Monday, January 30, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 06

 

SETANGKAI BUNGAKU  06

(Tien Kumalasari)

 

Langkah Roy terhenti seketika. Tangannya mengepal. Ia harus mengatur napasnya supaya tidak tersengal menahan kemarahannya. Ketika selangkah lagi kakinya melangkah, Ardian menariknya dari belakang.

“Mau apa kamu?” tegurnya.

“Bukankah kita mau mengajaknya pergi bersama?”

“Sudah ada yang mengajaknya, jadi hentikan langkahmu. Aku tahu apa yang akan kamu lakukan. Itu tidak benar,” kata Ardian sambil terus menariknya menjauh, lalu mengajaknya memasuki mobil.

Wajah Roy muram bagai langit tertutup mendung, tapi dia tak mengatakan apapun. Ia sebenarnya sadar, Ardian tidak salah. Dirinya yang bersalah, tapi dia selalu tak bisa mengendalikan dirinya. Tapi bagusnya, Roy memiliki rasa patuh kepada kakaknya, walau amarah menyelimutinya.

“Berangkat sendiri saja, lebih nyaman. Mengapa ribut karena seorang gadis?” kata Ardian yang kali itu memegang kemudi, menuju ke rumah Aira.

“Mengapa dia selalu menjadi penghalang?”

“Apa kamu menyukai Pratiwi?”

“Apa? Suka bagaimana maksudmu? Ini masalah ingin mengajak dan kedahuluan. Kesal, tahu?”

“Mengapa juga harus kesal?”

“Kesal saja. Ingat nggak, ketika kita main mobil-mobilan, lalu aku merebutnya, kemudian kamu marah-marah?”

Ardian terkekeh mendengar jawaban adiknya.

“Itu kan dulu, ketika kita masih kecil, ketika belum bisa mengatur hati dan rasa. Sekarang ini kita sudah dewasa, malah sudah hampir dibilang perjaka tua, masa masih harus bersikap seperti anak kecil?”

“Hanya perbandingan saja.”

“Mana bisa orang dewasa dibandingkan dengan anak kecil?”

“Rasa itu kan sama.”

“Sama sih, tapi kan tergantung kita bisa mengendalikan rasa itu, atau tidak. Kendalikan apa yang bergejolak dalam hati kamu, jangan sampai terjadi, kamu melakukan hal yang tercela.”

“Tercela itu apa?”

“Tercela, misalnya karena kamu marah, kemudian berantem untuk sesuatu yang tak penting. Lalu dilihat orang, malu kan?”

Roy terdiam, dia heran, apa yang dikatakan Ardian selalu ada benarnya.

"Bagaimana kalau setelah pulang, kita makan di warung bakso?” kata Ardian berusaha mengendapkan perasaan adiknya.

“Kamu  itu pecinta bakso? Setiap saat hanya warung bakso saja yang kamu ingat,” gerutu Roy.

“Memang kamu nggak suka? Biasanya, biar aku yang ngajak, lalu kamu menggerutu, tapi kamu menghabiskan lebih banyak dari aku,” protes Ardian. Dan itu membuat Roy akhirnya tertawa terbahak.

***

Bondan masih berdiri di depan rumah sederhana, yang lampu terasnya begitu redup. Ia mencari-cari, apakah ada bel tamu di pintu, atau di tembok depan, tapi ternyata tidak ada. Ia mengetuk pintu perlahan, sambil mengucapkan salam.

“Wa’alaikum salam,” sahut suara berat perempuan dari arah dalam.

Tapi yang kemudian keluar adalah Pratiwi.

“Lhoh, mas Bondan? Kenapa malam-malam datang kemari?”

“Malam ini ada pengajian di rumah, Ratih berpesan agar aku menjemput kamu. Mau kan kamu datang untuk ikut mendoakan Aira?”

Pratiwi tampak terdiam.

“Sebenarnya … saya ingin sekali Mas, tapi ….”

“Tapi kenapa? Aku jemput kamu, lalu aku nanti pasti juga akan mengantarkan kamu.”

“Bukan itu. Malam ini aku harus mengantarkan ibu.”

“Kemana?”

“Kemana lagi? Kalau ibu bepergian, pasti karena ada pelanggan yang mau dipijit, dan tentu saja aku harus mengantarkannya.”

“Jauh ya?”

“Tidak sih, tapi sedekat apapun, aku tak bisa membiarkan ibu berangkat sendiri.”

“Oh, begitu ya? Baiklah, aku mengerti.”

“Doa itu bisa dilantunkan di mana saja. Aku pasti akan selalu ikut mendoakan sahabat aku yang sudah  menghadap Sang Khaliq. Aku janji dan pasti akan aku tepati.”

“Ya sudah, tapi ngomong-ngomong, apakah tempatnya jauh?”

