Saturday, March 25, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 04

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  04

(Tien Kumalasari)

 

Pinto sudah membalikkan tubuhnya untuk pergi, tapi kemudian ia ingat sedang membawa bungkusan nasi untuk Aliyah. Ia berhenti, menoleh kepada pak RT yang ternyata masih tegak berdiri mengawasinya.

“Maaf pak RT, saya sebenarnya membawa makanan untuk Aliyah. Bolehkah saya titipkan agar nanti Bapak memberikannya pada Aliyah?”

“Apa? Makanan? Tidak … tidak, nanti kalau dia pulang sore bagaimana? Apa tidak basi? Lebih baik Anda bawa lagi saja dan dimakan sendiri, sayang kalau basi.”

Pinto mengangguk.

“Baiklah, saya permisi,” katanya sambil berlalu.

Pak RT tersenyum licik. Ia masih saja berdiri di situ, sampai Pinto menghilang dibalik tikungan.

“Paak, Pak!” tiba-tiba terdengar teriakan yang ternyata adalah teriakan istrinya. Pak RT melangkah menuju rumah, di mana sang istri sedang berdiri.

“Ada apa?”

“Kenapa Bapak berdiri di situ?”

“Tidak apa-apa, tadi ada orang menanyakan alamat seseorang.”

“Siapa?”

“Entahlah, aku tidak tahu. Bukan orang sini kok.”

“Aku kira pergi ke mana. Sarapan sudah siap tuh.”

“Oh, iya. Sarapan apa pagi ini?”

“Hanya nasi goreng, soalnya nasi kemarin sore masih banyak, sayang kalau tidak dimanfaatkan.”

“Basi dong nasinya?”

“Ya enggak dong Pak, masa aku memberikan makanan basi untuk suami aku,” kata bu RT sambil masuk ke dalam rumah, diikuti pak RT.

Mereka sudah duduk di ruang makan.

“Baunya sedap.”

“Ada sisa udang kemarin sore.”

“Nasi gorengnya banyak bener?”

“Itu Bapak, sama aku. Kebanyakan ya?”

“Ini aku kebanyakan. Bagaimana kalau disisain sedikit untuk Aliyah? Pagi-pagi begini pasti dia belum sarapan.”

“Ya nggak apa-apa, kalau tersisa. Tapi aku mau ke pasar dulu, dan ini sudah kesiangan.”

“Biar aku yang memberikan. Kasihan dia.”

“Ya sudah, terserah Bapak saja. Nanti aku siapkan di rantang, agar gampang Bapak membawanya.”

“Apa kamu ke pasarnya lama?”

“Ya nggak tahu, ke pasar kok ditanya lama atau tidak. Kalau yang dicari cepet ketemu ya nggak apa-apa, bisa lebih cepat pulang. Terkadang nyari sesuatu harus muter-muter dulu, baru ketemu.”

“Ya sudah, nggak apa-apa. Kalau pun lama, aku sabar menunggu kok. Masak yang enak ya.”

“Cuma mau masak gudeg rebung. Nah, rebungnya itu terkadang susah, kalau nggak ketemu ya diganti nangka muda saja.”

“Terserah kamu, aku kan percaya, bahwa masakan kamu pasti enak.”

Bu RT tersenyum senang, istri mana sih yang tidak senang kala suami memuji masakannya?

“Ini, ternyata masih sisa banyak, nasi gorengnya,” kata bu RT lagi.

“Berikan semua saja, dari pada sisa, pasti tidak enak, kalau dimakan nanti.”

“Ini, aku tempatkan di rantang ini, nanti Bapak berikan sama dia ya.”

“Ya, itu krupuknya ditambahkan. Biar aku bantu membungkus kerupuknya, ini ada plastik kosong.”

“Ya sudah Pak, aku bersihkan dulu semua, lalu berangkat ke pasar. Bapak pengin dibelikan apa?”

“Nggak usah, pokoknya kamu belanja sesuka kamu dan masak yang enak. Aku tidak ingin yang lain.”

