SETANGKAI BUNGAKU
41
(Tien Kumalasari)
Bondan tertegun mendengar jawaban Susana. Tak punya
cinta? Apakah itu penolakan untuk dirinya? Dia baru mengatakan takut kehilangan
dia, tapi jawabnya sungguh diluar dugaan. Bondan sadar arti kata yang diucapkannya
terhadap Susana. Mungkin belum lama dia mengenalnya, bahkan baru dalam hitungan
hari, tapi disadarinya, ada rasa lain terselip di hatinya, dan itu adalah
cinta. Karena kasihan? Karena simpati pada jalan hidupnya yang berliku? Pada
kesesatannya? Entahlah, tapi itu adalah cinta. Murni cinta.
Bondan melihat Susana sudah kembali memejamkan mata,
rasa trenyuh menggayuti perasaannya. Wajah cantik itu sangat pucat. Ia baru
saja melewati masa kritisnya, dan belum sepenuhnya sadar.
Bondan meremas lembut tangan Susana.
“Sebaiknya kita segera kembali. Pasien Susana masih
perlu lebih banyak beristirahat,” kata perawat yang mengantarkannya.
Bondan mengangguk, lalu perawat itu memutar kursi
rodanya, dan membawanya keluar.
“Hari ini dia sudah akan dipindahkan ke ruang rawat,”
kata salah seorang perawat yang tadi mengijinkannya masuk.
“Tolong berikan dia kamar terbaik. Atas tanggungan
saya,” pesan Bondan kepada perawat tersebut.
“Baik.”
Bondan kembali ke ruangannya, kembali berbaring
seperti sebelumnya, tapi hatinya terasa belum begitu lega, sebelum mendengar
bahwa Susana benar-benar dalam keadaan baik.
“Pak Bondan tidak boleh banyak pikiran, agar segera
pulih,” pesan perawat yang membetulkan letak tabung infus setelah tadi
dibawanya mengantarkan Bondan ke ruang ICU.
Bondan hanya mengangguk. Sesungguhnya dia tak
memikirkan dirinya sendiri.
***
Masih tampak lesu, ketika Ardian dan Roy duduk di ruang
makan, menunggu kedua ibunya melayani mereka dan juga ayah mereka.
Luminto melihat kedua istrinya juga seperti lelah.
Mereka semua kurang tidur, setelah mendonorkan darah mereka, dan menjelang pagi
baru pulang ke rumah.
“Nanti saat jam makan siang, kalian pulang saja, dan
istirahat di rumah,” perintah sang ayah.
“Nanti kami juga akan memasak yang ringan-ringan saja,”
kata Ratna yang diamini oleh Sasmi.
“Iya Mbak. Tapi aku sebenarnya sedang memikirkan
perkataan Roy semalam,” kata Sasmi.
“Roy bilang apa?” tanya Luminto ingin tahu, sementara Ardian
menatap Roy curiga.
“Roy bilang, kelihatannya Bondan suka sama Susana.
Terus dia bilang, karena itulah maka Ardian tidak punya saingan. Sebenarnya
Ardian dan Bondan bersaing tentang apa dan siapa. Pasti seorang gadis, ya kan?”
terang Sasmi.
“Iya, aku juga mendengarnya,” sambung Ratna.
Ardian memelototi Roy, yang dipelototi asyik mengunyah
makanannya, pura-pura tak melihat kearah kakaknya.
“Ayolah, terus terang sama bapak, sama ibu. Kalau
kalian sudah menemukan gadis yang baik, pantas menjadi istri dan saling
mencintai, dan itu serius, katakan saja. Masa bapak sama ibu tidak boleh tahu?”
kata Sasmi lagi.
“Kalau Roy, bagaimana?” tanya sang ayah.
“Pacar Roy itu Ratih, adiknya Aira, ya kan Roy?” tanya
Ratna.
“Doakan saja Bu, Pak,” jawab Roy, tetap belum berani
menatap kakaknya, yang diam tak
menanggapi perkataan ibunya.
“O, Ratih, dia cantik?” tanya sang ayah.
“Cantik dan baik, semalam kami sudah bertemu,” kata
Ratna lagi.
“Bapak tidak akan menentang pilihan kalian. Kalian
sudah dewasa, pasti sudah tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Jadi bapak
percayakan semuanya pada kalian.”
“Terima kasih, Pak.”
“Tapi Ardian belum menjawab,” sambung Sasmi.
