SETANGKAI BUNGAKU
44
(Tien Kumalasari)
Ardian kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan tak
menentu. Memang sih, ayahnya tidak mengatakan bahwa dia melarang dirinya
mencintai Pratiwi, tapi jawabannya membuatnya ragu. Seperti apa yang
ditunggunya dari Pratiwi, serba menggantung, entah apa jawab yang akan
diterimanya.
Ia membuka berkas-berkas pekerjaan yang harus
digarapnya, tapi perasaannya sama sekali jauh dari konsentrasi.
Bayangan ayahnya yang akan menudingkan jari telunjuknya
dengan kata-kata ‘tidak boleh’, sangat mengganggunya, bergantian dengan wajah
Pratiwi yang keruh, lalu berlari ketika didekatinya.
“Apa benar aku ini penakut seperti dikatakan Roy?
Benci aku kalau ingat apa yang dikatakan Roy. Dia sangat merendahkan aku.
Menganggap aku selalu ragu dalam bertindak, dan sekarang dia pasti akan
mengatakan bahwa dirinya takut menghadapi kenyataan. Tidak. Aku bukan penakut,”
lalu diambilnya ponsel, ditekannya nomor kontak Pratiwi.
“Sikap atas jawaban saat dia mengangkat telpon aku,
akan menunjukkan bagaimana jawabannya atas pernyataanku,” kata batin Ardian.
“Ya, mas Ardian,” jawaban dari seberang membuat Ardian
terlonjak kaget. Dia belum siap menerima, dan Pratiwi sudah langsung
menjawabnya.
“Oh, eh … maaf.”
“Kenapa minta maaf?”
Ardian juga bingung. Mengapa dirinya meminta maaf?
Salahkah menelpon?
“Mm … apakah … kamu marah?”
“Mengapa bertanya begitu? Baiklah, saya ingin bicara.
Bisakah menjemput saya?”
“Tentu saja. Sekarang,” kata Ardian yang langsung
berdiri sambil menutup ponselnya. Bergegas dia keluar ruangan, menuju ke arah
luar kantor.
“Ardiaaan!” itu teriakan Roy, yang tampaknya sedang
menuju ke arah ruangannya. Tapi Ardian hanya melambaikan tangannya, dan terus
berlalu.
“Kemana kamu?” teriaknya lagi.
Tapi Ardian tetap saja melangkah, menuju area parkir,
dan keluar dengan mobilnya.
“Tapi apa yang sebenarnya ingin dikatakan Pratiwi?
Menerimanya? Menolaknya?” gumam Ardian dalam perjalanan ke arah rumah sakit.
Masih belum merasa tenang, ketika Ardian memacu
mobilnya, lalu tiba-tiba berhenti ketika melihat Pratiwi berdiri di lobi.
Pratiwi tak menunggu mobil Ardian masuk ke lobi, ia
justru setengah berlari mendekat.
Ardian membukakan pintu dari belakang kemudi, lalu
Pratiwi masuk ke dalamnya.
“Langsung pulang?” tanya Ardian.
“Ya. Terima kasih sudah mau menjemput,” kata Pratiwi
pelan.
“Bagaimana keadaan Susana?”
“Sudah lebih baik. Tadi bisa tidur, jadi aku tinggal
dulu untuk pulang.”
Lalu keduanya membisu. Pratiwi belum mengatakan apa
yang ingin diungkapkannya, dan Ardian menunggu dengan hati berdebar. Tapi dia
menguatkan hatinya. Dia bukan laki-laki yang ragu dalam melangkah. Apa yang
akan terjadi, terjadilah. Siapa takut? Kata batinnya. Itu sebabnya kemudian dia
berani menanyakannya. Keburu sampai rumah. Ya kan.
“Tadi mau ngomong apa?” tanyanya hati-hati.
“Oh iya, mm … saya … sebenarnya agak kaget, ketika …
ketika Mas Ardian mengatakan suka sama saya.”
Ardian terkejut. Pratiwi lebih berani dalam berucap.
Tanpa ragu, tanpa sungkan, hanya sedikit terbata, pada awalnya.
“Mengapa kaget?”
“Saya yakin itu bukan ucapan serius, karena semua itu
tak mungkin, kan? Jangan lagi mengucapkan kata-kata yang membuat saya kaget.
