Wednesday, March 15, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 44

 

SETANGKAI BUNGAKU  44

(Tien Kumalasari)

 

Ardian kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan tak menentu. Memang sih, ayahnya tidak mengatakan bahwa dia melarang dirinya mencintai Pratiwi, tapi jawabannya membuatnya ragu. Seperti apa yang ditunggunya dari Pratiwi, serba menggantung, entah apa jawab yang akan diterimanya.

Ia membuka berkas-berkas pekerjaan yang harus digarapnya, tapi perasaannya sama sekali jauh dari konsentrasi.

Bayangan ayahnya yang akan menudingkan jari telunjuknya dengan kata-kata ‘tidak boleh’, sangat mengganggunya, bergantian dengan wajah Pratiwi yang keruh, lalu berlari ketika didekatinya.

“Apa benar aku ini penakut seperti dikatakan Roy? Benci aku kalau ingat apa yang dikatakan Roy. Dia sangat merendahkan aku. Menganggap aku selalu ragu dalam bertindak, dan sekarang dia pasti akan mengatakan bahwa dirinya takut menghadapi kenyataan. Tidak. Aku bukan penakut,” lalu diambilnya ponsel, ditekannya nomor kontak Pratiwi.

“Sikap atas jawaban saat dia mengangkat telpon aku, akan menunjukkan bagaimana jawabannya atas pernyataanku,” kata batin Ardian.

“Ya, mas Ardian,” jawaban dari seberang membuat Ardian terlonjak kaget. Dia belum siap menerima, dan Pratiwi sudah langsung menjawabnya.

“Oh, eh … maaf.”

“Kenapa minta maaf?”

Ardian juga bingung. Mengapa dirinya meminta maaf? Salahkah menelpon?

“Mm … apakah … kamu marah?”

“Mengapa bertanya begitu? Baiklah, saya ingin bicara. Bisakah menjemput saya?”

“Tentu saja. Sekarang,” kata Ardian yang langsung berdiri sambil menutup ponselnya. Bergegas dia keluar ruangan, menuju ke arah luar kantor.

“Ardiaaan!” itu teriakan Roy, yang tampaknya sedang menuju ke arah ruangannya. Tapi Ardian hanya melambaikan tangannya, dan terus berlalu.

“Kemana kamu?” teriaknya lagi.

Tapi Ardian tetap saja melangkah, menuju area parkir, dan keluar dengan mobilnya.

“Tapi apa yang sebenarnya ingin dikatakan Pratiwi? Menerimanya? Menolaknya?” gumam Ardian dalam perjalanan ke arah rumah sakit.

Masih belum merasa tenang, ketika Ardian memacu mobilnya, lalu tiba-tiba berhenti ketika melihat Pratiwi berdiri di lobi.

Pratiwi tak menunggu mobil Ardian masuk ke lobi, ia justru setengah berlari mendekat.

Ardian membukakan pintu dari belakang kemudi, lalu Pratiwi masuk ke dalamnya.

“Langsung pulang?” tanya Ardian.

“Ya. Terima kasih sudah mau menjemput,” kata Pratiwi pelan.

“Bagaimana keadaan Susana?”

“Sudah lebih baik. Tadi bisa tidur, jadi aku tinggal dulu untuk pulang.”

Lalu keduanya membisu. Pratiwi belum mengatakan apa yang ingin diungkapkannya, dan Ardian menunggu dengan hati berdebar. Tapi dia menguatkan hatinya. Dia bukan laki-laki yang ragu dalam melangkah. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Siapa takut? Kata batinnya. Itu sebabnya kemudian dia berani menanyakannya. Keburu sampai rumah. Ya kan.

“Tadi mau ngomong apa?” tanyanya hati-hati.

“Oh iya, mm … saya … sebenarnya agak kaget, ketika … ketika Mas Ardian mengatakan suka sama saya.”

Ardian terkejut. Pratiwi lebih berani dalam berucap. Tanpa ragu, tanpa sungkan, hanya sedikit terbata, pada awalnya.

“Mengapa kaget?”

“Saya yakin itu bukan ucapan serius, karena semua itu tak mungkin, kan? Jangan lagi mengucapkan kata-kata yang membuat saya kaget. Lebih baik bicara tentang hal yang serius. Penting dibicarakan. Kalaupun bercanda, jangan di saat seperti itu.”