“Tidak sih, tapi walau dekat kan ibu harus diantar.”

“Iya, aku mengerti, kalau sudah siap, sekalian aku antar dan aku turunkan di tempat tujuan kamu. Nggak apa-apa kan?”

“Sebenarnya sudah siap, tapi mengapa harus merepotkan sih?”

“Tidak repot, kan sekalian jalan?”

“Baiklah, aku ajak ibu dulu,” kata Pratiwi sambil masuk ke dalam, kemudian tak lama lagi sudah keluar bersama ibunya.

Bondan menggantikan menuntun bu Kasnah, sementara Pratiwi mengunci pintu rumahnya.

“Sebenarnya rumah keluarga Luminto tidak jauh dari sini, pakai diantar segala,” gerutu bu Kasnah ketika Bondan membantunya naik ke atas mobil.

“Tidak apa-apa Bu, sekalian jalan.”

***

“Ketika Pratiwi menuntun ibunya memasuki halaman keluarga Luminto, dilihatnya pak Luminto sedang duduk di teras bersama kedua istrinya.

“Lho, itu yu Kasnah kemari,” teriak Ratna.

“Bukannya Pratiwi ke rumah temannya yang mengadakan pengajian?”

“Selamat malam Pak, Bu ….” sapa bu Kasnah.

“Malam Yu. Pratiwi bukannya pergi ke rumah Aira?” sapa bu Sasmi.

“Tidak Bu, kan ibu sudah janji mau memijit pak Luminto?” kata Pratiwi.

“Iya sih, tapi karena ada acara itu, jadi kami kira yu Kasnah membatalkannya.”

“Tidak Bu, saya sudah sanggup, berarti saya harus berangkat. Kalau Tiwi pergi, saya pasti akan berangkat sendiri.”

“Dan Tiwi rupanya tidak tega sama ibunya bukan?” sambung pak Luminto.

“Iya Pak,” kata Pratiwi sambil membantu ibunya menaiki teras.

“Ya sudah, ayo masuk saja Yu, tuh … pak Luminto sudah siap,” kata Ratna yang kemudian mengikuti suaminya ke kamar, untuk membantunya bersiap dipijit.

“Kamu menunggu di sini saja Wi, sama aku, tidak usah pulang.”

“Iya Bu,” kata Tiwi sambil duduk di depan Sasmi.

“Tadi anak-anak datang nyamperin kamu kan?” tanya Sasmi.

“Anak-anak … siapa Bu?”

“Anak-anakku, Roy sama Ardian. Ya kan?”

“Sepertinya tidak Bu.”

“O, tidak ke rumah kamu? Soalnya tadi bilang mau ngajak kamu pengajian di rumah Aira.”

“Tapi tidak ke sana Bu, yang datang nyamperin malah mas Bondan. Kakaknya Aira.”

“O, Aira punya kakak?”

“Punya kakak laki-laki bernama Bondan, dan punya adik perempuan bernama Ratih. Wajahnya mirip Aira. Cantik.”

“O, lalu kenapa kamu tidak berangkat, kan sudah disamperin?”

“Ya karena saya harus mengantar ibu kemari itulah, maka saya tidak berangkat ke pengajian. Saya kan bisa mendoakannya dari rumah.”

“Anak baik, selalu lebih memilih menjaga orang tuanya.”

“Ibu, semua orang pasti melakukan hal yang sama.”

“Kamu tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.”

“Tidak Bu, tidak usah. Seperti tamu saja, kalau haus biar saya membuatnya sendiri,” kata Pratiwi yang merasa sungkan.

“Tidak usah, ini sudah aku buatkan,” tiba-tiba Ratna keluar sambil membawa segelas teh hangat.

“Ya ampun, Bu Ratna kok saya jadi seperti tamu.”

“Tidak apa-apa Wi, malam ini kamu jadi tamu. Yang untuk ibu kamu sudah aku taruh di kamar, tempat dia memijit.”

“Terima kasih banyak Bu.”

“Minumlah,” kata Sasmi.

Lalu Ratna duduk di dekat Sasmi. Pratiwi heran. Menurut yang dia dengar, madu itu pastilah tidak bisa rukun. Bisa berantem, atau bahkan tidak ada yang mau dimadu. Tapi Ratna dan Sasmi adalah madu yang berbeda. Mereka selalu rukun, bahkan tampak saling menjaga dan menyayangi. Kedua anaknya juga kompak, seperti saudara kandung saja. Diam-diam Pratiwi berpikir, kalau aku ditawarin suami, maukah kamu dimadu, sudah pasti aku akan menjawab tidak. Belum tentu seorang madu memiliki hati bersih dan bisa saling mengerti.

“Mengapa diam saja, Wi?”

“Ibu Sasmi dan ibu Ratna sangat baik kepada saya,” kata Pratiwi.

