Tuesday, March 7, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 37

 

SETANGKAI BUNGAKU  37

(Tien Kumalasari)

 

Bondan merasa sakit. Bukan hanya sakit karena luka-lukanya. Dadanya terasa sesak, mendengar ucapan orang tuanya. Belum juga dirinya dan Susana jadian, cinta belum terucap, dan belum tentu juga Susana menerimanya, tapi keluarganya sudah menunjukkan sikap pertentangan. Ia memejamkan matanya, dan tak menjawab apapun, ketika Ratih berpamit untuk pulang dulu ke rumah.

Bu Juwono yang tak mendengar suara Bondan sejak kedatangannya, kemudian mendekatinya, dan memegang kepalanya, lalu tangannya.

“Apa kamu merasa sakit?” tanyanya.

Bondan tak menjawab. Ia masih memejamkan matanya. Sakit, iya lah. Sengaja atau tidak, mereka menampakkan rasa tak suka pada Susana, orang yang telah membuatnya selamat. Orang yang telah membuat polisi bisa menangkap kembali pesakitan yang kabur, entah apa penyebabnya.

“Nanti kamu akan diperiksa semuanya, dari luar maupun dalam. Ibu percaya, kamu anak yang kuat, kamu akan baik-baik saja,” katanya lagi, yang mengira Bondan merasa kesakitan karena luka-lukanya.

Apa Bondan takut? Tidak, Bondan hanya merasa sakit. Sakit untuk Susana yang telah menyelamatkannya. Tapi saat ini dia tak ingin berdebat. Ia tahu keluarganya sangat keras dalam bersikap, tak mudah meluluhkannya, termasuk Ratih adiknya. Ia akan berbicara nanti, ketika sakit di tubuhnya tak lagi mengganggunya. Ia tahu sekarang ibunya duduk di sampingnya, dan meletakkan sesuatu atau menata sesuatu di meja. Pasti makanan, karena dia tadi mendengarnya. Tapi dia belum membuka matanya.

“Bondan,” akhirnya ibunya berusaha membangunkannya.

“Mengapa diam saja? Apa kamu tidur? Ini sudah siang. Ibu membawakan makanan kesukaan kamu. Bangun, Bondan,” sambung ibunya sambil meremas sebelah tangannya.

Bondan membuka matanya dengan enggan.

“Tuh, makanan kesukaan kamu. Sup ayam dengan perkedel jagung buatan simbok. Kamu suka kan?”

“Tidak Bu, Bondan sudah makan, tadi.”

“Hanya sup saja, tanpa nasi. Biasanya kamu suka. Ibu suapin ya, ini menyehatkan, karena banyak sayuran sehat juga di dalamnya.”

“Nanti saja. Bondan ingin tidur.”

“Mengapa tidur? Ada yang sakit? Nanti ibu bilang sama dokternya.

“Tidak, hanya ingin tidur saja. Tolong Ibu dekatkan ponsel Bondan.”

“Kalau kamu sakit, mengapa butuh ponsel segala? Ini akan mengganggu, Bondan.”

“Barangkali ada yang menghubungi Bondan.”

Bu Juwono meraih ponsel Bondan, diletakkannya di ujung meja, sehingga terjangkau oleh tangan Bondan.

“Ibu sarankan kamu tidak berhubungan dengan siapa pun. Agar kamu tidak terganggu.”

“Mungkin dari kantor Bondan.”

“Biar nanti bapakmu yang menghubungi kantor kamu. Kamu tidak usah memikirkannya.”

Bondan tak menjawab. Sesungguhnya dia ingin menghubungi Susana dan meminta maaf. Ia tahu semalam sikap orang tuanya, termasuk Ratih, sangat tidak bersahabat dengannya. Tapi ibunya masih duduk di sampingnya. Ia tak ingin ibunya banyak mengomel tentang Susana. Sepagi tadi, bersama Ratih, sudah cukup didengarnya.