“Apa? Bukan ucapan serius?”

“Bercanda, maksud saya.”

“Aku bukan anak kecil yang bercanda dalam sebuah ucapan yang bagi aku sangat lah penting.”

“Penting?”

“Aku serius, sangat serius.”

“Apa?”

“Aku suka sama kamu. Sangat serius. Ini ungkapan rasa hati aku yang sudah sejak lama aku pendam.”

Pratiwi terdiam, ia menoleh ke arah Ardian, dan tiba-tiba air mata Pratiwi bergulir keluar, mengalir di sepanjang pipinya.

Tak sengaja Ardian pun menoleh ke samping, dan melihat tangis itu. Ia segera menarik tissue yang tersedia di mobilnya, diberikannya pada Pratiwi.

“Aku minta maaf, kalau telah menyakiti kamu. Kamu boleh menolaknya, kalau memang tidak suka sama aku.”

Pratiwi mengusap air matanya.

“Mengapa Mas suka sama saya? Apa Mas lupa, saya ini siapa, dari keluarga bagaimana?”

“Aku tidak lupa.”

“Kalau begitu jangan pernah suka, apalagi mencintai saya. Saya dan Mas itu, bagaikan bumi dan langit. Sangat jauh.”

“Apa cinta harus diatur, kepada siapa dia menjatuhkan dirinya?”

“Manusia punya hati dan rasa, punya akal dan budi, punya banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum melangkah. Cinta tidak akan membuat orang bertindak dengan membabi buta. Ada banyak hal yang harus diperhitungkan.”

“Aku sudah memikirkannya, dan siap menjalani hidup bersama kamu.”

“Tolong hentikan.”

“Kamu menolak aku?”

“Saya tidak berani.”

“Pratiwi ….”

“Sungguh, saya tidak berani.”

Ardian merasa, seember air dingin mengguyur seluruh tubuhnya, membuat seluruh perasaannya menjadi beku.

***

“Mana Ardian, kenapa ikut mobil bapak?” tanya pak Luminto ketika Roy mengatakan bahwa ingin nebeng mobil ayahnya.

“Ardian nggak ada.”

“Sudah pulang?”

“Dia pergi tak lama setelah dia keluar dari ruangan Bapak.”

“Kemana?”

“Ardian sedang menjadi orang aneh. Saya berteriak memanggil, dia hanya melambaikan tangannya dan menghilang dengan mobilnya.”

“Tidak mengatakan mau ke mana?”

“Semoga saja dia tidak ingin bunuh diri,” canda Roy.

“Hush. Kamu bicara seenaknya.”

“Sikapnya sedang aneh dan tidak bisa saya mengerti. Sepertinya dia sedang kalut. Atau bingung, atau entah apa namanya. Begitu ya rasanya kalau cinta tidak kesampaian,” gumam Roy sambil mengambil kunci mobil ayahnya, lalu mereka berjalan keluar dari ruangan.

“Apa katamu? Cinta tidak kesampaian? Pratiwi menolak cinta Ardian?”

“Bapak sudah tahu, dan yakin bahwa gadis yang sedang digilai Ardian itu Pratiwi?”

“Dia sudah mengatakannya.”

“O, jadi Bapak melarangnya, sehingga dia jadi galau?”

“Bukan, kata siapa? Aku belum mengatakan apa-apa. Hanya bertanya, dia menjawab. Ya sudah, begitu saja. Tapi dia juga bilang bahwa Pratiwi belum tentu menerimanya.”

“Kakak saya kan ganteng, gagah, baik hati, mana mungkin Pratiwi menolaknya?”

“Taruhan?” canda sang bapak.

“Bapak yakin, Pratiwi akan menolak?”

“Kita lihat saja nanti.”

“Bodoh, gadis itu.”

“Tidak. Pratiwi gadis yang baik.”

“Tapi menolak Ardian, bukan pilihan yang tepat. Mau cari yang mana lagi dia, kalau setingkat Ardian saja ditolak?”

“Dia tahu diri.”

Roy terdiam, dia segera berjalan mendahului untuk mengambil mobil ayahnya. Tapi dalam hati dia masih bertanya-tanya. Apa arti tahu diri yang dikatakan ayahnya.