“Lhoh, kamu anak baik, mengapa kami tidak boleh bersikap baik?”

“Ibu bisa saja.”

“Jam berapa kamu bangun setiap pagi?”

“Jam tiga sudah bangun, setelah subuh sudah harus ke pasar membeli sayur dan lain-lainnya untuk dijual.”

“Kamu juga rajin,” kata Ratna.

“Kata ibu saya, semua yang ingin didapat harus dilakukan dengan penuh tekat. Soalnya kami orang tidak punya. Jadi walau berat, tak akan terasa berat karena kami punya niat untuk berhasil.”

“Cukupkah penghasilan kamu berjualan untuk menghidupi keluarga? Bukankah ada adikmu juga?” tanya Ratna.

“Ya cukup lah Bu. Maksudnya dicukup-cukupin.”

“Membiayai sekolah adik kamu juga kan?”

“Iya, ibu saya ingin agar Nano bisa sekolah, paling tidak seperti saya.”

“Yu Kasnah memang hebat, punya semangat untuk anak-anaknya agar bisa menjadi orang,” kata Sasmi.

Mereka berbincang, sampai yu Kasnah selesai memijit. Ada dua jam dan selama itu pula yu Kasnah selalu memijit pelanggannya. Ratna dan Sasmi senang berbincang, karena Pratiwi memang benar-benar anak baik yang sangat berbakti kepada orang tua.

***

“Mana mbak Tiwi?” tanya Ratih ketika mendekati Bondan yang sudah berbaur dengan tamu lainnya.

“Tidak bisa datang.”

“Kenapa?”

“Dia harus mengantar ibunya, ada yang minta dipijit malam ini.”

“Oh, kasihan.”

“Tadi aku juga mengantarkan mereka ketempat pelanggannya itu.”

“Jauhkah rumahnya?”

“Tidak begitu jauh. Sepertinya itu rumah Roy. Bukanlah Roy putra keluarga Luminto?”

“Iya, sepertinya, aku tidak begitu mengenal mereka.”

Ketika pengajian berlangsung, keluarga Juwono menyalami semua tamu-tamunya dengan ramah.

“Terima kasih banyak ya, terima kasih perhatiannya, terima kasih telah ikut mendoakan Aira,” itulah kata-kata yang diucapkan mereka.

Ketika giliran Ardian dan Roy bersalaman, mereka terkejut mendengar bahwa laki-laki yang membuat Roy kesal adalah Bondan, kakak Aira.

“Tidak mengira kita bertemu lagi, terima kasih ya,” sapa Bondan ramah.

“Ternyata  Mas Bondan adalah kakak Aira,” kata Ardian, sementara mata Roy mencari-cari, dimana keberadaan Pratiwi, dan dia tak menemukannya.

“Iya benar, saya Bondan kakaknya, dan ini Ratih, adik  bungsu saya.”

“Sepertinya aku sudah mengenal mereka,” kata Ratih.

“Sudah beberapa kali kita bertemu bukan?” kata Atdian.

“Teryata ini yang namanya Roy?” sapa Bondan.

“Ya, aku Roy. Maaf atas yang tadi …” kata Roy yang akhirnya meminta maaf sambil mengulurkan tangan lalu menggenggamnya erat.

“Ah, lupakan. Senang bisa bertemu. Almarhumah sering bercerita tentang seorang laki-laki yang dia kagumi yaitu Anda.”

Roy tersenyum hangat.  Dengan tak terlihatnya Pratiwi, hatinya merasa lebih nyaman. Ia ingin bertanya mengapa Pratiwi tidak ada, tapi diurungkannya.

“Hallo, Ratih, sapanya kemudian kepada Ratih.”

“Selamat bertemu lagi,” jawab Ratih sambil tersenyum. Diam-diam Roy merasa bahwa wajah Ratih tak jauh berbeda dengan Aira, hanya saja Ratih tidak terlihat manja. Dia lebih tampak dewasa dan lebih anggun.

“Mas, besok Mas harus bisa mengajak Mbak Tiwi datang lhoh,” tiba-tiba kata Ratih kepada kakaknya.

“Maksudnya Pratiwi?” tanya Roy.

“Iya, dia sahabat kakakku Aira.”

“Nanti aku akan nyamperin dia,” janji Roy.

“Kamu tahu rumahnya?”

“Rumah kami dekat, hampir ketemu setiap hari,” kata Roy sedikit sombong.

“Oh, bagus kalau begitu. Terima kasih sebelumnya, Mas Roy.”

***

“Kamu ternyata sudah mengenal Roy?” kata Bondan ketika menjelang saat istirahat mereka.

“Pernah ikut mbak Aira ketemu teman-temannya, hanya beberapa kali,  nggak suka aku.”

“Kenapa?”