Lebih baik bicara tentang hal yang serius. Penting dibicarakan. Kalaupun
bercanda, jangan di saat seperti itu.”
“Apa? Bukan ucapan serius?”
“Bercanda, maksud saya.”
“Aku bukan anak kecil yang bercanda dalam sebuah
ucapan yang bagi aku sangat lah penting.”
“Penting?”
“Aku serius, sangat serius.”
“Apa?”
“Aku suka sama kamu. Sangat serius. Ini ungkapan rasa
hati aku yang sudah sejak lama aku pendam.”
Pratiwi terdiam, ia menoleh ke arah Ardian, dan
tiba-tiba air mata Pratiwi bergulir keluar, mengalir di sepanjang pipinya.
Tak sengaja Ardian pun menoleh ke samping, dan melihat
tangis itu. Ia segera menarik tissue yang tersedia di mobilnya, diberikannya
pada Pratiwi.
“Aku minta maaf, kalau telah menyakiti kamu. Kamu
boleh menolaknya, kalau memang tidak suka sama aku.”
Pratiwi mengusap air matanya.
“Mengapa Mas suka sama saya? Apa Mas lupa, saya ini
siapa, dari keluarga bagaimana?”
“Aku tidak lupa.”
“Kalau begitu jangan pernah suka, apalagi mencintai
saya. Saya dan Mas itu, bagaikan bumi dan langit. Sangat jauh.”
“Apa cinta harus diatur, kepada siapa dia menjatuhkan
dirinya?”
“Manusia punya hati dan rasa, punya akal dan budi,
punya banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum melangkah. Cinta tidak akan
membuat orang bertindak dengan membabi buta. Ada banyak hal yang harus
diperhitungkan.”
“Aku sudah memikirkannya, dan siap menjalani hidup
bersama kamu.”
“Tolong hentikan.”
“Kamu menolak aku?”
“Saya tidak berani.”
“Pratiwi ….”
“Sungguh, saya tidak berani.”
Ardian merasa, seember air dingin mengguyur seluruh
tubuhnya, membuat seluruh perasaannya menjadi beku.
***
“Mana Ardian, kenapa ikut mobil bapak?” tanya pak
Luminto ketika Roy mengatakan bahwa ingin nebeng mobil ayahnya.
“Ardian nggak ada.”
“Sudah pulang?”
“Dia pergi tak lama setelah dia keluar dari ruangan
Bapak.”
“Kemana?”
“Ardian sedang menjadi orang aneh. Saya berteriak
memanggil, dia hanya melambaikan tangannya dan menghilang dengan mobilnya.”
“Tidak mengatakan mau ke mana?”
“Semoga saja dia tidak ingin bunuh diri,” canda Roy.
“Hush. Kamu bicara seenaknya.”
“Sikapnya sedang aneh dan tidak bisa saya mengerti. Sepertinya
dia sedang kalut. Atau bingung, atau entah apa namanya. Begitu ya rasanya kalau
cinta tidak kesampaian,” gumam Roy sambil mengambil kunci mobil ayahnya, lalu
mereka berjalan keluar dari ruangan.
“Apa katamu? Cinta tidak kesampaian? Pratiwi menolak
cinta Ardian?”
“Bapak sudah tahu, dan yakin bahwa gadis yang sedang
digilai Ardian itu Pratiwi?”
“Dia sudah mengatakannya.”
“O, jadi Bapak melarangnya, sehingga dia jadi galau?”
“Bukan, kata siapa? Aku belum mengatakan apa-apa.
Hanya bertanya, dia menjawab. Ya sudah, begitu saja. Tapi dia juga bilang bahwa
Pratiwi belum tentu menerimanya.”
“Kakak saya kan ganteng, gagah, baik hati, mana
mungkin Pratiwi menolaknya?”
“Taruhan?” canda sang bapak.
“Bapak yakin, Pratiwi akan menolak?”
“Kita lihat saja nanti.”
“Bodoh, gadis itu.”
“Tidak. Pratiwi gadis yang baik.”
“Tapi menolak Ardian, bukan pilihan yang tepat. Mau
cari yang mana lagi dia, kalau setingkat Ardian saja ditolak?”
“Dia tahu diri.”
Roy terdiam, dia segera berjalan mendahului untuk
mengambil mobil ayahnya. Tapi dalam hati dia masih bertanya-tanya. Apa arti
tahu diri yang dikatakan ayahnya.
