Monday, March 13, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 42

 

SETANGKAI BUNGAKU  42

(Tien Kumalasari)

 

Ardian berdebar. Ia terkejut sendiri, ketika mengatakan hal yang pastinya juga mengejutkan Pratiwi. Bagaimana kalau dia marah? Bagaimana kalau dia kemudian membenci aku? Pikir Ardian yang kemudian tak berani menatap ke samping. Ia konsentrasi menyetir mobil, tapi ternyata juga tidak bisa konsentrasi. Pikirannya ke arah ucapannya barusan.

“Mas Ardian ….”

Ucapan Pratiwi yang begitu lirih, membuatnya berdebar. Tapi ada rasa lega. Panggilan itu terdengar begitu lembut, tak ada nada marah. Ardian menoleh ke samping. Pratiwi sedang tersenyum ke arahnya.

“Bagaimana ada senyuman semanis itu?” kata hati Ardian, sehingga ia tak mampu melepaskan pandangan ke arahnya.

“Eehh, awas mas … ada orang melintas,” teriak Pratiwi.

Ardian serta merta mengerem mendadak, membuat tubuh Pratiwi terlontar ke depan, untunglah ia memasang sabuk pengaman.

“Ya ampun Mas, hampir saja,” keluh Pratiwi yang wajahnya tampak agak pucat.

“Maaf … maaf …” ucapnya berkali-kali.

“Mas Ardian, mengapa menatap aku lama sekali? Hampir saja menabrak orang kan.”

Tiba-tiba Ardian meminggirkan mobilnya, dan berhenti.

Pratiwi menatapnya heran. Tapi kemudian dia tahu, Ardian butuh menenangkan diri.

Tiba-tiba Ardian melihat penjual bunga di tepi jalan. Lalu ia turun.

“Ada bunga-bunga cantik,” katanya sambil menutupkan pintu. Lalu Pratiwi mengikutinya, turun.

Ardian menuju ke arah penjual bunga, lalu memesan seikat mawar berwarna warni.

“Bunga bagus, aku mau beli juga,” pekik Pratiwi kegirangan. Wanita selalu suka bunga.

“Bunga ini untuk kamu,” kata Ardian sambil menyerahkan seikat mawar yang sudah dirangkai sangat indah.

“Untuk saya?” mata Pratiwi berbinar.

“Kamu suka?” tanya Ardian yang sudah merasa tenang setelah nyaris menabrak orang.

Pratiwi mencium bunga itu dan menciumnya, sambil menutup matanya. Ardian gemas melihat pemandangan itu. Bisakah Pratiwi mengartikan pemberian bunga itu?

“Saya juga mau beli, dua ikat bunga. Pilihkan yang bagus ya,” pesannya kepada sang penjual.

“Buat siapa? Mengapa dua ikat?” tanya Ardian yang mengira Pratiwi akan membalas pemberiannya dengan bunga juga.

“Yang satu, untuk mbak Susana, satunya untuk mas Bondan,” katanya sumringah.

Sang penjual menyiapkan pesanan Pratiwi, sementara Ardian kehilangan senyumnya. Ternyata Bondan yang dipikirkannya. Tuh kan,  biarpun Bondan suka pada Susana, nyatanya Pratiwi sangat memperhatikannya. Dengan bunga? Alangkah manis. Tapi Ardian enggan memperlihatkan rasa cemburu yang mengamuk di dadanya. Aduh, mengapa aku ini, hanya seikat bunga untuk Bondan, mengapa darahku serasa mendidih? Kata batin Ardian.

 Tapi bunga mempunyai banyak makna. Seperti ketika dia memberikannya untuk Pratiwi, barusan. Ia yakin bahwa ia memberikannya dengan sejuta rasa. Tapi yang diberi malah bermaksud memberi bunga untuk orang lain.

Walau begitu Ardian membayar semua pembelian itu.

“Lho Mas, biar saya saja,” sergah Pratiwi.

“Nggak apa-apa, sekalian bayar punya aku tadi,” kata Ardian, yang tentu saja Pratiwi tak bisa menolaknya.