“O, aku tahu, karena Pratiwi merasa rendah diri, dengan keadaan keluarganya?” gumamnya sambil menjalankan mobilnya ke arah lobi, dimana ayahnya sedang menunggu.

 ***

Mereka sampai di rumah, dan melihat Sasmi sedang duduk sendirian di teras. Wajahnya muram, seperti tak bersemangat. Luminto menegurnya ketika naik ke atas teras.

“Kok sendirian? Mana Ratna?”

“Di kamar,” kata Sasmi singkat, wajahnya tetap manyun.

“Sakit?”

“Dari tadi siang masuk ke kamarnya dan mengunci diri, aku memanggilnya berkali-kali, tapi tidak digubris.”

“Apa yang terjadi?”

“Bapak tanya sendiri sana. Barangkali kalau sama Bapak dia mau membuka pintunya. Dia juga belum makan siang.”

“Jadi kamu makan sendirian, tanpa teman?”

“Aku juga belum makan. Nggak enak makan sendirian.”

“Ada apa sebenarnya?” tanya Luminto yang langsung menuju ke arah kamar Ratna, lalu mengetuknya pelan.

“Ratna … Ratna, aku sudah pulang, tolong buka pintunya.”

Ratna membuka pintunya. Wajahnya tampak kusut. Rambutnya awut-awutan.

“Ada apa? Kamu bertengkar sama Sasmi? Tumben. Tak biasanya begitu,” kata Luminto yang langsung masuk ke dalam kamar. Duduk disofa lalu mencopot sepatunya.

Ratna membantunya, lalu duduk di depannya.

“Rapikan rambut kamu,” perintah Luminto.

Ratna menyisir rambutnya, lalu kembali duduk di depan suaminya.

“Kamu marah sama Sasmi?”

“Dia itu, mentang-mentang anaknya sudah punya pilihan gadis yang baik, anak orang terpandang, lalu menyarankan Ardian bisa menjadi suami Pratiwi.”

“Pratiwi?”

“Pratiwi anak yu Kasnah itu. Bagaimana menurut Bapak?”

“Apa benar, Sasmi menyarankan begitu?”

“Bukan menyarankan secara jelas, tapi dia memuji-muji Pratiwi. Itu kan sama saja dengan menyetujui Ardian menjadi suami Pratiwi?”

“Burukkah Pratiwi menurut kamu?”

“Jadi Bapak setuju, berbesan dengan yu Kasnah?”

“Lho, kok sudah sampai di situ? Memangnya sudah mau melamar? Dan yang menjalani sudah setuju?”

“Aku tidak tahu. Tapi aku tidak suka cara Sasmi memuji-muji Pratiwi, seakan merasa pantas kalau Ardian menjadi menantu yu Kasnah.”

“Kalau Pratiwi dipuji-puji, bukankah memang benar bahwa dia gadis yang baik? Bahwa kemudian dia terlahir menjadi anak yu Kasnah, apa Pratiwi memintanya? Garis hidup manusia itu sudah ditorehkan dari Atas Sana. Allah yang mengaturnya. Kamu terlahir menjadi anak siapa, bagaimana wujud hidup kamu nantinya, apa kita yang menentukan? Jangan salahkan Sasmi, karena dia mengatakan hal yang sebenarnya. Aku yakin kalian saling menyayangi dan mendukung, seperti hari-hari sebelumnya. Kalau kemudian Roy mendapat jodoh gadis terhormat, lalu Ardian mendapatkan jodoh gadis miskin, bukankah kita harus tetap saling mendukung dan menghormati setiap pilihan? Anakmu bukan anak kecil lagi. Mereka diajarkan untuk saling mengasihi sesama dan tidak boleh membedakan antara kasta dari masing-masing orang di sekitar kita. Status sosial itu kan hanya sandangan. Manusianya tetap saja manusia. Kamu kan masih ingat, kasusnya Sony, anak konglomerat yang bukan main kayanya, bukan main terkenalnya, tapi apa yang dilakukannya? Sesuatu yang terhormat? Mengapa sebuah status sosial selalu menjadi perhitungan setiap manusia? Bukan menilai jauh di dalam hati nuraninya? Akankah harta membuat kita bahagia? Bagaimana dengan keluarga Mario. Bahagia kah dia?”

