Saturday, March 11, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 41

 

SETANGKAI BUNGAKU  41

(Tien Kumalasari)

 

Bondan tertegun mendengar jawaban Susana. Tak punya cinta? Apakah itu penolakan untuk dirinya? Dia baru mengatakan takut kehilangan dia, tapi jawabnya sungguh diluar dugaan. Bondan sadar arti kata yang diucapkannya terhadap Susana. Mungkin belum lama dia mengenalnya, bahkan baru dalam hitungan hari, tapi disadarinya, ada rasa lain terselip di hatinya, dan itu adalah cinta. Karena kasihan? Karena simpati pada jalan hidupnya yang berliku? Pada kesesatannya? Entahlah, tapi itu adalah cinta. Murni cinta.

Bondan melihat Susana sudah kembali memejamkan mata, rasa trenyuh menggayuti perasaannya. Wajah cantik itu sangat pucat. Ia baru saja melewati masa kritisnya, dan belum sepenuhnya sadar.

Bondan meremas lembut tangan Susana.

“Sebaiknya kita segera kembali. Pasien Susana masih perlu lebih banyak beristirahat,” kata perawat yang mengantarkannya.

Bondan mengangguk, lalu perawat itu memutar kursi rodanya, dan membawanya keluar.

“Hari ini dia sudah akan dipindahkan ke ruang rawat,” kata salah seorang perawat yang tadi mengijinkannya masuk.

“Tolong berikan dia kamar terbaik. Atas tanggungan saya,” pesan Bondan kepada perawat tersebut.

“Baik.”

Bondan kembali ke ruangannya, kembali berbaring seperti sebelumnya, tapi hatinya terasa belum begitu lega, sebelum mendengar bahwa Susana benar-benar dalam keadaan baik.

“Pak Bondan tidak boleh banyak pikiran, agar segera pulih,” pesan perawat yang membetulkan letak tabung infus setelah tadi dibawanya mengantarkan Bondan ke ruang ICU.

Bondan hanya mengangguk. Sesungguhnya dia tak memikirkan dirinya sendiri.

***

Masih tampak lesu, ketika Ardian dan Roy duduk di ruang makan, menunggu kedua ibunya melayani mereka dan juga ayah mereka.

Luminto melihat kedua istrinya juga seperti lelah. Mereka semua kurang tidur, setelah mendonorkan darah mereka, dan menjelang pagi baru pulang ke rumah.

“Nanti saat jam makan siang, kalian pulang saja, dan istirahat di rumah,” perintah sang ayah.

“Nanti kami juga akan memasak yang ringan-ringan saja,” kata Ratna yang diamini oleh Sasmi.

“Iya Mbak. Tapi aku sebenarnya sedang memikirkan perkataan Roy semalam,” kata Sasmi.

“Roy bilang apa?” tanya Luminto ingin tahu, sementara Ardian menatap Roy curiga.

“Roy bilang, kelihatannya Bondan suka sama Susana. Terus dia bilang, karena itulah maka Ardian tidak punya saingan. Sebenarnya Ardian dan Bondan bersaing tentang apa dan siapa. Pasti seorang gadis, ya kan?” terang Sasmi.

“Iya, aku juga mendengarnya,” sambung Ratna.

Ardian memelototi Roy, yang dipelototi asyik mengunyah makanannya, pura-pura tak melihat kearah kakaknya.

“Ayolah, terus terang sama bapak, sama ibu. Kalau kalian sudah menemukan gadis yang baik, pantas menjadi istri dan saling mencintai, dan itu serius, katakan saja. Masa bapak sama ibu tidak boleh tahu?” kata Sasmi lagi.

“Kalau Roy, bagaimana?” tanya sang ayah.

“Pacar Roy itu Ratih, adiknya Aira, ya kan Roy?” tanya Ratna.

“Doakan saja Bu, Pak,” jawab Roy, tetap belum berani menatap kakaknya, yang diam tak

menanggapi perkataan ibunya.

“O, Ratih, dia cantik?”  tanya sang ayah.

“Cantik dan baik, semalam kami sudah bertemu,” kata Ratna lagi.

“Bapak tidak akan menentang pilihan kalian. Kalian sudah dewasa, pasti sudah tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Jadi bapak percayakan semuanya pada kalian.”

“Terima kasih, Pak.”