Mereka melanjutkan perjalanan ke arah rumah sakit. Pratiwi meletakkan dua ikat bunga di jok belakang, tapi dia mendekap bunga pemberian Ardian. Itu membuat Ardian merasa terbang melayang.

“Apakah artinya adalah … Pratiwi menerima cinta aku? O, tidak, itu adalah bunga. Belum tentu Pratiwi mengartikannya cinta,” Ardian terus berbicara dengan hatinya.

“Oh, ya … saya tadi masih ingat perkataan Mas Ardian tentang … bagaimana kalau ada yang menyukai saya?”

Ardian hampir terlonjak karena kaget, Itu tadi kan ucapannya yang dimaksudkan sebagai pembuka untuk menyatakan perasaannya. Padahal dia takut. Kok diulang lagi? Tuh, takut kan, benar kata Roy bahwa dirinya itu penakut. Awas ya, jangan bilang aku pengecut, bukan, aku berani kok. Kata hati Ardian lagi. Tapi nyatanya dia ragu.

“Mas …”

Ardian menoleh ke arah Pratiwi, tapi kali ini hanya sebentar. Takut kalau tiba-tiba ada lagi orang nyelonong menyeberang, dan membuatnya harus menenangkan diri lagi.

“Apa?”

“Saya ini bukan siapa-siapa Mas, tak mungkin ada yang suka sama saya. Ribet.”

“Apa? Ribet bagaimana?”

“Ribet lah, saya itu kan orang tidak punya, banyak kebutuhan, harus memikirkan orang tua yang tuna netra, harus memikirkan pula adik saya yang masih sekolah. Jadi semua itu tidak mungkin. Saya mensyukuri hidup saya. Saya bahagia dengan ibu saya dan adik saya. Biarlah saya seperti ini, jangan menyusahkan orang lain."

Ardian ingin mengulang kata-kata tentang ‘bagaimana kalau ada yang suka sama dia’, tapi diurungkannya, karena mobilnya sudah memasuki halaman rumah sakit.

***

Yang pertama dikunjungi Pratiwi adalah Susana yang sudah ada di ruang rawat.

Pratiwi senang, Susana mendapatkan kamar yang bagus dan nyaman. Entah siapa yang memilihkannya. Tapi Susana kan punya banyak uang, jadi mungkin Susana sendiri yang memilihnya. Entahlah. Yang penting Susana tampak nyaman. Ia membuka matanya ketika mendengar suara orang mendekat.

“Tiwi …” bisiknya lirih.

“Mbak Susana, bagaimana keadaan Mbak?”

“Baik, kamu jangan khawatir. Ini apa?” tanyanya kemudian, ketika Pratiwi memberikan seikat bunga cantik.

“Bunya segar dan cantik untuk pasien yang cantik,” bisik Pratiwi di telinga Susana, membuat Susana tersenyum, sambil mendekap bunga itu dengan sebelah tangannya.

“Terima kasih Tiwi.”

“Bunga itu mas Ardian beli khusus untuk Mbak Susan,” kata Pratiwi, karena dia sadar bahwa Ardian lah yang membayar pembelian bunga itu.

“Kok aku. Bukan, itu dari Pratiwi,” sanggah Ardian.

“Dari siapapun, aku harus berterima kasih,” kata Susana tersenyum.

“Kamu sudah tampak lebih segar,” kata Ardian.

“Ya, setelah aku hampir mati semalam,” canda Susana.

“Mbak Susana jangan bicara tentang ‘mati’, ngeri aku mendengarnya,” protes Pratiwi.

“Siapa mendonorkan darah penyambung hidup aku?”

“Pertama, adalah pak Juwono, ayah Ratih.”

Susana membuka matanya lebar. Bukankah pak Juwono tidak suka pada dirinya?

“Lalu, karena masih kurang, ibunya mas Ardian dan mas Roy, karena kebetulan darah mereka sama,” lanjut Pratiwi.

“Ratih menunggui Mbak sampai hampir pagi.”

Susana kembali heran. Tapi saat ini ia harus mengucapkan terima kasih melalui Ardian atas donor darah yang diberikan ibunya.