Luminto bicara panjang lebar, membuat Ratna terdiam. Sungguh Ratna tidak membenci Pratiwi, tapi Ratna masih manusia, yang terkadang diganggu oleh rasa iri. Iri karena madunya mendapat menantu gadis terhormat, sedangkan dirinya, hanya akan berbesan dengan seorang tukang pijat, tuna netra pula. Tapi kemudian terbuka hati Ratna. Bahwa hidup rukun dan saling menyayangi telah ditanamkan dalam keluarga Luminto. Dia buang jauh rasa iri itu.

Ketika dia keluar, di dapatinya Ardian baru pulang, sendirian, tidak bareng ayahnya maupun Roy. Wajahnya yang muram, membuat Ratna teriris. Ia mengira, rasa cintanya terhadap Pratiwi akan ditentang orang tuanya. Serta merta Ratna mendekati Ardian, dan memeluknya erat.

“Ardian, jangan sedih. Ibu dan Bapak setuju kok, kalau kamu mencintai Pratiwi,” katanya lembut.

Ardian mendorong tubuh ibunya pelan, wajahnya masih tetap muram.

“Pratiwi menolak Ardian, Bu,” katanya sendu, membuat Ratna terpana.

***

Pratiwi kembali ke rumah sakit, sore harinya. Pertemuannya dengan Ardian yang memang sudah dirancangnya, tak urung membuat hatinya sedih. Tak bisa dipungkiri, ada rasa bahagia ketika mengetahui bahwa seorang pria seperti Ardian jatuh cinta pada dirinya. Tapi Pratiwi memendam bahagia itu jauh di dasar hatinya. Ia harus menerima keadaan dirinya dengan penuh rasa syukur. Ia bukan gadis yang pantas untuk Ardian. Alangkah malunya keluarga Ardian kalau harus berbesan dengan keluarganya. Dia tak ingin hal itu terjadi. Ia menghibur dirinya, bahwa dia cukup bahagia bersama ibu dan adiknya, dengan segala kekurangan yang dimilikinya. Menjadi istri Ardian, hanyalah mimpi, dan dia akan membawa mimpi itu di setiap tidurnya.

“Mbak Tiwi!!”

Pratiwi terkejut, ketika seseorang menepuk bahunya. Ternyata Ratih, diantar Roy.

“Ya ampun Ratih, kamu membuat aku terkejut saja.”

Ratih terkekeh.

“Bagaimana keadaan mbak Susana?”

“Sudah lebih baik. Tapi kan lukanya cukup parah, jadi harus berada di rumah sakit untuk waktu yang sedikit lama,” terang Pratiwi.

“Semoga keadaannya cepat membaik.”

“Mas Roy, apa kabar?” sapa Pratiwi, tapi matanya sambil melirik ke arah lain, barangkali ada Ardian diantara mereka. Tapi ternyata tak ada. Ratih hanya datang berdua.

“Kabar baik, Tiwi. Kami hanya berdua kok,” kata Roy yang seakan mengerti Pratiwi mencari seseorang yang lain.

“Mas Bondan sudah kelihatan lebih segar. Pagi tadi kami membezoeknya,” kata Pratiwi.

“Kami itu … maksudnya … kamu … sama siapa?”

“Itu … sama mas Ardian, kebetulan dia juga mau ke rumah sakit,” walau gugup, tapi Pratiwi dengan cekatan bisa menjawabnya.

“Oh ya, Ardian sudah cerita kok.”

“Ratih mau ke mas Bondan dulu kan? Aku ke mbak Susana dulu ya, kasihan nggak ada yang nungguin,” kata Pratiwi mengalihkan pembicaraan.

“Oh, iya Mbak, baiklah, nanti aku ke sana juga,” kata Ratih yang kemudian berpisah di persimpangan, karena ruang yang akan dibezoek berbeda.

Roy menemani Ratih melangkah menuju kamar Bondan, tapi sesampai di ruangannya, ternyata Bondan tidak ada. Menurut perawat jaga, Bondan sedang membezoek temannya.

“Pasti ke ruang mbak Susana, ayo kita ke sana.

***

Yu Kasnah sedang duduk di teras sendirian, karena Pratiwi belum kembali dari rumah sakit, dan Nano sedang belajar di kamarnya.