“Tapi Ardian belum menjawab,” sambung Sasmi.

“Menjawab apa?”

“Itu, semula kamu bersaing dengan Bondan, ya kan?”

“Itu kan akal-akalan Roy. Belum, Ardian belum memikirkan,” sanggah Ardian.

“Ardian, kamu lebih tua, mengapa tidak segera berterus terang?”

“Gadis itu belum tentu mau sama Ardian,” kata Ardian sambil melirik ke arah Roy, yang masih saja menghindari bertatap muka sama kakaknya.

“Masa, anak laki-laki aku yang ganteng akan ditolak gadis yang dipilihnya? Katakan siapa gadis itu, nanti bapak yang akan merayunya.”

“Jangan Pak, masa Bapak akan merayu dia. Nanti kalau terus jatuh cinta sama Bapak, bagaimana?” canda Ratna.

Luminto tertawa.

“Kamu ada-ada saja. Mana ada gadis suka sama laki-laki setengah tua seperti bapak?”

“Lho, bapak itu biarpun setengah tua, tapi masih gagah dan ganteng lho,” sambung Roy.

“Tidak … tidak … dua itu sudah cukup. Baiklah, bapak tak akan ikutan merayu, belum-belum ibu kamu sudah cemburu,” canda Luminto, membuat semuanya tertawa.

“Ini ngomongnya jadi ngelantur, Ardian belum mengatakan siapa gadisnya lhoh,” kata Sasmi.

“Nanti saja, Bu.”

“Ardian itu penakut Bu, dia merasa kalah sebelum perang. Walau saingannya sudah nggak ada, tetap saja dia belum berani. Jadi, bukan Bapak, nanti Roy yang akan merayu dia,” kata Roy seenaknya.

“Siapa sih, sebenarnya gadis itu? Pasti seorang yang sangat istimewa. Cantik, lembut, baik. Ya kan?” kata ayahnya lagi.

“Tentu saja Pak,”  kata Roy, dan kali ini sebelah kaki Ardian menyepak kaki Roy yang memang duduk tak jauh dari tempatnya.

“Auuwww! Sakit, tahu!!” pekik Roy kesakitan, lalu Roy duduk ke kursi yang lain, agar Ardian tak bisa menyakitinya lagi.

“Orang kantor?” desak ayahnya.

“Bukan, tetangga sini saja.”

“Apa? Tetangga?” teriak Sasmi dan Ratna hampir bersamaan.

“Wah, ibu nih kompak amat sih, berteriak saja bisa bareng, begitu,” kata Roy.

“Kamu bilang tetangga, berarti ibu sudah tahu dong. Siapa ya Mbak, ada nggak tetangga kita yang punya anak gadis cantik?”

“Itu, putrinya bu Marta, tapi itu bukan gadis, anaknya sudah dua,” kata Ratna.

Roy terkekeh.

“Ya enggak lah Bu, masa Ardian suka sama ibu-ibu.”

“Siapa dong, kalau anaknya pak Marino, itu juga cantik, tapi belum lulus SMA,” sambung Sasmi.

“Sudah siang nih, ayo segera berangkat Pak,” kata Ardian yang merasa risih dengan candaan Roy. Ia langsung berdiri.

“Hei, nggak boleh kabur dulu. Orang tua wajib tahu, supaya mereka memberikan restu,” pekik Roy.

Tapi Ardian sudah menjauh.

“Roy, katakan siapa?” rayu ibunya.

“Dia, Pratiwi, Bu.”

“Apa?” kali itu bukan hanya Ratna dan Sasmi yang berteriak, tapi juga Luminto.

***

“Ar, jangan marah dong. Ini bukan rahasia lho. Orang tua wajib tahu,” kata Roy dalam perjalanan ke kantor.

“Tapi bukan sekarang.”

“Kapan lagi? Kelamaan amat.”

“Belum tentu dia mau sama aku.”

“Masa sih, kakakku yang ganteng ditolak oleh dia?”

“Pratiwi itu gadis yang keras. Kamu tahu, waktu pertama kalinya kita berebut ingin mengantarkan dia waktu malam? Dia berkeras menolak kan? Dan dia kesal karena kita memaksanya.”

“Tapi kemudian kita sudah kenal baik sama dia kan? Itu tidak sama seperti waktu kita belum begitu mengenalnya lebih dekat.”

