SETANGKAI BUNGAKU
33
(Tien Kumalasari)
Susana melihat seorang gadis turun dari mobil. Entah
siapa, Susana tak mengenalnya. Tapi ketika seorang lagi turun, Susana terkejut.
Ada Bondan. Mengapa Bondan datang kemari dengan seorang gadis? Pacarnya kah?
Ratih masuk ke rumah setengah berlari, langsung menuju
ke arah yu Kasnah, kemudian merangkulnya.
“Apa kabar ibu?”
“Ini nak Ratih kan?”
“Iya, Ibu pintar sekali.”
“Walaupun ibu tidak bisa melihat, ibu tahu dari
suaranya, dan juga wanginya."
Ratih terkekeh. Lalu dia menoleh ke arah samping, di
mana tadi dia melihat seorang wanita cantik, tapi dia tak melihatnya lagi.
Rupanya wanita itu sudah pergi ke arah depan, dan berbicara akrab dengan
kakaknya.
“Bu, siapa gadis itu tadi?”
“O, gadis tadi … itu teman kantornya Pratiwi, namanya
Susana. Mana dia, tadi ada di sini, mengajak ibu makan.”
“O, dia yang bernama Susana? Memang sangat cantik,” gumam
Ratih pelan. Ia ingat apa yang diceritakan kakaknya tadi, lalu tiba-tiba
timbullah rasa tidak senangnya. Mereka berbincang akrab sekali, dan terkadang
terdengar tawa sang kakak yang renyah, seakan dia sangat bergembira.
“Bu, mbak Pratiwi mana?”
“Masih ada di dapur, sepertinya. Tadi memasak dengan
nak Susana. Mereka bercanda riuh sekali. Tapi rupanya sudah selesai,” terang yu
Kasnah.
Ratih melangkah ke belakang.
“Mbak, lagi ngapain?”
“Ratih? Kok tiba-tiba ada di sini?”
“Iya, aku pulang kuliah, langsung datang kemari. Tapi
aku tidak sendiri. Ada mas Bondan di depan.”
“O, sama mas Bondan juga?”
“Tadi mas Bondan mengantarkan aku ke kampus, lalu
menjemput juga. Ya sudah, aku ajak ke sini sekalian.”
“Oh, begitu? Ya sudah, ayo ke depan dulu. Nanti makan
bersama-sama ya?”
“Aku mau dong, makan. Pakai pecel?”
“Tidak, aku hanya masak sayur bening, sama ikan, sama
sambal. Pasti kamu tidak suka.”
“Suka kok, kebetulan aku sedang lapar nih Mbak,” kata
Ratih, riang,
“Mana mas Bondan?”
“Di depan, dia akrab banget sama … siapa tuh … mbak
Susan.”
“O, iya. Tadi pagi mas Bondan mengantarkannya pulang.”
“Bagaimana menurut MBak, gadis bernama Susana itu?”
tanya Ratih pelan.
“Bu Susan gadis baik. Dia penyelamat aku. Dia melindungi
aku sejak aku melangkahkan kakiku untuk pertama kalinya di perusahaan itu.”
“Tapi dia pacar mas Sony bukan?”
“Dari mana kamu tahu?”
“Mas Bondan yang cerita. Rupanya gadis itu sudah
bercerita banyak tentang hubungannya dengan mas Sony.”
“Dia sudah bercerita juga tentang kejadian semalam?”
“Cerita. Aku bersyukur Mbak Tiwi selamat dari perbuatan
jahat mas Sony.”
“Bu Susan yang pertama kali menolong aku. Dia tiba-tiba sudah masuk ke kamar itu, sehingga pak Sony gagal melakukan kejahatannya. Bu Susan juga memaki-maki dia. Tampaknya hubungan mereka sudah putus.”
“Karena kejadian malam tadi?”
“Pak Sony marah sekali, demikian juga bu Susan. Bu
Susan sangat menyesal telah mencintai laki-laki bejad itu. Dia juga sudah
resign dari pekerjaannya.”
