-benar mirip aku ya?”
“Iya. Seperti pinang dibelah dua. Jangan-jangan,
Nyonya dilahirkan kembar.”
“Ya nggak mungkin, aku tidak punya saudara, apalagi
kembar.”
“Tapi sangat mirip.”
“Itu sebabnya, tuan Alfi salah menangkap aku.”
“Maaf Nyonya, waktu itu aku juga tidak tahu kalau
Nyonya bukan non Narita. Kami semua mengira, non Narita sedang berpura-pura.”
“Sungguh aneh. Tapi mengapa kita harus menghindar,
ketika bertemu dia? Bagaimana kalau kita mengabari tuan Alfi? Bukankah dia
ingin bertemu dan memaksanya mengaku tentang uang yang dilarikannya?”
“Tuan Alfi sudah tidak bersemangat mengejar dia lagi.
Tuan sudah menemukan Nyonya, yang jauh lebih baik dan sangat dicintainya,” kata
Farah.
“Aku selalu merasa tidak pantas. Bukankah seharusnya
tuan Alfi menceraikan saya?”
“Nyonya jangan begitu, kalau tuan memilih Nyonya,
berarti Nyonya adalah gadis yang pantas untuk tuan.”
Aliyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada yang
memberati hatinya, yaitu karena Aliyah menyadari siapa dirinya, dan siapa
laki-laki yang selalu mengatakan bahwa dia mencintainya.
“Tidak boleh, kasihan tuan Alfi,” gumamnya lirih.
Farah tak mempedulikannya, ia segera menarik Aliyah ke
counter dimana dia membutuhkan sesuatu untuk kebutuhan dapur, setelah itu
memilih sayur dan ikan.
“Nyonya ingin masak apa?”
“Aku? Tidak … aku tidak ingin apa-apa. Bolehkah nanti
setelah pulang kita mampir ke rumah aku? Sungguh aku ingin pulang.”
“O, tidak Nyonya, saya tidak berani melakukannya,
nanti kalau tuan Alfi marah, lalu saya dipecat, bagaimana? Saya bisa kehilangan
pekerjaan dong.”
“Cuma mengantar saja, masa dipecat?”
“Ya. Karena kita tidak bilang mau mampir, apalagi ke
rumah Nyonya. Mengapa Nyonya ingin pulang? Bukankah Nyonya hanya sendirian di
rumah?”
“Rumahku jelek, kumuh dan kotor, tapi aku merasa lebih
nyaman, karena memang di situlah seharusnya aku berada.”
“Baiklah, tapi Nyonya harus bilang dulu sama tuan.
Saya tidak berani.”
Aliyah mendesah. Tapi kemudian dia merasa sedikit
terhibur, ketika Farah mengajaknya berputar-putar di mal itu. Pakaian bagus,
sepatu bagus, tas yang bagus pula, bahkan ada perhiasan. Aliyah suka
melihat-lihat, tapi sama sekali tidak menginginkannya.
“Nyonya ingin beli apa?”
“Tidak ingin. Baju sudah punya, tuan memberi aku
banyak dan bagus-bagus. Nanti kalau di kampung aku memakai baju-baju itu, bisa
jadi semua orang kampung menatap aku dengan heran.”
“Memangnya kenapa?
“Aliyah memakai baju indah, mana pantas. Bisa jadi
tontonan kan?”
“Kalau begitu tidak usah pulang saja,” kata Farah
enteng.
“Kalau pulang, aku akan memakai baju-baju lama yang
sudah aku punya sebelumnya.”
“Ayo kita makan saja, Nyonya. Tiba-tiba saya lapar.”
“Makan di mana?”
“Ayo naik ke atas, disana banyak makanan dijual,
macam-macam pula,” kata Farah sambil menarik tangan Aliyah. Tapi ketika sampai
di depan eskalator, Aliyah tiba-tiba berhenti.