Ketika itu tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki.

“Tiwi?” tanyanya.

“Bukan ….”

Yu Kasnah terkejut.

***

Besok lagi ya.

37 comments:

  1. 🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹

    Alhamdulillah *eSBeKa_44 sdh tayang.*

    Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
    Tetap ADUHAI......

    🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷

    ReplyDelete
  2. 🌹🌷🌹🌷🦋🌷🌹🌷🌹
    Alhamdulillah SB 44 telah
    tayang.Matur nuwun Bu Tien.
    Semoga tetap sehat dan
    smangat. Salam Aduhai...
    🌹🌷🌹🌷🦋🌷🌹🌷🌹

    ReplyDelete
  3. Alhamdulliah sdh tayang....suwun bunda Tien

    ReplyDelete
  4. Yu Kasnah sedang duduk di teras sendirian, karena Pratiwi belum kembali dari rumah sakit, dan Nano sedang belajar di kamarnya.

    Ketika itu tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki.

    “Tiwi?” tanyanya.

    “Bukan ….”

    Yu Kasnah terkejut.

    Nah lo....... siapa yang datang itu ??
    Banyak kaki mungkinkah rombongan keluarga Luminto ???

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah tayang.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 44 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Terima kasih bu tien.. tiwi sdh hadir... salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  8. Hoooreee.....siiip gasik matur suwun, salam sehat kagem bunda Tien

    ReplyDelete
  9. Horee...kisah Tiwi tayang lebih awal...makasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏😘😘

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  12. Tks bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang..
    Apkh Pratiwi mau menerima Ardian yg sdh menyukainya??
    Siapa ya.. yg dtg ke rumah yu Kasnah??
    Tambah penasaran bgmn kelanjutannya bsk lg...
    Salam sehat selalu utk bunda..
    Salam Aduhai dari Sukabumi 🙏🙏🌹

    ReplyDelete
  13. Terima kasih mbak T'ien, salam sehat selalu.
    Saya sedang merenung ttg kata "tahu diri", sikap yg sangat terhormat dari seorang pratiwi.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, sehat selalu bund.... 🌹🧕

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Salam Sehat Selalu dari kota Malang..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah SB - 44 sdh hadir
    siapa yg datang menemui yu Kasnah ya?
    semakin penasaran ceritanya
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete

  18. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~44 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  19. Trm ksh bu Tien. Ardian, Tiwi dll sdh muncul. Smg sll sehat hu Tien

    ReplyDelete
  20. Terima ksih bunda SB nya..slmt mlm dan slmt istirahat..slm sehat sll dan aduhai dri sukabumi🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  21. Ternyata orang tua Ardian setuju, jadi tinggal menunggu kesediaan Pratiwi.
    Ada yang mendatangi yu Kasnah, siapa ya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  22. Tahulah, yang datang terdengar langkah kaki seorang perempuan?
    Ratna melabrak, kenapa anaknya yang ngganteng ditolak Pratiwi?
    Hé hé hé hé
    aduh salah lagi, Ardian itu punya perasaan lebih, lebih teliti, lebih peka pada sesuatu yang tidak terlihat, kaya dukun ya, lho kok gitu bukan, dia tahu kalau jauh di dalam sana ada sesuatu yang sangat dibutuhkan nya.
    Dan itu ada pada Pratiwi, iya tapi apa Ratna nanti nggak kecewa mempunyai menantu Pratiwi dari orang sederhana; anak seorang janda tuna netra yang selalu merepotkan.
    Coba dipertimbangkan lagi ini buat kehidupan masa depan mereka lho.
    Hayuh gimana ini saya itu cuma jadi pelengkap penderita dan ini masalah
    Pratiwi seolah jadi terdakwa yang harus mengaku bahwa dia sudah mencuri hati Ardian, dan tiap peristiwa dialah yang selalu ada untuk nya, membuatnya adem kalau dekat dekat Ardian.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke empat puluh empat sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah .sehat2 selalu u bu Tien Aamiin

    ReplyDelete
  24. Makasih mba Tien.
    Salam hangat, selalu aduhai

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .🤗🥰

    Kejutan lg nih ,,,,aduhaiii
    Kira2 siapa ya yg menyapa yu Kasnah

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  43 (Tien Kumalasari)   Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia bel...