Wednesday, March 1, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 32

 

SETANGKAI BUNGAKU  32

(Tien Kumalasari)

 

Bondan yang tiba-tiba runtuh rasa belas kasihannya terhadap Susana, menghentikan mobilnya di sebuah rumah makan. Ia membukakan pintu untuk Susana, dan mengajaknya masuk. Ia melihat, Susana tampak tak bersemangat.

Ia memilih tempat agak di sudut, agar tidak terganggu oleh pengunjung lain.

Susana duduk, lalu tiba-tiba ia merasa sangat lapar. Ia ingat, sejak kemarin siang saat masih di Jakarta, dia belum makan sesuap nasi pun.

“Mau makan, atau hanya mau pesan minum?” tanya Bondan sambil menatap Susana lekat-lekat.

“Saya lapar,” katanya malu-malu. Bondan tersenyum lucu.

“Kalau begitu pesan nasi saja, pilih yang mana. Ini daftar menunya,” kata Bondan sambil mengangsurkan daftar menu ke hadapan Susana.

“Aku tidak usah memilih. Sembarang saja, terserah mas Bondan,” katanya sambil mengembalikan daftar menu itu. Saat ini, yang penting baginya adalah perutnya terisi.

“Kalau aku yang memilih, terus nggak cocok, bagaimana?”

“Cocok lah, aku sudah kelaparan,” katanya terus terang.

“Bagaimana kalau nasi rawon?”

“Ya. Mau.”

“Es jeruk? Lemon tea?”

“Ya.”

“Ya, yang mana? Lemon tea?”

“Ya.”

Blondan segera memesan kepada pelayan yang menunggu dengan sabar, lalu kembali menatap Susana dengan iba.

“Iba? Mengapa aku harus iba? Aku belum lama mengenal dia, kenapa tiba-tiba aku merasa iba melihat sinar matanya yang kuyu dan tampak letih. Seakan menunjukkan ada duka yang sangat menyiksanya," kata batin Bondan. 

Bondan terus menatapnya, dan Susana kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tatapan Bondan terasa aneh, dan ia belum pernah merasakannya, Sony pun belum pernah menatapnya seperti itu.

“Mengapa menatap saya seperti itu? Apa Mas Bondan merasa kasihan melihat saya kelaparan?” akhirnya Susana membuka suara.

Bondan tertawa lirih.

Mbak Susana benar-benar kelaparan?”

“Saya tidak makan sejak kemarin siang.”

“Wauw, pantas mbak merasa lemas. Tapi pasti bukan itu saja penyebabnya. Benarkah?”

“Saya kan sudah cerita banyak, dalam perjalanan kemari?”

“Saya mulai mengerti.”

Susana melongok ke arah belakang rumah makan. Ia merasa, pelayan itu terlalu lama menyajikan pesanannya. Bondan melambai ke arah pelayan yang lain, yang kemudian mendatanginya.

“Ya Pak?”

“Pesanan saya, belum ya? Suruh cepat,” perintahnya.

Pelayan itu bergegas ke belakang, dan tak lama kemudian pesanan itu datang.

Begitu diletakkan di meja, Susana segera menariknya. Ia menyendok begitu saja nasi di atas piring yang belum lama diletakkan, tapi kemudian ia merasa kepanasan,

“Masih panas,” kata Bondan yang segera mengambil sapu tangan dari saku bajunya, dipergunakan untuk mengipasinya.

Susana meneguk lemon tea yang tadi dipesannya, lalu tak lama kemudian dia mulai menyendok lagi. Masih agak panas, tapi lama kelamaan Susana bisa makan dengan nikmat. Bondan menemaninya makan, sambil sebentar-sebentar menatap ke arah Susana yang melahap makanannya seperti benar-benar orang kelaparan.

Memang benar, saat hati gundah, saat hati susah, perut lapar tak akan dirasakan, tapi ketika hati mulai meleleh, rasa gundah mulai mengendap, maka lapar itu tiba-tiba terasa sangat menggigit. Ada rasa lega di hati Bondan. Ia tahu, dengan rasa lapar itu, berarti segala perasaan yang mengganggu, mulai bisa diendapkan. Lalu Bondan pun menyantap makanannya dengan nikmat pula.