“Ayo, nyonya.”
“Aku tidak berani. Apakah tidak ada tangga yang bisa
membawa kita naik?”
“Tidak ada Nyonya, adanya itu, namanya eskalator. Kita
berdiri saja ke situ, eskalator akan membawa kita naik.”
“Takuuut.”
“Ayo, pegangan tangan saya, Nyonya harus mencobanya.
Nyonya harus melangkah satu langkah saja, jangan bergerak-gerak. Ayo, Nyonya.”
Farah sungguh nekat. Ia benar-benar berusaha sang
nyonya yang lugu harus bisa mengerti banyak hal yang akan melingkupi
kehidupannya. Belanja di mal, makan di mal, naik eskalator.
Dan walau dengan takut-takut, Aliyah menurutinya.
“Orang kaya aneh-aneh. Kelihatan bahwa mereka itu
malas,” gumam Aliyah.
Farah tersenyum mendengarnya. Ia termasuk orang yang
malas. Mungkin benar kata Aliyah. Tapi mereka punya alasan. Semuanya harus
cepat, naik eskalator lebih cepat dan tidak menguras tenaga. Padahal naik
tangga itu sama dengan berolah raga, agar kaki lebih kuat, ya kan?
Saat makan pun Aliyah juga dipaksa untuk memesan
sesuatu.
“Tapi aku kan sudah makan.”
“Makanlah sesuatu yang lain. Oh ya, di sini ana steak.”
“Apa tuh?”
“Nanti nyonya akan melihatnya, dan merasakannya, dan
ingin berkali-kali membelinya.”
Farah memesan dua porsi steak daging, dan dua gelas
jus alpukat. Aliyah diam saja, tapi ketika mau makan, Aliyah juga harus
dituntun Farah, bagaimana caranya. Ia harus mengiris daging, lalu menyuapkan ke
mulut dengan garpu yang semuanya sudah tersedia.
“Ini minuman apa?”
“Seperti kalau kita di rumah. Itu jus alpukat. Di
rumah saya belum pernah membuat jus alpukat semenjak Nyonya ada. Sekarang Nyonya
harus merasakannya. Itu minuman sehat.”
“Orang kaya juga malas mengunyah makanan, sehingga
buah yang empuk pun masih harus dilumatkan,” gumam Aliyah setelah mencecap jus
nya.
Hari itu banyak pelajaran yang di dapat Aliyah.
Menaiki eskalator, makan steak, menghirup jus yang nikmat. Ia juga melihat
pusat perbelanjaan dengan rasa takjub.
***
“Mas Kirman,” kata Aliyah dalam perjalanan pulang.
“Maukah Mas Kirman mengantarkan aku pulang?”
“Apa? Tapi tuan tidak menyuruh saya untuk mengantarkan Nyonya pulang. Ya kan, Farah?”
“Iya Nyonya, kan saya sudah bilang tadi, bahwa kalau
kita pergi tanpa seijin tuan Afli, maka kami bisa kena marah.”
“Aku hanya ingin melihat rumahku saja. Sebentar saja.
Aku kangen rumah nenek,” rengek Aliyah, memelas.
“Oh, hanya melihat, tapi nanti pulang kan, nyonya,” kata
Kirman, sang sopir.
“Nanti balik ke rumah tuan Alfi kan?”
“Iya, baiklah, hanya sebentar saja.”
“Baiklah, tapi jangan memaksa untuk tinggal ya. Kalau Nyonya tidak mau kembali, kami berdua akan celaka.”
Sebenarnya Aliyah memang akan terus pulang saja, tapi
mendengar kedua orang yang bersamanya akan mendapat celaka, Aliyah tak sampai
hati menentangnya.