“Mas Ardian, sampaikan kepada ibu ya, saya mengucapkan terima kasih.”

“Iya, nanti aku sampaikan. Sekarang kamu harus tenang, dan banyak istirahat, supaya segera pulih,” kata Ardian.

Susana mengangguk.

“Tiwi, tolong tanyakan ke bagian administrasi, dan ambil kartu ATM aku, tampaknya aku harus membayar semuanya.”

“Baiklah, nanti aku tanyakan. Sekarang aku mau ke mas Bondan dulu ya, aku belum menengoknya lagi,” kata Pratiwi.

“Ya, tadi dia juga sudah kemari.”

“Mas Bondan?”

“Iya, dengan kursi roda, diantar perawat.”

“Ya ampun, perhatian mas Bondan pada Mbak sangat besar.”

“Pergilah ke sana dulu, dan jangan lupa mampir ke bagian administrasi ya. Kalau nanti uangku kurang, aku mau pindah kamar yang lebih sederhana saja. Ini terlampau mewah untuk seorang pengangguran,” kata Susana pilu.

“Iya, baiklah.”

***

Ardian hanya terpaku, sambil kedua tangannya bersedekap, ketika melihat Pratiwi menyerahkan seikat bunga kepada Bondan, sambil tersenyum manis.

“Cepat sembuh ya Mas,” kata Pratiwi.

“Ya, tentu, Doakan aku ya. Mas Ardian, apa kabar?”

“Baik. Aku berharap kamu juga akan segera sehat.”

“Aamiin. Terima kasih. Sudah melihat keadaan Susana?”

“Kami baru dari sana sebelum kemari,” jawab Pratiwi.

“Bagaimana keadaannya? Ketika pagi tadi aku melihatnya, dia masih belum begitu sadar.”

“Pengaruh obat mempengaruhi juga, kan?” sambung Ardian.

“Iya, nanti aku juga ingin melihatnya lagi.”

“Kalian tampak rukun. Aku berharap segera jadian,” kata Bondan tiba-tiba, membuat Ardian terkejut, dan wajah Pratiwi menjadi bersemu merah.

“Jadian itu apa?” tanya Pratiwi tersipu. Dia tidak pernah mimpi bisa jadian dengan Ardian, yang putera keluarga Luminto, orang kaya, pengusaha sukses. Sedangkan dirinya itu siapa? Pratiwi takut, Ardian akan tersinggung dengan ucapan itu.

“Jadian itu ya, menjadi pacar. Bukankah kalian saling mencintai?” kata Bondan tanpa sungkan.

“Mas Ardian, jangan diambil hati ya, candaan mas Bondan. Dia memang suka bercanda,” kata Pratiwi takut-takut.

“Aku memang bercanda, tapi aku berharap kalian serius.”

“Mas Ardian, ayo ke kantor administrasi dulu, mbak Susana menyuruh kita mengecek seluruh biaya,” kata Pratiwi mengalihkan pembicaraan.

“Pratiwi, tidak usah ke sana, aku sudah menyelesaikan semuanya,” kata Bondan, mengejutkan Pratiwi dan juga Ardian. Padahal Ardian juga ingin membantu.

“Mas Bondan sudah menyelesaikannya?” tanya Pratiwi.

“Sudah, aku juga yang memilihkan kamar terbaik untuk dia.”

“Padahal mbak Susan bilang, kalau uangnya kurang, ia akan berpindah ke kamar yang lebih murah.”

Tidak. Jangan. Aku sudah membayarnya sampai beberapa hari ke depan.”

“Terima kasih ya Mas, nanti hal ini akan aku sampaikan ke mbak Susan. Dia juga pasti akan berterima kasih.”

“Lupakan saja. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Susana.”

Pratiwi mengangguk, dan diam-diam Ardian merasa lega. Perhatian Bondan, menunjukkan ada sesuatu yang lebih di hati Bondan terhadap Susana. Dan itu menghempaskan perasaan cemburu yang sejak tadi menghantuinya. Tapi dia agak terganggu dengan penolakan Pratiwi pada ucapan Bondan tadi. Dia menganggap, Bondan hanya bercanda. Bagaimana cara meyakinkan Pratiwi bahwa dia menginginkannya?