“Menjawab apa?”
“Itu, semula kamu bersaing dengan Bondan, ya kan?”
“Itu kan akal-akalan Roy. Belum, Ardian belum
memikirkan,” sanggah Ardian.
“Ardian, kamu lebih tua, mengapa tidak segera berterus
terang?”
“Gadis itu belum tentu mau sama Ardian,” kata Ardian
sambil melirik ke arah Roy, yang masih saja menghindari bertatap muka sama
kakaknya.
“Masa, anak laki-laki aku yang ganteng akan ditolak
gadis yang dipilihnya? Katakan siapa gadis itu, nanti bapak yang akan
merayunya.”
“Jangan Pak, masa Bapak akan merayu dia. Nanti kalau
terus jatuh cinta sama Bapak, bagaimana?” canda Ratna.
Luminto tertawa.
“Kamu ada-ada saja. Mana ada gadis suka sama laki-laki
setengah tua seperti bapak?”
“Lho, bapak itu biarpun setengah tua, tapi masih gagah
dan ganteng lho,” sambung Roy.
“Tidak … tidak … dua itu sudah cukup. Baiklah, bapak
tak akan ikutan merayu, belum-belum ibu kamu sudah cemburu,” canda Luminto,
membuat semuanya tertawa.
“Ini ngomongnya jadi ngelantur, Ardian belum
mengatakan siapa gadisnya lhoh,” kata Sasmi.
“Nanti saja, Bu.”
“Ardian itu penakut Bu, dia merasa kalah sebelum
perang. Walau saingannya sudah nggak ada, tetap saja dia belum berani. Jadi,
bukan Bapak, nanti Roy yang akan merayu dia,” kata Roy seenaknya.
“Siapa sih, sebenarnya gadis itu? Pasti seorang yang
sangat istimewa. Cantik, lembut, baik. Ya kan?” kata ayahnya lagi.
“Tentu saja Pak,”
kata Roy, dan kali ini sebelah kaki Ardian menyepak kaki Roy yang memang
duduk tak jauh dari tempatnya.
“Auuwww! Sakit, tahu!!” pekik Roy kesakitan, lalu Roy
duduk ke kursi yang lain, agar Ardian tak bisa menyakitinya lagi.
“Orang kantor?” desak ayahnya.
“Bukan, tetangga sini saja.”
“Apa? Tetangga?” teriak Sasmi dan Ratna hampir
bersamaan.
“Wah, ibu nih kompak amat sih, berteriak saja bisa
bareng, begitu,” kata Roy.
“Kamu bilang tetangga, berarti ibu sudah tahu dong.
Siapa ya Mbak, ada nggak tetangga kita yang punya anak gadis cantik?”
“Itu, putrinya bu Marta, tapi itu bukan gadis, anaknya
sudah dua,” kata Ratna.
Roy terkekeh.
“Ya enggak lah Bu, masa Ardian suka sama ibu-ibu.”
“Siapa dong, kalau anaknya pak Marino, itu juga
cantik, tapi belum lulus SMA,” sambung Sasmi.
“Sudah siang nih, ayo segera berangkat Pak,” kata
Ardian yang merasa risih dengan candaan Roy. Ia langsung berdiri.
“Hei, nggak boleh kabur dulu. Orang tua wajib tahu,
supaya mereka memberikan restu,” pekik Roy.
Tapi Ardian sudah menjauh.
“Roy, katakan siapa?” rayu ibunya.
“Dia, Pratiwi, Bu.”
“Apa?” kali itu bukan hanya Ratna dan Sasmi yang
berteriak, tapi juga Luminto.
***
“Ar, jangan marah dong. Ini bukan rahasia lho. Orang
tua wajib tahu,” kata Roy dalam perjalanan ke kantor.
“Tapi bukan sekarang.”
“Kapan lagi? Kelamaan amat.”
“Belum tentu dia mau sama aku.”
“Masa sih, kakakku yang ganteng ditolak oleh dia?”
“Pratiwi itu gadis yang keras. Kamu tahu, waktu
pertama kalinya kita berebut ingin mengantarkan dia waktu malam? Dia berkeras
menolak kan? Dan dia kesal karena kita memaksanya.”
“Tapi kemudian kita sudah kenal baik sama dia kan? Itu
tidak sama seperti waktu kita belum begitu mengenalnya lebih dekat.”
