Tuesday, March 14, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 43

 

SETANGKAI BUNGAKU  43

(Tien Kumalasari)

 

Sasmi menatap Ratna yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Ia mendekatinya, dan duduk di depannya.

“Mbak Ratna memikirkan itu? Apa Mbak Ratna lupa, Roy itu kan senangnya bercanda? Jadi aku kira semua itu hanya candaan saja.”

“Masa sih? Kamu lihat kan, Ardian kemudian pergi dengan tersipu begitu? Aku kok merasa, bahwa itu benar.”

“Benarkah?”

“Nanti Mbak tanya saja sama Ardian.”

“Tadi dia mengelak, tapi tatapan matanya seperti malu-malu, begitu.”

“Seandainya itu benar, apa yang akan Mbak lakukan? Menghalanginya?”

“Apa menurut kamu, pantas kita berbesan sama yu Kasnah?”

Sasmi terdiam. Barangkali hal itu tidak begitu dirasakannya, karena Ardian bukan anak kandungnya. Tapi membayangkan berbesan dengan yu Kasnah? Bukan karena merendahkan derajat yu Kasnah. Tapi … apa ya, ada kepantasan yang harus dipertimbangkan. Ya kan?

Sasmi menopang kapalanya dengan kedua tangan, dengan meletakkan siku ke meja. Ia tak sampai hati mengatakan tentang pantas dan tidak.

Mereka bukan keluarga yang suka membeda-bedakan derajat seseorang. Bagi mereka, nilai terpenting dalam sebuah kehidupan adalah perilaku, tindak tanduk, tata krama, dan yu Kasnah memenuhi itu semua. Pratiwi, apalagi. Lalu apa yang membuat mereka harus memikirkannya? Derajat itu kan? Nah lo, Sasmi dan Ratna ternyata agak susah mengungkapkan perasaannya.

“Sasmi, kamu tidak menjawab pertanyaanku,” kata Ratna yang sejak tadi menunggu.

“Apa yang harus aku jawab Mbak? Barangkali apa yang Mbak pikirkan, sama dengan yang aku pikirkan. Mereka baik, bagai tak ada cacat celanya dalam bermasyarakat, berkeluarga, tapi kita akan berhenti di suatu titik, yang membuat kita bertanya-tanya. Pantas, dan tidak. Bukankah begitu?”

Ratna tidak menolak apa yang diungkapkan madu nya. 

“Tapi Mbak jangan terlalu memikirkan hal itu. Tanyakan dulu semua itu pada Ardian. Roy kan suka slengekan?”

Ratna akhirnya hanya mengangguk, tapi bayangan duduk di atas pelaminan, berhadapan dengan yu Kasnah yang tuna netra, yang hanya seorang tukang pijat, terus membayanginya. Ia bukan sedih, tapi bayangan itu cukup mengganggu.

“Pratiwi itu cantik, sederhana, tapi hatinya sangat mulia,” kata Sasmi lagi.

“Maksudmu, kita harus bisa menerima seandainya itu benar?”

“Kita melihat dari sisi Pratiwi saja.”

“Kamu bisa ngomong begitu, karena Ardian bukan darah dagingmu,” tiba-tiba sahut Ratna dengan nada yang agak tinggi, membuat Sasmi terkejut.

“Mbak, bukan begitu maksudku.”

“Kamu senang karena Roy sudah menemukan pilihan yang sesuai, dan pantas. Jadi kamu tidak memikirkan perasaanku,”

Sasmi terkejut. Ia kemudian berdiri, mendekati Ratna, dan memegang pundaknya. Tapi kemudian Ratna mengibaskan tangan Sasmi, kemudian berdiri dan meninggalkannya.

“Mbak, tunggu Mbak. Mbak salah sangka,” kata Sasmi sambil mengejarnya, tapi dengan cepat Ratna masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam.

“Mbak Ratna, jangan begitu Mbak. Mbak salah sangka. Ardian juga anakku. Aku tidak membedakannya. Tolong buka pintunya,” kata Sasmi sambil mengetuk-ngetuk pintunya.

Tapi Ratna tidak mau membukanya. Sasmi mendengar isak tertahan dari dalam kamar itu. Sasmi melangkah pergi, kembali ke ruang dapur dengan wajah sedih.