***
Kirman memasuki halaman kecil rumah nenek Aliyah,
menghentikannya di sana. Dengan riang Aliyah melompat turun, langsung membuka
pintu kayu yang sudah lapuk di bagian bawahnya. Farah menatapnya iba. Sekarang
dia bisa membayangkan, bagaimana kehidupan Aliyah sebelumnya. Ia ikut masuk,
dan tanpa sungkan Aliyah menunjukkan dua buah kamar sempit yang menjadi
kamarnya dan kamar almarhumah neneknya.
“Belum sebulan nenek meninggal, aku seperti masih
mencium bau keringatnya,” kata Aliyah sambil menutup kembali pintu kamar neneknya.
Ia mengusap setitik air matanya. Farah menjadi ikut sedih melihatnya.
“Rumahku kotor sekali, aku ingin membersihkannya
sebentar.”
“Nyonya, kita sudah terlalu lama pergi, nanti saya
akan menyuruh orang untuk datang kemari, supaya membersihkan rumah ini,” kata
Farah.
“Apa? Kasihan sekali. Mana mau orang membersihkan
rumah seperti ini?”
“Ada Nyonya, percayalah.”
“Tidak, biarkan aku menyapu sebentar, dan membersihkan
debu-debu,” kata Aliyah yang langsung pergi ke arah belakang untuk mengambil
sapu.
Farah geleng-geleng kepala. Tapi ia kemudian membantu
membersihkan debu di meja dan kursi tua yang ada di dalam rumah itu.
Sementara itu Kirman yang menunggu di luar, mendapat
telpon dari Alfian.
“Kalian ada di mana, mengapa lama sekali?”
“Maaf Tuan, Nyonya Aliyah memaksa pulang ke rumahnya.”
“Apa? Siapa menyuruh kalian mengantarkan ke rumahnya?”
“Nyonya memaksa, dan katanya hanya sebentar. Ini sudah
hampir satu jam saya menunggu di depan rumahnya.”
“Jadi kalian sudah ada di rumah Aliyah?”
“Ya Tuan, saya sedang menunggu. Mereka di dalam lama
sekali.”
“Cepat ajak Aliyah kembali, kalau sampai tidak, tahu
sendiri akibatnya,” ancam Alfian yang merasa cemas, takut kalau Aliyah tidak
mau kembali.
“Baik, Tuan, saya akan menyusul ke dalam.”
Kirman tertegun, melihat Aliyah sedang menyapu dan
Farah membantunya bersih-bersih debu.
“Ada apa Mas?” sapa Farah ketika melihat Kirman
berdiri di depan pintu.
“Tuan Alfi menelpon, meminta kita segera kembali.”
“Baiklah. Nyonya, tuan Alfi sudah menelpon. Kita harus
segera kembali,” kata Farah kemudian mengingatkan Aliyah.
“Aku belum selesai, kamar Nenek harus dirapikan,” kata
Aliyah yang masih melanjutkan acara bersih-bersihnya.
“Jangan lama-lama ya Nyonya, nanti tuan Alfi keburu
marah.”
“Kalau begitu tinggalkan saja saya, supaya saya
menyelesaikan bersih-bersih rumah saya.”
“Aduh, jangan begitu Nyonya, taruhannya nyawa, kalau
saya tidak pulang bersama Nyonya,” keluh Farah.
“Apa tuan Alfi akan membunuh mbak Farah dan mas
Kirman?”
“Bukan begitu, kalau kami kena pecat, lalu tidak punya
pekerjaan, sementara saya harus menghidupi orang tua di kampung, bagaimana?
Kalau tidak bisa makan, lama-lama kan bisa mati?” kata Farah sambil menampakkan
wajah sedih.
“Baiklah, sabar ya, tinggal kamar nenek ini saja.
Lihat, biarpun pintunya ditutup, tetap saja meja dan tempat tidurnya berdebu,”
kata Aliyah sambil membersihkan debu di kamar neneknya. Tentu saja Farah
membantunya, supaya pekerjaan itu cepat selesai. Beruntung Aliyah tidak memaksa
tinggal.