Tak lama kemudian Bu Juwono harus menyingkir, karena Bondan akan di bawa ke ruang rontgen untuk diperiksa, ke laborat atau apa lah, pemeriksaan lengkap untuk mengetahui apakah ada  cedera berat di tubuhnya.

Bu Juwono duduk di sofa, menunggu. Ia sendirian, karena sang suami tak bisa meninggalkan urusan di kantornya, sedangkan Ratih baru saja pulang untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika dia mengutak atik ponsel untuk menghubungi beberapa temannya, tiba-tiba ponsel Bondan berdering.

Bu Juwono berdiri, langsung mengangkat ponsel itu, karena melihat nama Susana terpampang di layar.

“Ada apa?” sambutnya dingin.

“Oh, maaf, apa ini Ibu Juwono?”

“Ya, aku, ibunya Bondan.”

“Baiklah, maaf Ibu, mengganggu, saya hanya ingin memastikan bahwa ponsel mas Bondan sudah terbawa ketika di rumah sakit. Saya lupa mengingatkan, barangkali terjatuh di jalan,” kata Susana semanis mungkin.

“Hanya itu?” bu Juwono menjawab singkat, seakan tak peduli uraian Susana yang panjang tentang ponsel itu.

“Iya, Bu. Ya sudah. Terima kasih banyak.”

Bu Juwono langsung menutup ponselnya, tanpa menyambut ucapan terima kasih yang diungkapkan dengan suara ramah dan manis.

“Huh, alasan. Bilang saja ingin menghubungi Bondan. Kan Bondan sudah siap menunggu telponnya tadi? Ponsel terjatuh di mana? Dari semalam sudah ada di meja situ,” gumam bu Juwono kesal.

***

Susana termenung ketika Pratiwi sedang membenahi sisa dagangannya yang tak seberapa. Ia ingat semalam ponsel Bondan terjatuh saat berkelahi. Dia sempat membawanya. Tapi ia lupa apakah sudah menyerahkannya saat Bondan di bawa ke ruang rawat atau belum. Untuk itulah dia mencoba menelponnya. Tapi tak di sangka, yang menerima adalah ibunya, yang menjawabnya dengan ketus, jauh dari kata ramah. Karena itulah Susana urung menanyakan keadaan Bondan.

“Mbak Susan, ayo ke rumah, aku sudah selesai,” kata Pratiwi ketika melihat Susana masih duduk di bangku kecil tempat dia duduk waktu berjualan.

“Oh, sudah? Maaf, aku tadi memerlukan menelpon mas Bondan.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Aku hanya ingin memastikan, bahwa aku sudah menyerahkan ponsel dia atau belum. Soalnya semalam agak panik, melihat mas Bondan kesakitan, dengan wajah lebam.”

“Ternyata ponselnya ada kan?”

“Ada, itu tadi ibunya yang jawab.”

“Tidak bicara sama mas Bondan?”

“Tidak berani ngomong aku, jawabannya dingin seperti es batu,” jawab Susana agak kesal.

“Kenapa ya, ibu mas Bondan begitu? Mungkin mengira bahwa Mbak Susan yang menyebabkan mas Bondan harus berantem sama anak buah Sony.”

“Entahlah, ayo aku bantu membawa sisa sayurannya. Wah, ini enak di masak ca, pakai telur,” kata Susana berusaha menghibur dirinya sendiri.

“Mbak Susan kalau capek istirahat saja. Biar aku yang masak.”

“Jangan. Aku sedang suka memasak nih, aku tidak capek, tahu.”

“Dari pagi buta kan sudah membantu Tiwi ke pasar.”

“Kamu tahu, sebenarnya aku sedang berpikir, untuk membuka usaha rumah makan.”

“Wah, bagus itu. Tapi modalnya besar ya Mbak?” Pratiwi dan Susana berbincang sambil berjalan ke arah rumah.

“Aku punya sedikit tabungan. Ada mobil yang bisa aku jual untuk menyewa tempat yang strategis di pinggir jalan, yang dekat dengan perkantoran.”

