SETANGKAI BUNGAKU
42
(Tien Kumalasari)
Ardian berdebar. Ia terkejut sendiri, ketika
mengatakan hal yang pastinya juga mengejutkan Pratiwi. Bagaimana kalau dia
marah? Bagaimana kalau dia kemudian membenci aku? Pikir Ardian yang kemudian tak
berani menatap ke samping. Ia konsentrasi menyetir mobil, tapi ternyata juga
tidak bisa konsentrasi. Pikirannya ke arah ucapannya barusan.
“Mas Ardian ….”
Ucapan Pratiwi yang begitu lirih, membuatnya berdebar.
Tapi ada rasa lega. Panggilan itu terdengar begitu lembut, tak ada nada marah.
Ardian menoleh ke samping. Pratiwi sedang tersenyum ke arahnya.
“Bagaimana ada senyuman semanis itu?” kata hati Ardian,
sehingga ia tak mampu melepaskan pandangan ke arahnya.
“Eehh, awas mas … ada orang melintas,” teriak Pratiwi.
Ardian serta merta mengerem mendadak, membuat tubuh
Pratiwi terlontar ke depan, untunglah ia memasang sabuk pengaman.
“Ya ampun Mas, hampir saja,” keluh Pratiwi yang
wajahnya tampak agak pucat.
“Maaf … maaf …” ucapnya berkali-kali.
“Mas Ardian, mengapa menatap aku lama sekali? Hampir
saja menabrak orang kan.”
Tiba-tiba Ardian meminggirkan mobilnya, dan berhenti.
Pratiwi menatapnya heran. Tapi kemudian dia tahu,
Ardian butuh menenangkan diri.
Tiba-tiba Ardian melihat penjual bunga di tepi jalan.
Lalu ia turun.
“Ada bunga-bunga cantik,” katanya sambil menutupkan
pintu. Lalu Pratiwi mengikutinya, turun.
Ardian menuju ke arah penjual bunga, lalu memesan
seikat mawar berwarna warni.
“Bunga bagus, aku mau beli juga,” pekik Pratiwi
kegirangan. Wanita selalu suka bunga.
“Bunga ini untuk kamu,” kata Ardian sambil menyerahkan
seikat mawar yang sudah dirangkai sangat indah.
“Untuk saya?” mata Pratiwi berbinar.
“Kamu suka?” tanya Ardian yang sudah merasa tenang
setelah nyaris menabrak orang.
Pratiwi mencium bunga itu dan menciumnya, sambil
menutup matanya. Ardian gemas melihat pemandangan itu. Bisakah Pratiwi
mengartikan pemberian bunga itu?
“Saya juga mau beli, dua ikat bunga. Pilihkan yang bagus
ya,” pesannya kepada sang penjual.
“Buat siapa? Mengapa dua ikat?” tanya Ardian yang
mengira Pratiwi akan membalas pemberiannya dengan bunga juga.
“Yang satu, untuk mbak Susana, satunya untuk mas
Bondan,” katanya sumringah.
Sang penjual menyiapkan pesanan Pratiwi, sementara
Ardian kehilangan senyumnya. Ternyata Bondan yang dipikirkannya. Tuh kan, biarpun Bondan suka pada Susana, nyatanya
Pratiwi sangat memperhatikannya. Dengan bunga? Alangkah manis. Tapi Ardian
enggan memperlihatkan rasa cemburu yang mengamuk di dadanya. Aduh, mengapa aku
ini, hanya seikat bunga untuk Bondan, mengapa darahku serasa mendidih? Kata
batin Ardian.
Tapi bunga
mempunyai banyak makna. Seperti ketika dia memberikannya untuk Pratiwi,
barusan. Ia yakin bahwa ia memberikannya dengan sejuta rasa. Tapi yang diberi
malah bermaksud memberi bunga untuk orang lain.
Walau begitu Ardian membayar semua pembelian itu.
“Lho Mas, biar saya saja,” sergah Pratiwi.
“Nggak apa-apa, sekalian bayar punya aku tadi,” kata
Ardian, yang tentu saja Pratiwi tak bisa menolaknya.
