Monday, April 10, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 17

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  17

(Tien Kumalasari)

 

Pak Candra terdiam mendengar penuturan istrinya. Sebenarnya ada juga rasa keberatan bermenantukan Aliyah, tapi pak Candra tidak bisa melupakan jasa besar yang dilakukan Aliyah terhadap keluarganya. Lebih baik ia memberikan sejumlah uang atau apapun yang diminta, daripada menjadikannya menantu. Tapi Aliyah menolak semua pemberian.

“Mengapa Bapak diam? Bapak tidak sependapat denganku?” desak bu Candra.

“Sebenarnya aku lebih suka memberi dia uang dan perhiasan, atau apapun yang dia minta. Tapi Ibu dengar sendiri kan? Dia tidak mau?”

“Agak aneh juga ya Pak, kenapa tidak mau menerima sejumlah pemberian, bahkan apa yang dia minta kita akan berikan? Jangan-jangan dia memang lebih suka menjadi istri Alfian. Itu sebabnya dia menolak tawaran kita tentang ‘pemberian’ itu.”

“Ya sudah Bu, sebaiknya nanti kita panggil Alfian ke rumah, lalu kita ajak bicara dia. Harusnya dia segera menceraikannya kan?”

“Benar, kenapa Alfian tidak bicara apapun tentang perceraian?”

“Barangkali karena memang baru tiga hari, dia belum membicarakannya. Ya sudah, apapun jawab Alfian, nanti kalau aku sudah pulang dari kantor, kita suruh dia datang agar kita bisa bicara.”

“Ya sudah, Bapak ke kantor saja dulu. Aku mau menelpon Farah, melihat bagaimana keadaan mereka. Barangkali Aliyah sudah kesenangan menjadi istri Alfian. Gadis mana yang tidak suka sama anak kita? Ganteng, baik, kekayaan jangan lagi ditanya.”

Pak Candra hanya mengangguk sekilas, kemudian berangkat ke kantor dengan diantar sopirnya.

Sepeninggal suaminya, bu Candra segera menelpon Farah.

“Ya, nyonya sepuh,” jawab Farah menyambut panggilan telpon sang majikan sepuh.

“Kamu sedang sibuk?”

“Tidak, sudah selesai. Ini baru mau memasak, tapi tuan Alfi belum mengatakan ingin dimasakin apa.”

“Oh, ya sudah. Aku hanya mau bertanya, bagaimana keadaan mereka?”

“Maksud nyonya, keadaan sepasang pengantin itu?”

“Iya lah, siapa lagi?”

“Mereka baik-baik saja, nyonya.”

“Kelihatan senang?”

“Itu saya tidak tahu nyonya.”

“Kok kamu tidak tahu, orang senang, bahagia, itu kan kelihatan?”

“Kelihatannya biasa-biasa saja, Nyonya,” jawab Farah yang tak ingin mengatakan apapun yang bukan menjadi urusannya, apalagi urusan majikannya.

“Mereka tampak senang?”

“Begitulah, Nyonya Sepuh.”

“Ya sudah, nanti saja kalau Alfian ke rumah, aku mau bicara.”

“Baik, Nyonya.”

“Di mana sekarang Alfian?”

“Masih ada di kamarnya, Nyonya.”

Bu Candra termenung sendirian. Tampaknya mereka baik-baik saja. Mengapa Alfian diam saja, tak pernah berbicara tentang perceraian? Bukankah sejak awal hanya akan menutupi rasa malu di undangan yang sudah tersebar, dengan menghadirkan gadis lain yang secara kebetulan wajahnya mirip Narita?

“Baiklah, apapun nanti, aku harus bicara sama Alfian. Tak seharusnya ia membiarkan pernikahan itu berlanjut.

***

Sudah sejak melihat acara pernikahan di televisi antara Aliyah dan seorang pengusaha, pak RT selalu berusaha menemui Pinto, tapi tak berhasil. Teman-temannya mengatakan, bahwa sudah tiga hari Pinto tidak masuk kerja. Kabarnya Pinto sakit. Tapi pagi itu, saat pak RT melewati di depan rumah makan di mana Pinto bekerja, ia melihat Pinto.