Ia melihat Susana sudah menghabiskan semangkuk nasi rawon, lalu menghirup lemon tea nya.

“Mau nambah? Nambah saja, kalau memang masih merasa lapar,” Bondan menawarkan.

“Tidak. Itu cukup. Perutku sudah tidak meronta lagi.”

“Benar?”

“Benar. Aku memalukan ya? Kenapa begitu duduk di sini, kemudian aku merasa lapar.”

“Pasti kamu sudah merasa lebih tenang,” kata Bondan.

Keduanya tidak menyadari, bahwa pertemuan yang baru pertama kali itu membuatnya merasa sudah sangat akrab, sehingga keduanya berbicara dengan ber ‘aku’ dan ber ‘kamu’ seperti seorang teman lama.

Susana menghela napas.

“Maaf, aku telah membebani Mas dengan masalah aku.”

“Tidak, aku sediakan bahu ini untuk bersandar,” kata Bondan sambil menepuk bahunya.

Susana tersenyum. Ia ingat sebuah lagu, dan ingin menyanyikannya, tapi tidak. Sangat memalukan kalau tiba-tiba dia mengalunkan sebuah lagu, walau hanya sebait saja.

“Kita baru berkenalan, mengapa Mas begitu baik?”

“Karena kamu juga baik kepada Pratiwi, maka aku juga harus baik kepada kamu.”

“Oh?” tiba-tiba ada yang hilang dari hatinya. Kebaikan Bondan, adalah karena dia juga baik kepada Pratiwi. Apa laki-laki ganteng di depannya ini pacar Pratiwi? Tapi tidak, Pratiwi pernah menolak ketika dia menyebut bahwa Bondan adalah pacarnya. Jadi, apa? Bondan lah yang suka pada Pratiwi.

“Karena Pratiwi gadis yang baik, maka aku juga baik sama dia,” Susana membalas kata-kata Bondan dengan kalimat yang hampir sama.

Bondan tertawa. Ia senang melihat ada senyuman di bibir Susana, walau bibir itu tampak pucat.

“Pratiwi pantas dikasihani, itu sebabnya aku tak rela Sony melukainya,” sambung Susana.

“Kamu mencintai Sony?” tanya Bondan, walau ia pernah mendengarnya, dari kata-kata Susana  yang tersirat.

“Pernah mencintai. Tapi sekarang cinta itu tak ada lagi.”

“Menyedihkan,” gumam Bondan.

“Aku tidak sedih karena kehilangan dia, aku sedih karena kebodohan dan kebutaanku,” Susana mengulang lagi kata-kata yang pernah diucapkannya.

“Jangan lagi sedih. Tadi sudah bisa merasakan lapar, berarti tidak sedih lagi kan?”

“Jauh berkurang, setelah bertemu mas Bondan,” kata Susana sambil kembali mengulaskan senyum.

“Senang mendengarnya. Kalau kamu merasa sedih lagi, panggil aku, agar bisa membuat kesedihan kamu hilang.”

“Bolehkah?”

“Boleh dong.”

Lalu tanpa sadar keduanya sudah bertukar nomor ponsel.

***

Setelah mengantarkan Susana ke rumahnya, Bondan pulang dengan perasaan aneh. Sungguh dia tidak mengerti, mengapa harus peduli kepada perasaan hati Susana. Ia bahkan merasa senang ketika Susana mengatakan bahwa kesedihannya berkurang banyak setelah bertemu dirinya.

Bondan tersenyum-senyum, bahkan ketika memasuki rumah dan bertemu Ratih yang akan berangkat kuliah.

“Mau kuliah sesiang ini?”

“Memang iya. Apa kabar mbak Pratiwi? Sudah jadi resign?”

“Pastinya, aku belum bicara banyak.”

“Kan sudah sejak pagi ketemu, lalu ini sudah siang baru pulang, kok belum bicara banyak? Memangnya Mas ngapain saja?”

“Aku ketemu Pratiwi hanya sebentar. Aku membantu menambalkan ban sepeda nya yang gembos, lalu dia pulang naik sepedanya itu juga.”