“Nggak tahu. Teman-teman mbak Aira kalau tertawa keras sekali, aku terkejut mendengar tawa seperti itu. Tapi kenapa ya mbak Aira suka? Aku juga heran, mbak Aira suka yang namanya Roy.”

“Kamu nggak suka?”

“Aku lebih suka satunya, yang namanya Ardian.”

“Suka ya, suka apa cinta?” ledek kakaknya.

“Cinta? Masa baru ketemu beberapa kali langsung jatuh cinta?”

“Bukankah cinta pada pandangan pertama itu bisa saja, dan banyak. Sedangkan kamu sudah beberapa kali.”

“Nggak tahu lah, aku lagi tidak mau memikirkan itu. Aku sedih tidak ada mbak Aira lagi diantara kita.”

“Iya, tentu saja. Aku juga merasakan hal yang sama.”

“Semoga besok mbak Tiwi bisa datang.”

“Bukankah Roy sudah berjanji akan membawanya kemari?”

“Iya, semoga saja besok bisa. Kasihan ya, malam-malam, ibu mbak Tiwi masih juga harus bekerja.”

“Tukang pijit biasanya malam, saat orang mau istirahat. Kalau siang, gerah dong.”

“Ibu mbak Tiwi itu dulu manis, walau tidak muda lagi. Mirip mbak Tiwi. Apa sekarang masih manis?”

“Dia semakin tua, ditambah matanya buta. Tentu saja kecantikannya sudah hilang.”

“Kasihan ya. Suatu hari aku mau main ke sana, ketemu sama ibunya juga.”

“Dia masih ingat aku. Dan masih ramah seperti dulu.”

“Ya sudah Mas, aku mau istirahat ya? Entah bisa tidur atau tidak, aku kan harus istirahat.”

“Iya dong Tih, kan sudah dari tadi aku meminta kamu agar segera istirahat, ini sudah malam.”

***

Malam itu Pratiwi sedang menuntun ibunya, setelah memijit pak Luminto. Mereka berjalan perlahan, karena Pratiwi takut ibunya terantuk batu atau apapun, sehingga jatuh seperti kemarin di halaman rumah pak Luminto.

“Kenapa pak Luminto memberi uang banyak ya Bu,” kata Pratiwi.

“Ibu juga sungkan, mereka sangat baik kepada kita. Apa kamu sudah menyimpan uangnya Wi?”

“Sudah Bu, ini, di dalam tas yang Tiwi bawa.”

“Hati-hati, sudah malam ini.”

Beberapa langkah lagi mereka sudah sampai di gang masuk ke arah rumah bu Kasnah, tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor lewat, sambil menarik tas yang dibawa Pratiwi.

Pratiwi sangat terkejut, dan berteriak-teriak.

“Toloooong.”

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. Alhamdulillah, eSBeKa_eps 06, sdh tayang.... Terima kasih bu Tien.... Salam sehat selalu dan selalu sehat....
    Tetap ADUHAI, ya

    ReplyDelete

  2. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~06 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah..terima kasih bu tien .salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku SB06 telah tayang.

    ReplyDelete
  5. sugeng ndalu bu-Tien, salam sehat slalu

    ReplyDelete
  6. Wah, ada perampok nih..ayo Roy dan Ardian segera tolong Pratiwi.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 06 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Bahagia selalu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah...
    Terima kasih bunda Tien cantik.
    Salam sehat selalu buncan 🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah SBK 06 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibuvsejat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillaah tayang juga
    Makasih bunda

    ReplyDelete
  13. Wow ada yang njambrèt tasnya you Kasnah, aduh kasihan..
    Mana nih jagoan néon kok belum sampai, kan tadi sudah pamitan dan baru tahu kalau Bondan itu kakak Aira alm
    Moga moga aja pas waktunya, jadi bisa ikutan menyelamatkan.
    Yah mendadak ada berita memilukan; nggak jadi ikutan di pijat sama you Kasnah, nggak ada yang ngawal jadi kesamber, jambrèt.
    Mudah mudahan berita ini juga di ketahui juragan Luminto, biar anak anaknya nganterin;
    Itu seeh nggak usah disuruh juga ingin nganter pulang.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke enam sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal’afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . . امين 🤲🙏

    ReplyDelete
  15. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Kumalasari
    Salam sehat dan tetap semangat..!!

    ReplyDelete
  17. Terima ksih bundaqu..slmt pgii dan slm seroja dri skbmi🙏🥰❤️🌹

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah Matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat ya bu Tien🤗🥰

    Penasaran Roy ya,..

    ReplyDelete

BULAN HANYA SEPARUH

BULAN HANYA SEPARUH (Tien Kumalasari) Awan tipis menyelimuti langit Lalu semua jadi kelabu Aku tengadah mencari-cari Dimana bulan penyinar a...