“Nak Pinto,” panggilnya.

“Pak RT? Tumben, pagi-pagi sudah ada di sini? Mau sarapan?”

“Wah, tidak Nak, ibunya anak-anak sudah menyiapkan makan pagi, bisa marah kalau aku makan pagi di luar.”

“Syukurlah.”

“Nak Pinto melihat acara di televisi tiga harian yang lalu?”

“Maksud Bapak, acara pernikahan itu?”

“Iya, pernikahan yang sangat luar biasa. Nak Pinto melihatnya?”

“Ya, acara itu kan diliput oleh beberapa stasiun televisi.”

“Sedih ya Nak, akhirnya Aliyah menikah dengan pengusaha kaya yang sangat terkenal.”

“Kita harus mensyukurinya, bukan? Aku ikut senang, kalau Aliyah berbahagia.”

“Menurutku itu tidak benar.”

“Maksudnya apa? Yang tidak benar apanya Pak?”

“Aku melihat wajah Aliyah, dia tidak tampak bahagia. Apa dia terpaksa menikah ya?”

“Pak RT ada-ada saja. Suaminya muda, ganteng, kaya raya, masa dia menikah karena terpaksa?”

“Tampaknya begitu kok. Mungkin karena belum lama bertemu, lalu merasa tidak suka, begitu.”

“Janganlah kita berprasangka buruk dulu Pak, mari kita doakan agar Aliyah benar-benar merasa bahagia.”

“Nyatanya nak Pinto sakit kan, setelah menyaksikan acara itu?”

“Bapak ada-ada saja. Memang saya agak kurang enak badan, jadi tidak bekerja itu,  bukan karena saya memikirkan hal itu. Saya ikhlas, kalau itu kebahagiaan untuk Aliyah.”

“Tapi saya tahu, nak Pinto, seperti juga saya, sangat menyukai Aliyah,” kata-kata pak RT meluncur begitu saja, tapi Pinto terkejut mendengar pengakuan itu.

“Bapak suka sama Aliyah?”

“Eh, itu … maksudnya … suka dalam arti yang berbeda lho Nak, suka dan kasihan melihat nasibnya. Dia tidak punya siapa-siapa, tidak punya penghasilan untuk menyambung hidup … ya kan?”

Pinto tersenyum dan mengangguk. Ia tahu apa yang dirasakan pak RT. Tapi lebih baik dia tak mengulasnya lebih lanjut, karena sudah saatnya dia bekerja.

“Pokoknya kita doakan yang terbaik untuk Aliyah. Ya kan Pak? Sekarang saya permisi, saya harus bekerja.”

“Baiklah, selama tiga hari saya melewati tempat ini, dan mendengar kabar bahwa nak Pinto sakit. Saya mengerti, ditinggalkan orang yang dicintai itu memang sakit.”

Pinto hanya tersenyum. Kalaupun dia merasa sakit, dia tidak harus mengumbar perasaan sakitnya itu kepada orang lain. Bukankah orang yang dicintainya itu sudah menemukan hidup layak? Pinto hanya berharap, Aliyah akan berbahagia.

***

Ketika pak RT pulang, dilihatnya istrinya sedang menunggu di depan rumah. Wajahnya muram, seperti menahan marah.

“Bapak dari mana saja sih?”

“Hanya jalan-jalan saja. Bukankah orang kalau ingin sehat harus berjalan-jalan setiap hari?”

“Tapi aku sudah menyiapkan sarapan, Bapak malah pergi.”

“Ya sudah, aku juga sudah tahu.”

“Satu lagi. Tadi Bapak dicari seseorang.”

“Siapa?”

“Katanya Bapak mencarikan pekerjaan untuk keponakan Bapak. Itu, yang bekerja di rumah makan.”

“Oh, apa katanya?”

“Tadi sih, katanya hanya mampir. Yang Bapak maksud mencari pekerjaan itu Aliyah kan? Kenapa tadi dia menanyakan Aliyah bekerja di mana? Bukankah waktu itu Aliyah belum mendapat pekerjaan, mengapa Bapak mengatakan sudah?”