Mereka melanjutkan perjalanan ke arah rumah sakit.
Pratiwi meletakkan dua ikat bunga di jok belakang, tapi dia mendekap bunga
pemberian Ardian. Itu membuat Ardian merasa terbang melayang.
“Apakah artinya adalah … Pratiwi menerima cinta aku?
O, tidak, itu adalah bunga. Belum tentu Pratiwi mengartikannya cinta,” Ardian
terus berbicara dengan hatinya.
“Oh, ya … saya tadi masih ingat perkataan Mas Ardian
tentang … bagaimana kalau ada yang menyukai saya?”
Ardian hampir terlonjak karena kaget, Itu tadi kan
ucapannya yang dimaksudkan sebagai pembuka untuk menyatakan perasaannya.
Padahal dia takut. Kok diulang lagi? Tuh, takut kan, benar kata Roy bahwa
dirinya itu penakut. Awas ya, jangan bilang aku pengecut, bukan, aku berani
kok. Kata hati Ardian lagi. Tapi nyatanya dia ragu.
“Mas …”
Ardian menoleh ke arah Pratiwi, tapi kali ini hanya
sebentar. Takut kalau tiba-tiba ada lagi orang nyelonong menyeberang, dan membuatnya
harus menenangkan diri lagi.
“Apa?”
“Saya ini bukan siapa-siapa Mas, tak mungkin ada yang
suka sama saya. Ribet.”
“Apa? Ribet bagaimana?”
“Ribet lah, saya itu kan orang tidak punya, banyak
kebutuhan, harus memikirkan orang tua yang tuna netra, harus memikirkan pula
adik saya yang masih sekolah. Jadi semua itu tidak mungkin. Saya mensyukuri
hidup saya. Saya bahagia dengan ibu saya dan adik saya. Biarlah saya seperti ini, jangan menyusahkan orang lain."
Ardian ingin mengulang kata-kata tentang ‘bagaimana
kalau ada yang suka sama dia’, tapi diurungkannya, karena mobilnya sudah
memasuki halaman rumah sakit.
***
Yang pertama dikunjungi Pratiwi adalah Susana yang
sudah ada di ruang rawat.
Pratiwi senang, Susana mendapatkan kamar yang bagus
dan nyaman. Entah siapa yang memilihkannya. Tapi Susana kan punya banyak uang,
jadi mungkin Susana sendiri yang memilihnya. Entahlah. Yang penting Susana
tampak nyaman. Ia membuka matanya ketika mendengar suara orang mendekat.
“Tiwi …” bisiknya lirih.
“Mbak Susana, bagaimana keadaan Mbak?”
“Baik, kamu jangan khawatir. Ini apa?” tanyanya
kemudian, ketika Pratiwi memberikan seikat bunga cantik.
“Bunya segar dan cantik untuk pasien yang cantik,”
bisik Pratiwi di telinga Susana, membuat Susana tersenyum, sambil mendekap
bunga itu dengan sebelah tangannya.
“Terima kasih Tiwi.”
“Bunga itu mas Ardian beli khusus untuk Mbak Susan,”
kata Pratiwi, karena dia sadar bahwa Ardian lah yang membayar pembelian bunga
itu.
“Kok aku. Bukan, itu dari Pratiwi,” sanggah Ardian.
“Dari siapapun, aku harus berterima kasih,” kata
Susana tersenyum.
“Kamu sudah tampak lebih segar,” kata Ardian.
“Ya, setelah aku hampir mati semalam,” canda Susana.
“Mbak Susana jangan bicara tentang ‘mati’, ngeri aku
mendengarnya,” protes Pratiwi.
“Siapa mendonorkan darah penyambung hidup aku?”
“Pertama, adalah pak Juwono, ayah Ratih.”
Susana membuka matanya lebar. Bukankah pak Juwono tidak
suka pada dirinya?
“Lalu, karena masih kurang, ibunya mas Ardian dan mas
Roy, karena kebetulan darah mereka sama,” lanjut Pratiwi.
“Ratih menunggui Mbak sampai hampir pagi.”
Susana kembali heran. Tapi saat ini ia harus
mengucapkan terima kasih melalui Ardian atas donor darah yang diberikan ibunya.