“Semuanya belum tentu. Kalau dia menolak, aku malu dong, sama bapak, sama ibu.”

“Ya ampun, sama orang tua tuh nggak boleh malu.”

“Ini masalah yang berbeda.”

“Nanti aku bantu ngedekatin kamu sama dia.”

“Jangaaaan!”

Roy tak menjawab, ia hanya senyum-senyum dan terus mengemudikan mobilnya.

Tapi sebenarnya Ardian sedang bertanya pada dirinya. Benarkah dia jatuh cinta pada Pratiwi? Ketika dulu Ia melihat Bondan menaruh perhatian, panas sekali hatinya. Tapi sekarang, tampaknya Bondan sedang mendekati Susana. Bukankah dia punya kesempatan untuk merebut hati Pratiwi? Dia kesal pada Roy. Roy lebih berani dan seakan mengatakan bahwa dirinya penakut. Bukan, Ardian tak kenal takut. Tapi kan dia takut ditolak? Aduh. Ardian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan celakanya, Roy memperhatikan ulahnya.

“Mengapa? Jangan bilang kamu takut.”

“Kamu jangan menuduh aku takut.”

“Ragu-ragu dalam bertindak, dengan takut, itu beda tipis.”

“Cerewettt!!” kesal Ardian. Dan Roy tertawa terbahak-bahak. Roy berbeda dengan Ardian. Tadinya dia juga tertarik pada Pratiwi, tapi ketika kemudian perhatiannya beralih pada Ratih dia langsung mendatanginya, megajaknya kencan, dan selalu menemaninya. Ratih yang semula tertarik pada Ardian, juga mengalihkan perhatiannya pada Roy, karena kegigihan Roy.”

Namun ketika mobil mereka sudah memasuki area parkir, Ardian tidak turun.

“Kamu tidak turun?” tanya Roy heran.

“Tidak, kamu saja yang turun, aku ada perlu sebentar,” jawab Ardian, yang tanpa menunggu jawaban Roy, ia langsung berpindah ke belakang kemudi, lalu membawa mobilnya pergi. Roy berdiri terpaku dengan heran.

“Kenapa dia?”

***                                                                                     

Pagi itu Pratiwi hanya melayani makan pagi ibu dan adiknya, lalu memasak yang ringan-ringan. Ia membuat opor yang isinya sekaligus bisa menjadi lauk. Ada telur yang direbus terlebih dulu, ada tahu, ada tempe. Masih ada kerupuk yang kemarin digoreng bersama Susana, dan itu cukup. Ia menyiapkannya di meja, dan mengatakan pada ibunya, bahwa kalau ingin makan, maka semua sudah di siapkannya di meja.

“Kamu mau ke rumah sakit lagi?”

“Pratiwi masih mengkhawatirkan mbak Susana. Ingin melihat, keadaannya bagaimana.”

“Waktu kamu pulang, apa dia belum sadar?”

“Sudah sadar, tapi belum sepenuhnya. Kata dokter, kalau keadaannya stabil, maka akan dipindahkan ke ruang rawat hari ini.”

“Kasihan. Ibu hanya bisa mendoakan dari jauh. Kalau pun ibu ke rumah sakit, ibu bisa apa?” sesal yu Kasnah.

“Ibu tidak perlu ke rumah sakit. Doa itu lebih dari segalanya. Biar Pratiwi mewakili ibu menemani mbak Susana.”

“Katakan sama dia, bahwa ibu juga prihatin.”

“Tentu, nanti Tiwi sampaikan pada dia.”

Pratiwi sudah bersiap menuntun sepedanya, ketika tiba-tiba dilihatnya mobil berhenti di luar pagar. Pratiwi menunggu, karena seperti mengenali mobil itu. Ia terkejut melihat siapa yang datang.

“Mas Ardian?” sapa Pratiwi.

“Kamu tidak jualan?”

“Libur Mas, paling tidak untuk hari ini, karena saya akan ke rumah sakit.”

“Naik sepeda?”

“Iya lah Mas, yang saya punya hanya sepeda,” jawab Pratiwi tersenyum.

“Tinggalkan saja sepedanya, ayo bareng aku,” Ardian merubah kata ‘ aku antar’ dengan kata ‘bareng aku’  untuk menghindari penolakan Pratiwi. Ia tahu Pratiwi tidak mudah dibujuk. Dan itu benar, Pratiwi tidak tampak menolak.