“Semuanya belum tentu. Kalau dia menolak, aku malu
dong, sama bapak, sama ibu.”
“Ya ampun, sama orang tua tuh nggak boleh malu.”
“Ini masalah yang berbeda.”
“Nanti aku bantu ngedekatin kamu sama dia.”
“Jangaaaan!”
Roy tak menjawab, ia hanya senyum-senyum dan terus
mengemudikan mobilnya.
Tapi sebenarnya Ardian sedang bertanya pada dirinya.
Benarkah dia jatuh cinta pada Pratiwi? Ketika dulu Ia melihat Bondan menaruh
perhatian, panas sekali hatinya. Tapi sekarang, tampaknya Bondan sedang
mendekati Susana. Bukankah dia punya kesempatan untuk merebut hati Pratiwi? Dia
kesal pada Roy. Roy lebih berani dan seakan mengatakan bahwa dirinya penakut.
Bukan, Ardian tak kenal takut. Tapi kan dia takut ditolak? Aduh. Ardian
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan celakanya, Roy memperhatikan
ulahnya.
“Mengapa? Jangan bilang kamu takut.”
“Kamu jangan menuduh aku takut.”
“Ragu-ragu dalam bertindak, dengan takut, itu beda
tipis.”
“Cerewettt!!” kesal Ardian. Dan Roy tertawa
terbahak-bahak. Roy berbeda dengan Ardian. Tadinya dia juga tertarik pada
Pratiwi, tapi ketika kemudian perhatiannya beralih pada Ratih dia langsung
mendatanginya, megajaknya kencan, dan selalu menemaninya. Ratih yang semula
tertarik pada Ardian, juga mengalihkan perhatiannya pada Roy, karena kegigihan
Roy.”
Namun ketika mobil mereka sudah memasuki area parkir,
Ardian tidak turun.
“Kamu tidak turun?” tanya Roy heran.
“Tidak, kamu saja yang turun, aku ada perlu sebentar,”
jawab Ardian, yang tanpa menunggu jawaban Roy, ia langsung berpindah ke
belakang kemudi, lalu membawa mobilnya pergi. Roy berdiri terpaku dengan heran.
“Kenapa dia?”
***
Pagi itu Pratiwi hanya
melayani makan pagi ibu dan adiknya, lalu memasak yang ringan-ringan. Ia
membuat opor yang isinya sekaligus bisa menjadi lauk. Ada telur yang direbus
terlebih dulu, ada tahu, ada tempe. Masih ada kerupuk yang kemarin digoreng
bersama Susana, dan itu cukup. Ia menyiapkannya di meja, dan mengatakan pada
ibunya, bahwa kalau ingin makan, maka semua sudah di siapkannya di meja.
“Kamu mau ke rumah sakit lagi?”
“Pratiwi masih mengkhawatirkan
mbak Susana. Ingin melihat, keadaannya bagaimana.”
“Waktu kamu pulang, apa dia
belum sadar?”
“Sudah sadar, tapi belum
sepenuhnya. Kata dokter, kalau keadaannya stabil, maka akan dipindahkan ke
ruang rawat hari ini.”
“Kasihan. Ibu hanya bisa
mendoakan dari jauh. Kalau pun ibu ke rumah sakit, ibu bisa apa?” sesal yu
Kasnah.
“Ibu tidak perlu ke rumah
sakit. Doa itu lebih dari segalanya. Biar Pratiwi mewakili ibu menemani mbak
Susana.”
“Katakan sama dia, bahwa ibu
juga prihatin.”
“Tentu, nanti Tiwi sampaikan
pada dia.”
Pratiwi sudah bersiap menuntun
sepedanya, ketika tiba-tiba dilihatnya mobil berhenti di luar pagar. Pratiwi menunggu,
karena seperti mengenali mobil itu. Ia terkejut melihat siapa yang datang.
“Mas Ardian?” sapa Pratiwi.
“Kamu tidak jualan?”
“Libur Mas, paling tidak untuk
hari ini, karena saya akan ke rumah sakit.”
“Naik sepeda?”
“Iya lah Mas, yang saya punya
hanya sepeda,” jawab Pratiwi tersenyum.
“Tinggalkan saja sepedanya,
ayo bareng aku,” Ardian merubah kata ‘ aku antar’ dengan kata ‘bareng aku’ untuk menghindari penolakan Pratiwi. Ia tahu
Pratiwi tidak mudah dibujuk. Dan itu benar, Pratiwi tidak tampak menolak.