“Wah, hebat mbak Susan.”

“Tapi kamu harus membantu aku.”

“Kok aku? Aku kan harus jualan sayur?”

“Kamu jadi pemasok bahan-bahan masakan untuk dijual. Pokoknya semua kebutuhan kamu yang menyetor. Kamu bisa mendapat untung lebih besar kan?”

“Iya sih, tapi ….”

“Tapi apa? Kamu tidak mau membantu aku?”

“Mau dong Mbak, tapi menjadi pemasok bahan baku masakan itu kan modalnya harus besar juga.”

“Jangan khawatir, modal pertama aku yang memberi. Kamu putar uang itu.”

“Aku mengembalikannya kapan?”

“Tidak usah buru-buru. Kalau uang kamu sudah cukup untuk membeli barang-barang, kamu boleh mengembalikan uang aku. Tapi tidak usah buru-buru.”

“Bagaimana kalau gagal?”

“Pratiwi, orang berusaha itu jangan bicara gagalnya. Pokoknya harus dijalani. Soal berhasil atau tidak itu urusan belakang. Biar waktu yang menentukan. Nanti kita bicara lagi lebih serius. Kita akan mulai dengan mencari tempat berjualan. Nanti kamu aku ajak untuk keliling kota. Kan mobilku masih ada. Kalau tempatnya cocok, kita pikirkan kita mau buka warung apa, kecil-kecilan dulu. Kalau masakan kita enak, pasti akan rame. InshaaAllah.”

“Sebenarnya nanti saya ingin melihat keadaan mas Bondan.”

“Baiklah, tidak apa-apa, sebelumnya kita membezoek mas Bondan sebentar. Ayo sekarang masak dulu. Biar aku terbiasa memasak. Nanti kamu juga harus ikut memasak di rumah makan kita,” kata Susana bersemangat, membuat Pratiwi tersenyum senang. Duka yang semula tampak pada wajah Susana, berangsur hilang.

***

Bondan sudah selesai menjalani serangkaian pemeriksaan. Ketika Ratih sudah datang, bu Juwono langsung berpamit, karena ada janji dengan rekannya, yang sama-sama aktif di organisasi kewanitaan. Sebenarnya tidak tega meninggalkan anaknya, tapi karena pertemuan itu penting, ia terpaksa pergi, dengan janji akan segera kembali.

Ratih bersungut-sungut, menyaksikan ibunya selalu sibuk. Bahkan ketika anaknya di rumah sakit, ibunya tak bisa meninggalkan kesibukannya tersebut. Tadinya Ratih berniat nyamperin Pratiwi, tapi karena ada Susana, niat itu diurungkannya.

Bondan sudah berbaring kembali di ranjang, dengan tangan tetap diinfus. Sebelah tangannya kemudian meraih ponsel. Ia memeriksa beberapa pesan, dan melihat bahwa Susana tadi menelpon. Ia kesal karena ibunya tak mau memberi tahu. Karena itulah kemudian dia menelpon balik. Tapi beberapa kali  menelpon, Susana tak mengangkatnya.

“Apa dia marah? Apakah ibu berkata kasar sama dia?” gumamnya pelan, tapi Ratih mendengarnya.

“Siapa yang marah? Siapa yang kasar?”

Bondan tak menjawab, membuat Ratih kesal. Ia tak tahu, bahwa saat itu Susana dan Pratiwi sedang memasuki rumah sakit, di mana dia di rawat.

Mereka memasuki ruang rawat dengan hati-hati dan Susana berdebar ketika Pratiwi mengetuk pintu kemudian memasuki ruangan itu.

“Mbak Tiwi!” pekik Ratih ketika melihat mereka datang. Susana menyalami Ratih yang dibalas dengan senyuman tipis.

“Bagaimana keadaan mas Bondan?” tanya Pratiwi.

“Tuh, masih lebam-lebam dikit, tapi sudah agak berkurang. Tadi dia menjalani pemeriksaan secara keseluruhan, barangkali ada cedera di dalam, atau apa,” terang Ratih.