***

Ardian sampai di kantor, langsung masuk ke dalam ruangannya. Ia terkejut pada keberaniannya sendiri. Ia merasa lancang telah mengaku suka terhadap Pratiwi. Sungguh Ardian takut kalau sampai Pratiwi menjauhinya, bahkan membencinya.

Ia duduk di kursi kerjanya.

“Mengapa aku ini? Aku sudah melakukannya, dan itu berarti aku berani. Aku bukan pengecut seperti Roy menuduhku. Aku adalah Ardian si pemberani. Tapi mengapa aku sekarang merasa takut? Bagaimana kalau dia membenci aku?”

Ardian menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. Bayangan Pratiwi yang pasti sangat terkejut mengusiknya. Lalu Pratiwi memaki-makinya, memarahinya habis-habisan. Dan bahkan menyumpahinya, lalu berjanji pada dirinya bahwa dia tak akan sudi bertemu lagi dengannya.

“Hei! Apa yang terjadi?”

Ardian terkejut. Roy sudah berdiri di depannya dan tersenyum-senyum lucu.

“Kamu ini sungguh nggak sopan ya, masuk ke ruangan orang itu harus mengetuk pintu,” tegur Ardian cemberut.

“Yaah, kamu lagi ngelamun, mana bisa mendengar aku menggedor pintu kamu sampai sakit nih, tanganku. Kenapa lagi nih? Apa Pratiwi lebih memilih dekat sama Bondan daripada sama kamu? Kamu tadi tidak memaksa dia, supaya menjauh dari Bondan, dan lebih mendekati kamu?”

Ardian tak menjawab. Tidak begitu ceritanya kan. Tapi Ardian enggan mengatakannya. Malu kalau nanti ternyata Pratiwi menolaknya, lalu Roy mengejeknya.

“Ada apa sih? Cerita dong. Adikmu ini, sungguh-sungguh menyayangi kamu, Mas Ardian. Jadi kalau kamu sedih, aku juga ikutan sedih.”

“Siapa yang sedih? Ngawur!”

“Lha itu, wajahmu kelihatan. Baiklah, kamu nggak usah khawatir, nanti aku akan menemui Pratiwi, dan mengatakan bahwa kamu suka sama dia.”

“Tidak!” sentak Ardian.

“Aku hanya ingin membantu. Tapi kamu harus bersiap, jangan sedih kalau dia menolaknya,” kata Roy enteng.

“Tidak usah, Aku sudah mengatakannya,” kata Ardian akhirnya

“Apa? Sudah mengatakannya? Artinya kamu sudah berterus terang, kalau kamu suka? Hebat kakakku. Kamu memang luar biasa. Begitu dong, jadi laki-laki,” kata Roy yang kemudlan merangkul kakaknya.

“Tapi melihat wajah kamu yang cemberut ini, aku jadi khawatir nih. Dia menolaknya?” lanjutnya.

“Entahlah, aku langsung pergi begitu selesai mengucapkannya.”

“Apa? Kamu tidak menunggu jawaban dia?”

Ardian menggeleng.

“Lalu kenapa sedih? Belum tentu ditolak kan?”

“Bagaimana kalau dia kemudian tak mau menemui aku lagi, bahkan membenci aku?”

Roy tertawa keras.

“Jatuh cinta itu, hanya bisa menemukan dua jawaban. Ada resikonya. Resiko diterima, ya alhamdulillah. Kalau ditolak? Ya jangan sedih, jangan kecewa, jangan pula sakit hati. Itu resiko ke dua yang harus diterima dengan ikhlas.”

Ardian membisu. Itu benar bukan. Ia menghempaskan napasnya, berusaha membuat dadanya lega.

“Okey, kamu sudah berusaha. Banyak-banyaklah berdoa, agar keinginan kamu kesampaian,” kata Roy sambil beranjak keluar dari ruangan.

Ardian kembali menghela napas.

“Itu benar, aku sudah melakukannya. Ada dua resiko yang akan aku terima. Mengapa risau? Aku pemberani, bukan?” gumamnya pelan.