***

Pak RT membawa rantang dan bungkusan kerupuk menuju ke rumah Aliyah yang tidak jauh dari rumahnya. Ia mengelus rambutnya, karena lupa tadi tidak merapikannya. Ia merasa, Aliyah harus melihat dia kelihatan rapi dan tampak muda.

“Pak RT mau ke mana, kok membawa rantang?” sapa salah seorang warga.

“Oh, ini Bu, mau memberikan makanan untuk Aliyah,” katanya sambil berhenti mengelus rambutnya.

“Waduh, pak RT kok perhatian sekali sama Aliyah?”

“Hanya kasihan saja Bu, setelah neneknya meninggal, dia kan tidak punya siapa-siapa. Ini tadi istri saya yang meminta agar saya mengantarkan ke rumahnya.”

“Iya pak RT, memang kasihan dia,” katanya sambil berlalu.

Pak RT melanjutkan langkahnya. Ketika dia memasuki halaman, dilihatnya Aliyah sedang membuang sampah dari dalam rumahnya.

“Yah.”

Aliyah terkejut, melihat pak RT.

“Rajin banget, kamu ini.”

“Iya Pak, bersih-bersih. Membuang barang-barang nenek yang sudah tidak terpakai.”

“Ini, aku bawakan makanan untuk kamu,” katanya sambil mengulurkan rantang dan bungkusan kerupuk.

“Ini apa? Kenapa memberikan makanan ini?”

“Tadi ibunya anak-anak masak nasi goreng, agak banyak. Ini sebagian aku kirimkan untuk kamu. Barangkali belum sarapan.”

“Terima kasih ya Pak, memang belum sempat sarapan, mau bersih-bersih dulu.”

“Segera sarapan Yah, kalau telat makan, nanti kamu sakit.”

“Ini baru selesai bersih-bersih, mau mandi dulu.”

“Ya sudah, mandi dulu sana, supaya lebih cantik dan wangi.”

Aliyah kurang suka melihat cara pak RT memandangnya. Ia merasa aneh, dan ingin segera beranjak pergi dari hadapannya.

“Ini saya bawa masuk dulu, sekali lagi terima kasih,” kata Aliyah yang kemudian membalikkan tubuhnya, lalu memasuki rumah dan menutupnya. Khawatir kalau pak RT mengikutinya.

Sebenarnya pak RT ingin mengikutinya, menunggu sampai Aliyah selesai mandi, kemudian mengobrol ala kadarnya. Toh istrinya belum pulang dari pasar. Tapi melihat Aliyah menutup pintu, pak RT kemudian membalikkan tubuhnya dengan kecewa.

“Kenapa dia buru-buru pergi. Ah, dasar gadis yang masih hijau, tidak bisa menangkap arti kebaikan aku,” gumamnya sambil menuju pulang.

***

Aliyah mengembalikan sapu dan alat-alat yang tadi dipergunakan, lalu meletakkan rantang yang diberikan pak RT, di meja makan. Ia mencium bau sedap nasi goreng. Perutnya tiba-tiba terasa melilit.

“Bu RT sangat perhatian sama aku. Ada sisa makanan, suaminya disuruh mengantarkannya kemari. Sebenarnya sungkan, dan aku tidak suka cara pak RT memandang aku. Kenapa ya, matanya seperti tak pernah mau lepas menatap aku...ihh. Kok agak menakutkan, begitu,” gumam Aliyah sambil bersiap untuk mandi.

Aliyah mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih, kemudian menikmati nasi goreng yang dibawakan pak RT.

“Lumayan, dan lebih irit, karena aku tidak usah membeli makanan untuk sarapan. Ini juga lumayan banyak, bisa untuk makan siang juga.”

Setelah selesai makan dan menggantikan sisa nasi goreng ke piringnya sendiri, Aliyah mencuci rantang itu dan mengeringkannya. Ia bermaksud mengembalikan rantang itu, tapi tiba-tiba ada rasa takut ketemu pak RT kembali. Padahal dia kan harus mengembalikan rantangnya.

“Nanti saja ah, kalau kira-kira bu RT sudah pulang dari pasar.”