“Memangnya Mas Ardian tidak
bekerja?”
“Aku ijin hari ini. Ingin
menjenguk Susana juga. Itu sebabnya aku datang kemari, barangkali kamu juga mau
ke sana, kita bisa bareng.”
“Baiklah kalau begitu, saya
masukkan sepedanya lagi,” kata Pratiwi sambil membawa sepedanya masuk ke rumah.
“Tiwi, nggak jadi berangkat?”
tanya yu Kasnah yang mendengar suara sepeda Pratiwi.
“Pratiwi saya ajak bareng, yu,”
kata Ardian yang mengikuti Pratiwi masuk ke rumah, agar bisa bertemu yu Kasnah.
“Seperti suara mas Ardian?”
“Iya Yu, seneng, yu Kasnah
mengenali suara aku,” kata Ardian sambil memegang tangan yu Kasnah.
“Mas Ardian mau menengok nak
Susana juga?”
“Iya. Itu sebabnya saya ke
sini, barangkali Pratiwi juga mau ke rumah sakit.”
“Beruntung dia belum
berangkat, Mas.”
“Saya kira Pratiwi jualan
dulu.”
“Tidak, kasihan, dia lelah.
Tapi lebih kasihan nak Susana.”
“Semoga hari ini sudah lebih baik,
Yu.”
“Ayo Mas, kita berangkat sekarang.
Tiwi berangkat ya Bu,” katanya kemudian pada ibunya.
“Hati-hati, tapi kamu harus
ingat kesehatan kamu juga Tiwi, semalam kamu hampir tidak tidur,” pesan yu
Kasnah.
“Tiwi akan beristirahat juga
di sana, yang penting mbak Susana tidak merasa sendirian,” jawab Pratiwi sambil
mengikuti Ardian yang sudah lebih dulu pamit pada yu Kasnah.
***
Ardian mengemudikan mobilnya dengan perasaan gelisah. Ia ingin mengatakan
sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Ia ingat ejekan adiknya, dan sedikitnya ada
rasa panas dihatinya, sehingga dia memberanikan diri nyamperin Pratiwi. Hal
yang tak dirancangnya, dan tiba-tiba dia ingin melakukannya. Sebelum datang,
dia mereka-reka alasan mengajaknya pergi. Ia mengira Pratiwi akan berjualan,
dan dia berjanji akan membantunya berjualan. Lalu setelahnya dia akan
mengajaknya ke rumah sakit. Membezoek Susana adalah alasan yang paling tepat. Tapi
ternyata Pratiwi tidak berjualan, jadi seperti tadi dikatakannya, dia ingin
mengajaknya bareng ke rumah sakit.
Tapi setelah berhasil, apa
yang harus dikatakannya? Ia diam dan berpikir. Kata Roy, dia takut. Ketika dia
mengatakan ragu-ragu untuk bertindak, katanya antara takut dan ragu itu beda
tipis. Ardian merasa dikipas-kipasi untuk melupakan rasa takut atau ragu-ragu
itu. Kalau kamu jatuh cinta, bersiaplah untuk di tolak. Baiklah.
“Pratiwi …” katanya dengan
sedikit gemetar.
“Ya Mas?” tanya Pratiwi sambil
menoleh ke arahnya.
“Mm … apa … kamu punya … punya
… pacar?”
“Apa?”
Pertanyaan Ardian itu membuat
Pratiwi tertawa pelan.
“Mengapa Mas Ardian bertanya
begitu?”
“Hanya bertanya, apa tidak
boleh?” Ardian agak berani karena Pratiwi tampak santai dalam menanggapi
ucapannya.
“Boleh saja, hanya saya merasa
aneh.”
“Bertanya itu aneh?”
“Pertanyaannya yang aneh.”
“Itu tidak aneh. Kalau mau,
jawab saja.”
“Tidak punya Mas, mana ada
yang mau sama saya?”
“Kenapa berkata begitu?”
“Saya kan … gadis miskin, anak
seorang ibu yang tuna netra, lalu ….”
“Itu bukan alasan.”
“Maksudnya ….”
“Bagaimana kalau ada yang
jatuh cinta sama kamu?”
Pratiwi menoleh ke arahnya.
Ketika Ardian juga menoleh, mata mereka bertemu dan bertaut. Ardian gemetar,
lalu menyesal telah mengucapkannya.