“Eh, aku lupa, kamu dipanggil bapak di ruangannya,” tiba-tiba Roy melongok lagi di pintu, kemudian menghilang.

Ardian berdiri, dan siap menerima tugas dari ayahnya.

***

Beberapa saat lamanya Pratiwi berdiri di depan pintu. Ia sudah berada di dalam ruangan, tapi tak segera melangkah mendekati Susana yang masih terbaring lemah. Pratiwi harus mengendapkan debar jantungnya, mendengar apa yang dikatakan Ardian.

“Siapakah aku ini, maka seorang seperti mas Ardian mengatakan suka sama aku? Apa dia sadar dengan siapa dia bicara? Apa dia sadar tentang apa yang diucapkannya? Ya Tuhan, mana mungkin aku bisa menerimanya? Akan banyak masalah kalau aku melakukannya. Aku hanya anak yu Kasnah si tukang pijit yang buta. Dia adalah anak keluarga Luminto yang kaya raya. Aku adalah rumput yang tumbuh liar di padang gersang, sedangkan dia adalah bintang yang berpendar diatas sana, jauh dan sangat jauh. Bagaimana si rumput ini bisa berbaur dengan sang bintang?”

Tiba-tiba terdengar Susana terbatuk-batuk, membuat Pratiwi sadar, menghentikan lamunannya, dan melangkah mendekati pembaringan.

“Mau minum?” kata Pratiwi mengejutkan Susana.

“Kamu sudah kembali ke mari?”

Pratiwi mengambilkan gelas berisi minuman, dan menaruh sedotan yang tersedia, dibibir Susana. Susana meneguknya.

“Bagaimana kabar mas Bondan?”

“Dia baik. Katanya dia akan segera datang menjenguk Mbak.”

Susana menghela napas. Ia teringat apa yang dikatakan Bondan, yang tak ingin kehilangan dia. Apa aku ini miliknya? Kata batin Susana.

 “Kamu sudah ke bagian administrasi?”

“Belum.”

“Tadi kan_”

“Aku tidak jadi ke sana, karena mas Bondan sudah membayar semuanya.”

“Apa? Mengapa kamu membiarkannya?”

“Apa yang bisa aku lakukan? Semuanya sudah dilakukannya.”

“Ya Tuhan, ini mahal.”

“Ya sudah Mbak, mas Bondan sudah memberikannya, yang sekarang harus Mbak pikirkan adalah kesehatan Mbak.”

“Aku berhutang sama dia,” keluhnya.

“Nanti Mbak bisa membayarnya, atau mencicilnya, kalau uang Mbak tidak cukup.”

“Bukan hutang uang itu Wi, tapi hutang budi. Itu sangat berat.”

“Terkadang keadaan membawa kita kepada hal yang menyulitkan kita. Tapi ada baiknya semua diserahkan kepada Yang Di Atas. Percayalah bahwa semua akan baik-baik saja.”

Susana terdiam, tapi Pratiwi sendiri juga sedang dilanda kebingungan. Pernyataan suka dari laki-laki ganteng nan kaya raya itu membuatnya seperti bermimpi, dan itu tidaklah mudah baginya. Akan sakit rasanya apabila nanti akan ada penolakan dari keluarga, yang sudah bisa dipastikan terjadinya, karena perbedaan kasta diantara mereka.

“Mengapa kamu diam saja? Raut muka kamu kelihatan sedang tidak nyaman. Aku tahu kamu capek, tidurlah di sofa itu. Aku baik-baik saja, tidak harus ditunggui terus menerus.”

“Ya, aku memang capek, aku mau tiduran sebentar ya Mbak.”

“Tentu saja. Sudah ada perawat yang melayani aku setiap aku membutuhkan sesuatu.

Pratiwi memang merasa lelah, tapi bukan lelah tubuhnya karena terjadinya peristiwa yang nyaris merenggut nyawa Susana. Pratiwi lelah memikirkan apa yang akan terjadi apabila ada sebuah hubungan diantara dirinya dan Ardian. Pratiwi mengakui, Ardian tak ada cacat celanya. Dia sangat sempurna sebagai laki-laki, dan akal warasnya mengatakan bahwa dia akan sangat bahagia menerimanya. Tapi akal waras itu juga menorehkan kesulitan demi kesulitan yang akan dilaluinya, apabila ia menurutkan kata hatinya.