“Memangnya Mas Ardian tidak bekerja?”

“Aku ijin hari ini. Ingin menjenguk Susana juga. Itu sebabnya aku datang kemari, barangkali kamu juga mau ke sana, kita bisa bareng.”

“Baiklah kalau begitu, saya masukkan sepedanya lagi,” kata Pratiwi sambil membawa sepedanya masuk ke rumah.

“Tiwi, nggak jadi berangkat?” tanya yu Kasnah yang mendengar suara sepeda Pratiwi.

“Pratiwi saya ajak bareng, yu,” kata Ardian yang mengikuti Pratiwi masuk ke rumah, agar bisa bertemu yu Kasnah.

“Seperti suara mas Ardian?”

“Iya Yu, seneng, yu Kasnah mengenali suara aku,” kata Ardian sambil memegang tangan yu Kasnah.

“Mas Ardian mau menengok nak Susana juga?”

“Iya. Itu sebabnya saya ke sini, barangkali Pratiwi juga mau ke rumah sakit.”

“Beruntung dia belum berangkat, Mas.”

“Saya kira Pratiwi jualan dulu.”

“Tidak, kasihan, dia lelah. Tapi lebih kasihan nak Susana.”

“Semoga hari ini sudah lebih baik, Yu.”

“Ayo Mas, kita berangkat sekarang. Tiwi berangkat ya Bu,” katanya kemudian pada ibunya.

“Hati-hati, tapi kamu harus ingat kesehatan kamu juga Tiwi, semalam kamu hampir tidak tidur,” pesan yu Kasnah.

“Tiwi akan beristirahat juga di sana, yang penting mbak Susana tidak merasa sendirian,” jawab Pratiwi sambil mengikuti Ardian yang sudah lebih dulu pamit pada yu Kasnah.

***
Ardian mengemudikan mobilnya dengan perasaan gelisah. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Ia ingat ejekan adiknya, dan sedikitnya ada rasa panas dihatinya, sehingga dia memberanikan diri nyamperin Pratiwi. Hal yang tak dirancangnya, dan tiba-tiba dia ingin melakukannya. Sebelum datang, dia mereka-reka alasan mengajaknya pergi. Ia mengira Pratiwi akan berjualan, dan dia berjanji akan membantunya berjualan. Lalu setelahnya dia akan mengajaknya ke rumah sakit. Membezoek Susana adalah alasan yang paling tepat. Tapi ternyata Pratiwi tidak berjualan, jadi seperti tadi dikatakannya, dia ingin mengajaknya bareng ke rumah sakit.

Tapi setelah berhasil, apa yang harus dikatakannya? Ia diam dan berpikir. Kata Roy, dia takut. Ketika dia mengatakan ragu-ragu untuk bertindak, katanya antara takut dan ragu itu beda tipis. Ardian merasa dikipas-kipasi untuk melupakan rasa takut atau ragu-ragu itu. Kalau kamu jatuh cinta, bersiaplah untuk di tolak. Baiklah.

“Pratiwi …” katanya dengan sedikit gemetar.

“Ya Mas?” tanya Pratiwi sambil menoleh ke arahnya.

“Mm … apa … kamu punya … punya … pacar?”

“Apa?”

Pertanyaan Ardian itu membuat Pratiwi tertawa pelan.

“Mengapa Mas Ardian bertanya begitu?”

“Hanya bertanya, apa tidak boleh?” Ardian agak berani karena Pratiwi tampak santai dalam menanggapi ucapannya.

“Boleh saja, hanya saya merasa aneh.”

“Bertanya itu aneh?”

“Pertanyaannya yang aneh.”

“Itu tidak aneh. Kalau mau, jawab saja.”

“Tidak punya Mas, mana ada yang mau sama saya?”

“Kenapa berkata begitu?”

“Saya kan … gadis miskin, anak seorang ibu yang tuna netra, lalu ….”

“Itu bukan alasan.”

“Maksudnya ….”

“Bagaimana kalau ada yang jatuh cinta sama kamu?”

Pratiwi menoleh ke arahnya. Ketika Ardian juga menoleh, mata mereka bertemu dan bertaut. Ardian gemetar, lalu menyesal telah mengucapkannya.

***

Besok lagi ya.