“O, aku tahu, karena Pratiwi merasa rendah diri,
dengan keadaan keluarganya?” gumamnya sambil menjalankan mobilnya ke arah lobi,
dimana ayahnya sedang menunggu.
Mereka sampai di rumah, dan melihat Sasmi sedang duduk
sendirian di teras. Wajahnya muram, seperti tak bersemangat. Luminto menegurnya
ketika naik ke atas teras.
“Kok sendirian? Mana Ratna?”
“Di kamar,” kata Sasmi singkat, wajahnya tetap manyun.
“Sakit?”
“Dari tadi siang masuk ke kamarnya dan mengunci diri,
aku memanggilnya berkali-kali, tapi tidak digubris.”
“Apa yang terjadi?”
“Bapak tanya sendiri sana. Barangkali kalau sama Bapak
dia mau membuka pintunya. Dia juga belum makan siang.”
“Jadi kamu makan sendirian, tanpa teman?”
“Aku juga belum makan. Nggak enak makan sendirian.”
“Ada apa sebenarnya?” tanya Luminto yang langsung
menuju ke arah kamar Ratna, lalu mengetuknya pelan.
“Ratna … Ratna, aku sudah pulang, tolong buka
pintunya.”
Ratna membuka pintunya. Wajahnya tampak kusut.
Rambutnya awut-awutan.
“Ada apa? Kamu bertengkar sama Sasmi? Tumben. Tak
biasanya begitu,” kata Luminto yang langsung masuk ke dalam kamar. Duduk disofa
lalu mencopot sepatunya.
Ratna membantunya, lalu duduk di depannya.
“Rapikan rambut kamu,” perintah Luminto.
Ratna menyisir rambutnya, lalu kembali duduk di depan
suaminya.
“Kamu marah sama Sasmi?”
“Dia itu, mentang-mentang anaknya sudah punya pilihan
gadis yang baik, anak orang terpandang, lalu menyarankan Ardian bisa menjadi
suami Pratiwi.”
“Pratiwi?”
“Pratiwi anak yu Kasnah itu. Bagaimana menurut Bapak?”
“Apa benar, Sasmi menyarankan begitu?”
“Bukan menyarankan secara jelas, tapi dia memuji-muji
Pratiwi. Itu kan sama saja dengan menyetujui Ardian menjadi suami Pratiwi?”
“Burukkah Pratiwi menurut kamu?”
“Jadi Bapak setuju, berbesan dengan yu Kasnah?”
“Lho, kok sudah sampai di situ? Memangnya sudah mau
melamar? Dan yang menjalani sudah setuju?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku tidak suka cara Sasmi
memuji-muji Pratiwi, seakan merasa pantas kalau Ardian menjadi menantu yu
Kasnah.”
“Kalau Pratiwi dipuji-puji, bukankah memang benar
bahwa dia gadis yang baik? Bahwa kemudian dia terlahir menjadi anak yu Kasnah,
apa Pratiwi memintanya? Garis hidup manusia itu sudah ditorehkan dari Atas
Sana. Allah yang mengaturnya. Kamu terlahir menjadi anak siapa, bagaimana wujud
hidup kamu nantinya, apa kita yang menentukan? Jangan salahkan Sasmi, karena
dia mengatakan hal yang sebenarnya. Aku yakin kalian saling menyayangi dan
mendukung, seperti hari-hari sebelumnya. Kalau kemudian Roy mendapat jodoh
gadis terhormat, lalu Ardian mendapatkan jodoh gadis miskin, bukankah kita
harus tetap saling mendukung dan menghormati setiap pilihan? Anakmu bukan anak
kecil lagi. Mereka diajarkan untuk saling mengasihi sesama dan tidak boleh
membedakan antara kasta dari masing-masing orang di sekitar kita. Status sosial
itu kan hanya sandangan. Manusianya tetap saja manusia. Kamu kan masih ingat,
kasusnya Sony, anak konglomerat yang bukan main kayanya, bukan main terkenalnya,
tapi apa yang dilakukannya? Sesuatu yang terhormat? Mengapa sebuah status
sosial selalu menjadi perhitungan setiap manusia? Bukan menilai jauh di dalam
hati nuraninya? Akankah harta membuat kita bahagia? Bagaimana dengan keluarga
Mario. Bahagia kah dia?”