“Lalu, Mas pergi kemana sampai sesiang ini?”

“Aku menemani Susana, dan mengantarkannya pulang.”

“Apa? Susana yang menyelamatkan mbak Pratiwi?”

“Iya. Kasihan gadis itu.”

“Mengapa?”

“Pokoknya kasihan, kamu nanti aku ceritain, sekarang berangkat kuliah sana, nanti terlambat.”

“Anterin,” katanya sambil bergayut di lengan kakaknya.

“Lhoh, tadi sudah mau berangkat sendiri, kok tiba-tiba minta dianterin?”

“Memangnya Mas pulang mau ngapain saja, kalau tidak menemani aku?”

“Cari pacar dong.”

“Baiklah, sekarang anterin aku dulu, sambil cerita tentang semua yang terjadi."

“Trus aku nanti juga harus menjemput kamu?”

“Tidak, aku akan kerumah mbak Pratiwi, sepulang kuliah.”

“Kalau begitu aku jemput saja kamu,” kata Bondan sambil tersenyum lucu. Ratih mencibir.

“Huh, kalau ada maunya, cepet banget reaksinya.”

“Ayo, jadi minta diantar nggak?” tanya Bondan mengancam.

“Jadi dong, jadi dong,” kata Ratih sambil menarik tangan kakaknya.

***

Pratiwi sampai di rumah, disambut ibunya dengan suka cita. Yu Kasnah benar benar tak suka kalau Pratiwi bekerja sampai malam.

“Akhirnya kamu tidak lagi bekerja kan? Tadi sudah pamit kalau tidak akan masuk lagi?”

“Iya Bu. Besok Pratiwi mau jualan sayur lagi.”

“Itu lebih baik, supaya hati ibumu ini tidak was-was setiap kali kamu pulang terlambat.”

“Besok pagi Pratiwi mau ke pasar lagi, membeli barang-barang untuk dijual lagi. Tapi ya sedikit dulu saja, soalnya lama tidak jualan, pasti langganan Tiwi sudah pada pergi.”

“Tidak usah takut ketika kamu ingin mengais rejeki, Wi, karena sesungguhnya Allah itu selalu mencukupi dan memberikan apa yang kita butuhkan. Apapun yang terjadi, hadapi dengan penuh syukur dan ikhlas.”

“Iya Bu. Tiwi akan menjalani semuanya dengan ikhlas dan rasa syukur. Sekarang Tiwi mau memasak. Tadi mampir ke pasar untuk membeli sayur.”

“Baiklah, kamu ganti baju dulu, nanti ibu bantuin memetik sayurnya. Kamu mau masak apa?”

“Bikin sayur bening saja, sama menggoreng ikan ya Bu.”

“Apapun, ibu suka,” kata yu Kasnah sambil berdiri dan melangkah ke arah dapur, dengan dituntun Pratiwi.

***

 Ratih heran mendengar cerita kakaknya tentang rasa kasihannya pada Susana. Padahal baru pertama kali bertemu, sedangkan semalam kan hanya sekilas.

“Apakah dia cantik?”

“Cantik lah. Perempuan masa ganteng?”

“Bercanda deh. Maksudnya wajahnya cantik? Pasti cantik dong, soalnya kakakku tiba-tiba tertarik sama dia.”

“Ngaco deh, siapa yang tertarik ?”

“Lha itu, menghiburnya, mengajaknya makan, mengantarkan pulang.”

“Wajar dong, laki-laki menolong perempuan. Kamu menilainya yang bukan-bukan saja,” kata Bondan kesal.

“Ya sudah kalau enggak. Aku ingatkan Mas ya, kalau dia itu bekas kekasih mas Sony, berarti dia bukan gadis baik-baik.”

“Mengapa?”

“Mas seperti tidak tahu saja, mas Sony itu seperti apa. Nggak mungkin dong, dia masih perawan.”

“Haisssh !! Kamu kok begitu?”

“Aku bicara yang sesungguhnya. Jangan sampai kakak aku jatuh cinta sama bekas mas Sony,” kata Ratih serius.