***
Pak RT yang baru pulang dari kelurahan, berlari-lari
kecil sambil masuk ke rumahnya.
“Bu, Bu … ada Aliyah di rumahnya,” teriak pak RT.
“Bapak ini mengigau, atau apa?”
“Ini beneran Bu, mobilnya bagus banget, ayo kita temui
dia.”
“Ogah. Dia kan pastinya datang bersama suaminya,
kenapa juga kita harus menemuinya.”
“Ya ampun Bu, kita harus menyambutnya. Warga kita
mendapat keberuntungan, kita harus mensyukurinya kan?”
“Bapak itu ya, kenapa sih, kalau masalah Aliyah pasti
ribut bukan alang kepalang?”
“Aku ini kurang baik apa sih Bu, aku ingin menemui
Aliyah, dengan mengajak kamu. Kok kamu seperti masih menyimpan cemburu begitu?”
“Bukan cemburu, merasa aneh saja melihat ulah Bapak.”
“Hanya melihat saja, ayolah Bu,” pak RT memaksa, tapi
bu RT bergeming. Akhirnya pak RT bergegas kembali menuju ke rumah Aliyah. Tapi
begitu dia sampai, mobil bagus yang semula diparkir di sana sudah berlalu.
“Aliyaaah! Aliyaaah!!” pak RT berteriak-teriak, tapi
mobil itu sudah hilang ditikungan jalan.
“Ya ampuun, aku hanya ingin melihat kamu dari dekat
saja, kok ya tidak kesampaian.”
***
Narita pulang ke rumah yang katanya rumah Nungki untuk
tinggal selama di Indonesia. Narita yang
hatinya terluka menyaksikan kekasihnya sudah menikah dengan gadis lain,
sekarang lebih terluka lagi ketika menyadari uang di ATM nya telah habis ludes.
Ia membuka pintu rumah itu dengan mudah, karena
rupanya Nungki sudah ada di rumah. Serta merta Narita melabrak Nungki dengan
kata-kata kasarnya.
“Nungki! Kamu sudah gila ya?”
“Ada apa sih ini, datang-datang marah-marah seperti
orang kesetanan,” jawab Nungki sambil merebahkan tubuhnya di sofa.
“Kamu kok merasa tidak bersalah sih? Kamu sudah menghabiskan
uang aku kan?”
“Oh, iya, aku lupa bilang. Memang aku memakai uang
itu, untuk kepentingan bisnis aku.”
“Kepentingan bisnis apa? Itu uang aku, dan kamu bilang
akan menambahinya lebih banyak, mengapa justru kamu habiskan?”
“Tunggu dulu, tunggu penjelasan aku, kalau marah nanti
hilang cantiknya lho,” Nungki masih mencoba merayu.
“Hentikan rayuan gombal itu. Mana uangku. Kembalikan
sekarang! Kamu tahu tidak, tadi aku belanja banyak, untuk makan kita, tapi di
kasir aku mendapat malu, karena tidak bisa membayar dengan kartu ATM aku,
uangnya tidak ada. Apa aku tidak malu?”
“Maaf Narita, memang aku pakai, aku lupa bilang sama
kamu. Tunggulah beberapa hari lagi, pasti uang kamu akan kembali.”
“Tidak mau besok-besok, aku mau sekarang!”
Tiba-tiba ada orang datang mengetuk pintu rumah.
Narita keluar. Seorang laki-laki setengah tua berdiri di depan pintu.
“Permisi, Bu.”
“Ya, mau mencari siapa ya?”
“Saya yang punya rumah ini, mau mencari rumah pak Nungki.”
“Yang punya rumah? Ini bukan rumah Nungki?”
“ini rumah saya, yang disewa selama setahun, tapi pak
Nungki belum membayarnya sedikit pun.”