Aliyah duduk menyelonjorkan kakinya di kursi panjang. Ia merasa lelah setelah bersih-bersih dari pagi. Ditatapnya kamar bekas neneknya yang tertutup, lalu ia seperti mendengar suara sang nenek memanggilnya.

“Yah, tolong ambilkan aku minum.”

Aliyah mengibas-ngibaskan kepalanya. Kenangan tentang sang nenek menimbulkan khayalan atau halusinasi seperti apa yang sering didengarnya.

“Yah …”

Aliyah terkejut. Yang ini bukan suara neneknya, karena datang dari luar rumah. Ia bangkit dan bergegas keluar. Terkejut melihat Pinto berdiri di depan rumah.

“Mas Pinto?”

“Kamu sedang apa?”

“Sedang duduk-duduk saja. Dari pagi bersih-bersih rumah.”

Pinto melangkah masuk setelah Aliyah mempersilakannya.

“Tadi pagi kamu ke mana?”

“Tadi pagi? Aku tidak ke mana-mana tuh, dari pagi bersih-bersih rumah.”

“Oh, begitu ya? Tapi tadi pagi aku datang kemari, katanya kamu sedang pergi.”

“Kata siapa?”

“Pak RT.”

Aliyah tertegun. Kok pak RT bisa mengatakan kalau dirinya pergi?

“Ke mana tadi?”

“Aku nggak ke mana-mana, bersih-bersih rumah.”

“Kok pak RT bilang begitu ya. Aku tadi juga membawa nasi bungkus untuk kamu, tapi pak RT aku titipin nggak mau, takutnya kamu pulang sore, gitu.”

“Aneh. Tapi mungkin karena pintu rumahku masih tertutup. Kan aku bersih-bersih di belakang dulu,” kata Aliyah mengira-ira.

“O, mungkin saja. Trus ini tadi aku coba-coba kemari lagi, barangkali kamu sudah pulang, ternyata malah nggak pergi.”

“Kok siang-siang datang kemari Mas? Nggak kerja?”

“Aku masuk nanti sore.”

“O, lha kok malah main kemari, apa nggak istirahat, kan nanti pasti pulang malam?”

“Sudah dari pagi istirahat, maksudmu main kemari dulu, siangnya istirahat, ini kebalik, aku tiduran saja di kamar sejak pagi.”

“Ya nggak apa-apa.”

“Kamu sudah makan?”

“Sudah tadi pagi. Dapat kiriman nasi goreng dari bu RT.”

“Ini kan sudah siang?”

“Kalau makan siang, belum Mas, nanti sebentar lagi.”

“Makan di luar yuk.”

“Maksudnya apa, makan di luar?”

“Keluar, lalu makan. Aku traktir kamu, aku baru gajihan,” kata Pinto sambil tersenyum.

“Nggak usah Mas, aku masih punya nasi goreng sisa pagi tadi.”

“Nasi goreng sisa pagi, apa masih enak?”

“Ya enak lah Mas, masakan kalau belum basi ya masih enak.”

“Maksudku, nasi goreng kalau sudah dingin, mana enak?”

“Bagi aku, makanan apapun itu enak. Nasi goreng panas atau dingin, bahkan makanan lainnnya. Tidak harus panas atau hangat, kan?”

Pinto tersenyum haru. Mungkin karena kehidupannya yang sederhana, Aliyah tidak pernah membedakan makanan yang bagaimana yang pantas dinikmati. Misalkan nasi goreng enaknya hangat, soto atau sup enaknya panas, dan sebagainya. Tapi Pinto tidak mau mencelanya. Barangkali nanti, dengan berjalannya waktu, dia akan bisa membedakan, mana yang lebih nikmat, nasi goreng hangat atau dingin, sup panas atau dingin.

“Jadi kamu tidak mau, makan keluar bersama aku, sekarang?”

“Kalau sudah ada makanan, ngapain harus beli diluar. Mas saja yang makan sendiri, aku sudah punya makanan.”

“Baiklah, tapi makan sendiri, tidak nyaman lho. Ayo, aku ditemani. Mau ya?”

“Hanya menemani saja, bolehlah, sekalian aku mau mengembalikan rantang bu RT ya,” kata Aliyah sambil berdiri.