 

44 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah mb Nani dah siap duluan

      Aku barusan buka nih

      Delete
  2. Maturnuwun Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah....
    Mtnuwun mbk Tien,Mgi2 tansah pinaringan sehat,Aamiin

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah tayang.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...
    STBk 41 tampil
    Maturnuwun bu Tien...
    Mugiya ibu tansah pinaringan sehat... Aamiin...

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah...yg ditunggu dah hadir...suwun bunda Tien

    ReplyDelete
  8. Algamdullilah terima ksih bundaqu SB nya sdh tayang .slnt mlm dan slmt istrahat..salam sehat sll dan tetap aduhai dri skbmiπŸ™πŸ₯°❤️🌹

    ReplyDelete
  9. Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dari Purwodadi

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah, terima kasih bu tien...selamat malam ...salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  11. Ayo Tiwi sambutlah mas Ardian dengan senyuman yang ADUHAI.
    Tapi rasanya orang tua Ardian keberatan dengan pilihan itu. Harus melalui perjuangan berat.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah... akhirnya bisa koment lagi.
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.
    Matur sembah nuwun Bu Tien, saget damel lelipur malem Ahad.
    Mugi-mugi Ibu tansah ginanjar kasarasan, kabegjan, karaharjan sahengga saget paring lelipur dumateng para sutrisno carita sambung.
    Aamiin yaa robbal alamiin 🀲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Allahumma Aamiin.
      Matur nuwun pak Sujoko

      Delete

  14. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~41 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  15. πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ¦‹πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ„
    Alhamdulillah SB 41 telah
    tayang.Matur nuwun Bu Tien.
    Moga tetap sehat & smangat.
    Salam Aduhai
    πŸ„πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ¦‹πŸ‚πŸ„πŸ‚πŸ„

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bu t
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah....Matur nuwun Bu Tien sugeng ndalu sugengistirahat
    Salam ADUHAI..sll

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah... Salam. Sehat bundπŸŒΉπŸ§•

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun ibu. Mugi tansah pinaringan sehat njih πŸ™

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah SB-41 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semogs Bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  23. Duh pas LG semangat baca lah ternyata bersambung besuk pagi....trims Bu tien

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 41 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete

  25. Namanya emak emak rindu cucu, apalagi ada tanda-tanda anaknya sudah punya kandidat calis sudah heboh bin serius menanggapi, pakΓ© tebak tebakan segala.
    Sampai sampai dikira kira sama janda anak dua, anak Bu MartΓ₯, ada ada saja, tapi sepertinya setuju setuju saja tuh; sang babe siap kayanya; kriterianya kan baik hati perhatian sama keluarga, itu yang utama kan.
    Waduh nanti di rumah sakit gantian Ratih yang nyomblangin Pratiwi, sekedar denger yang dikatakan Roy pada ibunya.
    Ardian naksir Pratiwi gitu.. intinya.
    Tapi malah Pratiwi mengira; Ardian perhatian pada Susana.
    Biar begitu malah jadi kikuk atau malah kebalikan, Pratiwi yang takut di tolak mertua.
    Sering ketemuan aja jadi tidak kaku.
    Terbiasa bicara berdua.
    Tapi ya jangan ragu, mantap.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke empat puluh satu sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  26. Horee...mas Ardian sudah melangkah maju, walau masih gemetaran...jangan ditamatin dulu ya, bu Tien...biar seru kisah cinta mereka, dibuat berliku-liku makin asyik...😚

    ReplyDelete
  27. Makasih mba Tien.
    Seruu nih.
    Sehat selalu dan tetap aduhai

    ReplyDelete
  28. Alhamdulilah
    Maturnuwun cerbungnya bu Tien
    Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat Aamiin

    Adrian mantab 🌿🌹

    ReplyDelete
  29. Tdk ush menyesal Ardian...
    Semoga Pratiwi bs jadian dg Ardian
    Jawabannya tunggu hr senin..
    Tks bunda Tien cerbungnya..
    Akhirnya Ardian tdk takut lg utk sekedar bertanya kpd Pratiwi..
    Semoga bunda sehat" dan berbahagia selalu..
    Aamiin.. πŸ™πŸ™πŸŒΉπŸŒΉ

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu... ADUHAI

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  43 (Tien Kumalasari)   Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia bel...