***
Besok lagi ya.
Alhmdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah mb Nani dah siap duluan
DeleteAku barusan buka nih
Alhmdllh... terima kasih
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDeleteππ
Alhamdulillah Turnuwun Bunda
ReplyDeleteAlhamdulilah....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien,Mgi2 tansah pinaringan sehat,Aamiin
alhamdulillah... maturnuwun...
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSTBk 41 tampil
Maturnuwun bu Tien...
Mugiya ibu tansah pinaringan sehat... Aamiin...
Alhamdulillah terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulilah...yg ditunggu dah hadir...suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlgamdullilah terima ksih bundaqu SB nya sdh tayang .slnt mlm dan slmt istrahat..salam sehat sll dan tetap aduhai dri skbmiππ₯°❤️πΉ
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat dari Purwodadi
Alhamdulilah, terima kasih bu tien...selamat malam ...salam sehat bu tien
ReplyDeleteAyo Tiwi sambutlah mas Ardian dengan senyuman yang ADUHAI.
ReplyDeleteTapi rasanya orang tua Ardian keberatan dengan pilihan itu. Harus melalui perjuangan berat.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteSalam sehat dari Rewwin mas
DeleteAlhamdulillah... akhirnya bisa koment lagi.
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak TienπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 jeng Susi
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Bu Tien, saget damel lelipur malem Ahad.
Mugi-mugi Ibu tansah ginanjar kasarasan, kabegjan, karaharjan sahengga saget paring lelipur dumateng para sutrisno carita sambung.
Aamiin yaa robbal alamiin π€²
Aamiin Allahumma Aamiin.
DeleteMatur nuwun pak Sujoko
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~41 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
πππππ¦ππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 41 telah
tayang.Matur nuwun Bu Tien.
Moga tetap sehat & smangat.
Salam Aduhai
πππππ¦ππππ
Terima kasih Bu t
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai selalu
Alhamdulillah....Matur nuwun Bu Tien sugeng ndalu sugengistirahat
ReplyDeleteSalam ADUHAI..sll
Alhamdulillah.terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah... Salam. Sehat bundπΉπ§
ReplyDeleteAlhamdulillah... Terima kasih Bu Tien. Semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteMatur nuwun ibu. Mugi tansah pinaringan sehat njih π
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-41 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semogs Bunda sehat selalu.
Aamiin
Duh pas LG semangat baca lah ternyata bersambung besuk pagi....trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 41 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete
ReplyDeleteNamanya emak emak rindu cucu, apalagi ada tanda-tanda anaknya sudah punya kandidat calis sudah heboh bin serius menanggapi, pakΓ© tebak tebakan segala.
Sampai sampai dikira kira sama janda anak dua, anak Bu MartΓ₯, ada ada saja, tapi sepertinya setuju setuju saja tuh; sang babe siap kayanya; kriterianya kan baik hati perhatian sama keluarga, itu yang utama kan.
Waduh nanti di rumah sakit gantian Ratih yang nyomblangin Pratiwi, sekedar denger yang dikatakan Roy pada ibunya.
Ardian naksir Pratiwi gitu.. intinya.
Tapi malah Pratiwi mengira; Ardian perhatian pada Susana.
Biar begitu malah jadi kikuk atau malah kebalikan, Pratiwi yang takut di tolak mertua.
Sering ketemuan aja jadi tidak kaku.
Terbiasa bicara berdua.
Tapi ya jangan ragu, mantap.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke empat puluh satu sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
π
Horee...mas Ardian sudah melangkah maju, walau masih gemetaran...jangan ditamatin dulu ya, bu Tien...biar seru kisah cinta mereka, dibuat berliku-liku makin asyik...π
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSeruu nih.
Sehat selalu dan tetap aduhai
Alhamdulilah
ReplyDeleteMaturnuwun cerbungnya bu Tien
Semoga bu Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat Aamiin
Adrian mantab πΏπΉ
Tdk ush menyesal Ardian...
ReplyDeleteSemoga Pratiwi bs jadian dg Ardian
Jawabannya tunggu hr senin..
Tks bunda Tien cerbungnya..
Akhirnya Ardian tdk takut lg utk sekedar bertanya kpd Pratiwi..
Semoga bunda sehat" dan berbahagia selalu..
Aamiin.. πππΉπΉ
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu... ADUHAI
ReplyDeleteMenunggu
ReplyDelete