Bondan terkejut. Ternyata adiknya berpikir tentang larangan mencintai wanita ‘bekas’ kekasih orang lain yang bernama Sony. Lalu ada peperangan di dalam hatinya, apakah dia jatuh cinta? Dan apakah terlarang mencintai wanita yang tidak perawan?

“Hei, berhenti. Kita sudah sampai,” teriak Ratih karena Bondan masih menjalankan mobilnya walaupun sudah sampai di gerbang kampus Ratih.

Bondan buru-buru mengerem mobilnya dan memundurkannya lagi, sambil tersenyum.

“Itulah, kalau menyetir sambil melamun."

***

Susana sudah mandi, sudah berganti baju rumahan, dan bersiap untuk tidur. Ia merasa letih dan tentu saja mengantuk. Sejak semalam dia hampir tidak bisa memejamkan matanya. Tapi sampai lama ia tak juga bisa tertidur. Mengantuk, tapi tak bisa tidur, pasti itu membuatnya pusing. Susana bangkit, ia berjalan keluar kamar, dan duduk di ruang tengah. Ada cemilan yang selalu disediakan di meja ruang itu, karena ia selalu duduk sendirian saat malam, menikmati acara televisi sambil menikmati cemilan.

Ia menyalakan televisi, lalu mengambil keripik kentang dari dalam toples. Tiba-tiba ia teringat ketika merasa kelaparan, dan tanpa malu mengatakan derita gejolak lapar itu pada laki-laki yang belum lama dikenalnya, lalu makan dengan lahap, tanpa menunggu makanannya menjadi berkurang panasnya.

Pandangan penuh perhatian dari Bondan, terasa menusuk jantungnya. Ia belum pernah mendapatkan perhatian semanis itu. Ada debar aneh dirasakannya. Ini juga belum pernah dirasakannya, bahkan ketika ia sedang berdua dengan Sony.

“Apakah kali ini benar-benar aku merasakan getaran yang bernama cinta? Cinta yang murni, bukan cinta karena nafsu, bukan cinta yang memicu perbuatan nista yang sebenarnya tak pantas aku melakukannya.”

“Kalau ini cinta, mengapa begitu tiba-tiba? Baru saja bertemu, lalu jatuh cinta? Ya Tuhan, siapakah aku ini. Walau wajahku cantik, walau aku masih bisa menarik seribu laki-laki untuk mencintai aku, tapi masih pantaskah aku menerima cinta itu? Aku ini kotor. Ibarat kembang, aku sudah layu. Tak ada aroma wangi yang pantas dinikmati.”

Lalu air mata Susana kembali menitik. Lalu tiba-tiba ia merasa sendiri. Lalu tiba-tiba dunianya menjadi kembali sepi.

“Pratiwi. Ya, dia, barangkali dengan berbincang, aku bisa merasa lebih tenang. Ia sangat baik dan pasti akan membuatku terhibur,” gumam Susana sambil meraih ponselnya.

“Ya, Bu Susan?” jawab Pratiwi dari seberang setelah Susana menelponnya.

“Pratiwi, kamu lagi ngapain?”

“Saya baru memasak, bu Susan. Ada apa?”

“Aku mau ke rumah kamu. Aku bantu kamu memasak.”

“Apa? Saya hanya memasak sayur bening dan sambal.”

“Itu pasti enak. Tungguin, aku ke situ ya,” kata Susana tanpa menunggu persetujuan dari Pratiwi.

Susana  mengganti pakaiannya, lalu memanggil taksi.

***

Yu Kasnah sangat senang, Pratiwi memiliki teman yang baik-baik. Bukan hanya dari keluarga Luminto, dari Ratih dan kakaknya, tapi juga Susana yang katanya bekas teman sekantornya. Ia meninggalkan dapur, ketika Susana memaksa membantu memasak di dapur Pratiwi yang sederhana.

“Bu Susana itu gimana. Biasanya pasti dapurnya bagus, bersih, sedangkan di sini, kotor dan peralatannya juga sederhana,” kata Pratiwi memprotes.

Tapi Susana mengacuhkannya. Ia membantu menggoreng ikan, dan menatanya di meja.

“Ibu, mari kita makan, sebelum Susan habiskan nasinya,” kata Susana ketika menghampiri yu Kasnah dan mengajaknya makan.