“Tidak, aku harus menolaknya,” gumam Pratiwi.

“Kamu mengajak aku bicara, Tiwi?” tiba-tiba kata Susana.

“Tidak. Mbak juga harus istirahat, supaya segera pulih,” kata Pratiwi menjawabnya.

***

“Maaf Pak, tadi saya ada perlu, dan tidak sempat pamit sama Bapak,” kata Ardian ketika sudah berada di ruang kerja ayahnya.

“Kata Roy, kamu sedang galau,” kata pak Luminto.

Ardian menatap ayahnya, yang sedang memandang tajam ke arahnya. Ini tidak biasa. Ia harus segera bisa menjawab tuduhan ‘galau’ yang diungkapkan ayahnya.

“Kenapa?” lanjut sang ayah.

Ardian menundukkan wajahnya.

“Bapak pernah muda. Dulu waktu bapakmu ini jatuh cinta pada ibumu, juga gelisah memikirkannya. Ketika bapak sudah menyatakan cinta, lalu ibumu tidak segera menjawabnya, yah … bapak bingung lah. Terus saja bapak memikirkannya, diterima atau tidak, diterima atau tidak … begitu terus, dan baru merasa tenang ketika akhirnya sudah mendapatkan jawaban. Diterima dong, bapak kan ganteng,” kata pak Luminto sambil tertawa pelan.

Ardian tersenyum tipis. Apakah ayahnya sedang menyindir dirinya? Menyatakan cinta dan belum ada kepastian akan diterima atau ditolak? Atau, apakah Roy sudah melaporkan pada ayahnya tentang keadaan dirinya? Sepertinya tidak. Ketika Roy meninggalkan ruangannya, Roy mengatakan bahwa dirinya dipanggil oleh ayahnya, lalu dia segera pergi ke ruangannya.  Tak mungkin Roy sempat bicara apa pun dengan sang ayah. Jadi ini hanya kebetulan saja.

“Apa kamu sedang jatuh cinta? Tadi pagi Roy mengolok-olok kamu, tapi kamu diam saja. Bapak agak terkejut ketika Roy menyebut nama Pratiwi.”

Ardian terkejut. Jadi ayahnya memanggil, bukan karena soal pekerjaan, tapi soal dia jatuh cinta, dan ayahnya juga menyebut nama Pratiwi. 

Wajah Ardian bersemu merah karena rasa malu, tapi juga khawatir kalau ayahnya menentangnya.

“Salahkah orang jatuh cinta?” tanya Ardian memberanikan diri.

“Tidak. Cinta bisa datang kapan saja, dan kepada siapa pun juga.”

“Jadi apakah salah kalau Ardian mencintai Pratiwi?”

“Mengapa kamu merasa demikian?” tanya sang ayah.

"Banyak orang tua berhitung-hitung ketika menentukan seorang calon menantu.”

“Ya, Bapak juga menghitung-hitung dong.”

“Jadi ….”

“Wanita baik, santun, terpuji dalam segala langkah. Bagus. Itu pilihan yang wajar, dan kamu rupanya mendapatkan itu dari Pratiwi. Benar?”

Ardian mengangguk.

“Bagaimana kalau bapak tidak setuju dengan pilihan kamu?”

Ardian mengangkat wajahnya. Hal itu sudah diduganya. Banyak orang tua menghitung-hitung dalam memilih menantu, dan hitungan ayahnya ternyata tidak cocok.”

“Kamu sedih?” desak sang ayah.

“Dia juga belum tentu menerima Ardian. Kemungkinannya adalah Ardian akan ditolak.”

“Wouw, itu gadis yang baik.”

“Mengapa Bapak mengatakan begitu?”

“Dia tahu diri. Dia mengerti di mana harus duduk, dan di mana harus berdiri. Kalau dia langsung menerima, nilainya di mata bapak akan berkurang. Tapi tunggu saja apa jawabnya.”

“Apakah Bapak menentang keinginan Ardian tentang ‘pada siapa Ardian jatuh cinta’?”

“Terserah cinta akan bicara apa.”

“Maksud Bapak?”