“Aku tidak mengira, Mbak Tiwi ketika itu akhirnya juga
bekerja di perusahaan mas Sony. Aku menyesal pernah mengatakannya. Dan aku juga
mengingatkan bahwa lebih baik Mbak Tiwi tidak menjalaninya bukan? Hanya saja
tampaknya waktu itu semuanya sudah terlambat,” sesal Ratih.
“Aku terpaksa melakukannya, Ratih. Aku butuh uang,
untuk operasi kaki Nano, dan perusahaan itu mau membayar tiga bulan gajiku di muka.”
“Ya. Aku bisa mengerti.”
“Semuanya sudah berlalu. Semoga semuanya baik-baik
saja.”
“Lalu Mbak Tiwi akan bekerja apa?”
“Aku tukang sayur, jadi akan kembali lagi menjadi
tukang sayur.”
“Jualan sayur lagi?”
“Mau apa lagi. Ini pekerjaan terbaik aku. Dengan
berjualan di dekat rumah, aku bisa selalu menjaga ibuku.”
“Mas Bondan sebetulnya mengusahakan juga pekerjaan
untuk Mbak Tiwi.”
“Tidak, aku tidak mau. Bagi aku, yang terpenting
adalah ketenangan hati ibu.”
“Mengapa ngobrol di sini? Berbisik-bisik pula. Lagi
ngomongin apa?” tiba-tiba yu Kasnah masuk ke dapur.
“Ini Bu, Ratih pengin bantuin bersih-bersih dapur,
tapi mbak Tiwi nggak mengijinkan,” jawab Ratih sekenanya.
“Di depan ada tamu, tidak kamu buatkan minum?”
“Iya Bu, nanti Tiwi buatkan. Ini sedang mau
menyelesaikan menata makan siang, barangkali pada mau makan dengan lauk
seadanya.”
“Masak nasi yang banyak. Tamunya juga banyak,” kata yu
Kasnah.
“Kebetulan tadi Tiwi memasak nasi lagi. Semoga saja
cukup.”
“Kalau begitu ajak tamu-tamu makan dengan sayur
seadanya. Kalau mau sih, ini makanan orang kampung,” kata yu Kasnah lagi.
“Nanti Tiwi tawarkan. Tapi cukup nggak ya, ikannya
cuma sedikit,” keluh Pratiwi.
“Ratih mau kok Bu, suka makan masakan Mbak Tiwi.
Sedikit juga tidak apa-apa, yang penting ada sambalnya,” kata Ratih.
“Aku kenalkan dulu sama Bu Susan yuk, dia baik kok.
Sebentar, sambil mengeluarkan minuman ini ya. Nggak apa-apa kan, air putih
saja?”
“Nggak apa-apa, ayo aku bantuin Mbak,” jawab Ratih
yang kemudian membantu menyiapkan gelas, sementara Pratiwi mengambil teko
berisi air putih. Semuanya di bawa ke depan.
Ketika di depan itu, didengarnya Bondan sedang
bercanda dengan Susana.
“Wah, mas Bondan asyik bener nih, ketemu lagi sama bu
Susan.”
“Nggak tahu nih, nggak janjian, kok bisa ketemu di
sini. Jodoh ‘kali ya,” canda Bondan, tapi kemudian Ratih menatap kakaknya tak
senang.
“Bu Susan, ini namanya Ratih, adiknya mas Bondan,”
kata Pratiwi mengenalkan Ratih pada Susan.
“Eh, iya? Selamat bertemu, Ratih. Senang bisa ketemu
di sini. Namaku Susana.”
“Saya Ratih,” kata Ratih sambil menerima uluran tangan
Susana, dan mengulaskan senyuman tipis.
“Kok bisa ya, tidak janjian, kita ketemu di sini.”
“Kan aku sudah bilang, ini namanya_”
“Ini Mas, mbak Pratiwi sudah menyiapkan minuman, dan
juga makan siang,” potong Ratih sebelum Bondan kembali melontarkan candaan.
“Wah, makan siang? Aku baru saja punya ide, akan
mengajak kalian makan siang di luar,” kata Bondan sambil menuang air putih ke
dalam gelas, lalu meneguknya dengan nikmat.