Ardian memarahi dirinya sendiri, yang tidak bisa berlaku nekat seperti adiknya. Ketika dia membeli bunga untuk Pratiwi tadi, ia sudah menganggapnya terlalu nekat dan berani, bahkan disertai rasa was-was, kalau-kalau bunga itu ditolak.

Tiba-tiba ponsel Ardian berdering. Ardian melangkah agak menjauh. Roy menelponnnya.

“Ardian, kamu di mana?”

“Ada apa? Bapak mencari aku?”

“Dari tadi bapak mencari kamu. Kamu tidak sedang berusaha bunuh diri kan?”

“Apa aku tampak seperti orang putus asa?” protes Ardian.

“Bukan begitu, aku melihat kamu pergi tanpa pesan, tampak bingung dan frustasi. Wajar kalau aku khawatir. Jangan lah Ar, aku hanya punya satu saudara,” kata Roy dibuat-buat.

“Dasar orang jahat. Siapa yang frustasi? Aku baik-baik saja tuh.”

“Katakan kamu ada di mana?”

“Di rumah sakit, di kamar Bondan.”

“Sama siapa?”

“Sama Bondan lah.”

“Siapa lagi? Adakah Pratiwi ? Jangan boleh dia dekat-dekat Bondan. Tarik tangannya agar menjauh,” kata Roy serius.

“Apa sih,” kesal Ardian karena Roy selalu mengganggunya.

“Syukurlah kalau sudah berani nyamperin Pratiwi. Oo, ya … ya … tadi pergi tanpa pamit karena takut aku ngeledekin kan?”

“Sudah. Bilang sama bapak kalau aku segera ke kantor.”

“Hei, ingat pesan aku, jangan biarkan Pratiwi dekat-dekat sama Bondan. Bisa kedahuluan kamu, karena dia lebih berani.”

“Apa? Aku juga berani, tahu!”

“Wauww, bagus kalau kakak aku sudah jadi pemberani,” kata Roy lalu tertawa terbahak.

Ardian menutup ponselnya dengan wajah kesal.

“Berani apa Mas?” tanya Pratiwi tiba-tiba.

“Apa?” Ardian terkejut karena Pratiwi memperhatikannya saat bertelpon.

“Nggak apa-apa, ayo Mas, aku mau kembali ke ruang mbak Susana,” kata Pratiwi yang kemudian berpamit pada Bondan.

“Iya, terima kasih banyak Pratiwi. Tadi Ratih baru saja menelpon, dia akan kemari sebentar lagi.”

“Baiklah, nanti aku temuin dia. Sekarang aku pamit dulu, ya.”

Ardian menyalami Bondan dengan erat. Rasa lega telah menghilangkan perasaan cemburu terhadap Bondan. Dia terganggu dengan keta-kata Pratiwi tadi.

Ia masih mengikuti Pratiwi yang menuju ke arah kamar Susana.

“Mas, jangan dimasukkan ke hati, kata-kata mas Bondan tadi ya. Dia memang suka bercanda.”

“Kata-kata yang mana?”

“Yang bicara soal jadian, tadi.”

“Oh, sudah terlanjur masuk ke hati tuh,” Ardian merasa lebih berani, setelah Roy mengejeknya.

“Ya ampun Mas, maaf ya. Aku jadi takut.”

“Takut apa?”

“Mas Bondan hanya bercanda, tapi Mas Ardian memasukkannya ke hati. Sungguh, Mas harus melupakan ucapannya tadi.”

“Bagaimana kalau aku tidak bisa lupa?” Ardian sudah lebih nekat. Semuanya sudah kepalang. Jatuh cinta harus bersiap ditolak, dan patah hati.

“Aku jadi merasa bersalah.”

“Mengapa?”

“Mana saya berani?”

Beberapa langkah lagi, Ardian dan Pratiwi akan sampai di pintu ruang Susana.

“Apa maksudmu, Pratiwi? Baiklah, aku tidak ikut ketemu Susana lagi ya, bapak menunggu aku di kantor. Kalau kamu mau pulang, telpon aku, nanti aku jemput lagi.”