“Pratiwi dan Susana mendekat ke arah ranjang Bondan.”

“Apa kabar Mas Bondan,” sapa Pratiwi.

“Aku … yah, begini ini. Tapi aku merasa baik kok. Jangan khawatir. Oh ya, Susan, aku barusan menelpon kamu, tapi kamu tidak mengangkatnya,” kata Bondan kemudian kepada Susana.

“Maaf, ponselnya di dalam tas, aku tidak mendengarnya.”

“Tidak apa-apa, yang penting kamu datang,” kata Bondan sambil menatap Susana.

Diam-diam Pratiwi menangkap ada pandangan yang tak biasa pada Bondan, yang membuat dirinya bertanya-tanya. Apakah Bondan suka sama Susana? Dan apakah itu yang membuat keluarga Bondan bersikap dingin terhadapnya?

Sementara itu Ratih duduk memisahkan diri di sofa, membiarkan dua orang tamu Bondan berbincang. Ia heran melihat Bondan tampak ceria, tidak lesu seperti sebelumnya, bahkan ketika ada ibunya, dan dirinya sendiri. Dugaan bahwa ada apa-apa diantara Bondan dan Susana semakin kuat. Ratih merasa sangat khawatir. Bagaimanapun Susana bukan ipar impian baginya. Tapi bagaimana ia bisa menghentikannya? Sedikit saja dia mencela, sang kakak sudah tampak marah dan kesal terhadapnya.

***

Didapur, Ratna dan Sasmi sedang menyiapkan makan siang untuk diri mereka berdua. Mereka berbincang tentang wanita cantik yang membantu Pratiwi berjualan.  Gadis itu terlampau cantik untuk seorang penjual sayur. Pakaiannya juga tampak modis dan menarik, walau terlihat sopan dan tidak seronok. Dan hal itu pula yang membuat pembeli tertarik, karena pembantu Pratiwi yang cantik segera menjadi pembicaraan orang sekampung, akibatnya, jualan Pratiwi menjadi semakin laris.

“Sekarang ini, Pratiwi juga menjual makanan jajanan pasar lho Mbak. Seperti yang tadi Sasmi beli untuk Mbak itu.”

“O, kamu membawa klepon sama arem-arem itu tadi dari warung Pratiwi?”

“Iya. Jualannya ditambah jajanan pasar, dan laris manis lho.”

“Kirain kamu beli di penjual makanan yang dijajakan dengan sepeda itu.”

“Bukan. Dari warung Pratiwi. Aku tadi kan sudah agak siang, jadi cuma dapat dua bungkus itu. Sudah diborong ibu-ibu kok.”

“Yang aku tidak mengerti, mengapa bekas teman sekantor Pratiwi ikut jualan sayur ya?”

“Nggak tahu aku Mbak, aku mau banyak bertanya ya sungkan, soalnya masih ada beberapa ibu yang juga belanja bareng aku.”

“Kalau tanya anak-anak, barangkali lebih tahu.”

“Iya, anak-anak itu kan nggak pernah cerita apa-apa sama kita.”

“Besok kita mau ke pasar atau belanja di warung Pratiwi saja ya Sas?”

“Aku tadi sudah nitip beberapa sayur dan daging. Kalau Mbak ingin belanja, ya lusa saja.”

“Baiklah. Sekalian beli bumbu-bumbu yang habis.”

“Nanti malam aku mau pijat yu Kasnah, ah. Lama nggak pijit.”

“Tuh, kangen pijitan yu Kasnah, kan?”

Sasmi hanya tertawa saja.

***

Setelah beberapa saat berada di rumah sakit, Pratiwi dan Susan sudah berada di jalan, karena sedang melihat-lihat lokasi yang baik untuk membuka usaha rumah makan.

Ketika mereka melihat rumah pinggir jalan yang kelihatannya kosong, mereka berhenti, dan melihat rumah itu dengan lebih dekat.