Luminto bicara panjang lebar, membuat Ratna terdiam.
Sungguh Ratna tidak membenci Pratiwi, tapi Ratna masih manusia, yang terkadang
diganggu oleh rasa iri. Iri karena madunya mendapat menantu gadis terhormat,
sedangkan dirinya, hanya akan berbesan dengan seorang tukang pijat, tuna netra
pula. Tapi kemudian terbuka hati Ratna. Bahwa hidup rukun dan saling menyayangi
telah ditanamkan dalam keluarga Luminto. Dia buang jauh rasa iri itu.
Ketika dia keluar, di dapatinya Ardian baru pulang,
sendirian, tidak bareng ayahnya maupun Roy. Wajahnya yang muram, membuat Ratna
teriris. Ia mengira, rasa cintanya terhadap Pratiwi akan ditentang orang
tuanya. Serta merta Ratna mendekati Ardian, dan memeluknya erat.
“Ardian, jangan sedih. Ibu dan Bapak setuju kok, kalau
kamu mencintai Pratiwi,” katanya lembut.
Ardian mendorong tubuh ibunya pelan, wajahnya masih
tetap muram.
“Pratiwi menolak Ardian, Bu,” katanya sendu, membuat
Ratna terpana.
***
Pratiwi kembali ke rumah sakit, sore harinya.
Pertemuannya dengan Ardian yang memang sudah dirancangnya, tak urung membuat
hatinya sedih. Tak bisa dipungkiri, ada rasa bahagia ketika mengetahui bahwa
seorang pria seperti Ardian jatuh cinta pada dirinya. Tapi Pratiwi memendam
bahagia itu jauh di dasar hatinya. Ia harus menerima keadaan dirinya dengan
penuh rasa syukur. Ia bukan gadis yang pantas untuk Ardian. Alangkah malunya
keluarga Ardian kalau harus berbesan dengan keluarganya. Dia tak ingin hal itu
terjadi. Ia menghibur dirinya, bahwa dia cukup bahagia bersama ibu dan adiknya,
dengan segala kekurangan yang dimilikinya. Menjadi istri Ardian, hanyalah
mimpi, dan dia akan membawa mimpi itu di setiap tidurnya.
“Mbak Tiwi!!”
Pratiwi terkejut, ketika seseorang menepuk bahunya.
Ternyata Ratih, diantar Roy.
“Ya ampun Ratih, kamu membuat aku terkejut saja.”
Ratih terkekeh.
“Bagaimana keadaan mbak Susana?”
“Sudah lebih baik. Tapi kan lukanya cukup parah, jadi
harus berada di rumah sakit untuk waktu yang sedikit lama,” terang Pratiwi.
“Semoga keadaannya cepat membaik.”
“Mas Roy, apa kabar?” sapa Pratiwi, tapi matanya
sambil melirik ke arah lain, barangkali ada Ardian diantara mereka. Tapi
ternyata tak ada. Ratih hanya datang berdua.
“Kabar baik, Tiwi. Kami hanya berdua kok,” kata Roy
yang seakan mengerti Pratiwi mencari seseorang yang lain.
“Mas Bondan sudah kelihatan lebih segar. Pagi tadi
kami membezoeknya,” kata Pratiwi.
“Kami itu … maksudnya … kamu … sama siapa?”
“Itu … sama mas Ardian, kebetulan dia juga mau ke
rumah sakit,” walau gugup, tapi Pratiwi dengan cekatan bisa menjawabnya.
“Oh ya, Ardian sudah cerita kok.”
“Ratih mau ke mas Bondan dulu kan? Aku ke mbak Susana
dulu ya, kasihan nggak ada yang nungguin,” kata Pratiwi mengalihkan
pembicaraan.
“Oh, iya Mbak, baiklah, nanti aku ke sana juga,” kata
Ratih yang kemudian berpisah di persimpangan, karena ruang yang akan dibezoek
berbeda.
Roy menemani Ratih melangkah menuju kamar Bondan, tapi
sesampai di ruangannya, ternyata Bondan tidak ada. Menurut perawat jaga, Bondan
sedang membezoek temannya.
“Pasti ke ruang mbak Susana, ayo kita ke sana.