“Tidak Mas, Mbak Tiwi masak-masak, nanti dia kecewa
kalau kita tidak menghabiskannya,” kata Ratih.
“Benar. Aku dan bu Susan masak sayur bening dan menggoreng
ikan,” kata Pratiwi.
“Dan sambal,” sambung Susana.
“Wouw, itu enak sekali. Baiklah, tidak usah makan di
luar kalau begitu.”
Tiba-tiba seorang driver ojol datang sambil membawa
bungkusan besar.
“Lho, siapa yang pesan ojol?” tanya Pratiwi heran.
“Aku pesan lauk untuk tambahan makan siang kita,
setelah ada tamu datang,” kata Susana sambil berdiri dan menerima bungkusan
yang dibawa tukang ojol tersebut.
“Ya ampun, bu Susan.”
“Ayo kita makan, pasti rame makan bersama-sama,” kata
Susan yang tiba-tiba juga merasa akrab dengan ibu Pratiwi.
“Ayo Ibu, kita makan sama-sama,” kata Susana sambil
memberikan bungkusan lauk kepada Pratiwi, sedangkan dia sendiri kemudian
nyamperin yu Kasnah, diajaknya ke belakang.
Bondan ditarik Ratih, yang terus menatapnya seperti
sedang kesal.
“Kenapa kamu?” bisiknya di telinga adiknya.
“Awas ya Mas,” jawab Ratih lirih. Tapi kemudian dia
menjerit karena Bondan menjewer kupingnya.
“Auuuwww!”
“Ada apa ?” tanya yu Kasnah yang mendengar teriakan
Ratih.
“Ini Bu, mas Bondan menjewer Ratih keras sekali,”
Ratih mengadu.
“Memangnya kenapa nak, adiknya dijewer?”
“Ini Bu, mengingatkan, dia kalau makan banyak sekali.
Malu kan?” kata Bondan seenaknya.
“Apa?” Ratih kembali berteriak.
Tapi kemudian Bondan menjauh, dan lebih dulu memasuki
ruang makan, lalu membantu Pratiwi menata ikan tambahan yang dibeli Susana, ke sebuah piring.
***
Siang hari itu ada kegembiraan di rumah yu Kasnah,
membuat yu Kasnah merasa sangat bahagia. Bahagia karena anaknya berteman dengan
orang-orang baik, yang tidak merasa risih bergaul dengan orang miskin seperti
keluarganya. Padahal mereka bukan orang sembarangan. Mereka semua orang
berada, punya mobil, punya harta, tentu saja, sedangkan dirinya? Hanya seorang
janda tuna netra, dengan dua anak yang bisanya hanya bergantung kepada anak
perempuannya demi tercukupi semua kebutuhannya. Anak perempuan nya itu, hanya
punya sepeda butut yang sama sekali tak ada kilapnya.
“Tapi rasa syukur yang aku miliki, adalah bahagia yang
tak ternilai. Bukankah bahagia itu sederhana? Tak harus harta melimpah. Tak harus
ada yang gemerlap menyilaukan. Tapi kalau ada rasa syukur di dalam hati, maka
bahagia itu ada,” kata batin yu Kasnah saat mendengar celoteh tamu-tamunya.
“Ibu kok melamun di sini?” tiba-tiba Nano
mengejutkannya. Ia baru pulang dari sekolah, dan melihat ada tamu di depan
rumah, sedangkan ketika masuk, dilihatnya sang ibu duduk sendirian sambil
melamun.
“Kamu itu mengejutkan ibu saja.”
“Karena Ibu sedang melamun, jadinya Ibu terkejut.”
“Ngawur kamu. Ibu sedang mendengarkan tamu-tamu
bergurau di depan sana. Bukannya melamun.”
"Aku melihat dia, wanita cantik yang dulu membawakan
buah-buahan enak di rumah sakit,” kata Nano ketika melongok keluar melalui
pintu yang sedikit terbuka.
“O, itu bu Susan, begitu kakakmu memanggilnya. Dia
teman sekantor kakakmu, waktu dia bekerja.”
“Memangnya mbak Tiwi sekarang nggak kerja di kantor?”