“O, pasti dia salah dengar,” kata pak RT enteng.

“Salah dengar bagaimana?”

“Aku tidak mengatakan begitu kok.”

“Dia bilang bahwa lowongan itu sudah ada, tapi Bapak mengatakan bahwa Aliyah sudah mendapat pekerjaan. Apa maksud Bapak?”

“Ibu ini, pagi-pagi sudah mengajak bertengkar. Ya sudahlah. Mungkin ada kesalahan. Lagipula Aliyah sudah menjadi istri orang kaya, mengapa dibahas?”

“Aku hanya membahas kebohongan Bapak saja kok.”

Pak RT hanya diam. Memang waktu itu dia tak ingin Aliyah bekerja, karena dia ingin agar Aliyah menjadi simpanannya. Tapi ia tak ingin bertengkar dengan istrinya, karena tak punya alasan untuk menyangkal. Ia langsung menuju ruang makan, dan menikmati sarapannya, tak peduli sang istri mengomel panjang pendek.

***

Alfian keluar dari kamarnya, dengan wajah kusut. Sudah sejak menjadi istrinya, Aliyah tak mau tidur bersamanya. Aliyah selalu merengek untuk minta pulang, dan meminta agar Alfian tak tidur bersamanya. Ketika malam pertama, Aliyah terharu melihat Alfian tidur di sofa, sementara dirinya tidur di ranjang yang nyaman. Karena itulah maka di malam berikutnya, Aliyah minta tidur di kamar yang lain.

Alfian langsung duduk di sofa di ruang tengah, lalu menyalakan televisi.

Farah yang melihat tuannya sudah bangun, segera menyajikan teh hangat seperti biasa dia melakukannya.

“Minumnya Tuan, dan roti bakar kesukaan tuan,” kata Farah sambil meletakkan apa yang dihidangkannya, diatas meja di depan tuannya.

“Aliyah belum bangun?”

“Tadi sepertinya sudah, tapi kemudian masuk lagi ke kamarnya. Saya belum sempat menyajikan minuman hangat untuk nyonya.

Alfian meneguk teh hangatnya.

“Mengapa nyonya masih belum tidur bersama Tuan?”

“Harusnya kamu bertanya sama dia, bukan sama aku,” kata Alfian kesal.

Tapi kemudian dia langsung mencomot sepotong roti, dan digigitnya kasar, membuat Farah tersenyum.

“Sasarannya kan pastinya bukan roti itu, Tuan?” ledek Farah.

“Coba sekarang bangunkan dia. Tapi kalau ketemu, aku agak kesal. Dia terus merengek ingin pulang. Padahal dia tidak punya siapa-siapa yang menungguinya di rumah."

“Coba tuan buat dia senang.”

“Apa yang harus aku lakukan lagi? Di iming-iming harta, dia bergeming, perhiasan, malah yang sudah aku belikan dikembalikan. Dia enggan aku dekati, aku mengalah dan bersabar. Heran juga ya, mengapa dia tidak tersentuh oleh pengorbanan aku?”

“Wanita baik-baik itu tidak gampang jatuh cinta,” gumam Farah.

“Maksudnya apa? Apa aku kurang ganteng?”

“Bukan soal gantengnya. Tuan harus ingat, baru berapa hari mengenal nyonya? Dalam hitungan hari itu, tak mudah seorang wanita tiba-tiba jatuh hati dan menyerah. Tuan harus bersyukur, menemukan istri yang tidak gampang menyerah.”

“Kurang bersyukur apa, aku?”

“Oh ya, tadi pagi nyonya sepuh menelpon.”

“Kok kamu tidak bilang sama aku?”

“Nyonya sepuh tidak mencari Tuan. Dia hanya bertanya sama Farah, bagaimana keadaan Tuan dan nyonya setelah resmi menjadi suami istri.”

“Kamu katakan semuanya pada ibu? Bahwa Aliyah belum mau didekati?”

“Tidak, Tuan. Mana saya berani. Saya hanya bilang, bahwa Tuan dan istri baik-baik saja.”

“Lalu, ibu bilang apa?”