***
Yu Kasnah sedang duduk di teras sendirian, karena Pratiwi belum kembali dari rumah sakit, dan Nano sedang belajar di kamarnya.
Ketika itu tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki.
“Tiwi?” tanyanya.
“Bukan ….”
Yu Kasnah terkejut.
***
Besok lagi ya.
🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah *eSBeKa_44 sdh tayang.*
Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
Tetap ADUHAI......
🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷
🌹🌷🌹🌷🦋🌷🌹🌷🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 44 telah
tayang.Matur nuwun Bu Tien.
Semoga tetap sehat dan
smangat. Salam Aduhai...
🌹🌷🌹🌷🦋🌷🌹🌷🌹
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
Alhamdulliah sdh tayang....suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteYu Kasnah sedang duduk di teras sendirian, karena Pratiwi belum kembali dari rumah sakit, dan Nano sedang belajar di kamarnya.
ReplyDeleteKetika itu tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki.
“Tiwi?” tanyanya.
“Bukan ….”
Yu Kasnah terkejut.
Nah lo....... siapa yang datang itu ??
Banyak kaki mungkinkah rombongan keluarga Luminto ???
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu
Mtrnwn
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Suwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 44 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih bu tien.. tiwi sdh hadir... salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteHoooreee.....siiip gasik matur suwun, salam sehat kagem bunda Tien
ReplyDeleteHoree...kisah Tiwi tayang lebih awal...makasih, ibu Tien...sehat selalu.🙏😘😘
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteTks bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang..
ReplyDeleteApkh Pratiwi mau menerima Ardian yg sdh menyukainya??
Siapa ya.. yg dtg ke rumah yu Kasnah??
Tambah penasaran bgmn kelanjutannya bsk lg...
Salam sehat selalu utk bunda..
Salam Aduhai dari Sukabumi 🙏🙏🌹
Terima kasih mbak T'ien, salam sehat selalu.
ReplyDeleteSaya sedang merenung ttg kata "tahu diri", sikap yg sangat terhormat dari seorang pratiwi.
Alhamdulillah, sehat selalu bund.... 🌹🧕
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteSalam Sehat Selalu dari kota Malang..
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
Alhamdulillah SB - 44 sdh hadir
ReplyDeletesiapa yg datang menemui yu Kasnah ya?
semakin penasaran ceritanya
Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~44 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Trm ksh bu Tien. Ardian, Tiwi dll sdh muncul. Smg sll sehat hu Tien
ReplyDeleteTerima ksih bunda SB nya..slmt mlm dan slmt istirahat..slm sehat sll dan aduhai dri sukabumi🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteTernyata orang tua Ardian setuju, jadi tinggal menunggu kesediaan Pratiwi.
ReplyDeleteAda yang mendatangi yu Kasnah, siapa ya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI semoga selalu sehat, aamiin.
Terimakasih Mbak Tien....
ReplyDeleteTahulah, yang datang terdengar langkah kaki seorang perempuan?
ReplyDeleteRatna melabrak, kenapa anaknya yang ngganteng ditolak Pratiwi?
Hé hé hé hé
aduh salah lagi, Ardian itu punya perasaan lebih, lebih teliti, lebih peka pada sesuatu yang tidak terlihat, kaya dukun ya, lho kok gitu bukan, dia tahu kalau jauh di dalam sana ada sesuatu yang sangat dibutuhkan nya.
Dan itu ada pada Pratiwi, iya tapi apa Ratna nanti nggak kecewa mempunyai menantu Pratiwi dari orang sederhana; anak seorang janda tuna netra yang selalu merepotkan.
Coba dipertimbangkan lagi ini buat kehidupan masa depan mereka lho.
Hayuh gimana ini saya itu cuma jadi pelengkap penderita dan ini masalah
Pratiwi seolah jadi terdakwa yang harus mengaku bahwa dia sudah mencuri hati Ardian, dan tiap peristiwa dialah yang selalu ada untuk nya, membuatnya adem kalau dekat dekat Ardian.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke empat puluh empat sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah .sehat2 selalu u bu Tien Aamiin
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat, selalu aduhai
Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .🤗🥰
ReplyDeleteKejutan lg nih ,,,,aduhaiii
Kira2 siapa ya yg menyapa yu Kasnah
Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat dan bahagia selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