“Nggak. Mulai hari ini, tidak.”
“Lalu apa?”
“Kakakmu mau kembali jualan sayur saja. Mulai besok.”
“Nah, itu bagus. Nano juga senang. Ketika bekerja di
kantor, setiap pulang selalu kelihatan letih.”
“Iya. Katanya kantornya jauh, dan kakakmu kan hanya
naik sepeda. Pasti capek mengayuh sepeda ke tempat yang lumayan jauh. Ya sudah,
kamu apa sudah ganti baju?”
“Sudah Bu, sudah cuci kaki, cuci tangan. Apa Ibu masih
mencium bau asem di tubuh Nano?”
“Tidak. Ya sudah, makanlah.”
“Nano sudah menengok ke meja makan, kok ada ikan
banyak?”
“Itu, bu Susana yang beli, tadi mereka makan di sini.
Ya sudah, sekarang kamu makan saja dulu.”
“Wah, enak bener hari ini,” kata Nano dengan riang.
Sementara itu rupanya Ratih dan Bondan akan berpamit.
Mereka mendekati yu Kasnah, dan seperti biasa, Ratih selalu memeluknya.
“Bu, Ratih pulang dulu ya.”
“Semuanya mau pulang?” tanya yu Kasnah.
“Saya sama mas Bondan,” kata Ratih.
“Baiklah, hati-hati di jalan,” kata yu Kasnah ketika
Bondan menyalaminya.
“Susana, benar nih, nggak mau bareng kami?” tanya
Bondan ketika Susana menolak untuk pulang bersama.
“Nggak usah Mas, tadi datangnya juga nggak bareng,
jadi pulangnya nggak boleh bareng,” kata Susana bercanda.
Bagaimanapun Ratih harus mengakui, bahwa Susana
sepertinya gadis yang baik. Tutur katanya manis, lembut, tapi seperti juga
kakaknya, Susana suka bercanda. Hanya saja ada yang membuatnya takut, ketika ia
melihat Bondan tampak sangat perhatian padanya. Entah itu apa. Barangkali Ratih
menilai, bahwa sebagai wanita, Susana memiliki cacat cela yang mungkin susah
untuk bisa diterimanya.
***
Roy merasa kesal, melihat kakaknya tampak tak
bersemangat. Ia memasuki kamarnya sore itu, dan melihat Ardian sedang duduk di
sofa sambil mengutak atik ponselnya.
“Lagi ngapain Ar?”
“Nggak ngapa-ngapain. Lagi santai saja.”
“Nggak mau ke rumah Pratiwi?”
“Apa itu penting?”
“Kamu ini bagaimana sih? Benar-benar mau mundur, dan
merasa kalah bersaing?”
“Bukan. Hanya merasa tak ada gunanya aku nekad.
Perseteruan yang terjadi karena wanita, sangat memalukan.”
“Apa kamu merasa bahwa kalian telah bersetaru? Ingat,
cinta harus diperjuangkan. Jangan kalah sebelum bertempur.”
“Ungkapan kamu terlalu tajam.”
“Tajam lah, ini sebuah peperangan. Aku ada di belakang
kamu. Kalau kamu suka, rebut dia. Jangan mau kalah.”
“Ini bukan masalah menang atau kalah. Cinta itu bukan
untuk diperebutkan. Dia bisa datang dan pergi, tanpa kita mengaturnya. Kalah
dan menangnya dalam berebut cinta, ditentukan oleh perasaan orang yang kita
cintai, bukan karena kekuatan orang yang memperebutkannya.”
“Kamu terlalu banyak teori. Ayo ke rumah Pratiwi, aku
antarkan kamu.”
“Memangnya aku anak kecil, harus diantar segala.”
“Buktinya kamu takut? Ya kan? Apa yang kamu takutkan?
Jatuh cinta itu resikonya hanya ada dua. Diterima dan itu berarti bahagia, ditolak
dan itu berarti patah hati. Takut ya?”