“Nggak bilang apa-apa. Katanya nanti kalau ketemu Tuan, beliau mau bicara.”

“Apakah ibu ingin kami segera bercerai?” gumam Alfian pelan. Farah sangat terkejut.

“Bercerai? Mengapa nyonya sepuh ingin agar Tuan bercerai?”

“Dulu, Aliyah hanya sebagai pengganti saja. Setelahnya dia akan dicerai.”

“Tuan akan menceraikan dia?”

“Tidak. Aku mulai mencintainya.”

“Itu sangat indah. Saya mendukung Tuan. Cinta yang susah didapat, ketika Tuan sudah mendapatkannya, maka akan indah pada waktunya.”

“Hei, kamu banyak bicara tentang cinta, Memangnya kamu pernah jatuh cinta?”

Farah tersipu.

“Belum Tuan, saya tidak pernah ke mana-mana, mau jatuh cinta sama siapa?”

“Bagaimana kamu bisa mengulas masalah cinta?”

“Saya hanya sering membaca novel, Tuan.”

Alfian mengangguk mengerti.

“Nanti aku akan mencarikan kamu jodoh yang baik. Sayang sekali pegawai kantor aku kebanyakan sudah punya istri. Ada juga duda tua.”

“Iih, Tuan, jangan duda tua dong. Yang muda, ganteng, gitu lhoh,” seloroh Farah sambil berdiri meninggalkan Alfian yang tersenyum-senyum mendengar jawaban Farah.

“Farah, cepat panggil Aliyah, ajak dia sarapan.”

“Iya, sarapan sudah siap. Nanti agak siang saya mau ke pasar untuk belanja.”

Ketika Aliyah mendekati Alfian, ia sudah tampak rapi karena baru selesai mandi.

“Aliyah, kamu sudah cantik dan wangi …” gumam Alfian sambil menatap lekat-lekat istrinya.

“Tuan belum mandi?”

“Sudah.”

“Mengapa rambut tuan tidak rapi?”

Alfian tersenyum senang. Walah sedikit, ada juga perhatian Aliyah pada dirinya. Sedikit? Rasanya tidak. Alfian ingat, ketika di malam pertama, dia tidur di sofa, tiba-tiba ia terkejut, ketika bangun, tubuhnya berselimut. Ia yakin Aliyah yang melakukannya. Apakah itu perhatian yang sedikit? Alfian segera sadar, Aliyah yang baik hati, akhirnya akan runtuh belas kasihan pada dirinya. Bukan hanya belas kasihan, tapi bukan cinta. Dengan jari-jari tangannya, Alfian menyisir rambutnya.

“Duduklah, sayang.”

“Siapa yang Tuan panggil?”

“Kamu dong, siapa lagi?”

“Aku bukan sayang,” gumamnya lirih, sambil duduk di depan Alfian.

“Tapi aku sayang sama kamu,” Alfian nekat.

“Tuan, kapan aku boleh pulang?” tanya Aliyah mengalihkan pembicaraan. Sungguh ia merasa tidak pantas untuk Alfian, itu sebabnya, biarpun rasa suka itu sepertinya ada di hatinya, tapi ia selalu berusaha kuat menolaknya.

Hilang senyuman di bibir Alfian.

“Di sini bukan tempat yang pantas untuk saya."

“Ini rumah kamu. Mengapa kamu mengatakan bahwa kamu tidak pantas?”

“Mana mungkin saya punya rumah sebagus ini?”

“Kamu istriku, rumah aku, berarti juga rumah kamu.”

Hati Aliyah bergetar.

“Aliyah, kamu harus ingat, bahwa kamu itu istriku.”

“Tapi_”

“Jangan bilang istri pura-pura. Ini sungguhan,” kata Alfian sambil meraih ponselnya, karena ada pesan singkat yang harus dibacanya, dari sang ibu.

“Ibu menyuruh aku datang menemuinya,” gumam Alfian.

“Tuan, Nyonya, sarapan sudah siap. Setelahnya saya akan pergi belanja,” kata Farah dari arah ruang makan.

“Oh iya, Aliyah, apa kamu mau ikut Farah belanja?”