“Mas Ardian, sampaikan kepada ibu ya, saya mengucapkan
terima kasih.”
“Iya, nanti aku sampaikan. Sekarang kamu harus tenang,
dan banyak istirahat, supaya segera pulih,” kata Ardian.
Susana mengangguk.
“Tiwi, tolong tanyakan ke bagian administrasi, dan
ambil kartu ATM aku, tampaknya aku harus membayar semuanya.”
“Baiklah, nanti aku tanyakan. Sekarang aku mau ke mas
Bondan dulu ya, aku belum menengoknya lagi,” kata Pratiwi.
“Ya, tadi dia juga sudah kemari.”
“Mas Bondan?”
“Iya, dengan kursi roda, diantar perawat.”
“Ya ampun, perhatian mas Bondan pada Mbak sangat
besar.”
“Pergilah ke sana dulu, dan jangan lupa mampir ke
bagian administrasi ya. Kalau nanti uangku kurang, aku mau pindah kamar yang
lebih sederhana saja. Ini terlampau mewah untuk seorang pengangguran,” kata
Susana pilu.
“Iya, baiklah.”
***
Ardian hanya terpaku, sambil kedua tangannya bersedekap,
ketika melihat Pratiwi menyerahkan seikat bunga kepada Bondan, sambil tersenyum
manis.
“Cepat sembuh ya Mas,” kata Pratiwi.
“Ya, tentu, Doakan aku ya. Mas Ardian, apa kabar?”
“Baik. Aku berharap kamu juga akan segera sehat.”
“Aamiin. Terima kasih. Sudah melihat keadaan Susana?”
“Kami baru dari sana sebelum kemari,” jawab Pratiwi.
“Bagaimana keadaannya? Ketika pagi tadi aku
melihatnya, dia masih belum begitu sadar.”
“Pengaruh obat mempengaruhi juga, kan?” sambung
Ardian.
“Iya, nanti aku juga ingin melihatnya lagi.”
“Kalian tampak rukun. Aku berharap segera jadian,”
kata Bondan tiba-tiba, membuat Ardian terkejut, dan wajah Pratiwi menjadi
bersemu merah.
“Jadian itu apa?” tanya Pratiwi tersipu. Dia tidak
pernah mimpi bisa jadian dengan Ardian, yang putera keluarga Luminto, orang
kaya, pengusaha sukses. Sedangkan dirinya itu siapa? Pratiwi takut, Ardian akan
tersinggung dengan ucapan itu.
“Jadian itu ya, menjadi pacar. Bukankah kalian saling
mencintai?” kata Bondan tanpa sungkan.
“Mas Ardian, jangan diambil hati ya, candaan mas
Bondan. Dia memang suka bercanda,” kata Pratiwi takut-takut.
“Aku memang bercanda, tapi aku berharap kalian serius.”
“Mas Ardian, ayo ke kantor administrasi dulu, mbak
Susana menyuruh kita mengecek seluruh biaya,” kata Pratiwi mengalihkan
pembicaraan.
“Pratiwi, tidak usah ke sana, aku sudah menyelesaikan
semuanya,” kata Bondan, mengejutkan Pratiwi dan juga Ardian. Padahal Ardian
juga ingin membantu.
“Mas Bondan sudah menyelesaikannya?” tanya Pratiwi.
“Sudah, aku juga yang memilihkan kamar terbaik untuk
dia.”
“Padahal mbak Susan bilang, kalau uangnya kurang, ia
akan berpindah ke kamar yang lebih murah.”
Tidak. Jangan. Aku sudah membayarnya sampai beberapa
hari ke depan.”
“Terima kasih ya Mas, nanti hal ini akan aku sampaikan
ke mbak Susan. Dia juga pasti akan berterima kasih.”
“Lupakan saja. Aku hanya ingin yang terbaik untuk
Susana.”
Pratiwi mengangguk, dan diam-diam Ardian merasa lega.
Perhatian Bondan, menunjukkan ada sesuatu yang lebih di hati Bondan terhadap
Susana. Dan itu menghempaskan perasaan cemburu yang sejak tadi menghantuinya.