“Baiklah, tidak apa-apa,” kata Pinto senang.

***

“Permisiii… “ Aliyah berteriak di luar pintu.

Ternyata pak RT dan bu RT keluar bersama.

“Aliyah?” seru bu RT.

“Iya Bu, mengembalikan rantang.”

“Owalah, kenapa buru-buru Yah?”

“Sudah saya makan, terima kasih sekali bu RT, tadi repot=repot mengirimi makanan untuk saya.”

“Tidak apa-apa Yah, ada banyak kok. Ini siapa?” tanya bu RT kemudian, ketika melihat Aliyah tidak sendiri tapi bersama Pinto.

“Ini, namanya mas Pinto, teman saya Bu.”

“Teman atau pacar?” goda bu RT, sementara pak RT memandang dengan pandangan tak senang.

Aliyah tersipu.

“Teman Bu.”

Pinto dengan santun lalu mengulurkan tangannya ke arah bu RT sambil memperkenalkan diri. Tapi kemudian pak RT menghilang di balik pintu.

“Anak baik, aku kira pacaran.”

“Saya permisi Bu,” kata Aliyah.

“Ya. Mau kemana?”

“Mengantar mas Pinto, mau makan di luar.”

“O, iya Yah, besok hari Minggu aku boleh minta tolong ya.”

“Minta tolong apa Bu.”

“Belanja ke pasar, karena aku harus masak-masak, sorenya menerima arisan di rumah.”

“Oh, baik Bu.”

“Kalau begitu datanglah pagi-pagi, supaya tidak kesiangan.”

“Baik. Sekarang saya permisi.”

“Hati-hati,” pesan bu RT ramah, sambil membawa masuk rantang yang dikembalikan Aliyah.

“Siapa itu tadi?” tanya pak RT.

“Itu Aliyah, gimana sih Bapak. Ini lho, mengembalikan rantang.”

“Satunya, anak laki-laki itu.”

“Katanya sih teman, tapi pantas ya, jadi pacar Aliyah, Pinto itu gagah, ganteng, Aliyah cantik.”

“Masih bocah sudah pacaran,” omel pak RT kurang senang.

“Eeh, bocah bagaimana sih Pak, Aliyah itu ya sudah dewasa, kok bocah. Biarkan saja, kalau memang jodoh. Dan kalau nanti sudah punya suami, Aliyah kan tidak usah bingung mencari kerja?” kata bu RT.

Pak RT pergi menjauh, kesal mendengar istrinya memuji-muji anak laki-laki teman Aliyah, tidak peduli namanya Pinto atau siapa, pak RT enggan menanyakannya.

***

Karena Pinto tanpa mengatakan apa-apa lalu langsung memesan dua mangkuk soto, Aliyah terpaksa menerimanya, sambil mengerutu.

“Mas Pinto tuh, kan aku sudah bilang, kalau aku masih punya nasi goreng?”

“Tidak apa-apa Aliyah, nggak enak kalau aku makan sendiri.”

“Kan sudah aku temani?”

“Kalau menemani, ya harus ikut makan. Ayo makanlah, enak kok. Ini warung soto langganan aku.”

“Nanti nasi goreng aku gimana dong? Kalau sore, masih enak nggak ya?”

“Kalau kamu masih mau, nanti sore sebelum makan, dipanasin lagi. Jadi lebih enak rasanya.”

“Begitu ya?”

“Nanti aku ajarin, bagaimana menghangatkan nasi goreng kamu.”

“Benar?”

“Iya, sekarang makanlah.”

Aliyah meraih mangkuknya agar lebih dekat, dan menyendoknya pelan.

“Masih panas.”

“Ditunggu sebentar saja, pasti sudah agak berkurang panasnya. Soto itu, enaknya dimakan panas-panas.”

Aliyah mengangguk. Memang nikmat makan soto agak panas-panas dikit. Pinto mengulurkan sehelai tissue ketika keringat di dahi Aliyah meleleh. Aliyah menerimanya sambil tersenyum.