“Tidak usah Mas, nanti saya gampang lah.”

“Pratiwi, tunggu dulu,”

Pratiwi menghentikan langkahnya. Ia hampir menyentuh pintu masuk.

“Kamu harus tahu, aku suka sama kamu.”

Pratiwi gemetar, hampir terjatuh kalau saja tubuhnya tidak bersandar pada pintu, sementara Ardian sudah melangkah menjauh.

***

Ratna dan Sasmi sudah hampir selesai memasak. Sasmi sedang mencuci alat-alat dapur, dan Ratna sedang menata lauk di piring-piring. Tapi Sasmi melihat, sejak tadi Ratna tampak lebih banyak diam.

“Mbak, apa Mbak sedang memikirkan sesuatu?” tanya Sasmi.

“Ah, iya Sas. Agak terganggu juga aku,” jawab Ratna sambil duduk di kursi dapur.

“Terganggu karena apa?”

“Ucapan Roy pagi tadi.”

“Oh, tentang gadis yang disukai Ardian?”

“Benarkah gadis itu Pratiwi?”

***

Besok lagi ya.

 

 

32 comments:

  1. Replies
    1. Hore..... Ardian jadian
      Tapi emaknya kelihatannya mendukung..... Jadikan dech.....

      Delete
    2. Kelihatannya mbok dhe Ratna keberatan jika berbesan dengan Yu Kasnah.....

      Delete
  2. 🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹

    Alhamdulillah *eSBeKa_42 sdh tayang.*

    Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
    Tetap ADUHAI......

    🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷

    ReplyDelete
  3. 🍂🍁🍂🍁🦋🍁🍂🍁🍂
    Alhamdulillah SB 42 telah
    tayang.Matur nuwun Bu Tien.
    Moga tetap sehat & smangat.
    Salam Aduhai
    🍂🍁🍂🍁🦋🍁🍂🍁🍂

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 41 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  6. Terima kasih, ibu Tien cantiik.... semoga sehat sekeluarga, ya...

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah.... matur nuwun sdh tayang gasik

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete

  10. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~42 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  11. Alhamdullilah sdh tayang SB 42nya..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja dan aduhaai dri skbmi🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  13. Sudah makin terang, tinggal nunggu emak - emak berembug.
    Jangan terkejut ya Susan, mas Bondan serius.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulilah.. Pratiwi sdh tayang
    Tks bundaTien...
    Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
    Aamiin... 🙏🙏🌹❤️

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien.
    Salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah SB - 42 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  17. Terima kasih mbak Tien, salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  18. Duh
    Ternyata bênêr ada tarik ulur masalah Ardian naksir Pratiwi, tuh Ratnasari ibunya; jadi kepikiran, benarkah jadian sama Pratiwi.
    Bilang kalau Ardian suka sama Pratiwi, gitu aja lama, dan barusan terucap dirumah sakit, eh ini dirumah; malah ibunya rådå nggak srêg, sabar ya nak.. ini jadi nggak nyaman.
    Ibumu kaya nggak srêg dengar kata kata Roy tadi pagi
    Susana jadi merasa juga di suport keluarga Ardian, 'sudah nggak ada cinta' aduh ini password yang harus di bongkar Bondan, harus stok banyak cinta ke Susana, kalau mau jadian sama Bondan.
    Huh kowé, arep kulakan nang ngêndi kowé.
    Ratih bingung ada bunga di Susana, juga di tempat kakak nya ada bunga juga.
    Dari siapa ini, Pratiwi?
    Jadi kakakku donk, nantinya.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke empat puluh dua sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Makasih mba Tien.
    Sehat selalu dan tetap semangat.
    Aduhai

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
    Salam sehat wal'afiat selalu

    Adrian sdh menyatakan ke Tiwi ,,,tp bu Ratna sepwrti tdk suka ,,,rame deh
    Aduhaiii bu Tien 🤗🥰

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien.
    Salam sehat sejahtera selalu

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah,semalam gak tayang2 ngantuk tidur

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah...matur nuwun Bu Tien

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  43 (Tien Kumalasari)   Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia bel...