Tapi dia agak terganggu dengan penolakan Pratiwi pada ucapan Bondan tadi. Dia
menganggap, Bondan hanya bercanda. Bagaimana cara meyakinkan Pratiwi bahwa dia
menginginkannya?
Ardian memarahi dirinya sendiri, yang tidak bisa
berlaku nekat seperti adiknya. Ketika dia membeli bunga untuk Pratiwi tadi, ia
sudah menganggapnya terlalu nekat dan berani, bahkan disertai rasa was-was,
kalau-kalau bunga itu ditolak.
Tiba-tiba ponsel Ardian berdering. Ardian melangkah
agak menjauh. Roy menelponnnya.
“Ardian, kamu di mana?”
“Ada apa? Bapak mencari aku?”
“Dari tadi bapak mencari kamu. Kamu tidak sedang berusaha
bunuh diri kan?”
“Apa aku tampak seperti orang putus asa?” protes
Ardian.
“Bukan begitu, aku melihat kamu pergi tanpa pesan,
tampak bingung dan frustasi. Wajar kalau aku khawatir. Jangan lah Ar, aku hanya
punya satu saudara,” kata Roy dibuat-buat.
“Dasar orang jahat. Siapa yang frustasi? Aku baik-baik
saja tuh.”
“Katakan kamu ada di mana?”
“Di rumah sakit, di kamar Bondan.”
“Sama siapa?”
“Sama Bondan lah.”
“Siapa lagi? Adakah Pratiwi ? Jangan boleh dia
dekat-dekat Bondan. Tarik tangannya agar menjauh,” kata Roy serius.
“Apa sih,” kesal Ardian karena Roy selalu
mengganggunya.
“Syukurlah kalau sudah berani nyamperin Pratiwi. Oo,
ya … ya … tadi pergi tanpa pamit karena takut aku ngeledekin kan?”
“Sudah. Bilang sama bapak kalau aku segera ke kantor.”
“Hei, ingat pesan aku, jangan biarkan Pratiwi
dekat-dekat sama Bondan. Bisa kedahuluan kamu, karena dia lebih berani.”
“Apa? Aku juga berani, tahu!”
“Wauww, bagus kalau kakak aku sudah jadi pemberani,”
kata Roy lalu tertawa terbahak.
Ardian menutup ponselnya dengan wajah kesal.
“Berani apa Mas?” tanya Pratiwi tiba-tiba.
“Apa?” Ardian terkejut karena Pratiwi memperhatikannya
saat bertelpon.
“Nggak apa-apa, ayo Mas, aku mau kembali ke ruang mbak
Susana,” kata Pratiwi yang kemudian berpamit pada Bondan.
“Iya, terima kasih banyak Pratiwi. Tadi Ratih baru
saja menelpon, dia akan kemari sebentar lagi.”
“Baiklah, nanti aku temuin dia. Sekarang aku pamit
dulu, ya.”
Ardian menyalami Bondan dengan erat. Rasa lega telah
menghilangkan perasaan cemburu terhadap Bondan. Dia terganggu dengan
keta-kata Pratiwi tadi.
Ia masih mengikuti Pratiwi yang menuju ke arah kamar
Susana.
“Mas, jangan dimasukkan ke hati, kata-kata mas Bondan
tadi ya. Dia memang suka bercanda.”
“Kata-kata yang mana?”
“Yang bicara soal jadian, tadi.”
“Oh, sudah terlanjur masuk ke hati tuh,” Ardian merasa
lebih berani, setelah Roy mengejeknya.
“Ya ampun Mas, maaf ya. Aku jadi takut.”
“Takut apa?”
“Mas Bondan hanya bercanda, tapi Mas Ardian
memasukkannya ke hati. Sungguh, Mas harus melupakan ucapannya tadi.”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa lupa?” Ardian sudah
lebih nekat. Semuanya sudah kepalang. Jatuh cinta harus bersiap ditolak, dan patah
hati.
“Aku jadi merasa bersalah.”
“Mengapa?”
“Mana saya berani?”
Beberapa langkah lagi, Ardian dan Pratiwi akan sampai
di pintu ruang Susana.