“Kembali ke ruangan kamu. Bekerja !”

***

Besok lagi ya.


36 comments:

  1. Replies
    1. Selamat buat jeng Nani yang harap-2 cemas, sama dengan perasaan Ardian juga..... Apalagi terjadi dialog antara Bapak dan anak, sbb :

      “Apakah Bapak menentang keinginan Ardian tentang ‘pada siapa Ardian jatuh cinta’?”

      “Terserah cinta akan bicara apa.”

      “Maksud Bapak?”

      “Kembali ke ruangan kamu. Bekerja !”

      Delete
  2. Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah terima kasih Bu Tien....
    Duh pak Luminto kok membingungkan, sepertinya menguji Ardian ujung2nya merestui (semoga).
    Salam sehat selalu Bu Tien.

    ReplyDelete
  5. Alhamdullilah tayang cepat bundaSB nya..terima ksih dan slm sehat sll ..slmt mlm dan tetap aduhai🙏❤️😘🌹

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah ..terima kasih bu tien ..salam sehat

    ReplyDelete
  8. Sedih sampai bercucuran air mataku, menghayati seandainya jadi Pratiwi cinta terhalang status sosial.....😭

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ... maturnuwun bh Tien

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun Bunda Tien.
    Sehat terus dan terus sehat nggih.... terus berkarya diusia senja.
    Tetap ADUHAI saja, penulisku ini

    ReplyDelete
  11. Tks bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang
    Beban pikiran yg berat bagi bu Ratna ..
    Semoga ada titik cerah yg membahagiakan semuanya..
    demi anak semata wayang..
    Semoga bunda sehat selalu..
    Salam Aduhai dari sukabumi.. 🙏🙏🌹

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien...
    Sugeng Dalu, salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete

  14. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~43 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah SB- 43 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bu Tien
    Makin asyik nih .....

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah Setangkai Bungaku Eps 42 sudah tayang gasik, matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
    Semoga mbak Tien tetap sehat dan selalu dlm lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 43 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  19. 💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐
    Alhamdulillah SB 43 telah
    tayang.Matur nuwun Bu Tien.
    Moga tetap sehat & smangat.
    Salam Aduhai
    💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏

    ReplyDelete
  21. Selamat malam bu tien, terima kasih cerbungnya

    ReplyDelete
  22. Tiwi kamu jalani apa adanya mengalir aja, kalau memang Bondan perhatian sama kamu, lho gimana seeh mbak Susan ini lha perhatian jelas jelas pada mbak Susan gitu lho.
    Iya tadi setengah sadar kamu menggigau 'aku harus menolak', modar mo modarmo, tercetus igauan nggak sadar terdengar Susan jelas.
    Sebenarnya apa yang terjadi Wi, kamu tadi bareng bareng Ardian kemari, apa itu ada hubungannya dengan igauan mu tadi.
    Hayuh gimana tuh; lali piyé carané ngobahake lambé ben muni, blangkemen ora.
    wedi yå Wi yen kaya jaman bayi, di dadah ora urusan nangis kekejer malah dianggep latihan vokal karo dukun bayiné.
    Ardian aja di ledekin adeknya ini malah bapaknya ikutan bikin sport jantung, coba nanti pulang dirumah langsung di santlap biyungé; oalah le le mbok yå nggolèk bocah sing rada jrèng sitik, itu bênêr nggak Roy bilang kamu suka sama Pratiwi anak you Kasnah hah.
    Lha biyungé langsung mbayangaké selebrasiné, nggak cocok duet sama tukang pijet gitu.
    Walah mumet Ar, yaudah biarin aja toh Tiwi juga belum jawab.
    Resiko ditolak juga sudah siap ya.
    Biar aja semèdi dikamar aja Ar kalau nggak ada acara biar aja asik sendiri, biarkan dunia diluar sana bergolak, seperti biasa riak air di permukaan banyak yang membuat begitu, biarkan yang didalam lebih tenang walau desakan kuat pasti akan datang tapi kan dasarnya tenang dulu.
    Gimana mau tenang kerjaan juga cuma dibolak balik, barusan babe bilang gitu.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke empat puluh tiga sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  43 (Tien Kumalasari)   Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia bel...