“Iya Nyonya, sesekali keluar rumah, biar Nyonya terhibur melihat suasana di luar,” sambung Farah.

“Benarkah? Baiklah, aku mau,” tiba-tiba Aliyah menyambut dengan penuh semangat.

***

Besok lagi ya.

68 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku CBE sudah tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat kung Latief Sragen tina, disusul jeng Wiwik Jonegoro, jeng Mimiet Cimahi, dan jeng Nuning.

      Alhamdulillah CeBeE_17 bertepatan dgn 18 Romadhon sdh tayang.
      Terima kasih bu Tien...
      Salam SEROJA dan tetap ADUHAI..... 🤝🤝🙏

      Delete
    2. Semakin seru ceritanya.....pengen baca lanjutanya

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, suwun mugi Bunda Tien tansah pinaringan kasarasan.

    ReplyDelete
  4. Slmt mlm dan terima kasih bunda Tien..slm seroja dan lamdusel unk bunda sekeluarga🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah
    Matur nuwun bu
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~17 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏

    ReplyDelete
  7. Yes.Terimakasih yg tak terhingga Bunda.sehat selalu nggih .nuwun

    ReplyDelete
  8. Waduh jangan² Aliyah melarikan diri pulang ntr..😥

    Matur nuwun bunda Tien...🙏

    Sehat selalu kagem bunda Tien..🤲

    ReplyDelete
  9. Makasih mba Tien.
    Salam hangat, selalu aduhai

    ReplyDelete
  10. Mungkin Farah menjadi perantara kedekatan Aliyah dengan Alfian... siapa tahu.
    Pak RT kok masih pinisirin dengan Alfian, padahal Pinto yang masih jomblo saja dapat mengerti keadaan.
    Tentu Alfian tidak mau menceraikan istrinya... sorry ya bu, pak Candra.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. 〰️🍃🌸🦋🌸🍃〰️
    Alhamdulillah CBE 17
    sudah tayang...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats. Salam Aduhai
    〰️🍃🌸🦋🌸🍃〰️

    ReplyDelete
  12. Nah ini kesempatan dalam kesempitan, belanja ke pasar sama Farah, kepingin nengok rumah, rupanya; sementara Alfian mulai menyukai Aliyah ortunya ngotot agar menceraikan Aliyah, kasak kusuk ini kira kira didengar Narita nggak ya..
    Yang masih berharap bisa bersama Alfian tapi di ancam Nungki, akan mengatakan kejelekan kejelekan Narita, bahkan Nungki merasa punya jasa mengentaskan dan menebus Narita dari asrama.
    Asrama apaan tuh, nggak tahu.
    Paling nanti makan di tempat Pinto kerja, sekalian tanya keadaan rumah, sekalian bilang mau pulang kerumah, kan cuma pengantin pengganti, tugas selesai yaudah kembali ke rumah, Alfian maunya tetep sama Aliyah, dia terlalu polos.
    Terus gimana sikap Alfian tentang masalah ini, kalau masalah pengetahuan kan bisa suruh sekolah lagi bahkan sampai sarjana, ah masa seeh.
    ADUHAI mana tahan.

    Terimakasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke tujuh belas sudah tayang.dd
    Sehat sehat selalu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Nanang
      Salam crigis

      Aamiin atas doanya

      Delete
    2. Sami sami Bu Tien
      donga dinonga mugi tansah winantu karahayon sareng sami.

      Delete
  13. Aduh..... Ketinggalan deh ....
    Terima kasih Bu Tien, semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  14. Terima kasih bu tien, cbe 17 sdh hadir.... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  15. Terima kasih bunda Tien, maaf bunda jarang komen karena sulit terkirim...

    ReplyDelete
  16. Wah Aliyah semangat banget mau ikut Farah belanja,apakah ada rencana melarikan diri untuk pulang ke rumah?
    Semoga Aliyah tetap berjodoh dengan Alfian dr pd jd simpanan pak RT.Salam seroja buat mbak Tien dari Neni Tegal.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah CBE-17 sfh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah CBE-17 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.Aamiin.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...