“Apa maksudmu, Pratiwi? Baiklah, aku tidak ikut ketemu
Susana lagi ya, bapak menunggu aku di kantor. Kalau kamu mau pulang, telpon
aku, nanti aku jemput lagi.”
“Tidak usah Mas, nanti saya gampang lah.”
“Pratiwi, tunggu dulu,”
Pratiwi menghentikan langkahnya. Ia hampir menyentuh
pintu masuk.
“Kamu harus tahu, aku suka sama kamu.”
Pratiwi gemetar, hampir terjatuh kalau saja tubuhnya
tidak bersandar pada pintu, sementara Ardian sudah melangkah menjauh.
***
Ratna dan Sasmi sudah hampir selesai memasak. Sasmi
sedang mencuci alat-alat dapur, dan Ratna sedang menata lauk di piring-piring.
Tapi Sasmi melihat, sejak tadi Ratna tampak lebih banyak diam.
“Mbak, apa Mbak sedang memikirkan sesuatu?” tanya
Sasmi.
“Ah, iya Sas. Agak terganggu juga aku,” jawab Ratna
sambil duduk di kursi dapur.
“Terganggu karena apa?”
“Ucapan Roy pagi tadi.”
“Oh, tentang gadis yang disukai Ardian?”
“Benarkah gadis itu Pratiwi?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteHore..... Ardian jadian
DeleteTapi emaknya kelihatannya mendukung..... Jadikan dech.....
Kelihatannya mbok dhe Ratna keberatan jika berbesan dengan Yu Kasnah.....
Delete
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien
🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah *eSBeKa_42 sdh tayang.*
Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
Tetap ADUHAI......
🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷
🍂🍁🍂🍁🦋🍁🍂🍁🍂
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 42 telah
tayang.Matur nuwun Bu Tien.
Moga tetap sehat & smangat.
Salam Aduhai
🍂🍁🍂🍁🦋🍁🍂🍁🍂
Alhamdulilah tks bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 41 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih, ibu Tien cantiik.... semoga sehat sekeluarga, ya...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah.... matur nuwun sdh tayang gasik
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
Salam sehat selalu...
Terimakasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~42 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
alhamdulillah... maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdullilah sdh tayang SB 42nya..terima ksih bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja dan aduhaai dri skbmi🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteSudah makin terang, tinggal nunggu emak - emak berembug.
ReplyDeleteJangan terkejut ya Susan, mas Bondan serius.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah.. Pratiwi sdh tayang
ReplyDeleteTks bundaTien...
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu..
Aamiin... 🙏🙏🌹❤️
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dari mBantul
Alhamdulillah SB - 42 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Terima kasih mbak Tien, salam sehat selalu.
ReplyDeleteDuh
ReplyDeleteTernyata bênêr ada tarik ulur masalah Ardian naksir Pratiwi, tuh Ratnasari ibunya; jadi kepikiran, benarkah jadian sama Pratiwi.
Bilang kalau Ardian suka sama Pratiwi, gitu aja lama, dan barusan terucap dirumah sakit, eh ini dirumah; malah ibunya rådå nggak srêg, sabar ya nak.. ini jadi nggak nyaman.
Ibumu kaya nggak srêg dengar kata kata Roy tadi pagi
Susana jadi merasa juga di suport keluarga Ardian, 'sudah nggak ada cinta' aduh ini password yang harus di bongkar Bondan, harus stok banyak cinta ke Susana, kalau mau jadian sama Bondan.
Huh kowé, arep kulakan nang ngêndi kowé.
Ratih bingung ada bunga di Susana, juga di tempat kakak nya ada bunga juga.
Dari siapa ini, Pratiwi?
Jadi kakakku donk, nantinya.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke empat puluh dua sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat.
Aduhai
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu
Adrian sdh menyatakan ke Tiwi ,,,tp bu Ratna sepwrti tdk suka ,,,rame deh
Aduhaiii bu Tien 🤗🥰
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat sejahtera selalu
Alhamdulillah,semalam gak tayang2 ngantuk tidur
ReplyDeleteAlhamdulillah...matur nuwun Bu Tien
ReplyDelete