Narita terkejut, satu kebohongan lagi terungkap. Tanpa
menoleh ke belakang, Narita melangkah keluar dari rumah itu, dengan hati gundah
dan pikiran yang kacau balau.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteSelamat jeng Mimiet juara 1, disusul dibelakangnya
Delete1. Jeng Lina Tikni Malang
2.Jeng Isti Priyono Klaten
3. Jeng Sari Usman Jakarta
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI Bu Tienku.....
Matur suwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete〰️ππ»π¦π»π〰️
ReplyDeleteAlhamdulillah CBE 19
sudah hadir...
Matur nuwun Bu Tien.
Sehat selalu & tetap
smangats berkarya.
Salam Aduhai π
〰️ππ»π¦π»π〰️
Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun Bunda. Semoga selalu sehat wal afiat Aamiin
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien.... Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun mbak Tien
Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~19 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..π
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Tien semoga selalu sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien πΉπΉπΉπΉπΉ
Alhamdulillah
ReplyDeleteDatang Gasik
Matur nuwun buu
Semoga sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah.. Tks bunda Tien
ReplyDeleteSedikit pengalaman Aliyah bertambah.. lumayan. Juga rindu rumah sudah terobati.
ReplyDeleteTinggal menunggu kiprah Narita yang sudah habis-habisan , pasti seru.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah....
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDeleteMugi Bu Tien tansah pinaringan sehat...
ππ
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat n bahagia selalu π€π₯°
Seruuuu n penasaran π€£π€
Alhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah, terima kasih Bunda Tien
ReplyDeletesemoga Bunda juga selalu sehat dan bahagia selalu .
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin
Salam Aduhai dari Bekasi
Terima kasih mbak tien. Semoga sehat selalu. Salam sejahtera.
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..ππ
ReplyDeleteTerimakasiich Bu Tien... π
ReplyDeleteAlhamdulilah dah tayang
ReplyDeletePenyesalan narita makin kesal terhadap nungki, moga aliyah bahagia menerima alfian
Terima kasih bu tien ...salam sehat dan sll kami tunggu cbe nya....
ReplyDeleteMakin seru...asyiikk...makasih, bu Tien yg setia berkarya. Sehat selalu.πππππ
ReplyDeleteIni penampakan keberantakan, rumah Aliyah yang di tinggal pergi begitu saja sebagai sandera menjadikanya kini sebagai nyonya besar, mencoba membersihkan,
ReplyDeleteNarita yang bener bener bersih sama sekali nggak punya uang terpaksa pergi begitu saja, nggak peduli yang datang menagih sewa rumah, bukan main kejam dunia ini.
Andaikan ada sedikit keberanian apa pun itu tentu bisa menghindar dari Nungki, semua sudah terjadi paling sang penagih itu kembali bertanya mana Nungki; tinggal jawab aja tuh didalam rumah.
Begitulah
Aliyah pun terpaksa kembali ke rumah Alfin, melotot kearah pengawalnya, terpaksa Aliyah memintakan maaf kepada Alfin, hanya ingin membersihkan sedikit debu di rumah neneknya, agar ada sedikit kelegaan di hati.
Apakah rayuan Aliyah berhasil.
Rupanya penampakan Narita hanya Farah dan Aliyah yang tahu, dan heran kenapa mirip sekali dengannya, Kirman tidak tahu kalau mereka berdua melihat Narita,
apakah masih akan lama dirumah nenek Aliyah.
Nungki yang akhirnya kehilangan Narita, jangan jangan malah kembali mengira Aliyah itu Narita, menyandera Aliyah.
Mubeng minger sandera sanderaan
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Cintaku bukan empedu yang ke sembilan belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih bu Tien, salam sehat dan Aduhai dari mBantul π
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dan bahagia selalu.
Trm ksh bu Tien. Semoga sehat selalu dan selalu semangat
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu aduhai
Terima ksih bundaCBE nya .slm sht sll unk bunda sekeluargaπππΉ❤️
ReplyDelete