***

Pinto masuk ke dalam rumah Aliyah, ingin mengajarkan Aliyah, bagaimana enaknya makan nasi goreng yang hangat dan tidak dingin.

Aliyah menyiapkan wajan, dan sedikit minyak, kemudian memasukkan sisa nasi gorengnya. Pinto mengaduknya sebentar, kemudian kembali meletakkannya di piring.

“Nah, nasi goreng ini sudah hangat, cobain, enak mana dengan ketika kamu makan saat dingin.”

“Hm, iya … masih enak, dan lebih enak. Tapi aku makan nanti sore saja.”

“Baiklah, nanti sore kamu bisa menghangatkannya lagi kalau mau. Jadi artinya, setiap makanan itu ada beda saat menyantapnya. Ada yang nikmatnya disantap panas, ada yang disantap dingin juga tidak apa-apa.

Aliyah mengangguk-angguk. Ia tahu, karena Pinto kan bekerja di rumah makan.

“Lain kali aku akan belajar masak sama Mas, bisa kah?”

“Dengan senang hati.”

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk sangat keras, dan bertalu-talu.

Pinto dan Aliyah berlari keluar, dan melihat pak RT berdiri di depan pintu dengan mata menyala.

“Tidak sopan!!” pekik pak RT sambil menuding ke arah muka Pinto.

***

Besok lagi ya.

 

31 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah CeBeE_04 sdh tayang, matur nuwun bu Tien.....
      Salam SEROJA.

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Aliyah sudah hadir.

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun Bunda Tien, sehat selalu.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah..
    Tks bunda Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  5. alhamdulillah... pulang tarawih dah muncul cb nya ,maturnuwun buTien

    ReplyDelete
  6. 🍁🌼🍁🌼🦋🌼🍁🌼🍁
    Alhamdulillah CBE 04 telah
    hadir.Matur nuwun Bu Tien.
    Semoga sehat selalu &
    tetap smangaats.
    Salam Aduhai...
    🍁🌼🍁🌼🦋🌼🍁🌼🍁

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah CBE - 04 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga Bunda sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien..

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah CINTAKU BUKAN EMPEDU~04 sudah hadir, terimakasih semoga tetap sehat bu Tien..🙏

    ReplyDelete
  10. Wah, dari awal sudah muncul 'konflik'nya...asyiik...ntar mesti diplintir-plintir ibu Tien supaya berliku-liku sampai ke ujungnya...👍👍😀

    ReplyDelete
  11. Benar sekali, tidak sopan.. apa lagi sudah punya istri menginginkan seorang gadis dengan sembunyi"...
    Ayo Pinto segera usahakan pekerjaan untuk Aliyah biar terhindar dari belas kasihan orang lain.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah aliyah sdh tayang terima kasih bu tien , salam sehat

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, terima kasih bu Tien..
    Salam sehat

    ReplyDelete
  15. Terima ksih CBE nya bunda Tien..slm seroja dan tetap Aduhai dari skbmi🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  16. Bèn ketok sangar, bengak bengok kaya makelar Terminal, mung arep ngundang ngrewangi nggo arisan waé kokehan polah.
    Bingung ya, arep nggropyok mêngko malah kelangan, lha makan bersama lho masih siang lagi, kok dilarang mbok dimurahi.
    Pinto santai to, yèn kokehan pikiran mêngko rak setruk déwé.
    Lha itu; bar bêngok saja nafasnya sudah pas pasan, gitu kok arep reka reka double decker.
    Layu sebelum berkembang tå yå..
    ADUHAI

    Terima kasih Bu Tien
    Cintaku bukan empedu yang ke empat sudah tayang
    Sehat sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Semakin seru.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu aduhai

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat selalu

    Pak Rtnya rada2 nih 🤭

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah.Tks bu.Sht2 Slalu bu tien

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur suwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat selalu

    ReplyDelete
  21. Saking gemesnya sama pak RT sampai lupa kalo ini hari Ahad, waktunya bunda Tien beristirahat 🤗🥰

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 41

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  41 (Tien Kumalasari)   Adisoma menerima amplop itu dengan heran. Ada urusan apa ini? Pikirnya dengan hati ...