Yu Kasnah berdiri dan tersenyum senang. Tapi sebelum mereka melangkah ke ruang makan, tiba-tiba terdengar mobil berhenti di halaman.

***

Besok lagi ya,


39 comments:

  1. Alhamdulillah yg di tunggu2

    SETANGKAI BUNGA KU
    Episode 32

    Yuuuk mojok

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Ttp semangat bunda menghibur kita2 smw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah si kecil mungil lari cepat menjemput Susana uang "kasmaran" dengan Bondan.

      Delete
    2. Udah ngantuk kok bgtu buka blog trnyt pas tayang
      Melek deh lgsg mojok

      Delete
  2. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 32 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu.  Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  3. 🍂🍃🍂🍃🦋🍃🍂🍃🍂
    Alhamdulillah SB 31 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Salam sehat, bahagia
    dan tetap Aduhai...🌹
    🍂🍃🍂🍃🦋🍃🍂🍃🍂

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah .....
    Yang ditunggu tunggu sdh datang
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat .....

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku, Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah....
    Maturnuwun Bu Tien...

    ReplyDelete
  8. Bu Tien memang piawai "memelintir" alur cerita...susah tertebak akhirnya ya...salut! Sukses selalu, bu...salam sehat.🙏😀

    ReplyDelete
  9. Trimskasih bu Tien.... Semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bu Tien. Salam seroja.

    ReplyDelete
  11. Bondan berfikir dua kali setelah diingatkan Barang Bekas oleh adiknya. Mungkin akan ketemu Susana lagi bersama Pratiwi?
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. ALhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien..

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah sdh tayang. Trm ksh bu Tien, smg selalu sehat dan semangat

    ReplyDelete

  15. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~32 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  16. Pesta dirumah Pratiwi, Ratih jadi tahu tuh dia yang namanya Susana.
    Yang beralasan lapar jadi ingat Bondan, larinya kerumah Pratiwi.
    Ratih penuh selidik lihat Susana cantik seeh tapi exs katanya, wuih kaya karisidenan saja semua jadi exs, lha iya yang laku kodya sama kabupaten, ganti nama donk, iya.
    Jadi pembantu.
    Sayur asem tahu bacem peyek teri, biar ada bunyinya pakai krupuk, kelihatan yang lahap malah Ratih.
    Nano malah agak telat asyik mainan laptop.
    Tapi jadi menjelaskan kalau Susana yang bawa oleh-oleh buah buahan sewaktu habis operasi dulu.
    Ha ha arep apel malah kumpul semuanya disini.
    Belum tahu kalau Ratih ada dirumah Pratiwi, Roy pasti ikutan nggabung.
    Kaya syukuran aja.
    Jangan jangan sikap Ratih pada Susana kelihatan nggak senang, kalau kakaknya jadian sama Susana.
    Ngomong nya juga sengak kaya waktu numis sampai bersin bersin.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke tiga puluh dua sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah SB- 32 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat dan sukses selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  18. Pasti Bondan sama Ratih yg datang.
    Makasih mbak Tien

    ReplyDelete
  19. Turnuwun.cerita hebat tidak bisa ditebak.

    ReplyDelete
  20. terima ksih bunda SB nya .slmseroja sll dri skbmi..sht sll y bunda🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  21. Trmksh mb Tien SB sdh menghibur kita2 para pctk dg crt cinta segi brp ini? 3 atau 4 kah?
    Andrian-Pratiwi-Bondan-Sony
    Bondan-Susana-Sony
    Ratih-Roy
    Ikut mb Tien sjlah...slm seroja selalu utk mb Tien dan kita semua para pctk🤗

    ReplyDelete
  22. Terima kasih bu tien... nunggu sampai ketiduran .salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat semua 🤗🥰

    Duh senangnya Tiwi ,,ada yg bantuin
    Bondan dtg Susana senang sekali
    Aduhaiiii 🤣🤭

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 11

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  11 (Tien Kumalasari)   Saraswati terkejut, mendengar denting sendok mencium lantai. “Eh, kangmas, sendokny...