“Ini bagus lokasinya ya Wi, tapi bentuknya seperti rumah biasa.”

“Kalau mau dipakai, ya harus dibangun dulu Mbak.”

“Iya. Biayanya pasti lebih besar. Tapi kalau memang bagus, kenapa tidak. Itu dekat kantor, dekat bank, dan ada perkantoran lain. Barangkali ini tempat yang cocok ya Wi.”

“Tapi harus ditanya dulu sama pemiliknya. Boleh disewa tidak?”

Susana mengajak Pratiwi lebih mendekati rumah itu, dan mencari cari, dimana kira-kira pemilik rumah.

Tiba-tiba seorang lelaki mendekati mereka, dan Susana mengenalnya.

***

Besok lagi ya.


34 comments:

  1. 🥬🌹🥬🌹🥬🌹🥬🌹

    Alhamdulillah *eSBeKa_37 sdh hadir ditengah-tengah kita.*

    Terima kasih bu Tien, salam hormat, tetap sehat dan produktif.
    Tetap ADUHAI......

    🥦🌷🥦🌷🥦🌷🥦🌷

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir

    ReplyDelete
  3. 💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐
    Alhamdulillah SB 37 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Salam sehat, bahagia
    dan tetap Aduhai...
    💐🌿💐🌿🦋🌿💐🌿💐

    ReplyDelete
  4. Asiiiik....
    Alhamdulilah..
    Tks bunda Tien...
    Salam sehat selalu dan tetap Aduhaaaiii 🙏🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  5. Alhamdullilah sdh tayang SB nya..terima ksih bunda..slmt mlm dan slmt istrht..slm seroja dri skbmi🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete

  6. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~37 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Mau buka rumah makan? Semoga sukses ya Susana. Soal jodoh kalau sudah saatnya nanti akan datang.
    Pratiwi juga pemasok bahan sekaligus tukang masaknya. Pasti asyik...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Klo Pratiwi dpt modal dari Susana utk jd pemasok bahan utk restoran..
      Semangat Tiwi tambah jelas utk meraih kehidupan yg lbh baik dari tk sayur biasa..
      Sukses selalu utk Pratiwi..
      Kutunggu lanjutannya ya bundaa..
      Semoga sehat selalu dan tetap semangaaat bun.... 👍👍👍🥰🌹❤️

      Delete
  8. Alhamdulillah mksh Bu Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 37 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Yang di nanti nanti datang juga
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah. Mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah SB-37 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah ...Sehat2 ya buTien...
    Terima kasih

    ReplyDelete
  14. Waduuh siapa geranga lelaki itu ya... bikin penasaran saja bu Tien.
    Terimakasih, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  15. Alhamdulilah terima kasih bu tien... salam sehat

    ReplyDelete
  16. Siapa ya itu? Marsam kah?🤔😅

    ReplyDelete
  17. Ada anak baru baru mau pulang ke rumah, tapi ada dua wanita cantik memandang rumah nya.
    Ide yang bagus biarkan rumah itu begitu bikin resto kondangan aja.
    Jadi tinggal sewa tenda jadi tiap hari ada tenda biru yang dipasang sambil nunggu pelanggan datang modelnya ya kan disesuaikan dengan namanya jadi disitu kaya ada punya gawe, tiap hari gitu.
    Ada ada saja idenya, kan nyewa, ya bikin yang nggak permanen bangunannya.
    Suplai sayuran dan buah v biar agak ringan ngambil dari kang Triman saja
    Yang penting jalani dulu kalau modal kembali berarti sukses gitu aja.
    , lha orang yang datang; maunya lihat penjualnya cantik²
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke tiga puluh tujuh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  18. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu . Aduhai

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah matursuwun bu Tien.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah matur nuwun bu Tien.. Smg selalu sht... Aamiin

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 43

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  43 (Tien Kumalasari)   Arum terdiam. Ia tidak lupa pada waktu yang dijanjikan Listyo, tapi sungguh dia bel...