Ardian merasa bahwa adiknya sedang memanas-manasi
hatinya. Takut? Siapa takut? Ardian hanya tak mau saling melukai. Tapi
mendengar kata ‘takut’ tadi, hatinya tergelitik untuk mencobanya. Roy benar, ia
harus tahu, sebenarnya siapa yang lebih mendapat perhatian, diantara dirinya
dan Bondan.
Karenanya ia segera berganti pakaian, bersiap untuk
pergi. Tapi tiba-tiba ponsel Ardian berdering. Dari kantor polisi? Ardian
segera mengangkatnya, dan dia terkejut.
Sony kabur dari rumah sakit.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYang ditunggu tunggu sdh datang
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
alhamdulillah. maturnuwun
ReplyDelete🌷🌿🌷🌿🦋🌿🌷🌿🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 33 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Salam sehat, bahagia
dan tetap Aduhai...
🌷🌿🌷🌿🦋🌿🌷🌿🌷
Alhamdulilah ...yg ditunggu sdh hadir...suwun bunda Tien
ReplyDeleteWaduh, melarikan diri.....
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
Salam sehat dan aduhai selalu
Persaingan dimulai, siapa yang berhasil mendapatkan simpati Pratiwi.
ReplyDeleteNah... cerita masih panjang kan, Sony kabur. Mungkin akan balas dendam kepada Susana.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Waaah Sony kabur...
DeleteKnp kabur? jawabannya bsk lg..
Apkh Sony menyesal dan sadar atas kekeliruannya??
Sabaaar..menunggu bsk..
Alhamdllh terima kasih
ReplyDeletemksih SB nya sdh tayang bunda..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja dri skbmi🙏😘🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulillah tayang juga makasih bunda
ReplyDeleteAlhamdulilsh terima kasih bu tien ....wah gawat sony kabur...
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien.., Pratiwi sdh tayang
Semoga bunda sehat dan bahagia selalu
Salam Aduhai dari Sukabumi
🙏🙏🙏🥰🌹
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 33 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Maturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~33 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-33 sdh hadir
ReplyDeletewaah Sony kabur, polisinya kemana? kan dijaga..
Terima kasih Bunda Tien, srmoga bunda sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Terima kasih Bu Tien....
ReplyDeleteAlhamdulillah, trm ksh bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien
ReplyDeleteAduh ada yang kabur dari rumah sakit, paling kerumah Pratiwi selidik kira kira bisa diculik nggak, kokean polah.
ReplyDeleteJelas kerumah Susana kosong, karena Susana kerasan dirumah Pratiwi; merasa punya temen,
tuh kan Ratih yang nggak suka Bondan deket sama Susana.
Ini bikin semangat si Roy denger kalau Sony kabur, jiwa pahlawan nya membara karena sudah dapat cerita dari Ardian, yang barusan di beri tahu polisi.
Melarikan diri barengan dengan marsam?
Ya berarti rombongan, nggak sendiri, walau cuma berdua.
Sony kan diarea ini kan cuma se sekali nggak selalu, paling ya kabur ke kantor pusat lah.
Biar jauh sekalian; itu kalau punya malu, kalau tetep kekeh cita citanya ya paling luntap luntup, injan injen deket rumah Pratiwi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke tiga puluh tiga sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Waah...nambah konflik nih...pasti masih panjang ceritanya, berliku2...asyiikk....terima kasih, bu Tien. Salam sehat selalu ya...🙏😘😘😀
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien....
ReplyDeleteSony kabur.....wah saingan Ardian lagi nih, karena sepertinya Bondan sudah mulai suka dengan Susana.
Salam sehat selalu bu Tien.
Terima kasih Bu Tien...
ReplyDeleteSetangkai bungaku ceritanya selalu bikin penasaran dan keren, semangat juga untuk segera pengen tahu kelanjutannya ...
Sehat selalu buat ibu, salam Aduhai...
Berkah Dalem Gusti 🙏😇🛐
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSehat wal'afiat selalu ya 🤗🥰
Mantab makin seru nih ,,,Sony kabur bahaya buat Tiwi nih ,,
Bahaya juga ini, jangan sampai Sony berbuat jahat lagi sama Pratiwi. Ardian harus siaga .
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu . Aduhai
Trims Bu tien
ReplyDelete